AKU DAN BANJIR DI JAKARTA
Oleh Denny JA
AKU DAN BANJIR DI JAKARTA
Oleh Denny JA
Di malam Gong Xi Fa Cai, 28 Jan 2025,
banjir menggenangi banyak wilayah Jakarta.
-000-
“Maaf, Pak. Kita belum bisa lewat. Jangan pulang dulu,”
kata sopirku.
Suaranya tenggelam di gemuruh air.
Jakarta berubah menjadi sungai kecil.
Mobil-mobil merangkak seperti perahu yang tertambat.
Kulihat sudah pukul 23.30, menjelang tengah malam.
Hujan masih deras.
Tirai menutup langit.
Ini malam Gong Xi Fa Cai.
Di negeri Cina, hujan itu keberuntungan.
Di hari raya, ia pertanda berkah.
Namun di sini, hujan berubah menjadi ujian,
menghapus batas antara jalan dan sungai.
“Pulang saja,” tekadku bergelora.
Mobilku kapal kota.
Biarkan roda membelah air,
mencari jalan.
Dari Pramuka ke Kelapa Gading,
banjir menjelma labirin.
Mobil-mobil terendam seperti bangkai kapal.
Kami mencari jalan, belok ke mana saja,
kehilangan arah.
Di kaca jendela,
Jakarta adalah lukisan yang basah,
tanpa bingkai, tanpa batas, tanpa ampun.
-000-
Di dalam mobil, aku terdiam.
Banjir dan aku, sahabat lama yang berulang.
Tapi malam ini, aku merenung.
Lebih dalam.
Kukenang tahun 2007.
Banjir datang.
Melebihi yang kuharap.
Aku tiga hari tak bisa keluar rumah.
Pemerintah mematikan listrik di area rumahku.
Dua anakku masih kecil saat itu,
usia tujuh dan lima tahun.
Kami terjebak, dunia kami hanyalah ruang gelap,
tanpa jalan keluar.
Adikku datang membawa perahu karet.
“Kita ke Pramuka,” katanya.
Tapi bagaimana membuat anak-anak tak takut?
Di telinga mereka, kukisahkan petualangan,
“Ini waterboom raksasa.
Ini taman air yang luas.”
Dan mata mereka berbinar,
menyambut banjir seperti pesta.
Mengira mereka sedang pariwisata.
Kami melaju perlahan,
melawan arus,
membelah jalan Jakarta yang tenggelam.
Aku hanya berdoa,
jangan ada ular yang melilit di dalam air.
-000-
Lalu ingatanku melompat ke tahun 1996.
Aku sedang belajar di Amerika,
ketika kabar itu datang.
“Rumah di Otista tenggelam,” kata mereka.
Aku terdiam.
Bukan rumahnya yang kuratapi,
tetapi ribuan bukuku yang lenyap,
dilahap banjir.
Buku-buku itu,
nyawa yang kukumpulkan sedikit demi sedikit,
menemani malam-malamku yang sepi.
Kini mereka menjadi fosil di dasar air,
menyatu dengan lumpur, hilang dalam sejarah.
Saat itu,
aku menangis di negeri asing,
bukan untuk rumah, bukan untuk harta,
tetapi untuk buku-buku yang tenggelam tanpa sempat diselamatkan.
Hilang separuh sejarahku.
Dan ibuku?
Mereka mengungsikannya dengan perahu karet,
ditemani kakakku.
Sementara ayahku bertahan di loteng,
menjaga benteng,
dengan kesetiaan seorang pahlawan tua.
-000-
“Kau punya segala,” kata seorang teman.
“Anak-anakmu sekolah di London.
Mengapa tak pindah saja?”
Oh, bagaimana mungkin?
Jakarta bukan hanya kota.
Ia adalah cerita yang kutulis dengan air mata.
Jakarta adalah luka yang kusebut rumah.
Banjir datang dan pergi,
menghapus jejak, menguji kesabaran.
Tapi aku tetap di sini.
Aku tak ingin lari.
Karena cinta bukan hanya tentang menerima yang indah,
tetapi juga bertahan dalam badai.
Aku dan Jakarta,
dua nama yang terikat dalam sejarah yang sama.
Hujan turun,
banjir terus menggenangi Jakarta.
Entah sampai kapan.
Tapi aku tetap setia.
Tak akan meninggalkan Jakarta.***
Jakarta, di Hari Gong Xi Fa Cai, 29 Januari 2025.
-000-
CATATAN
(1) Puisi esai ini dramatisasi banjir Jakarta 29 Jan 2025, dan sebelumnya.
Ditulis ulang oleh POINT Consultant