Mereka Yang Mulai Teriak Merdeka (9)
DAN 2000 JANDA PUN MENERJANG
Oleh Denny JA
Mereka Yang Mulai Teriak Merdeka (9)
DAN 2000 JANDA PUN MENERJANG
Oleh Denny JA
Di abad ke-16, pertama kali di dunia,
seorang wanita menjadi panglima laut.
Ia dari Aceh.
-000-
Duka Malahayati tumpah di laut.
Ombak memanggil nama suaminya,
yang tak lagi pulang.
Ia menunggu di dermaga,
tapi yang datang hanya bayang-bayang,
dan angin yang membawa kabar
tentang suaminya,
yang karam di kapal musuh.
Malahayati memeluk kesedihan.
Tapi darah yang mengalir di tubuhnya,
bukan darah yang bersujud.
Ayahnya seorang laksamana, kakeknya laksamana.
Buyutnya raja.
Napas seorang petarung
menggerakkan riwayatnya.
Dunia memutuskan
ia harus berduka.
Maka ia berduka
dengan pedang di genggaman.
Ia pun menjadi Laksamana Perempuan Pertama di Dunia.
-000-
Di Lamreh, desa yang kehilangan tawa,
2000 perempuan menjanda.
Suami mereka tewas di pedang penjajah.
Mereka menyulam luka dengan air mata,
tapi benang kesedihan tak mampu menjahit masa depan.
Lalu satu janda berkata,
“Izinkan aku membalas kematian suamiku.”
Janda lain berbisik,
“Kesedihanku adalah bara yang akan membakar penjajah.”
Janda lain menatap laut,
“Jika kami tak melawan, maka anak kami pun akan menjadi janda.”
Malahayati mendengar.
Ia melihat nyala api di mata mereka.
Di benteng yang menghadap samudra,
ia mendidik mereka.
Ia ajarkan cara menunggang kuda,
cara menahan luka tanpa menangis,
cara membunuh tanpa ragu.
Maka lahirlah Pasukan Inong Balee.
Janda-janda yang bukan sekadar berduka,
tetapi bertarung.
2000 janda berbaris.
Berderap.
Siap karamkan kapal penjajah.
-000-
Saat Belanda datang dengan kapal-kapal baja,
janda-janda itu berdiri di tepi dermaga,
dengan rencong di pinggang,
dengan dendam di dada.
Perang pecah di laut.
Kapten mereka saling merapat.
Seorang pria dengan mata tajam,
dengan sejarah di pundaknya.
Malahayati melangkah maju.
Di hadapan pasukannya,
ia berdiri sejajar dengan pria itu,
pimpinan Belanda,
Cornelis de Houtman.
Bukan sekadar perang,
ini duel antara dua nakhoda.
Rencong bertemu pedang,
baja bertemu kemarahan.
Angin berhenti.
Laut menahan gelombang.
Janda-janda menahan napas.
Saat pedang Belanda nyaris mengoyak dadanya,
Malahayati berputar,
menikam dada lawan.
Cornelis jatuh,
pasukannya gemetar.
Para janda bersorak,
mengibarkan rencong ke langit.
Belanda berlari ke tengah laut.
Aceh tetap berdiri.
-000-
Tapi perang bukan hanya tentang darah.
Malahayati tahu,
sekuat apa pun baja,
kata-kata tetap lebih tajam.
Di ruang negosiasi,
ia duduk di hadapan diplomat Inggris.
James Lancaster datang dengan kapal besar.
Malahayati mendengar.
Ia mengajukan syarat.
Jika ingin berdagang,
Aceh tak boleh diinjak.
Jika ingin bersahabat,
jangan datang dengan meriam di tangan.
Maka untuk pertama kali,
seorang perempuan memimpin perundingan,
dan Aceh tetap merdeka.
-000-
Pada tahun itu,
belum ada nama Indonesia.
Negeri ini masih berwajah banyak,
semesta aneka kerajaan, berdiri sendiri-sendiri.
Nama Indonesia baru lahir
tiga abad kemudian,
dari pena seorang akademisi Eropa.
Sebelumnya, Nusantara adalah sekumpulan pulau,
bukan satu bangsa.
Tapi Malahayati tak butuh nama itu,
untuk tahu apa yang ia perjuangkan.
Ia tak butuh peta baru,
untuk tahu penjajah itu racun.
Dan laut harus tetap milik anak-anaknya.
-000-
Di medan perang terakhirnya,
Malahayati berdiri di atas bukit.
Di bawahnya, pasukan Portugis datang,
lebih besar dari yang pernah ia hadapi.
Janda-janda tetap bertahan,
tapi hari itu, ombak berbicara lain.
Pedang menebas bahunya,
darahnya mengalir ke tanah.
Ia jatuh, tapi dalam matanya,
bukan ketakutan yang ada,
melainkan sebuah senyum.
-000-
Malam itu, di ambang ajal,
angin memasuki tenda.
Dalam cahaya temaram,
ia melihat suami.
Laksamana Zainal Abidin,
yang telah lama gugur,
tapi malam ini ia kembali.
“Apa kau memilih menyerah dan hidup,” katanya,
“atau melawan dan mati?”
Malahayati tersenyum.
Tak ada yang lebih ia takuti
daripada hidup sebagai budak.
“Jika aku mati,” katanya,
“Aku akan bersamamu lagi.”
-000-
Keesokan harinya,
namanya tak lagi ada di medan perang.
Tapi di ombak,
di air yang menyentuh pantai,
namanya tetap berbisik.
Janda memimpin janda,
membakar laut dengan keberanian.
Dan sejarah mengingatnya.
Selalu.
Malahayati menunggang kuda sebelum perempuan Eropa mengenal pedang.
Ia memimpin perang sebelum perempuan Amerika menuntut suara.
Bukan karena ia feminis,
tetapi karena ia tahu,
kemerdekaan Aceh bukan hadiah, melainkan api yang harus dinyalakan.**
Jakarta, 31 Januari 2025
(1) Puisi esai ini dramatisasi Malahayati, Laksamana perempuan pertama, yang memimpin pasukan 2000 janda:
Kisah Malahayati, Memimpin 2000 Pasukan Wanita Janda, Duel Maut Lawan Belanda Pembunuh Suami
https://www.beritasatu.com/network/disway-radarmukomuko/257003/kisah-malahayati-memimpin-2000-pasukan-wanita-janda-duel-maut-lawan-belanda-pembunuh-suami
Ditulis ulang oleh POINT Consultant