Brawijaya V, Raja Majapahit Yang Membuka Pintu Penyebaran Islam di Jawa & Prabu Brawijaya V Raja Majapahit Memiliki Ratusan Selir Dan Ratusan Anak
Ilustrasi : Brawijaya V / Bhre Kertabhumi Tahun Saka 1400 (1478 M)
Ketika kita berbicara tentang kemegahan dan kejayaan Kerajaan Majapahit, nama-nama besar seperti Raden Wijaya dan Hayam Wuruk sering kali mendominasi perbincangan. Namun, di balik gemerlapnya sejarah, ada sosok yang tak kalah menarik perhatian, Raja Brawijaya V. Dikenal sebagai raja Majapahit yang memiliki keturunan yang luas dan berpengaruh, Brawijaya V meninggalkan jejaknya dalam alur sejarah yang tak terlupakan.
Nama Brawijaya V dikenal luas melalui berbagai sumber sejarah, mulai dari Prasasti Jiyu hingga Serat Pararaton. Sebagai bagian dari Dinasti Rajasa, keturunan dari Ken Arok, Brawijaya V dianggap sebagai penguasa terakhir dari dinasti tersebut. Ia memerintah Majapahit dari tahun 1447 hingga 1451, meskipun masa kekuasaannya relatif singkat, kebijakannya memiliki dampak yang signifikan. Selama masa pemerintahannya yang singkat, Brawijaya V menunjukkan perhatian yang besar terhadap perkembangan agama Islam di Majapahit. Kebijakannya yang inklusif dan mendukung penyebaran Islam akhirnya melahirkan sejarah baru untuk tanah Jawa.
Dyah Kertawijaya, yang lebih dikenal sebagai Brawijaya V, naik tahta Majapahit menggantikan kakaknya, Rani Suhita, setelah wafatnya pada tahun 1447 Masehi. Karena Rani Suhita tidak memiliki putra, tahta tersebut jatuh kepada adik laki-lakinya, Dyah Kertawijaya, yang kemudian dinobatkan dengan nama abhiseka: Sri Prabu Kertawijaya Parakramawarddhana.
Dalam Babad Tanah Jawi, Dyah Kertawijaya disebut sebagai Raden Alit, dan setelah menjadi raja, ia bergelar Prabu Brawijaya V. Penamaan ini sesuai dengan urutan raja-raja laki-laki Majapahit sebelumnya, yaitu Sri Prabu Kertarajasa Jayawarddhana, Sri Prabu Jayanegara, Sri Prabu Rajasanegara, Sri Prabu Wikramawarddhana, dan Sri Prabu Kertawijaya.
Sri Prabu Kertawijaya dikenal sebagai Maharaja Majapahit pertama yang sangat memperhatikan perkembangan agama Islam, meskipun ia sendiri beragama Hindu. Ini terjadi karena ia memiliki teman, kerabat, dan pembantu yang beragama Islam. Selain itu, dua dari istrinya yang berasal dari Campa dan Cina juga merupakan muslimah.
Beberapa putra Sri Prabu Kertawijaya diketahui sebagai pemeluk agama Islam. Berdasarkan sumber historiografi seperti Babad Ponorogo, Babad ing Gresik, Babad Pengging, Babad Sembar, Serat Kandha, dan naskah-naskah yang berisi silsilah keturunan Prabu Brawijaya V (Sri Kertawijaya), seperti Tedhak Tedhak Pusponegaran, Pustaka Dharah Agung, Silsilah Jayalelana, Dermayudan, Serat Dharah, dan Layang Kekancingan.
Diketahui bahwa Sri Prabu Kertawijaya memiliki sejumlah putra yang memeluk agama Islam. Di antara mereka adalah Arya Damar Adipati Palembang, Bathara Katong Adipati Ponorogo, Arya Lembu Peteng Adipati Pamadegan, Arya Menak Koncar Adipati Lumajang, Raden Patah Adipati Demak, Raden Bondan Kejawen Kiai Ageng Tarub II, dan Raden Dhandhun Wangsaprana yang bergelar Syekh Belabelu.
Dengan pengaruh besar Islam di kalangan keluarganya, Brawijaya V memainkan peran penting dalam perkembangan agama tersebut di Majapahit. Kepemimpinannya yang inklusif terhadap agama-agama lain, terutama Islam, menandai masa transisi penting dalam sejarah kerajaan Majapahit dan menyebarkan pengaruh Islam di Nusantara.
Menariknya, kebijakan Brawijaya V juga membuka peluang bagi orang-orang Islam untuk menduduki jabatan penting di Majapahit. Arya Teja, yang dikenal sebagai seorang Muslim, diangkat menjadi Adipati Tuban, sementara Arya Lembu Sura, juga seorang Muslim, menjadi Raja Surabaya.
Kemenakan jauh istrinya, Sayyid Es, dianugerahi gelar Syaikh Suta Maharaja dan kemudian diangkat menjadi Adipati Kendal. Ali Rahmatullah (Raden Rahmat atau Sunan Ampel), diangkat sebagai imam di Surabaya dan kemudian menjadi Bupati di sana. Kakak Raden Rahmat, Ali Murtadho, yang berasal dari Negeri Campa, diangkat sebagai imam di masjid Gresik dengan gelar Raja Pandita. Sementara itu, kemenakan istrinya yang lain, Burereh (Abu Hurairah), diangkat sebagai leba di Wirasabha.
Dalam segala kesempatan, Brawijaya V menunjukkan kedermawanannya dalam memperjuangkan toleransi dan kerukunan antaragama di Majapahit. Dengan memperhatikan peran Islam dalam kerajaannya, ia membuka pintu bagi kemajuan agama tersebut di tanah Jawa.
Kebijakannya mencerminkan komitmen kuat terhadap inklusivitas dan pluralisme, yang pada gilirannya memperkuat posisi Islam dalam struktur sosial dan politik Majapahit. Brawijaya V meninggalkan jejak yang terukir dalam sejarah kerajaan Majapahit, sebagai penguasa yang tidak hanya mempertahankan kejayaan kerajaannya tetapi juga mempromosikan harmoni dan kemajuan agama-agama yang berkembang di wilayahnya.
Sri Prabu Kertawijaya, yang dikenal sebagai Brawijaya V, meninggal dunia pada tahun 1373 Saka atau 1451 Masehi. Menurut catatan Pararaton, setelah kematiannya, jenazah Brawijaya V, Maharaja Majapahit, didarmakan di Kertawijayapura. Namun, juru kunci penjaga situs tersebut sering menyebutnya sebagai makam Prabu Damarwulan. Cerita ini menunjukkan bagaimana sejarah dan legenda sering kali bercampur dalam tradisi lisan yang diceritakan turun temurun dan menjadi dongeng. Sejarah seringkali bercampur dengan legenda, menciptakan warisan yang kaya namun pada akhirnya memunculkan misteri.
Kisah serupa juga menyelimuti makam Darawati, putri Campa dan istri Brawijaya V. Makamnya dikenal sebagai makam permaisuri Damarwulan, yaitu Ratu Kenconowungu. Perpaduan antara sejarah dan legenda ini menciptakan lapisan-lapisan cerita yang memperkaya tradisi lisan dan tulisan Jawa. Damarwulan dan Ratu Kenconowungu sendiri merupakan tokoh-tokoh legendaris yang sering muncul dalam cerita rakyat dan kesenian Jawa.
Pencampuran antara fakta sejarah dan mitos ini tidak hanya terjadi pada Brawijaya V dan keluarganya, tetapi juga pada banyak tokoh lain dari masa lalu Nusantara. Hal ini membuat penelitian sejarah menjadi tantangan tersendiri, karena harus menelusuri dan memilah antara apa yang benar-benar terjadi dan apa yang telah dilegendakan oleh masyarakat.
Namun, justru dari sinilah keindahan dan keunikan sejarah Jawa berasal, dengan cerita-cerita yang tidak hanya memberikan informasi, tetapi juga menghidupkan kembali imajinasi dan kebudayaan masa lalu.
Makam Brawijaya V, yang mungkin lebih dikenal sebagai makam Prabu Damarwulan, dan makam Darawati, yang dikenal sebagai makam Ratu Kenconowungu, adalah contoh nyata dari bagaimana sejarah dan legenda saling terkait. Keduanya tidak hanya merupakan situs bersejarah, tetapi juga simbol dari perpaduan antara realitas dan cerita yang telah diwariskan turun-temurun.
Darawati, permaisuri terkemuka Brawijaya V, menarik perhatian bukan hanya karena kedudukannya dan seorang muslimah, tetapi juga karena asal-usulnya yang unik. Ia merupakan putri dari Raja Kauthara, negara bagian Champa di Vietnam.
Darawati memiliki darah Cina dari ayahnya, Bong Tak Keng, sementara ibunya adalah putri Maharaja Champa, Raja Indravarman VI, berasal dari etnis Champa atau Indochina. Karena latar belakangnya yang berasal dari Champa, penduduk Majapahit mengenalnya dengan sebutan Putri Campa dalam ejaan Jawa.
Pernikahan Darawati dengan Prabu Brawijaya V menimbulkan konflik politik di Kerajaan Majapahit. Protes muncul dari kalangan elit istana lainnya yang merasa tidak puas dengan pilihan tersebut. Dari pernikahannya dengan Darawati, yang juga dikenal sebagai Putri Campa, lahirlah Retno Pembayun.
Retno Pembayun kemudian menikah dengan Sri Makurung Prabu Handayaningrat, penguasa Pengging yang terkenal dengan gelar Ki Ageng Pengging Sepuh. Pernikahan ini melahirkan Kebo Kenongo (Ki Ageng Pengging II), yang merupakan ayah dari Mas Karebet atau Joko Tingkir. Joko Tingkir kemudian mendirikan Kasultanan Pajang setelah menikahi Ratu Mas Cempaka, putri bungsu Sultan Trenggono Raja Demak, dan berhasil mengalahkan Adipati Jipang Panolan, Arya Penangsang.
Selain Retno Pembayun, Darawati dan Brawijaya V juga memiliki seorang putra bernama Bathara Katong, yang menjadi penguasa pertama Ponorogo dan tokoh utama dalam penyebaran agama Islam di daerah tersebut.
Darawati memiliki kedudukan istimewa bukan hanya sebagai permaisuri Brawijaya V, tetapi juga sebagai bibi dari Sunan Ampel. Kedatangan Sunan Ampel ke Majapahit bukan hanya untuk reuni keluarga, tetapi juga membawa pesan agama Islam. Brawijaya V menghalangi Raden Rahmat (Sunan Ampel) untuk kembali ke Champa karena negeri tersebut telah hancur akibat perang dengan Kerajaan Koci. Sebagai gantinya, Brawijaya V mengangkat Raden Rahmat sebagai imam Masjid di Surabaya dengan gelar Sunan Ngampel.
Istri Lain dan Keturunan yang Membentuk Peradaban Islam di Jawa
Istri Brawijaya V lainnya adalah Siu Ban Ci, atau dalam catatan lain disebut Tan Eng Kian, putri dari Tan Go Hwat dari Cina. Siu Ban Ci dikenal sebagai Putri Cina dan ibunda dari Raden Patah, pendiri Kasultanan Demak Bintoro. Siu Ban Ci adalah leluhur perempuan dari raja-raja Kasultanan Demak, yang dicatat sejarah sebagai kerajaan Islam tertua di Jawa.
Istri lain dari Brawijaya V adalah Dewi Wandan Kuning, yang nama aslinya Bondrit Cemara, seorang pelayan istana dari daerah Wandhan, Sulawesi. Ia menjadi istri Brawijaya V karena wangsit yang diterima saat Brawijaya V menderita sakit sipilis. Setelah menikahi Bondrit Cemara, ia sembuh dan Bondrit Cemara melahirkan Raden Bondan Kejawan.
Bondan Kejawan dititipkan kepada Ki Ageng Tarub dan kemudian menikahi Dewi Nawangsih, putri Joko Tarub.
Bondan Kejawan memiliki anak bernama Getas Pendawa, yang berputra Ki Ageng Selo, yang kemudian menurunkan Ki Ageng Henis (penyebar agama Islam dan pendiri masjid tertua di Kota Solo), Ki Ageng Pamanahan, dan akhirnya Panembahan Senopati, raja Mataram Islam pertama.
Dewi Bondrit Cemara merupakan leluhur perempuan dari Dinasti Mataram Islam yang mencapai puncak kejayaannya di masa pemerintahan Sultan Agung. Dinasti Mataram Islam hingga kini masih dapat dilacak jejaknya melalui empat kerajaan bercorak Islam yang masih berdiri di Jawa yaitu Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman.
Melalui pernikahan-pernikahan strategis dan serangkaian kebijakannya yang inklusif, Brawijaya V berhasil menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan agama Islam di Jawa. Kebijakannya untuk mengangkat tokoh-tokoh Muslim ke dalam posisi penting dan memberikan ruang bagi dakwah Islam tidak hanya memperkuat kedudukan Islam di Majapahit tetapi juga mempengaruhi penyebaran agama ini di seluruh Nusantara.
Dukungan Brawijaya V terhadap komunitas Muslim dan integrasinya ke dalam struktur kekuasaan Majapahit menunjukkan visinya tentang toleransi dan harmoni antaragama. Dampak dari kebijakan-kebijakan ini terasa hingga jauh setelah masa pemerintahannya, menjadikan Brawijaya V sebagai salah satu figur penting dalam sejarah penyebaran Islam di tanah Jawa. Keberhasilan ini mencerminkan warisan yang kaya dan beragam dari kerajaan Majapahit, di mana perpaduan budaya dan agama menjadi fondasi bagi peradaban selanjutnya yang berkembang pesat.
Prabu Brawijaya V Raja Majapahit Memiliki Ratusan Selir Dan Ratusan Anak
Dyah Ranawijaya Paduka Sri Maharaja Sri Wilwatiktapura-Janggala-Kaḍiri (Brawijaya V).
Dyah Ranawijaya atau disebut Girindrawardhana Dyah Ranawijaya atau disebut juga Brawijaya V adalah raja terakhir Majapahit yang memerintah tahun 1474—1498, dengan ibu kota di Daha.[Namanya dikenal melalui Prasasti Jiyu I, Prasasti Petak, Serat Pararaton, Kakawin Banawa Sekar, Suma Oriental, Babad Tanah Jawi, Serat Kanda dan Serat Pranitiradya.
Setelah gagal menikahi dan menjadikan Dewi Sari, putri Raja Cermain, sebagai permaisurinya membuat Prabu Brawijaya V gusar hati. Dia gagal menikahi karena calon permaisurinya itu terkena wabah penyakit hingga wafat di Desa Leran.
Selang beberapa waktu kemudian ternyata tak mudah bagi Raja Majapahit untuk menjatuhkan suatu pilihan siapa di antara ratusan orang istri pangrembe (istri selir)-nya yang pantas dijadikan sebagai prameswari (permaisuri).
Sebagai seorang raja binathara yang tampan dengan ditopang kekuasaannya yang besar, Prabu Brawijaya V memiliki kekuasaan tak terbatas untuk mengawini perempuan-perempuan cantik sekehendaknya. Apalagi, tak ada larangan dalam agama Budha yang dianutnya.
Ditambah perempuan mana yang berani menolak keinginan Sang Raja jika mereka memang dikehendaki Baginda. Bahkan, sebaliknya secara diam-diam banyak perempuan yang menginginkan agar dapat dikawini oleh Raja Majapahit.
Dikutip dari buku Brawijaya Moksa Detik Detik Akhir Perjalanan Hidup Prabu Majapahit, Prabu Brawijaya V memang memiliki banyak istri selir yang berjumlah ratusan orang dengan ratusan anak pula. Meskipun Prabu Brawijaya V adalah seorang pemeluk agama Budha taat, tetapi sebagian istrinya pemeluk agama Islam.
Apakah Sang Prabu masih belum dapat melupakan bayangan Dewi Sari yang notabene seorang muslimah taat, sehingga Baginda Raja juga menikahi beberapa perempuan muslimah. Di antaranya para istri selir (pangrembe) Sang Prabu Brawijaya V tersebut, yakni :
1. Dewi Dilah yang telah memberikan buah hati kepadanya, Raden Jaka Dilah alias Arya Damar yang kemudian menjadi Adipati di Palembang.
2. Ibu Selir dengan anak Raden Jaka Krewek yang menjadi Adipati di Borneo.
3. Ibu Selir yang mempunyai anak Raden Jaka Pekik alias Arya Jaran Panulih yang menjadi Adipati di Sumenep.
4. Ibu Selir dengan anak Raden Jaka Maya alias Arya Dewa Katug, yang menjadi Adipati di Bali.
117 NAMA ANAK-ANAK PRABU BRAWIJAYA V
1. Raden Jaka Dilah (Aryo Damar), dijadikan Adipati Palembang
2. Raden Jaka Pekik (Harya Jaran Panoleh). Adipati Sumenep
3. Putri Ratna Pambayun, menikah dengan Prabu Srimakurung Handayaningrat
4. Raden Jaka Peteng
5. Raden Jaka Maya (Harya Dewa Ketuk), dijadikan adipati di Bali
6. Dewi Manik, menikah dengan Hario Sumangsang Adipati Gagelang
7. Raden Jaka Prabangkara - pergi ke negeri sahabat, Cina
8. Raden Harya Kuwik, dijadikan Adipati Borneo/Kalimantan
9. Raden Jaka Kutik (Harya Tarunaba), dijadikan Adipati Makasar
10. Raden Jaka Sujalma, jadi adipati Suralegawa di Blambangan
11. Raden Surenggana, tewas dalam peristiwa penyerbuan Demak
12. Retno Bintara, menikah dengan Adipati Nusabarung, Tumenggung Singosaren
13. Raden Patah, dijadikan Adipati & Sultan Demak
14. Raden Bondan Kejawan, Ki Ageng Tarub III, menurunkan raja-raja Mataram Islam.
15. Retno Kedaton, muksa di Umbul Kendat Pengging
16. Retno Kumolo (Raden Ayu Adipati Jipang), menikah dengan Ki Hajar Windusana
17. Raden Jaka Mulya (Raden Gajah Permada)
18. Putri Retno Mas Sakti, menikah dengan Juru Paningrat
19. Putri Retno Marlangen, menikah dengan Adipati Lowanu;
20. Putri Retno Setaman, menikah dengan Adipati Jaran Panoleh di Gawang.
21. Retno Setapan, menikah dengan Bupati Kedu Wilayah Pengging, Harya Bangah
22. Raden Jakar Piturun, dijadikan Adipati Ponorogo dikenal sebagai Betara Katong
23. Raden Gugur, hilang/muksa di Gunung Lawu
24. Putri Kaniten, menikah dengan Hario Baribin di Madura
25. Putri Baniraras, menikah dengan Hario Pekik di Pengging
26. Raden Bondan Surati, tewas mati obong di Hutan Lawar Gunung Kidul
27. Retno Amba, menikah dengan Hario Partaka
28. Retno Kaniraras
29. Raden Ariwangsa
30. Raden Harya Suwangsa. Ki Ageng Wotsinom di Kedu
31. Retno Bukasari, menikah dengan Haryo Bacuk
32. Raden Jaka Dandun, nama gelar Syeh Belabelu
33. Retno Mundri (Nyai Gadung Mlati), menikah dengan Raden Bubaran dan muksa di Sendak Pandak Bantul
34. Raden Jaka Sander, nama gelar Nawangsaka
35. Raden Jaka Bolod, nama gelar Kidangsoka
36. Raden Jaka Barak, nama gelar Carang Gana
37. Raden Jaka Balarong
38. Raden Jaka Kekurih/Pacangkringan
39. Retno Campur
40. Raden Jaka Dubruk/Raden Semawung/Pangeran Tatung Malara
41. Raden Jaka Lepih/Raden Kanduruhan
42. Raden Jaka Jadhing/Raden Malang Semirang
43. Raden Jaka Balurd/Ki Ageng Megatsari/Ki Ageng Mangir I
44. Raden Jaka Lanang, dimakamkan di Mentaok Jogja
45. Raden Jaka Wuri
46. Retno Sekati
47. Raden Jaka Balarang
48. Raden Jaka Tuka/Raden Banyak Wulan
49. Raden Jaka Maluda/Banyak Modang, dimakamkan di Prengguk Gunung Kidul
50. Raden Jaka Lacung/Banyak Patra/Harya Surengbala
51. Retno Rantam
52. Raden Jaka Jantur
53. Raden Jaka Semprung/Raden Tepas, dimakamkan di Brosot Kulonprogo
54. Raden Jaka Gambyong
55. Raden Jaka Lambare/Pecattanda, dimakamkan di Gunung Gambar, Ngawen, Gunung Kidul
56. Raden Jaka Umyang/Harya Tiran
57. Raden Jaka Sirih/Raden Andamoing
58. Raden Joko Dolok/Raden Manguri
59. Retno Maniwen
60. Raden Jaka Tambak
61. Raden Jaka Lawu/Raden Paningrong
62. Raden Jaka Darong/Raden Atasingron
63. Raden Jaka Balado/Raden Barat Ketigo
64. Raden Beladu/Raden Tawangtalun
65. Raden Jaka Gurit
66. Raden Jaka Balang
67. Raden Jaka Lengis/Jajatan
68. Raden Jaka Guntur
69. Raden Jaka Malad/Raden Panjangjiwo
70. Raden Jaka Mareng/Raden Pulangjiwo
71. Raden Jaka Jotang/Raden Sitayadu
72. Raden Jaka Karadu/Raden Macanpura
73. Raden Jaka Pengalasan
74. Raden Jaka Dander/Ki Ageng Gagak Aking
75. Raden Jaka Jenggring/Raden Karawita
76. Raden Jaka Haryo
77. Raden Jaka Pamekas
78. Raden Jaka Krendha/Raden Harya Panular
79. Retna Kentringmanik
80. Raden Jaka Salembar/Raden Panangkilan
81. Retno Palupi, menikah dengan Ki Surawijaya (Pangeran Jenu Kanoman)
82. Raden Jaka Tangkeban/Raden Anengwulan, dimakamkan di Gunung Kidul
83. Raden Kudana Wangsa
84. Raden Jaka Trubus
85. Raden Jaka Buras/Raden Salingsingan, dimakamkan di Gunung Kidul
86. Raden Jaka Lambung/Raden Astracapa/Kyai Wanapala
87. Raden Jaka Lemburu
88. Raden Jaka Deplang/Raden Yudasara
89. Raden Jaka Nara/Sawunggaling
90. Raden Jaka Panekti/Raden Jaka Tawangsari/Pangeran Banjaransari dimakamkan di Taruwongso Sukoharjo
91. Raden Jaka Penatas/Raden Panuroto
92. Raden Jaka Raras/Raden Lokananta
93. Raden Jaka Gatot/Raden Balacuri
94. Raden Jaka Badu/Raden Suragading
95. Raden Jaka Suseno/Raden Kaniten
96. Raden Jaka Wirun/Raden Larasido
97. Raden Jaka Ketuk/Raden Lehaksin
98. Raden Jaka Dalem/Raden Gagak Pranala
99. Raden Jaka Suwarna/Raden Taningkingkung
100. Raden Rasukrama menikah dengan Adipati Penanggungan
101. Raden Jaka Suwanda/Raden Harya Lelana
102. Raden Jaka Suweda/Raden Lembu Narada
103. Raden Jaka Temburu/Raden Adangkara
104. Raden Jaka Pengawe/Raden Sangumerta
105. Raden Jaka Suwana/Raden Tembayat
106. Raden Jaka Gapyuk/Ki Ageng Pancungan
107. Raden Jaka Bodo/Ki Ageng Majasto
108. Raden Jaka Wadag/Raden kaliyatu
109. Raden Jaka Wajar/Seh Sabuk Janur
110. Raden Jaka Bluwo/Seh Sekardelimo
111. Raden Jaka Sengara/Ki Ageng Pring
112. Raden Jaka Suwida
113. Raden Jaka Balabur/Raden Kudanara Angsa
114. Raden Jaka Taningkung
115. Raden Retno Kanitren
116. Raden Jaka Sander (Harya Sander)
117. Raden Jaka Delog/Ki Ageng Jatinom Klaten
Artikel by, POINT Consultant