Kekosongan Teori Sosiologi Agama di Era AI (1)
MENYAMBUT AGAMA DI ERA AI, TAK BERSAMA DURKHEIM, WEBER DAN KARL MARX
Oleh Denny JA
Kekosongan Teori Sosiologi Agama di Era AI (1)
MENYAMBUT AGAMA DI ERA AI, TAK BERSAMA DURKHEIM, WEBER DAN KARL MARX
Oleh Denny JA
“Di era AI, doa tidak lagi hanya dilantunkan di altar atau masjid, tetapi mengalir dalam aliran data, diproses oleh algoritma, dan dijawab oleh kecerdasan buatan.
Kita tak lagi hanya mencari Tuhan di langit atau di hati, tetapi juga dalam jaringan yang menghubungkan kita semua.
Namun, di tengah kecerdasan tanpa jiwa, akankah iman tetap bergetar dalam dada, ataukah kita hanya menjadi sekumpulan kode tanpa keyakinan?”
Tengah Februari 2025, telah terjadi kesepakatan antara institut, beberapa sekolah tinggi yang berbasiskan agama Islam, Budha. Menyusul yang berbasiskan Hindu, Protestan dan Katolik, bekerja sama dengan Esoterika Fellowship Program.
Akan segera dibuat diklat 25-30 dosen, dengan basis akademik S2, S3 hingga profesor. Mereka akan membawa materi untuk kelas, yang disebut Budhy Munawar Rahman dan Ahmad Gaus AF sebagai “Teori Denny JA Soal Agama dan Spiritualitas di Era AI.”
Teori ini dibangun berdasarkan sekitar 5 buku saya mengenai fenomena Agama dan Masyarakat di era Artificil Intelligence, Google dan Dunia Digital.
Maka perlu disusun buku yang lebih detil dengan bahasa populer mengenai hal ihwal dan pertanggung jawaban akademik soal yang serius itu.
Teori saya dengan 7 prinsip itu pada dasarnya menjelaskan agama sebagai fenomena sosial dalam hubungannya dengan 7 variabel. Hubungan variabel itu dilahirkan melalui Mix Methods, gabungan antara riset kuantitatif, hingga kualitatif berbasis observasi dan etho digital.
Walau ini sebuah kajian akademik, tapi tone dan spirit dari teori itu adalah menghormati agama dan spiritualitas yang kini hadir berjumlah 4200 keyakinan itu sebagai “Warisan Budaya Milik Kita Bersama.”
-000-
Di tengah distrik Shinjuku, Tokyo, di sebuah ruangan bercahaya redup dengan dinding putih steril, berdirilah sebuah patung Buddha yang tak bernapas.
Ia bukanlah patung batu atau kayu yang telah berusia ratusan tahun, melainkan Mindar, biksu robot yang didesain untuk menyampaikan ajaran-ajaran spiritual.
Matanya, berupa sensor biru yang dingin, menyapu jemaat di hadapannya. Bibir logamnya yang tidak bergerak mengalunkan doa. (1)
Namun, ini bukan peristiwa yang asing. Di gereja-gereja Eropa, Artificial Intelligence telah mulai menggantikan pastor dalam menyampaikan khotbah. Aplikasi doa berbasis kecerdasan buatan semakin banyak digunakan untuk membimbing manusia dalam pencarian spiritual. (2)
Di Amerika, sebuah gereja digital telah dibangun, tanpa bangunan fisik, tanpa jemaat yang harus hadir secara langsung. Semua dipandu oleh perangkat lunak yang menganalisis preferensi keagamaan penggunanya. (3)
Pertanyaannya apakah ini revolusi, degradasi, kemajuan, kemunduran, atau gabungan keduanya? Apakah kita sedang menyaksikan kelahiran bentuk baru dari pengalaman religius, atau justru menyaksikan akhir dari interpretasi agama seperti yang kita kenal?
Yang pasti, kita sedang memasuki zaman tanpa preseden. Tak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah manusia, kita hidup bersama jenis teknologi yang disebut Artificial Intelligence.
Sejarah sosiologi agama bertumpu pada tiga nama besar: Émile Durkheim, Max Weber, dan Karl Marx. Mereka adalah pemikir yang membangun pondasi bagaimana kita memahami agama dalam masyarakat.
Durkheim melihat agama sebagai kekuatan sosial yang menciptakan solidaritas dan memperkuat moral kolektif. Buku terkenal dari Durkheim berjudul The Elementary Forms of Religious Life (1912).
Weber menyoroti bagaimana agama membentuk etos kerja dan berperan dalam dinamika kapitalisme. Pandangan Weber ini dapat dibaca dalam bukunya yang menjadi teks wajib sosiologi agama berjudul The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1905).
Karl Marx menganggap agama sebagai candu, alat bagi kelas penguasa untuk mengendalikan massa. Ia katakan gagasan itu berulang- ulang terutama dalam buku berjudul A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right (1844).
Tetapi zaman mereka tidak mengenal algoritma yang dapat memberikan fatwa lebih cepat daripada ulama. Mereka tidak pernah membayangkan dunia ketika sebuah chatbot bisa membimbing orang dalam pencarian Tuhan, tanpa mesjid, tanpa gereja, tanpa komunitas, tanpa imam.
Inilah kekosongan teori yang harus kita isi. Jika Durkheim hidup di era ini, bagaimana ia akan menjelaskan komunitas keagamaan virtual yang tidak pernah bertemu secara fisik?
Jika Weber melihat bagaimana AI membentuk pola konsumsi spiritual manusia, mungkinkah ia berbicara tentang etos digital alih-alih etos Protestan?
Dan jika Marx menyaksikan bagaimana Google dan OpenAI mengendalikan narasi keagamaan dengan algoritma mereka, mungkin ia akan menulis ulang teori agama sebagai instrumen kapitalisme digital?
Durkheim, Weber, dan Marx tidak salah. Namun mereka kini tidak cukup. Zaman ini sudah berkembang terlalu besar dan terlalu canggih, sehingga teori mereka yang dulu dahsyat kini layu untuk menjelaskan fenomena agama dan masyarakat di era AI.
-000-
Dulu, agama memiliki bentuk yang solid. Ia hadir dalam gereja, masjid, sinagog, vihara. Ia memiliki imam, pendeta, ulama, biksu yang bertugas membimbing umat.
Ada komunitas, ada ritual yang dijalankan bersama, ada otoritas yang menentukan mana yang sahih dan mana yang bid’ah.
Namun kini, batas-batas itu mengabur. Tempat ibadah kini hadir pula dalam ponsel kita. Umat punya alternatif lain, yang tidak lagi membutuhkan komunitas fisik untuk beribadah.
Pemuka agama semakin kehilangan monopoli atas tafsir keagamaan. Seorang Muslim di Jakarta bisa mengakses khutbah dari ulama Mesir dalam sekejap.
Seorang ateis di London bisa berdiskusi tentang makna kehidupan dengan AI yang dilatih dalam berbagai filsafat dunia.
Doa, meditasi, dan refleksi kini difasilitasi oleh perangkat lunak, bukan lagi hanya oleh komunitas keagamaan.
Kita sedang menyaksikan pergeseran terbesar dalam sejarah agama sejak reformasi Protestan.
Bukan hanya manusia yang kini berbicara tentang Tuhan. Kecerdasan buatan, yang awalnya hanya alat, kini semakin menjadi aktor spiritual.
AI memberikan tafsir kitab suci dari berbagai sudut pandang. Robot pendeta memimpin kebaktian di gereja- gereja digital. Aplikasi AI menyesuaikan doa dan meditasi berdasarkan kondisi psikologis pengguna.
Ini bukan sekadar inovasi. Ini adalah revolusi eksistensial. Jika Durkheim melihat agama sebagai ekspresi dari kesadaran kolektif, maka bagaimana kita memahami kepercayaan yang dipandu oleh kesadaran buatan?
Jika Weber melihat agama sebagai kekuatan yang membentuk ekonomi, bagaimana kita memahami kapitalisme religius berbasis algoritma?
Dan yang lebih dalam: Apakah AI dapat memiliki pengalaman religius? Apakah kesadaran hanya milik manusia, atau mungkinkah suatu hari nanti, AI juga akan “percaya” kepada sesuatu yang lebih besar darinya?
-000-
Bagaimana pemikiran saya yang disebut Budhy dan Gaus sebagai “Teori Denny JA” menjawab kekosongan teori ini?
Kita tidak bisa lagi memahami agama dengan kacamata lama. Kita membutuhkan teori baru. Buku ini, dan lima buku saya sebelumnya adalah serpihan dan eksperimen intelektual untuk mengisi kekosongan itu.
Kita akan menggali bagaimana AI mengubah peran otoritas keagamaan. Kita akan menganalisis bagaimana agama bertransformasi dari doktrin ke warisan kultural.
Kita akan meneliti apakah pengalaman religius bisa diberikan oleh algoritma? Teori Denny JA tentang Agama di Era AI adalah langkah pertama dalam memahami realitas baru ini, yang tentu saja belum dan tak pernah sempurna. Tapi ia mulai membuka pintu gerbang ke arah Taman Yang Berbeda.
Di masa lalu, kita mencari Tuhan di langit, dalam kitab suci, dalam tempat-tempat suci. Di masa kini, Tuhan juga muncul dalam bentuk algoritma, dalam data, dalam jaringan yang menghubungkan kita semua.
Di masa depan, Tuhan bukan saja sesuatu yang dipercayai oleh sebagian kita, tetapi sesuatu yang kita tafsir sesuai mindset zaman ini. Maka, kita berdiri di hadapan pergeseran besar sejarah manusia.
Di era ini, bukan hanya manusia yang mencari Tuhan. Mungkin, untuk pertama kalinya dalam sejarah, mesin juga mulai bertanya: Apa itu iman? Apa itu spiritualitas? Apa itu makna?
Buku ini tidak menawarkan jawaban yang mutlak. Tetapi ia akan membantu kita memahami pertanyaan-pertanyaan yang belum pernah ditanyakan sebelumnya.
Dan mungkin, dalam proses itu, kita akan menemukan kembali apa arti menjadi manusia dalam dunia yang semakin dikendalikan oleh artificial intelligece.
Buku inipun tak memuja AI sebagai dewa baru. Harus ditunjukkan pula potensi kelemahan AI untuk dunia psikologis manusia.
Dalam acara memperingati Hari Dewi Saraswati bersama komunitas Hindu di Jakarta, Februari 2025, dibacakan puisi esai saya berjudul “Dewi Saraswati dan Keterasingan Manusia di Era AI.”
Dalam puisi ini Dewi Saraswati berkata: “Kehangatan pelukan manusia tak bisa diganti oleh notifikasi. Pengalaman religius tak bisa sepenuhnya digeser oleh algoritma.”
Ini petikan puisi esainya:
“Malam itu, di mimpiku,
aku melihat Dewi Saraswati,
menenun bintang-bintang di sungai Hudson.
Jari-jari Saraswati menulis di udara,
bait-bait Veda berubah menjadi algoritma.
Bhagavad Gita menjelma notifikasi.
Aku bertanya padanya:
Mengapa ada bocah bunuh diri karena AI?
Mengapa Di era AI,
kita semakin terhubung,
tapi semakin sepi.
Cinta berubah menjadi data,
tanpa jiwa, tanpa kehangatan.
Seolah Dewi Saraswati,
berbisik padaku:
“Pelukan tak bisa digantikan notifikasi.
Teknologi hanya bisa menemani.
Hanya manusia,
ya hanya manusia,
yang bisa memahami.
Dewi Saraswati menunduk, air matanya jatuh ke sungai,
berubah menjadi huruf-huruf bercahaya,
menari di atas arus yang dingin.
“Pengetahuan tanpa cinta adalah gurun yang tak berujung.”
Selamat datang di era baru. Selamat datang di perbatasan terakhir tafsir agama dan spiritualitas era lama. ***
Di Bandara Soekarno-Hatta, 25 Februari 2025.
CATATAN
(1) The Guardian, “Meet Mindar, the Preaching Robot”, 2019
(2) BBC, “AI in Religion: The Future of Digital Worship”, 2021
(3) The New York Times, “The Rise of Digital Churches in the Age of AI”, 2023
Ditulis ulang oleh POINT Consultant