Yang Menggigil di Arus Sejarah (15/ Selesai)
MELAWAN OMBAK ATAU MATI ?
Oleh Denny JA
(Setelah perang Vietnam, 1975-1990, sebanyak 1,5 juta penduduk Vietnam ribuan kali menggunakan perahu kecil lari dari negaranya. Sekitar 400 ribu manusia karam di laut.)
-000-
Di akhir perang, bukan kemenangan yang datang, tapi cakar balas dendam.
Sungai Mekong tak lagi membawa perahu.
Hanya ribuan tubuh yang hanyut.
Kampung-kampung dibakar.
Doa-doa dipenggal di altar rumah sendiri.
Tak ada merdeka bagi yang kalah. Hanya hukuman yang tak mengenal ampun.
Di jalanan Saigon, tank-tank berarak, membawa bayang-bayang gelap.
Bendera merah berkibar.
Sejarah ditulis dengan darah yang tumpah.
Langit dipenuhi jerit yang tak sempat menjadi doa.
Dan rumah-rumah yang dulu berbicara kini hanya puing bisu tak bernyawa.
Di pasar-pasar yang sunyi, mata-mata tak lagi menawar hari esok.
Ketakutan adalah udara yang dihirup.
Harapan terkubur di bawah sepatu tentara.
Lebih baik menjadi arang di tengah lautan yang mengamuk.
Daripada menjadi abu di tanah yang lupa akan namamu.
-000-
Nguyen menggenggam tangan Linh, membimbing Mai yang kecil.
Tangan mungilnya dingin, seperti udara yang kehilangan rumah.
Di dermaga remang, perahu kayu nyaris tenggelam.
Orang-orang berdesakan, mengemas hidup dalam kantung kecil.
Garam laut dan keringat bercampur di udara.
Tapi di kejauhan, tembakan menghantam keheningan.
Pilihan telah diambil: berlayar atau mati di tanah sendiri.
Lautan bukan ibu, bukan teman, hanya sunyi tak bertepi.
Di malam ketiga, bulan hanya luka putih di langit kelam.
Air yang tersisa sekarat dalam botol, membisik janji yang hampa.
Mai menangis kehausan, tapi tak ada yang tersisa, kecuali desah napas yang berat.
Di hari keenam, badai datang seperti pengadilan langit.
Gelombang setinggi rumah menerjang, perahu terombang-ambing dalam doa yang patah.
Tangan bayi kecil terlepas dari dekapan ibunya.
Suara jeritan berbaur dengan gelegar guntur,
Hingga semuanya tenggelam dalam kepasrahan yang dingin.
Nguyen memeluk Mai, tubuhnya rapuh, jiwanya retak.
"Ayah, kita akan mati?" bisik gadis kecil itu.
Nguyen tak menjawab. Ia hanya merapatkan pelukan.
Seakan jika ia cukup kuat, lautan akan berbelas kasih.
-000-
Hari kesepuluh, kapal itu bukan lagi kapal.
Hanya serpihan kayu yang pasrah diombang-ambing cakrawala.
Linh terlalu lemah untuk bangun, hanya senyumnya yang masih tersisa.
Di kejauhan, sebuah kapal besar melintas.
Nguyen melambai, berteriak, tapi suara tak lebih dari angin.
Kapal itu terus bergerak, tanpa henti, tanpa menoleh.
Seperti semua kapal yang mereka lihat sebelumnya.
Mai menggenggam tangan ayahnya, matanya bertanya yang tak bisa dijawab.
Dan ombak besar datang perlahan, membesar, seperti tangan dingin yang memeluk mereka.
Menghapus jejak, menyimpan nama mereka dalam sunyi.
"Pejamkan mata, Mai… jangan lihat laut yang menelan."
Bayangkan kita di tanah lain, di bawah langit yang ramah.”
“Di sana, bunga liar tak berhenti bergoyang.
Kau tertawa, kau berlari, tanpa takut, tanpa menangis.”
Di suatu pagi, di tempat lain, seorang awak kapal melihat perahu kosong.
Tak ada yang tahu siapa mereka, dari mana mereka datang.
Lautan menyimpan mereka, tanpa nama, tanpa tanda.
Di papan itu menempel sisa harapan, yang ditelan samudra.
Tanah melahirkan kita, laut menghapus kita.
Sejarah mencatat pemenang, tapi lupa menulis nama yang karam.
Apakah nasib hanya milik mereka yang bertahan,
dan bukan mereka yang terhapus dalam sunyi?***
Jakarta, 24 Februari 2025
CATATAN
(1) Puisi esai ini dramatisasi manusia perahu, pengungsi dari Vietnam, yang bertaruh nyawa naik perahu kecil untuk lari dari negaranya.
[vietnameseboatpeople.org](https://www.vietnameseboatpeople.org) | About | Vietnamese Boat People
Ditulis ulang oleh POINT Consultant