Bamsoet Raih Predikat 'Mahasiswa Berprestasi dalam Kancah Politik Nasional dari Program Pascasarjana Universitas Jayabaya
*Bamsoet Raih Predikat 'Mahasiswa Berprestasi dalam Kancah Politik Nasional dari Program Pascasarjana Universitas Jayabaya'*
*JAKARTA* - Anggota Komisi III DPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo raih Predikat 'Mahasiswa Berprestasi dalam Kancah Politik Nasional' dari Program Pascasarjana Universitas Jayabaya bersama mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Mayor Jenderal TNI (Purn.) Prijanto. Penghargaan tersebut disampaikan bertepatan dengan pengumuman kelulusan (yudisium) program Pascasarjana Universitas Jayabaya Jakarta.
Bamsoet mengangkat tesis berjudul 'Revitalisasi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sebagai Bagian Dinamika Struktur Hukum dan Politik Hukum di Indonesia'.
Ketua MPR RI ke-15 dan Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) merupakan salah satu pilar penting dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sebagai lembaga tertinggi negara pada era Orde Baru, MPR memiliki wewenang untuk menetapkan garis-garis besar haluan negara (GBHN) dan mengeluarkan ketetapan-ketetapan yang bersifat mengikat. Namun, pasca reformasi 1998, peran MPR mengalami perubahan signifikan seiring dengan amandemen UUD 1945 yang membatasi kewenangannya. Revitalisasi TAP MPR menjadi penting dalam konteks kekinian, terutama untuk menjawab tantangan kompleks yang dihadapi bangsa Indonesia, seperti dinamika sosial, ekonomi, dan politik yang terus berkembang.
"Revitalisasi TAP MPR merupakan langkah penting dalam memperkuat dinamika struktur hukum dan politik hukum di Indonesia. Dengan reinterpretasi, adaptasi, dan integrasi yang tepat, TAP MPR dapat tetap relevan sebagai panduan normatif dan instrumen dinamis dalam menghadapi tantangan zaman. Proses ini memerlukan komitmen bersama dari semua pihak untuk memastikan bahwa TAP MPR tetap menjadi pilar penting dalam pembangunan hukum dan politik nasional," ujar Bamsoet usai mengikuti Yudisium Program Pascasarjana di Kampus Universitas Jayabaya, Jakarta, Jumat (7/3/25).
Ketua Komisi III DPR RI ke-7 dan Ketua KADIN Indonesia ini menjelaskan, pada masa Orde Baru, MPR merupakan lembaga tertinggi negara dengan kewenangan luas, termasuk menetapkan GBHN melalui TAP MPR. TAP MPR saat itu berfungsi sebagai pedoman utama bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional. Namun, setelah reformasi 1998, terjadi perubahan signifikan dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Amendemen UUD 1945 yang dilakukan antara tahun 1999-2002 mengubah posisi MPR dari lembaga tertinggi menjadi lembaga tinggi negara yang setara dengan lembaga negara lainnya. Kewenangan MPR untuk menetapkan GBHN dihapuskan, dan TAP MPR yang dikeluarkan hanya bersifat penetapan (beschikking).
"Perubahan status MPR berdampak pada posisi TAP MPR dalam hierarki perundang-undangan Indonesia. Sebelum reformasi, TAP MPR memiliki kekuatan hukum yang tinggi, berada di bawah UUD 1945 dan di atas undang-undang. Setelah reformasi, posisi TAP MPR dalam hierarki perundang-undangan mengalami penyesuaian. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menempatkan TAP MPR di bawah UUD 1945 dan di atas undang-undang serta peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Namun, MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk menerbitkan TAP MPR baru yang bersifat mengatur (regeling), sehingga TAP MPR yang ada saat ini adalah produk legislasi masa lalu yang masih diakui keberlakuannya." Kata Bamsoet.
Wakil Ketua Umum/Kepala Badan Bela Negara FKPPI dan Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini memaparkan, revitalisasi TAP MPR sebagai bagian dari dinamika struktur hukum dan politik hukum di Indonesia mencerminkan upaya untuk menyeimbangkan antara kebutuhan akan panduan pembangunan jangka panjang dan prinsip-prinsip demokrasi serta pemisahan kekuasaan. Di satu sisi, adanya panduan seperti GBHN dapat memastikan kesinambungan dan konsistensi kebijakan pembangunan nasional. Di sisi lain, perlu diperhatikan agar tidak terjadi sentralisasi kekuasaan yang dapat mengancam demokrasi.
Proses revitalisasi ini memerlukan pendekatan yang hati-hati dan partisipatif, melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk memastikan bahwa perubahan yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan tetap menjaga prinsip-prinsip demokrasi. Selain itu, perlu dipastikan bahwa TAP MPR yang direvitalisasi memiliki mekanisme implementasi yang jelas dan efektif, sehingga tidak hanya menjadi dokumen normatif tanpa daya guna.
"TAP MPR masih memiliki potensi untuk berperan dalam sistem hukum Indonesia, terutama dalam mengisi celah-celah normatif yang tidak diatur oleh konstitusi maupun
undang-undang. Namun, untuk menjaga relevansi TAP MPR, diperlukan penguatan peran legislatif dan kehati-hatian dalam penetapannya agar tidak tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah," pungkas Bamsoet. (*)
Berikut dokumentasi kegiatan tersebut :
Ditulis ulang oleh POINT Consultant