BERHARAP PRABOWO MENJADI BAPAK PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA
- Meningkatkan Indeks Tata Kelola Pemerintahan (GGI) dari 53,17 ke 70.00
Oleh LSI Denny JA
BERHARAP PRABOWO MENJADI BAPAK PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA
- Meningkatkan Indeks Tata Kelola Pemerintahan (GGI) dari 53,17 ke 70.00
Oleh LSI Denny JA
Jika dalam lima tahun ini (2025-2029) Prabowo berhasil menjadi Bapak Pemberantas Korupsi Indonesia, juga berhasil menaikkan Indeks Tata Kelola Pemerintahan (GGI) dari 53,17 ke 70,00, Prabowo akan berhasil membawa Indonesia menjadi negara maju.
Masalahnya, Indeks Tata Kelola Pemerintahan Indonesia masih rendah (53,17) dibandingkan dengan Korea Selatan (79,44), Jepang (84,11), dan Singapura (87,23).
Demikian salah satu kesimpulan riset LSI Denny JA, Maret 2025. Dalam riset kali ini, LSI Denny JA mengembangkan indeks tata kelola pemerintahan dengan mendayagunakan enam indeks dunia yang kredibel.
Negara yang gagal dalam tata kelola pemerintahan akan gagal membangun negara yang kuat. Negara yang gagal memberantas korupsi juga akan gagal mencapai apa pun secara maksimal.
Tak peduli seberapa besar sumber daya yang dimiliki, jika pemerintahan lemah, maka kebocoran anggaran, lambannya birokrasi, dan korupsi sistemik akan menghancurkan fondasi negara.
Indonesia kini berada di persimpangan sejarah.
Di satu sisi, ambisi pertumbuhan ekonomi 8% per tahun menjadi cita-cita besar.
Namun, di sisi lain, masalah yang mengakar dalam sistem tetap menjadi penghambat: korupsi, birokrasi yang tidak efisien, serta lemahnya tata kelola pemerintahan.
-000-
LSI Denny JA Mengembangkan Indeks Tata Kelola Pemerintahan: Good Governance Index (GGI)
Tata kelola pemerintahan adalah fondasi kemajuan sebuah bangsa. Untuk mengukurnya, Good Governance Index (GGI) menilai enam pilar utama, masing-masing dipantau oleh lembaga internasional yang telah lama mengkaji kualitas pemerintahan dunia.
1. Efektivitas Pemerintahan (25%)
Diukur oleh World Bank melalui Government Effectiveness Index (GEI) sejak 1996, mencakup 214 negara. Menilai efisiensi birokrasi, regulasi, serta kualitas layanan publik.
2. Pemberantasan Korupsi (20%)
Diukur oleh Transparency International melalui Corruption Perceptions Index (CPI) sejak 1995, meliputi 180 negara. Korupsi melemahkan negara dari dalam; indeks ini mencerminkan seberapa bersih pemerintahan dari praktik suap dan penyalahgunaan kekuasaan.
3. Digitalisasi Pemerintahan (15%)
Diukur oleh UN DESA melalui E-Government Development Index (EGDI) sejak 2003, mencakup 193 negara. Digitalisasi mempercepat layanan publik dan menutup celah korupsi.
4. Demokrasi (15%)
Diukur oleh Economist Intelligence Unit melalui Democracy Index (DI) sejak 2006, mencakup 167 negara. Menilai transparansi politik, kebebasan sipil, dan partisipasi rakyat.
5. Pembangunan Manusia (15%)
Diukur oleh UNDP melalui Human Development Index (HDI) sejak 1990, meliputi 191 negara. Negara maju tidak diukur dari PDB-nya saja, tetapi dari kualitas pendidikan, kesehatan, dan harapan hidup rakyatnya.
6. Keberlanjutan Lingkungan (10%)
Diukur oleh Yale University melalui Environmental Performance Index (EPI) sejak 2006, mencakup 180 negara. Pembangunan tanpa keberlanjutan hanyalah perampokan masa depan.
-000-
Jika GGI Indonesia bisa naik dari 53,17 ke 70, maka pemerintahan akan lebih bersih, rakyat lebih sejahtera, dan sejarah akan mencatatnya sebagai era reformasi sejati.
Good Governance Index (GGI) Indonesia saat ini hanya di angka 53,17.
Jika dibandingkan, Singapura sudah di 87,23, Jepang di 84,11, dan Korea Selatan di 79,44.
Untuk bisa masuk ke jajaran negara dengan tata kelola yang baik, Indonesia harus mampu menaikkan GGI ke angka 70.
Apa yang menghambat Indonesia?
Ada enam pilar utama dalam indeks tata kelola pemerintahan yang harus diperbaiki:
1. Korupsi: Luka yang Tak Kunjung Sembuh
Korupsi bukan sekadar kejahatan finansial, tetapi penyakit kronis yang merusak moral birokrasi dan perekonomian.
Saat ini, Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia hanya 34, tertinggal dari Singapura (83), Jepang (73), dan Korea Selatan (63).
Dari kasus mafia migas di Pertamina, suap dalam proyek infrastruktur, hingga skandal impor, korupsi telah merugikan negara triliunan rupiah setiap tahun.
Negara-negara yang berhasil keluar dari jerat ini Singapura, Denmark, Finlandia telah membuktikan bahwa pemberantasan korupsi adalah fondasi utama tata kelola pemerintahan yang baik.
Jika masalah ini tidak ditangani dengan serius, Indonesia akan terus kehilangan kepercayaan investor, pertumbuhan ekonomi akan tersendat, dan kesejahteraan rakyat akan tergadaikan.
2. Efektivitas Pemerintahan: Antara Kebijakan dan Realita
Efektivitas pemerintahan Indonesia saat ini hanya 0,58, jauh tertinggal dari Singapura (2,32), Jepang (1,63), dan Korea Selatan (1,4).
Banyak kebijakan pemerintah yang disusun dengan baik di atas kertas, tetapi gagal diimplementasikan karena birokrasi yang tidak efisien, regulasi yang berbelit, serta minimnya akuntabilitas.
Negara-negara seperti Singapura dan Korea Selatan telah berhasil membangun sistem birokrasi yang cepat, transparan, dan berbasis teknologi. Indonesia masih berkutat dengan prosedur yang lambat dan korupsi dalam pelayanan publik.
Tanpa reformasi dalam efektivitas birokrasi, pembangunan akan selalu tertinggal dari rencana. Rakyat yang seharusnya mendapatkan manfaat akan terus terjebak dalam sistem yang berbelit-belit.
3. Demokrasi: Pilar Transparansi dan Akuntabilitas
Meskipun demokrasi di Indonesia telah berkembang sejak era Reformasi, masih ada tantangan besar yang harus dihadapi.
Indeks Demokrasi Indonesia saat ini berada di angka 6,53, lebih rendah dibanding Korea Selatan (8,4) dan Jepang (8,09).
Sistem demokrasi yang sehat seharusnya menciptakan kontrol atas kekuasaan, keseimbangan antara eksekutif dan legislatif, serta kebebasan pers dan civil society yang kuat.
Namun, tantangan yang masih dihadapi adalah:
• Politik uang yang masih mengakar dalam pemilihan umum.
• Minimnya transparansi dalam pengambilan kebijakan.
• Politik tanpa oposisi yang berimbang.
Jika demokrasi hanya sekadar prosedural tanpa transparansi dan akuntabilitas, maka kekuasaan akan terus berputar di tangan oligarki, tanpa memberikan dampak nyata bagi rakyat.
4. Pembangunan Manusia: Mensejahterakan Rakyat
Negara yang kuat tidak hanya dinilai dari pertumbuhan ekonominya, tetapi juga dari seberapa baik ia membangun kualitas hidup warganya.
Indeks Pembangunan Manusia (HDI) Indonesia saat ini hanya 0,713, tertinggal jauh dari Singapura (0,949), Korea Selatan (0,929), dan Jepang (0,920).
Ketimpangan dalam akses pendidikan dan layanan kesehatan masih menjadi masalah serius.
• Anggaran pendidikan masih belum mampu mengejar kualitas negara-negara Asia yang maju.
• Jaminan kesehatan belum merata untuk semua warga.
• Disparitas ekonomi antara kota dan desa masih sangat besar.
Negara-negara seperti Korea Selatan telah membuktikan bahwa investasi besar dalam pendidikan dan kesehatan akan menciptakan generasi yang lebih produktif dan kompetitif di tingkat global.
Jika pembangunan manusia tidak menjadi prioritas, pertumbuhan ekonomi hanya akan dinikmati oleh segelintir elit, sementara mayoritas rakyat tetap tertinggal.
5. Keberlanjutan Lingkungan: Masa Depan yang Terancam
Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa.
Namun ironisnya, keberlanjutan lingkungan sering kali dikorbankan demi kepentingan ekonomi jangka pendek.
Indeks Lingkungan Indonesia (EPI) hanya 28,2, jauh tertinggal dari Jepang (59,6) dan Singapura (50,9).
Hutan terus ditebang tanpa kendali, polusi udara semakin meningkat, dan transisi energi hijau masih tertinggal dari negara lain.
Negara-negara maju telah memahami bahwa keberlanjutan lingkungan adalah kunci untuk memastikan generasi mendatang tetap memiliki sumber daya alam yang cukup.
Tanpa kebijakan yang ketat dalam perlindungan lingkungan, Indonesia akan menghadapi krisis ekologis yang sulit dipulihkan.
6. Digitalisasi Pemerintahan: Menuju Era Transparansi dan Efisiensi
Di era modern, pemerintahan yang transparan dan efisien tidak bisa dilepaskan dari digitalisasi.
Namun saat ini, Indeks Digitalisasi Pemerintahan Indonesia (EGDI) masih di angka 0,7991, tertinggal dari Singapura (0,9691), Korea Selatan (0,9679), dan Jepang (0,9351).
Negara-negara yang telah maju dalam digitalisasi pemerintahan berhasil mengurangi korupsi, mempercepat layanan publik, dan meningkatkan efisiensi birokrasi.
Jika Indonesia tidak segera berinvestasi dalam transformasi digital, maka ketertinggalan dalam pelayanan publik dan tata kelola pemerintahan akan semakin lebar.
-000-
Jika semua tantangan di atas tidak segera diselesaikan, Indonesia akan terus tertinggal dalam tata kelola pemerintahan.
Good Governance Index (GGI) harus naik dari 53,17 ke 70 dalam lima tahun.
Itu bukan hanya angka, tetapi ukuran dari kualitas pemerintahan yang benar-benar bersih dan efektif.
Apakah Prabowo Akan Menjadi Pemimpin yang Membawa Reformasi Nyata?
Prabowo telah berulang kali bersumpah, akan mengejar koruptor hingga Antartika, membangun penjara di pulau terpencil, dikelilingi laut dengan ikan hiu.
Kini ditunggu langkah nyatanya.
Misalnya :
1. Merevisi undang-undang agar hukuman koruptor lebih berat: minimal 20 tahun penjara tanpa remisi hingga penjara seumur hidup.
2. Menyita seluruh aset hasil korupsi, mengembalikannya kepada rakyat, melalui disahkannya UU Perampasan Aset.
3. Membangun sistem digitalisasi penuh dalam birokrasi, menutup celah suap dan permainan proyek.
4. Memulai dengan kasus korupsi yang kini sedang nampak di depan mata: Pertamina. Berantas mafia minyak hingga ke akarnya, termasuk politik oligarki yang selama ini ikut menerima keuntungan dan melindungi mereka.
Korupsi bukan sekadar kejahatan finansial, ia mencuri masa depan bangsa.
Jika Prabowo ingin dikenang sebagai presiden yang membawa Indonesia melompat ke negara maju, maka Prabowo disyaratkan juga menjadi Bapak Pemberantas Korupsi Indonesia.***
Jakarta, 17 Maret 2025
Detil angak riset di atas bisa dilihat di link :
https://drive.google.com/file/d/1nO6jMtUY1ju5uON1gIBcQyTjODMwc_7a/view?usp=drive_link
Ditulis ulang oleh POINT Consultant