Kekosongan Teori Sosiologi Agama di Era AI (3)
AGAMA BERTAHAN BUKAN KARENA KEBENARAN FAKTA SEJARAHNYA
Denny JA
David Friedrich Strauss pernah menulis buku yang mengguncang dunia teologi. Dalam The Life of Jesus, Critically Examined (1846),
ia mengurai bahwa banyak bagian dalam Injil bukanlah catatan sejarah. Itu mitos yang berkembang di tengah komunitas beriman.
Publik bergejolak. Gereja mengecamnya. Gagasan David Strauss tak mati, bahkan diperkuat oleh banyak riset sejarah setelahnya.
Ironisnya, setelah lebih dari satu abad berlalu, keyakinan kepada Yesus tetap teguh. Jutaan orang masih berdoa kepadanya, memujanya, dan menganggapnya Juru Selamat.
Padahal, penelitian sejarah tak kunjung menemukan bukti bahwa Yesus lahir di Betlehem, bahwa Ia melakukan mukjizat, atau bahwa Ia bangkit dari kematian.
Jika agama hanya bertahan karena kebenaran faktual, seharusnya kepercayaan ini sudah runtuh. Tetapi ia tetap hidup. Mengapa?
Agama bertahan bukan karena ia benar secara historis, tetapi karena ia memberi makna bagi manusia. Inilah prinsip kedua yang saya kembangkan dalam Teori Agama dan Spiritualitas di Era AI.
Jika prinsip pertama melihat korelasi agama dengan kualitas ruang publik, seperti korupsi pemerintahan, prinsip kedua melihat hubungan agama dengan kebenaran faktual/historis.
-000-
Di sebuah malam yang tenang, seorang ilmuwan dan seorang imam duduk berdiskusi.
“Apa yang kau cari?” tanya imam.
“Kebenaran,” jawab ilmuwan.
“Kebenaran itu seperti apa?”
“Yang bisa dibuktikan.”
Sang imam tersenyum. “Lalu bagaimana dengan kebenaran yang tak butuh bukti, tetapi tetap hidup lebih lama dari segalanya?”
Di abad ke-20, Thomas Kuhn menulis The Structure of Scientific Revolutions, sebuah buku yang mengubah cara pandang kita tentang ilmu pengetahuan.
Ia menunjukkan bahwa bahkan dalam sains, kebenaran tidak bersifat mutlak. Sains berkembang dalam paradigma. Sebuah teori diterima bukan karena ia mutlak benar, tetapi karena komunitas ilmiah sepakat untuk menerimanya.
Kita sering berpikir bahwa sains adalah wilayah absolut. Di sana kebenaran ditemukan dengan objektivitas mutlak. Tetapi kenyataannya, sejarah sains penuh dengan revolusi. Melalui waktu, satu “kebenaran” digantikan oleh yang lain.
Ptolemeus berkata bumi adalah pusat alam semesta. Itu menjadi “kebenaran” selama lebih dari seribu tahun. Ini terjadi bukan karena ia terbukti secara ilmiah, tetapi karena ia diterima oleh komunitas manusia.
Lalu datang Copernicus, Galileo, Newton, Einstein. Paradigma berubah. Pusat dari tata surya kita ternyata matahari, bukan bumi.
Selama berabad-abad, hukum gravitasi Newton dianggap sebagai kebenaran mutlak. Newton menggambarkan gravitasi sebagai gaya tarik antar benda bermassa, yang menjelaskan pergerakan planet dan jatuhnya apel ke tanah.
Namun, pada awal abad ke-20, Einstein memperkenalkan Teori Relativitas Umum, yang mengubah paradigma. Gravitasi bukan lagi gaya, melainkan akibat kelengkungan ruang-waktu oleh massa.
Teori ini terbukti dengan pengamatan gerhana matahari tahun 1919, ketika cahaya bintang melengkung akibat gravitasi matahari.
Ilmu pengetahuan berkembang, bukan karena Newton salah, tetapi karena Einstein memberikan pemahaman yang lebih dalam. Paradigma berganti, tetapi pencarian kebenaran terus berlanjut.
Jika dalam sains saja kebenaran tidak mutlak, bagaimana dengan agama? Agama tidak bertumpu pada metode ilmiah. Ia bertumpu pada komunitas, pada tradisi, pada makna yang ia berikan kepada manusia.
Sebuah narasi agama bisa berlawanan dengan sejarah, tetapi tetap bertahan. Karena bagi manusia, yang lebih penting bukanlah “apa yang terjadi,” tetapi “apa yang berarti.”
-000-
Di dunia ini, ada banyak kisah yang hidup dalam ingatan manusia, meski bertentangan dengan sejarah.
Di dalam Kristen, anak Ibrahim yang hampir dikorbankan adalah Ishak.
Di dalam Islam, anak itu adalah Ismail.
Dua versi, dua keyakinan, dua komunitas besar. Keduanya tak bisa benar secara bersamaan dalam ranah sejarah. Pasti ada yang salah dalam klaim itu. Jika bukan Ishak, maka Ismail yang salah.
Tetapi perbedaan itu tidak membuat salah satu keyakinan ini pudar. Fakta sejarah yang salah ternyata bisa tetap bertahan diyakini oleh lebih dari satu miliar manusia, dan lebih dari seribu tahun. Mengapa?
Karena yang dipertahankan bukanlah peristiwa historis, melainkan makna yang diambil dari kisah itu.
Dalam Kristen, kisah itu menegaskan perjanjian antara Tuhan dan bangsa Israel melalui keturunan Ishak.
Dalam Islam, kisah itu menegaskan ketaatan Ibrahim dan Ismail, serta hubungan spiritual antara Ibrahim dan bangsa Arab.
Kisah itu bertahan bukan karena ia benar, tetapi karena ia membentuk identitas. Seperti mata air yang terus mengalir, kisah-kisah agama menemukan jalannya sendiri untuk tetap hidup dalam jiwa manusia.
-000-
Kebenaran bukanlah sesuatu yang sendirian. Ia harus dijaga oleh tembok yang kokoh. Agama tidak hidup dalam ruang kosong. Ia dipelihara oleh institusi:
Gereja dalam Kristen.
Masjid dalam Islam.
Wihara dalam Buddhisme.
Sinagoga dalam Yudaisme.
Di tempat-tempat itu, kisah-kisah suci bukan hanya diceritakan, tetapi diulang, dinyatakan kembali dalam ritus yang terus berjalan. Sejarah bisa pudar, tetapi ritus tetap hidup.
Di dalam gereja, kisah Yesus yang disalib tidak hanya dinyatakan dalam kitab suci, tetapi juga dalam seni, dalam musik, dalam doa, dalam perayaan.
Di dalam masjid, kisah Yesus yang diselamatkan—tidak mangkat disalib—bukan hanya sebuah ajaran, tetapi bagian dari pemahaman bahwa Tuhan selalu melindungi utusan-Nya.
Bagaimana mungkin dua fakta yang bertentangan itu, mangkat disalib versus tidak mangkat disalib, keduanya bisa diyakini oleh penganut dua agama terbesar di dunia? Salah satu dari fakta di atas pasti ada yang salah.
Sekali lagi kita menyaksikan. Bahkan ketika bukti sejarah berkata lain, iman tidak runtuh. Karena agama bukan soal bukti, tetapi soal rasa memiliki, soal keterikatan kepada sesuatu yang lebih besar daripada diri sendiri.
-000-
Ada tiga gagasan baru yang membedakan prinsip yang saya kembangkan ini dari teori sebelumnya.
Pertama: Arkeologi dan Sejarah Tak Lagi Jadi Hakim Tunggal Bertahannya Agama.
Dalam teori klasik, ada anggapan bahwa semakin banyak bukti sejarah yang mendukung suatu ajaran, semakin kuat agama itu. Tetapi dalam realitasnya, agama tetap bertahan meskipun banyak kisahnya tidak dapat diverifikasi.
Para arkeolog mencari jejak Musa dan eksodus Israel, tetapi tak menemukannya. Namun, kisah itu tetap suci bagi jutaan orang.
Para sejarawan meragukan kronologi kelahiran Yesus di Betlehem, tetapi Natal tetap dirayakan setiap tahun di seluruh dunia.
Kedua: Psikologi Kolektif Lebih Menentukan daripada Verifikasi Ilmiah.
Teori sosiologi klasik memandang agama sebagai produk institusi. Tetapi Prinsip Kedua yang saya bangun menegaskan bahwa kekuatan agama ada pada psikologi kolektif yang menopangnya.
Manusia tidak percaya hanya karena bukti, tetapi bisa juga karena kebersamaan dalam keyakinan.
Ketika Galileo membuktikan bahwa bumi mengitari matahari, gereja menolak bukan karena kurangnya bukti, tetapi karena keyakinan lama lebih mengakar.
Demikian pula, umat Kristen percaya Yesus bangkit bukan karena mereka pernah melihatnya, tetapi karena kebangkitan itu menjadi inti dari komunitas iman mereka.
Dalam Islam, Mi’raj Nabi Muhammad tak bisa diverifikasi, tetapi tetap diyakini karena kisah itu menghubungkan umat dengan dimensi spiritual yang lebih tinggi.
Gagasan baru dari teori ini adalah bahwa agama bertahan karena ia menjadi identitas kolektif, bukan karena ia lolos uji ilmiah.
Ketiga: Narasi yang Dihidupkan Lebih Kuat daripada Sejarah yang Tersimpan
Teori lama menilai agama dari teks dan institusi. Tetapi teori ini melihat agama sebagai narasi yang terus dihidupkan oleh komunitasnya.
Zeus dan Athena dulu adalah dewa-dewa besar. Kini, mereka hanya mitologi. Mengapa? Bukan hanya karena mereka salah, tetapi karena tak ada lagi komunitas yang menghidupkan kisah mereka.
Sebaliknya, Yesus, Muhammad, dan Buddha tetap hidup karena kisah mereka terus diceritakan dalam doa, ritual, dan budaya.
Sejarah hanya menyimpan peristiwa, tetapi agama menghidupkan makna. Inilah yang membedakan teori ini dari pemikiran sebelumnya: agama bertahan karena ia aktif dalam budaya, bukan karena ia akurat dalam sejarah.
Ditambah lagi, ada unsur elastisitas dalam paham agama. Kalimat yang sama dalam kitab suci bisa dipahami secara tekstual, tetapi bisa pula dipahami secara metaforis belaka, dalam rangka moral teaching.
Kisah Nabi Musa, misalnya. Bagi yang meyakini secara tekstual, Nabi Musa dianggap tokoh historis, terjadi seperti apa adanya dalam sejarah, sesuai dengan teks kitab suci.
Namun, bagi yang meyakini riset arkeologis bahwa tak ada eksodus Musa dalam sejarah, hal itu tak serta-merta membuatnya tak meyakini kisah Nabi Musa. Ia bisa memahami kisah Nabi Musa sebagai kisah metaforis belaka yang tetap penting dalam rangka moral teaching.
-000-
Di laboratorium yang sunyi, seorang ilmuwan menatap layar penuh angka. Di sudut ruangan, segumpal materi diuji, zat-zat direaksikan, hukum-hukum ditegakkan.
“Tuhan?” gumamnya. “Ia tak ada dalam persamaan. Tak terdeteksi oleh teleskop. Tak hadir dalam eksperimen.”
Seorang positivis menambahkan, “Hanya yang terukur yang layak dipercaya. Hanya yang bisa diverifikasi yang nyata.”
Di dunia yang lain, seorang ibu menangis di samping ranjang anaknya yang sekarat.
“Tuhan,” bisiknya, “Tunjukkan kuasa-Mu, jangan biarkan anakku pergi.”
Di penjara yang dingin, seorang lelaki yang telah kehilangan segalanya merapalkan doa dalam gelap. Ia tak meminta bukti, hanya sebuah pengharapan.
Jika Tuhan harus terukur untuk dipercayai, maka cinta pun harus dipecah menjadi angka.
Jika yang bisa dirasakan hanya yang teruji secara ilmiah, maka mengapa manusia tetap menangis saat merasakan kedalaman batiniah?
Sains memberi terang dalam gelap. Tetapi agama memberi kehangatan dalam kegelapan.
Sains menjelaskan bagaimana dunia bekerja. Tetapi agama bertanya, mengapa kita ada?
Sains bisa menciptakan AI, tetapi tak bisa mengajarinya tentang rindu.
Sains bisa membaca pola cuaca, tetapi tak bisa menenangkan hati yang gelisah.
Sains bisa memetakan semesta, tetapi tak bisa menjawab, untuk apa kita ada?
Di dunia yang semakin rasional, bagi yang meyakini, Tuhan tetap berbisik dalam sunyi.
Bukan sebagai rumus, bukan sebagai dogma, tetapi sebagai makna yang selalu dibutuhkan.
-000-
Pertanyaannya adalah: apakah agama masih dan akan terus memberi makna bagi manusia?
Selama ia bisa menjawab pertanyaan terdalam manusia,
Selama ia memberi harapan di tengah ketidakpastian,
Selama ia menjaga keterikatan spiritual, agama akan terus ada bagi yang membutuhkannya.
Ini menjadi prinsip kedua dari tujuh prinsip yang saya kembangkan untuk membentuk Teori Agama dan Spiritualitas di Era AI, bahwa agama bertahan bukan karena kebenaran fakta sejarah yang dituturkannya.
Jakarta, 5 Maret 2025
CATATAN
(1) Ada unsur elastisitas dalam pemahaman agama yang membuat agama lebih panjang bertahan.
https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10859326/
Ditulis ulang oleh POINT Consultant