SEJARAH SURAT CINTA BAGI YANG TELAH TIADA
Oleh Denny JA
Banyak yang tak benar-benar siap ditinggal oleh yang dicintainya. Sejarah penuh dengan jejak surat cinta kepada yang sudah tiada.
Ketika seseorang yang kita kasihi wafat, bumi seolah lebih sunyi, udara lebih dingin, dan hari-hari kehilangan maknanya.
Kita tetap bangun pagi, makan, dan bicara. Tapi di dalam jiwa, ada kekosongan yang tak bisa dijelaskan. Kehilangan itu nyata—lebih nyata dari luka yang tampak.
Namun sejak ribuan tahun silam, manusia menemukan caranya sendiri untuk melawan kefanaan. Di tengah kehancuran, mereka membangun jembatan yang tak terlihat, jembatan antara dunia ini dan dunia sana.
Dari jembatan itulah lahir yang kita sebut: surat cinta bagi yang telah tiada.
-000-
Lebih dari empat ribu tahun lalu, bangsa Mesir kuno membangun piramida. Bukan hanya sekadar makam para raja, piramida adalah monumen cinta.
Piramida penanda bahwa mereka yang telah pergi tak dilupakan. Di dalamnya terdapat ukiran doa, mantra, dan simbol keabadian. Dalam keheningan gurun, batu-batu itu berbicara: “Kau pergi, tapi namamu abadi.”
Ribuan tahun kemudian, di India, Shah Jahan merasakan pedih kehilangan istrinya, Mumtaz Mahal. Lalu ia membangun Taj Mahal. Ini sebuah puisi marmer tentang cinta dan kematian.
Di sana, cinta bukan lagi pelukan atau kata-kata manis. Tapi dalam ukiran kaligrafi Al-Qur’an di dinding putihnya, dalam simetri taman surgawi, ia menyuratkan pesan: “Kekasihku, istirahatlah dalam damai. Doaku akan menjagamu.”
Piramida dan Taj Mahal adalah surat cinta yang dibangun dengan batu, yang bicara lebih nyaring daripada kata. Tapi tak semua dari kita punya kuasa membangun monumen raksasa.
Maka dalam peradaban kita, terutama di Nusantara, kita membangun surat cinta dari lafaz dan doa: tahlilan.
-000-
Dalam setiap helaan napas “Lā ilāha illallāh”, dalam setiap lantunan surat Yasin dan Al-Fatihah, terkandung rindu yang tak tersampaikan. Tahlilan bukan hanya serangkaian doa dan bacaan. Ia adalah ekspresi paling halus dari kasih yang tak ingin berakhir.
Ia lahir dari kebutuhan manusia yang enggan menerima bahwa kematian memutuskan segalanya. Ia adalah bisikan lirih dari anak yang kehilangan ayah dan ibu.
Ia juga rindu dari istri yang ditinggal suami atau sebaliknya, dari cucu yang tak sempat mencium kening neneknya untuk terakhir kali.
Atau kita kehilangan keluarga kakak beradik, sahabat dan tokoh yang kita hormati dan cintai, murid yang berdedikasi.
Dalam hidup, cinta tumbuh di antara hubungan manusia. Dan kematian tak hendak dijadikan akhir hubungan itu.
Tahlilan bukan semata ritual. Ia upaya manusia yang sedang terluka untuk tetap menyayangi. Sebab dalam Islam, sebagaimana dalam agama-agama lainnya, doa adalah bentuk cinta paling murni: tak terlihat, kadang tak bersuara, tapi sampai.
Namun, lebih dari sekadar menjaga hubungan yang telah ada, surat cinta bagi yang telah tiada juga membentuk kembali diri kita yang masih hidup.
Dalam setiap doa yang dipanjatkan, dalam setiap kenangan yang dihidupkan kembali, kita merajut ulang identitas kita.
Kita belajar untuk mencintai tanpa kehadiran fisik, untuk menghargai momen-momen kecil yang dulu terabaikan, dan untuk menemukan makna baru dalam hidup yang telah berubah.
Proses berkabung itu sendiri menjadi sebuah tarian cinta yang pahit namun indah. Ini sebuah pengakuan bahwa kehilangan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan, dan cinta sejati mampu bertahan melampaui batas duniawi.
-000-
Dalam Islam, Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Jika anak Adam wafat, maka amalnya terputus kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.”
— HR. Muslim No. 1631
Doa kita kepada yang telah tiada bukan hanya tanda cinta, tapi juga hadiah.
Hadiah yang membebaskan, menerangi, dan menemani.
Al-Qur’an pun mengabadikan tradisi ini:
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka berkata: ‘Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami…’”
— QS. Al-Hasyr: 10
Kita bukan hanya diminta mengingat. Kita diizinkan untuk terus berhubungan.
Tradisi doa bagi yang wafat tak hanya milik Islam. Dalam Yahudi, doa Kaddish didaraskan bagi almarhum.
Dalam Kristen Katolik, misa arwah digelar. Dalam Hindu, upacara Shraddha dilakukan demi ketenangan leluhur. Dalam Buddha, sutra dilantunkan untuk membantu jiwa dalam perjalanan.
Manusia lintas zaman dan agama menolak untuk melupakan. Mereka memilih untuk mengingat, mendoakan, dan mengasihi bahkan setelah kepergian.
Ini adalah bukti bahwa cinta spiritual adalah bahasa universal. Ia tak membutuhkan bahasa yang sama. Ia cukup dengan niat yang jernih.
-000-
Suatu hari, kita pun akan pergi. Dan yang tertinggal dari kita bukan hanya nama di batu nisan, tapi kenangan, kebaikan, dan doa dari mereka yang mencinta.
Maka jadilah kita surat cinta bagi masa depan—bagi mereka yang akan mengingat dan mendoakan kita kelak.
Tahlilan hari ini, mungkin untuk ayah. Mungkin untuk ibu, suami, istri, kekasih, keluarga, sahabat, tokoh, murid. Tapi suatu hari nanti, tahlilan itu akan dibacakan untuk kita.
Dan semoga, saat itu tiba, suara mereka yang kita cintai masih menggetarkan langit.
Tak ada yang bisa menghapus kehilangan. Tapi kita bisa mengubah kehilangan menjadi cinta yang tak putus.
Tahlilan, piramida, Taj Mahal, misa arwah, mantra suci—semuanya adalah bentuk puisi manusia untuk menolak lupa.
Untuk terus mencintai.
Karena kematian bukan akhir,
tetapi awal dari cinta yang lebih sunyi,
lebih dalam, dan lebih kekal.
“"Doa adalah surat cinta yang kita kirimkan kepada mereka yang telah tiada, berharap angin malam menyampaikannya dengan lembut ke alam keabadian."***
Jakarta, 23 Maret 2025
(Untuk kakanda Firdaus Ali, wafat 22 Maret 2025)
-000-
*Aneka esai Denny JA dapat dibaca di FaceBook Denny JA’s World
https://www.facebook.com/share/14wFEZFKoK/?mibextid=wwXIfr
Ditulis ulang oleh POINT Consultant