Mimpi Buruk Dunia Digital :
Sebagai makhluk dengan kebutuhan yang tidak terbatas, manusia senantiasa berusaha mengatur segala aspek di sekelilingnya agar sesuai dengan kebutuhannya. Manusia kemudian mulai merekayasa lingkungan di sekitarnya untuk menjaga keberlangsungan hidupnya.[1] Dalam perjalanannya, manusia menciptakan sebuah teknologi yang menghasilkan berbagai produk untuk memudahkan dan menyempurnakan segala pekerjaan manusia.[2] Semakin rumit kondisi alam yang dihadapi manusia, maka semakin berkembang pula teknologi yang ada.[3] Melalui teknologi, segala permasalahan dan keterbatasan yang ada pada manusia secara berangsur-angsur dapat teratasi.[4] Meskipun pada hakikatnya dunia tidak akan bisa sempurna sesuai dengan keinginan manusia, tetapi dengan adanya teknologi setidaknya dunia memiliki proyeksi yang hampir sama dengan apa yang diharapkan oleh manusia. [5]
Pada era digital, teknologi telah berkembang secara signifikan dan hampir menghiasi segala dimensi kehidupan masyarakat dunia.[6] Perkembangan teknologi telah menghasilkan berbagai produk, baik berupa hal sederhana maupun sesuatu yang kompleks, di mana salah satunya yaitu Artificial Intelligence (AI).[7] Beberapa ahli memiliki definisi yang berbeda-beda terkait pengertian dari AI. John Haugeland mendefinisikan AI sebagai cara unik untuk membuat komputer berpikir atau dengan pengertian lain yaitu mesin yang memiliki kemampuan kognitif.[8] Adapun James L. Noyes menjelaskan bahwa AI adalah bidang dalam ilmu komputer yang membahas cara-cara agar sebuah komputer dapat diprogram untuk menjalankan fungsi kognitif yang umumnya dimiliki oleh manusia.[9] Sedangkan Schuster menyatakan jika AI merupakan suatu disiplin ilmu yang berkaitan dengan perancangan dan pemrograman pada suatu mesin yang dengan kecerdasannya mampu menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh manusia.[10]
Secara garis besar AI merupakan sebuah sistem pada bidang teknologi komputer yang diciptakan untuk meniru pola perilaku hingga kecerdasan otak manusia dalam melakukan sebuah keterampilan atau memecahkan permasalahan.[11] Keunikan tersebut menjadikan AI mampu bernalar dan memecahkan masalah secara cepat dan akurat.[12] Beberapa ahli dalam bidang futurologi juga menambahkan bahwa AI merupakan sebuah spesies baru yang disebut sebagai “Machina sapiens” dan dianggap sebagai “Makhluk” berakal sama halnya dengan manusia. Namun, pendapat tersebut telah disangkal oleh beberapa pihak dengan tanggapan bahwa AI hanyalah sebuah mesin logika yang memiliki kreativitas terbatas dan tidak akan mampu menyaingi kecerdasan manusia.[13]
Eksistensi AI bermula dari gagasan milik Warren McCulloch dan Walter Pitts mengenai Artificial Neurons pada tahun 1943. Hasil penemuan tersebut berupa model sederhana untuk mengontrol neuron dalam jaringan.[14] Model tersebut kemudian diletakkan pada sistem komputer dua orang mahasiswa bernama Marvin Minsky dan Dean Edmos di tahun 1950 dan disebut dengan neural network computer. Jenis komputer tersebut merupakan komputer pertama di dunia yang memiliki kinerja berdasarkan otak manusia.[15] Di tahun itu pula perkembangan AI semakin mencapai titik terangnya setelah Alan Turing berhasil melakukan uji coba kecerdasan komputer yang dikenal dengan sebutan Turing test.[16]
Pada kehidupan manusia modern, AI telah menjadi bagian integral dari kehidupan umat manusia. Saat ini, AI sudah mencapai titik dimana ia sudah memiliki fungsi yang jauh lebih unggul dibandingkan alat-alat yang lain.[17] Tidak jarang pula, AI mampu mengungguli kemampuan manusia dalam menjawab sebuah pertanyaan maupun permasalahan. Fenomena AI yang sudah berhasil menggeser eksistensi manusia menunjukkan bahwa tidak menutup kemungkinan semakin bertambahnya waktu, AI akan memiliki kemampuan otonom untuk menciptakan atau melakukan suatu tindakan tanpa adanya campur tangan manusia dan berdasarkan pada kehendaknya sendiri.[18] Akibatnya, muncul kekhawatiran baru bila mana nantinya tindakan yang “dilakukan” oleh AI justru mengarah pada perbuatan melawan hukum. Pada kenyataannya kekhawatiran tersebut tidak semestinya dikesampingkan mengingat sudah ada beberapa contoh kasus dari tindak kejahatan yang “dilakukan” entitas AI. Pada tahun 1981, Seorang pria berusia 37 tahun yang bernama Kenji Urada ditemukan tewas setelah terjebak di antara lengan sebuah robot yang kemudian mendorongnya ke arah mesin pemotong di sebuah pabrik industri berat Kawasaki.[19] Kemudian di tahun 2015, sebuah AI yang diberi nama Random Darknet Shopper (RDS) harus “ditahan” karena membeli sejumlah obat-obatan terlarang berjenis ekstasi.[20] Selanjutnya di tahun 2018, sebuah robot medis dianggap terlibat dalam kematian seorang pria bernama Stephen Pettitt dalam suatu tindakan operasi.[21] Di negara Amerika serikat sendiri, terdapat sejumlah robot yang dianggap bertanggung jawab atas kematian 41 pekerja dalam rentang tahun 1992 hingga 2017.[22]
Berangkat dari beberapa contoh kasus sebelumnya, maka timbullah berbagai pertanyaan. Benarkah jika sebuah produk dari teknologi seperti AI dapat melakukan pelanggaran hukum? Apabila terjadi tindak kejahatan yang “dilakukan” oleh entitas AI maka siapa yang berhak dimintai pertanggungjawaban atas kejahatan maupun pelanggaran tersebut? Kemana pertanggungjawaban diserahkan? Apakah kepada pencipta, pengguna, atau justru entitas AI tersebut sendiri? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini, nyatanya belum terjawab apabila dikaitkan pada hukum di Indonesia mengingat belum adanya regulasi yang membahas dan mengatur secara detail mengenai eksistensi dari AI. Kurangnya pembahasan mengenai penggunaan AI dalam regulasi negara Indonesia menimbulkan kekhawatiran pada masyarakat akan meningkatnya potensi pelanggaran hukum dan tindak kejahatan oleh entitas tersebut. Oleh karena itu, diperlukan adanya analisis lebih lanjut mengenai penjabaran AI menurut undang-undang di Indonesia, konsep pertanggungjawaban pidana AI, perlindungan hukum AI, dan komparasi antara hukum di Indonesia dengan hukum di belahan dunia lain dalam membahas dan mengatur mengenai eksistensi dari AI.
Secara umum, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta atau yang disingkat sebagai UUHC mengkategorikan AI sebagai suatu program komputer dan didefinisikan sebagai suatu arahan atau perintah yang dinyatakan melalui suatu kode, bahasa, skema hingga berbagai bentuk yang lain guna menjadikan sebuah perangkat elektronik mampu melakukan fungsi khusus atau mencapai hasil yang spesifik.[23] Sedangkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE, hanya menjelaskan AI sebagai “Agen Elektronik” yaitu suatu piranti pada Sistem Digital yang didesain untuk dapat mengeksekusi sebuah tindakan kepada informasi elektronik tertentu secara otomatis dan dikelola oleh individu yang bersangkutan.[24] Sebagaimana substansi yang tertera pada UU ITE, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, juga mengkategorikan AI sebagai “Agen Elektronik”.[25] Berdasarkan pada ketiga aturan tersebut maka dapat dipahami bahwa hingga saat ini, kebijakan dan aturan yang berlaku di negara Indonesia masih belum membahas secara khusus dan mengatur dengan tegas mengenai eksistensi dari AI.[26] Baik Undang-Undang Hak Cipta dan Undang-Undang Informasi dan Teknologi masih mengkategorikan AI sebagai objek teknologi umum, sedangkan Peraturan Pemerintah terkait Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik hanya membahas tentang sistem dan transaksi digital yang berhubungan dengan Agen Elektronik.[27]
Meskipun pada dasarnya, UU ITE dapat diimplementasikan pada suatu tindakan melawan hukum yang berkaitan dengan teknologi AI. Namun, substansi tersebut hanya terbatas pada pembahasan tentang tindakan oleh subjek hukum yang dengan kesadaran penuh mengakibatkan terjadinya kekacauan pada suatu sistem elektronik.[28] Hal ini mengindikasikan adanya kekosongan pada regulasi di Indonesia dikarenakan belum adanya undang-undang yang secara eksplisit mengatur tentang tindak kejahatan yang “dilakukan” oleh AI dan pertanggungjawaban pidananya. Istilah “dilakukan” di sini merujuk pada situasi dimana entitas AI terlibat dalam tindakan merugikan karena ketidakmampuannya memahami perintah manusia, adanya kesalahan pada sistem, atau akibat kerusakan internal pada kecerdasan buatan tersebut.[29]
Kekosongan hukum sendiri merujuk pada suatu fenomena di mana tidak adanya peraturan hukum yang mengatur kondisi atau situasi tertentu dalam masyarakat.[30] Jika dikaitkan dengan hukum positif, kekosongan hukum diartikan sebagai ketiadaan peraturan perundang-undangan yang membahas mengenai suatu kondisi yang terjadi dalam masyarakat.[31] Ketiadaan hukum dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum dan kurangnya perlindungan hukum bagi masyarakat. Oleh karena itu, kekosongan hukum terkait entitas AI seharusnya segera diatasi mengingat bahwa saat ini, AI seolah-olah sudah “hidup” berdampingan dengan umat manusia dan terlibat dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Berdasarkan pada sejumlah data yang dilansir oleh International Data Corporation atau IDC Asia-Pacific Enterprise Cognitive/AI Survey pada tahun 2018 dinyatakan bahwa Indonesia memiliki tingkat penggunaan teknologi AI tertinggi di Asia Tenggara dengan angka mencapai 24,6%, yang kemudian dilanjut dengan negara Thailand dengan angka 17,1%, Singapura dengan jumlah 9,9%, dan Malaysia pada angka 8,1%.[32]
Sejatinya kekhawatiran akan AI dan kekosongan hukum yang ada bukanlah hal yang tidak berdasar, beberapa ahli telah mengemukakan bahwa kehadiran AI dapat menjadi ancaman terbesar bagi umat manusia. Adapun Stephen Hawking dan Steve Wozniak menyebutkan bahwa kemajuan teknologi dan perkembangan AI merupakan hal yang sangat mengerikan dan dapat menjadi akhir dari kehidupan umat manusia.[33] Elon Musk juga menanggapi pernyataan tersebut dengan pendapat serupa. Ia menyatakan jika AI dapat menjadi ancaman terbesar bagi eksistensi manusia, oleh karena itu sangat diperlukan adanya regulasi pada tingkat nasional maupun internasional yang dapat mengakomodir kehadiran AI.[34]
Pada era di mana AI semakin berkembang dengan pesat, muncul isu kritis seputar kedudukan hukum dan pertanggungjawaban hukum oleh entitas non-manusia seperti AI. Dalam membahas kompleksitas regulasi terkait AI, penting untuk menjelajahi bagaimana kehadiran teknologi ini memunculkan skenario baru terutama dalam ranah hukum pidana. Status dari AI yang masih belum tertulis secara eksplisit pada ruang lingkup hukum pidana Indonesia berpotensi menghadirkan konsekuensi serius bilamana terjadi tindak kejahatan yang melibatkan AI. Ketidakjelasan pada kedudukan yang dimiliki oleh AI akan menyebabkan sulitnya identifikasi terhadap pihak yang bertanggung jawab atas tindakan yang “dilakukan” oleh AI. Dalam sudut pandang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pihak-pihak yang mendapatkan kedudukan dalam hukum sebagai subjek hukum dan dikenai unsur pertanggungjawaban pidana hanyalah manusia dan korporasi.[35] Hanya saja, pandangan yang menyatakan bahwa AI perlu dikategorikan sebagai subjek hukum tidak dapat dikesampingkan mengingat kemajuan teknologi yang ada telah menghasilkan beberapa produk AI yang memiliki potensi untuk melakukan suatu tindakan berdasarkan otoritasnya sendiri tanpa adanya perkiraan, rencana, hingga arahan dari individu terkait.[36] Namun, mengingat bahwa AI merupakan sebuah entitas yang tidak memiliki kehendak dan kesadaran hukum sebagaimana manusia, maka model subjek hukum yang sebaiknya diimplementasikan pada AI adalah subjek hukum parsial. Subjek hukum parsial merupakan sebuah model pemberian hak dan kewajiban pada sebuah entitas dengan limit tertentu dan tanpa disertai dengan konsep pertanggungjawaban pidana.[37] Jika subjek hukum tersebut melakukan suatu tindakan yang dianggap bertentangan dengan hukum, maka tanggung jawab yang ada akan dialihkan kepada subjek hukum yang dianggap sebagai wali atau perwakilannya. Pada model subjek hukum parsial, doktrin yang digunakan adalah “in loco parentis” dengan artian bahwa AI dianalogikan sebagai anak, sedangkan pengembang atau penggunanya sebagai subjek hukum berkuasa atas subjek hukum parsial tersebut.[38] Doktrin “in loco parentis” juga sudah digunakan oleh pemerintah India sebagai dasar ditetapkannya Sungai Gangga sebagai subjek hukum di India.[39]
Berangkat dari ide AI sebagai subjek hukum parsial, maka dapat diambil beberapa gagasan mengenai mekanisme pertanggungjawaban pidana oleh AI. Gagasan pertama, yaitu konsep pertanggungjawaban pidana yang didasarkan pada doktrin “in loco parentis”. Apabila sebuah entitas AI melakukan pelanggaran hukum maka pihak yang akan dikenai tanggung jawab adalah pencipta atau penggunanya.[40] Pada konsep tersebut, AI dianggap sebagai instrumen sedangkan pihak yang menciptakan atau memanfaatkan AI tersebutlah yang menjadi pelaku sebenarnya. Adapun pendekatan pertanggungjawaban pidana yang dapat digunakan dalam konsep ini adalah pertanggungjawaban mutlak dimana seseorang berkewajiban secara hukum atas suatu tindakan pidana tanpa memperhitungkan keadaan tertentu.[41] Konsep tersebut sangat sempurna apabila dikaitkan dengan kasus kematian Elaine Herzberg yang diakibatkan oleh kesalahan deteksi pada sistem self-driving sebuah mobil uji coba milik Uber, hal ini dikarenakan terdapat kelalaian oleh safety driver yaitu Rafaela Vasquez dalam menjalankan tugasnya sebagai pengawas kendaraan tersebut.[42]
Gagasan yang kedua adalah konsep pertanggungjawaban pidana oleh AI yang dilimpahkan kepada seluruh pihak yang bersangkutan, baik pemilik, pengembang, hingga perancang dari entitas AI.[43] Konsep tersebut dapat timbul apabila seluruh pihak yang terkait memahami resiko yang muncul dari penggunaan AI. Konsep tersebut dapat digunakan pada kasus kematian dari Kenji Urada yang disebabkan oleh kerusakan pada sistem AI sehingga robot yang bersangkutan tidak beroperasi sebagaimana mestinya.[44] Adapun gagasan yang terakhir mengenai konsep pertanggungjawaban pidana oleh AI adalah pertanggungjawaban yang secara penuh diberikan kepada entitas AI yang bersangkutan karena kemampuan dari AI tersebut untuk melakukan suatu tindak pidana berdasarkan otoritasnya sendiri.[45] Pada konsep tersebut, pertanggungjawaban pidana yang dijatuhkan pada AI dapat berupa penonaktifan subjek atau mesin, pemrograman ulang, atau dengan “hukuman” yang paling berat berupa penghancuran terhadap subjek AI.[46] Berkaitan dengan konsep tersebut, negara yang sudah mengadopsi model “hukuman” entitas AI adalah negara Swiss pada sebuah kasus yang “dilakukan” oleh AI bernama Random Darknet Shopper (RDS) dimana perangkat tersebut membeli sejumlah barang terlarang berjenis pil ekstasi dari sebuah situs jual-beli dark web tanpa adanya arahan dari pencipta maupun penggunanya.[47] Dalam kasus ini, pihak berwenang negara Swiss tidak melimpahkan tanggung jawab pidana kepada pemilik dari entitas AI dan hanya menyita perangkat dimana RDS bernaung.[48]
Ketiga gagasan mengenai model pertanggungjawaban pidana oleh entitas AI tersebut sejatinya dapat diterima dan dituangkan ke dalam regulasi yang ada. Dapat dikatakan demikian karena perjalanan dari kasus-kasus tindak pidana yang terkait dengan AI terkadang dapat terjadi karena kelalaian dari pihak dibaliknya, ketidakmampuan AI dalam menerima dan mengimplementasikan suatu algoritma, hingga terjadi karena kemampuan otonom yang dimiliki oleh entitas AI sendiri. Tentunya, penentuan model penerapan pertanggungjawaban pidana oleh entitas AI dilakukan dengan mempertimbangkan pada bentuk kejahatan yang “dilakukan”, unsur kesalahan, unsur kesengajaan, dan ada atau tidaknya pihak yang berkaitan dengan tindakan yang “dilakukan” oleh AI yang bersangkutan.
Berdasarkan pada pernyataan-pernyataan yang telah dipaparkan, guna mengusung penegakan hukum yang dapat mengakomodir perkembangan masyarakat serta penggunaan teknologi berbasis kecerdasan buatan, diperlukan adanya regulasi yang dapat menanggulangi tindak kejahatan, kerugian, hingga kerusakan yang mungkin timbul dari pemakaian, penyalahgunaan, kesalahan sistem, hingga kelalaian yang berhubungan dengan produk-produk berbasis AI. Jika dikaitkan dengan ranah hukum pidana maka pemerintah yang berwenang semestinya mengisi rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang telah ditetapkan sebagai KUHP Nasional dengan regulasi-regulasi yang lebih responsif terhadap kemajuan teknologi terutama mengenai entitas AI. Dengan adanya regulasi yang secara konkret dan eksplisit mengakomodasi kehadiran entitas AI, segala potensi tindak pelanggaran hukum oleh AI yang dapat memberikan kerugian dan ancaman terhadap umat manusia dapat diantisipasi dan ditanggulangi. Perumusan regulasi yang membahas secara spesifik mengenai AI terutama terkait pengembangan, penggunaan, kelayakan, pertanggungjawaban pidana, serta sanksi yang berlaku merupakan tonggak penting dalam membentuk tata hukum yang efektif dan responsif dalam menghadapi perkembangan dan dinamika masyarakat di era digital.
Kehadiran entitas AI sebagai teknologi yang dirancang untuk memiliki kemampuan berpikir selayaknya otak manusia menjadikan AI diibaratkan sebagai pisau bermata dua. Di satu sisi, eksistensi dari AI dapat membantu umat manusia dalam melakukan tugasnya. Sedangkan di sisi lain, keberadaan AI dalam kehidupan masyarakat justru dapat menimbulkan ancaman salah satunya terkait dengan potensi tindak kejahatan yang “dilakukan” oleh AI. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, sebagai entitas yang mengadopsi karakteristik dari kecerdasan manusia, AI tidak akan luput dari potensi untuk melakukan sebuah tindakan pelanggaran hukum, baik yang disebabkan karena kemampuan otonomnya sendiri maupun karena adanya permasalahan pada sistem yang ada. Kekosongan hukum mengenai kedudukan AI secara eksplisit dan konsep pertanggungjawaban pidananya dapat memperburuk situasi yang ada karena ketiadaan regulasi mengenai konsep tersebut dapat memperumit pengambilan keputusan apabila sebuah AI “melakukan” tindak kejahatan.
Oleh karena itu, pembentukan regulasi yang membahas dan mengatur secara khusus tentang AI, ide mengenai AI sebagai subjek hukum parsial, hingga gagasan pertanggungjawaban pidana oleh AI merupakan sejumlah hal yang perlu dipertimbangkan guna melindungi serta mencapai kepastian hukum bagi masyarakat. Meskipun pengembangan dan penggunaan teknologi AI di Indonesia tidak se masif negara-negara yang lain, pemerintah tidak semestinya mengesampingkan perancangan mengenai regulasi dari entitas AI. Pemerintah dan pihak yang berwenang mestinya berkaca pada negara-negara seperti Rusia hingga Uni Eropa yang sudah merancang regulasi khusus terkait eksistensi dari AI sehingga kepentingan masyarakat negaranya dapat terlindungi.
DAFTAR PUSTAKA
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Tentang Hak Cipta. UU Nomor 28 Tahun 2014. LN Tahun 2014 No. 266 TLN No. 5599.
Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU Nomor 1 Tahun 2023, LN Tahun 2023 No. 1 TLN No. 6842.
Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008. UU Nomor 19 Tahun 2016. LN Tahun 2016 No. 251, TLN No. 5952.
Peraturan Pemerintah Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, PP Nomor 71 Tahun 2019, LN Tahun 2010 No. 123 TLN No. 5165
BUKU
Halevy, Gabriel. When Robots Kill: Artificial Intelligence Under Criminal Law. Boston: Northeastern University Press, 2013.
Harryarsana, I Gusti Kade Budhi. Artificial intelligence: Konsep, Potensi Masalah, Hingga Pertanggungjawaban Pidana. Depok: Rajawali Press, 2022.
Haugeland, John. Artificial Intelligence: The Very Idea. Massachusetts: MIT Press, 1989.
Helbing, Dirk. Next Civilization: Digital Democracy and Socio-Ecological Finance – How to Avoid Dystopia and Upgrade Society by Digital Means. Germany: Springer International Publishing, 2021.
Helbing, Dirk. Towards Digital Enlightenment: Essays on the Dark and Light Sides of the Digital Revolution. Germany: Springer International Publishing, 2018.
Noyes, James L. Artificial Intelligence with Common Lisp: Fundamentals of Symbolic and Numeric Processing. Lexington: D.C Heath and Company, 1992.
Salim, Ardiansyah. Birokrasi 4.0: Penerapan Artificial intelligence. Depok: Rajawali Press, 2021.
JURNAL
Amboro, F.L. Yudhi Priyo dan Khusuf Komarhana. “Prospek Kecerdasan Buatan Sebagai Subjek Hukum Perdata di Indonesia.” Law Review. Vol. 21. No. 2 (2021). Hlm. 145-172.
Cathrin, Shely. “Teknologi dan Masa Depan Otonomi Manusia: Sebuah Kajian Filsafat Manusia.” Jurnal Foundasia. Vol. 10, No. 1 (2019). Hlm. 35-50.
Disemadi, Hari Sutra. “Urgensi Regulasi Khusus dan Pemanfaatan Artificial Intelligence dalam Mewujudkan Perlindungan Data Pribadi di Indonesia.” Jurnal Wawasan Yuridika. Vol. 5. No. 2 (2021). Hlm. 177-199.
Djati, Daniel Mulia. Et al. “Penafsiran Asas Kepastian Hukum dan Kekosongan Hukum dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Nomor 11 tentang Cipta Kerja.” Jurnal IKAMAKUM. Vol. 1. No. 1 (2021). Hlm. 587-600.
Farwati, Maryani. Et al. “Analisa Pengaruh Teknologi Artificial intelligence (AI) dalam Kehidupan Sehari-hari.” Jurnal Sistem Informasi & Manajemen. Vol. 11. No. 1 (2023). Hlm. 39-45.
Fatmawati dan Raihana. “Analisis Yuridis Terhadap Artificial Intelligence pada Tindak Pidana Penyebaran Malware di Indonesia.” INNOVATIVE: Journal Of Social Science Research. Vol. 3. No.2 (2023). Hlm. 12190-12201.
Hallevy, Gabriel. “The Criminal Liability of Artificial Intelligence Entities – from Science Fiction to Legal Social Control.” Akron Intellectual Property Journal. Vol. 4. No. 2 (2010). Hlm. 171-201.
Lagioia, Francesca dan Giovanni Sartor. “AI Systems Under Criminal Law: a Legal Analysis and a Regulatory Perspective.” Philosophy and Technology. Vol. 33. No. 3 (2020). Hlm. 433-465.
Layne, Larry A. “Robot-related fatalities at work in the United States, 1992-2017.” American journal of industrial medicine. Vol. 66. No. 6 (2023). Hlm. 454-461.
Priowirjanto, Enni Soerjati. “Urgensi Pengaturan Mengenai Artificial Intelligence pada Sektor Bisnis Daring dalam Masa Pandemi COVID-19 di Indonesia.” Jurnal Bina Mulia Hukum. Vol. 6. No. 2 (2022). Hlm. 254-272.
Putranti, Deslaely dan Kurnia Dewi Anggraeny. “Tanggung Jawab Hukum Inventor atas Invensi Kecerdasan Buatan (Artificial intelligence) Di Indonesia.” Jurnal Hukum & Pembangunan. Vol. 52, No. 3 (2022). Hlm. 781-792.
Rachmadie, Donovan Typhano dan Supanto. “Regulasi Penyimpangan Artificial Intelligence pada Tindak Pidana Malware Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016.” Recidive. Vol. 9. No. 2 (2020). Hlm. 128-136.
Russell, Stuart dan Peter Norvig. “A Modern, Agent-Oriented Approach to Introductory Artificial Intelligence.” SIGART Bulletin. Vol. 6. No. 2 (1995). Hlm. 24-26.
Widiartana, Gregorius dan Vincentius Patria Setyawan. “Prospects of Artificial Intelligence Criminal Liability Regulations in Indonesian Criminal Law.” Jurnal Kewarganegaraan. Vol. 7. No. 1 (2023). Hlm. 325-331.
MAKALAH
Noor, Elina dan Mark Bryan Manantan. “Raising Standards: Data and Artificial Intelligence in Southeast Asia” makalah disajikan oleh Asia Society Australia dan The Australian National University College of Asia and the Pacific, Crawford School of Public Policy, 2022.
INTERNET
CNN Indonesia. “Kecelakaan Mobil Otonom Uber: ‘Software’ Tak Mengenali Objek.” CNN Indonesia.com, 8 November 2019. Tersedia pada https://www.cnnindonesia.com/otomotif/20191108084518-579-446566/kecelakaan- mobil-otonom-uber-software-tak-mengenali-objek. Diakses pada tanggal 17 November 2023.
Schneier, Bruce dan Davi Ottenheimer. “Robots Are Already Killing People.” The Atlantic.com. 6 September 2023. Tersedia pada https://www.theatlantic.com/technology/archive/2023/09/robot-safety-standards- regulation-human-fatalities/675231/. Diakses pada tanggal 17 November 2023.
Whymant, Robert. “From the archive, 9 December 1981: Robot kills factory worker.” The Guardian.com. 9 Desember 2014. Tersedia pada https://www.theguardian.com/theguardian/2014/dec/09/robot-kills-factory-worker. Diakses pada tanggal 17 November 2023.
Yusuf, Oik. “Beli Narkoba Online, “Robot” Ditangkap Polisi.” Kompas.com. 27 April 2015. Tersedia pada https://tekno.kompas.com/read/2015/04/27/09530907/Beli.Narkoba.Online.Robot.Ditangkap.Polisi. Diakses pada tanggal 17 November 2023.
[1] Shely Cathrin, “Teknologi dan Masa Depan Otonomi Manusia: Sebuah Kajian Filsafat Manusia,” Jurnal Foundasia, Vol. 10, No. 1 (2019), hlm. 37-38.
[2] Donovan Typhano Rachmadie dan Supanto, “Regulasi Penyimpangan Artificial Intelligence pada Tindak Pidana Malware Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016,” Recidive, Vol. 9, No. 2 (2020), hlm. 128-129
[3] Gabriel Halevy, When Robots Kill: Artificial Intelligence Under Criminal Law, (Boston: Northeastern University Press, 2013), hlm. 1.
[4] Enni Soerjati Priowirjanto, “Urgensi Pengaturan Mengenai Artificial Intelligence pada Sektor Bisnis Daring dalam Masa Pandemi COVID-19 di Indonesia,” Jurnal Bina Mulia Hukum, Vol. 6, No. 2 (2022), hlm. 255.
[5] Ibid.
[6] Hari Sutra Disemadi, ” Urgensi Regulasi Khusus dan Pemanfaatan Artificial Intelligence dalam Mewujudkan Perlindungan Data Pribadi di Indonesia,” Jurnal Wawasan Yuridika, Vol. 5, No. 2 (2021), hlm. 178.
[7] F.L. Yudhi Priyo Amboro dan Khusuf Komarhana, “Prospek Kecerdasan Buatan Sebagai Subjek Hukum Perdata di Indonesia,” Law Review, Vol. 21, No. 2 (2021), hlm. 146.
[8] John Haugeland, Artificial Intelligence: The Very Idea, (Massachusetts: MIT Press, 1989), hlm. 2
[9] James L. Noyes, Artificial Intelligence with Common Lisp: Fundamentals of Symbolic and Numeric Processing,(Lexington: D.C Heath and Company, 1992), hlm. 2.
[10] Stuart Russell dan Peter Norvig, “A Modern, Agent-Oriented Approach to Introductory Artificial Intelligence,” SIGART Bulletin, Vol. 6, No. 2 (1995), hlm. 26.
[11] Maryani Farwati, et al., “Analisa Pengaruh Teknologi Artificial intelligence (AI) dalam Kehidupan Sehari-hari,” Jurnal Sistem Informasi & Manajemen, Vol. 11, No. 1 (2023), hlm. 40.
[12] Fatmawati dan Raihana, “Analisis Yuridis Terhadap Artificial Intelligence pada Tindak Pidana Penyebaran Malware di Indonesia,” INNOVATIVE: Journal Of Social Science Research, Vol. 3, No.2 (2023), hlm. 12192.
[13] Gabriel Hallevy, “The Criminal Liability of Artificial Intelligence Entities – from Science Fiction to Legal Social Control,” Akron Intellectual Property Journal, Vol. 4, No. 2 (2010), hlm. 175.
[14] I Gusti Kade Budhi Harryarsana, Artificial intelligence: Konsep, Potensi Masalah, Hingga Pertanggungjawaban Pidana, (Depok: Rajawali Press, 2022), hlm. 2-4.
[15] I Gusti Kade Budhi Harryarsana, Artificial intelligence: Konsep, Potensi Masalah, Hingga Pertanggungjawaban Pidana, (Depok: Rajawali Press, 2022), hlm. 2-4.
[16] Ardiansyah Salim, Birokrasi 4.0: Penerapan Artificial intelligence, (Depok: Rajawali Press, 2021), hlm. 12.
[17] Gabriel Hallevy, “The Criminal Liability of Artificial Intelligence Entities – from Science Fiction to Legal Social Control,” Akron Intellectual Property Journal, Vol. 4, No. 2 (2010), hlm. 172.
[18] Deslaely Putranti dan Kurnia Dewi Anggraeny, “Tanggung Jawab Hukum Inventor atas Invensi Kecerdasan Buatan (Artificial intelligence) Di Indonesia,” Jurnal Hukum & Pembangunan, Vol. 52, No. 3 (2022), hlm. 784.
[19] Robert Whymant, “From the archive, 9 December 1981: Robot kills factory worker,” The Guardian.com, 9 Desember 2014, tersedia pada https://www.theguardian.com/theguardian/2014/dec/09/robot-kills-factory-worker, diakses pada tanggal 17 November 2023.
[20] Oik Yusuf, “Beli Narkoba Online, “Robot” Ditangkap Polisi,” Kompas.com, 27 April 2015, tersedia pada https://tekno.kompas.com/read/2015/04/27/09530907/Beli.Narkoba.Online.Robot.Ditangkap.Polisi, diakses pada tanggal 17 November 2023.
[21] Bruce Schneier dan Davi Ottenheimer, “Robots Are Already Killing People,” The Atlantic.com, 6 September 2023, tersedia pada https://www.theatlantic.com/technology/archive/2023/09/robot-safety-standards-regulation-human-fatalities/675231/, diakses pada tanggal 17 November 2023.
[22] Larry A. Layne, “Robot-related fatalities at work in the United States, 1992-2017,” American journal of industrial medicine, Vol. 66, No. 6 (2023), hlm. 454-461.
[23] Undang-Undang Tentang Hak Cipta, UU Nomor 28 Tahun 2014, LN Tahun 2014 No. 266, TLN No. 5599, selanjutnya disebut UUHC, Pasal 1 ayat (9).
[24] Undang-Undang Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 11 Tahun 2008, LN Tahun 2008 No. 58, TLN No. 4843, sebagaimana diubah oleh UU Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, LN Tahun 2016 No. 251, TLN No. 5952, selanjutnya disebut UU ITE, Pasal 1 ayat (8).
[25] Peraturan Pemerintah Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, PP Nomor 71 Tahun 2019, LN Tahun 2010 No. 123 TLN No. 5165, Pasal 1 ayat (3)
[26] Gregorius Widiartana dan Vincentius Patria Setyawan, “Prospects of Artificial Intelligence Criminal Liability Regulations in Indonesian Criminal Law,” Jurnal Kewarganegaraan, Vol. 7, No. 1 (2023), hlm. 327-328.
[27] Enni Soerjati Priowirjanto, “Urgensi Pengaturan Mengenai Artificial Intelligence pada Sektor Bisnis Daring dalam Masa Pandemi COVID-19 di Indonesia,” Jurnal Bina Mulia Hukum, Vol. 6, No. 2 (2022), hlm. 260.
[28] Undang-Undang Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 11 Tahun 2008, LN Tahun 2008 No. 58, TLN No. 4843, sebagaimana diubah oleh UU Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, LN Tahun 2016 No. 251, TLN No. 5952, selanjutnya disebut UU ITE, Pasal 33.
[29] I Gusti Kade Budhi Harryarsana, Artificial intelligence: Konsep, Potensi Masalah, Hingga Pertanggungjawaban Pidana, (Depok: Rajawali Press, 2022), hlm. 105-106.
[30] Daniel Mulia Djati, et al., “Penafsiran Asas Kepastian Hukum dan Kekosongan Hukum dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Nomor 11 tentang Cipta Kerja,” Jurnal IKAMAKUM, Vol. 1, No. 1 (2021), hlm. 591.
[31] Ibid.
[32] Elina Noor dan Mark Bryan Manantan, “Raising Standards: Data and Artificial Intelligence in Southeast Asia,” makalah disajikan oleh Asia Society Australia dan The Australian National University College of Asia and the Pacific, Crawford School of Public Policy, 2022, hlm. 89.
[33] Dirk Helbing, Next Civilization: Digital Democracy and Socio-Ecological Finance – How to Avoid Dystopia and Upgrade Society by Digital Means. (Germany: Springer International Publishing, 2021), hlm. 90-92.
[34] Dirk Helbing, Towards Digital Enlightenment: Essays on the Dark and Light Sides of the Digital Revolution, (Germany: Springer International Publishing, 2018), hlm. 51.
[35] Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU Nomor 1 Tahun 2023, LN Tahun 2023 No. 1 TLN No. 6842
[36] Francesca Lagioia dan Giovanni Sartor, “AI Systems Under Criminal Law: a Legal Analysis and a Regulatory Perspective,” Philosophy and Technology, Vol. 33, No. 3 (2020), hlm. 434.
[37] F.L. Yudhi Priyo Amboro dan Khusuf Komarhana, “Prospek Kecerdasan Buatan Sebagai Subjek Hukum Perdata di Indonesia,” Law Review, Vol. 21, No. 2 (2021), hlm. 163-166.
[38] Ibid.
[39] F.L. Yudhi Priyo Amboro dan Khusuf Komarhana, “Prospek Kecerdasan Buatan Sebagai Subjek Hukum Perdata di Indonesia,” Law Review, Vol. 21, No. 2 (2021), hlm. 166.
[40] I Gusti Kade Budhi Harryarsana, Artificial intelligence: Konsep, Potensi Masalah, Hingga Pertanggungjawaban Pidana, (Depok: Rajawali Press, 2022), hlm. 92-93.
[41] Ibid.
[42] CNN Indonesia, “Kecelakaan Mobil Otonom Uber: ‘Software’ Tak Mengenali Objek,”CNN Indonesia.com, 8 November 2019, tersedia pada https://www.cnnindonesia.com/otomotif/20191108084518-579-446566/kecelakaan-mobil-otonom-uber-software-tak-mengenali-objek, diakses pada tanggal 17 November 2023.
[43] Ibid., hlm. 97-98.
[44] Robert Whymant, “From the archive, 9 December 1981: Robot kills factory worker,” The Guardian.com, 9 Desember 2014, tersedia pada https://www.theguardian.com/theguardian/2014/dec/09/robot-kills-factory-worker, diakses pada tanggal 17 November 2023.
[45] I Gusti Kade Budhi Harryarsana, Artificial intelligence: Konsep, Potensi Masalah, Hingga Pertanggungjawaban Pidana, (Depok: Rajawali Press, 2022), hlm. 93.
[46] Vita Mahardhika, Pudji Astuti dan Aminuddin Mustafa, “Could Artificial Intelligence be the Subject of Criminal Law?” Yustisia Jurnal Hukum, Vol. 12, No. 1 (2023), hlm. 10.
[47] Oik Yusuf, “Beli Narkoba Online, “Robot” Ditangkap Polisi,” Kompas.com, 27 April 2015, tersedia pada https://tekno.kompas.com/read/2015/04/27/09530907/Beli.Narkoba.Online.Robot.Ditangkap.Polisi, diakses pada tanggal 17 November 2023.
[48] Ibid.
Diposting ulang oleh POINT Consultant

