Etika Kampanye.
Harusnya para politisi itu tahu diri
bahwa penggunaan kampus sebagai arena kampanye itu ada aturannya. Jadi jangan
seenaknya politisi manggung dengan memanfaatkan akses.
Kampus bukan antipolitik, namun etika
politik harus dijaga agar penghormatan pada institusi kampus selalu
dipertahankan, agar kampus juga makin hormat terhadap politisi.
Variabel penting dalam Pemilu salah
satunya adalah masa kampanye partai politik untuk menjual calon yang dicalonkan
atau menjual nama partai yang diusung. Dalam kasus Pilkada wali kota dan
bupati, kampanye calon cukup menentukan dalam memengaruhi pilihan publik.
Kampanye merupakan proses penyampaian pesan yang bertujuan untuk mengubah
sikap, pendapat dan tingkah laku pemilih. Perubahan ini ingin dicapai melalui
himbauan, ajakan, dan janji sehingga membuat warga atau kelompok masyarakat
tertarik untuk menjatuhkan pilihan politiknya pada partai atau kandidat
tertentu. Atau merujuk pada UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu, kampanye adalah kegiatan peserta
pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi dan program (ayat
1).
Tradisi kampanye di Indonesia, hampir
sama seperti negara-negara lain, selalu diramaikan oleh berbagai kegiatan
misalnya ; pertemuan akbar, arak-arakan kendaraan bermotor (konvoi), dan
belakangan ini mulai ditradisikan juga kampanye melalui media massa, khususnya
media cetak dan elektronik. Undang-undang No 10 Tahun 2008 dan PP No 14 Tahun
2009 telah mengatur mengenai kode etik dalam Pemilu bahkan larangan dalam
berkampanye serta sanksi pelanggarannya. Namun, tidak ada yang bisa menjamin
bahwa kode etik dan larangan dalam undang-undang itu akan dipatuhi. Diperlukan
adanya suatu kesadaran pribadi dari semua calon pemimpin, partai politik dan
masyarakat untuk saling mendukung, agar dapat terselenggaranya kampanye yang
memerhatikan etika sebagai landasan ditaatinya hukum dalam pelaksanaan
kampanye. Singkatnya sangat diperlukan etika dalam kampanye.
Contoh kasus dilapangan :
Dalam pelaksanaan Pilkada (Pilwali) Kota
Malang merupakan suatu keniscayaan bagi partai, para calon walikota dan tim
kampanye untuk selalu memerhatikan dan menaati etika atau aturan kampanye.
1. Adanya
kesadaran para pelaku kampanye partai untuk membedakan apa yang baik dan apa
yang tidak baik, apa yang patut dan apa yang tidak patut disampaikan dalam
kampanye. Diperlukan kesadaran para pelaku kampanye agar melaksanakannya dengan
konsisten dan konsekuen.
2.
Adanya
kesadaran moral para pelaku kampanye, yaitu adanya kemampuan untuk mengatakan
dan melakukan apa yang baik dan patut, sambil menolak untuk mengatakan dan
melakukan apa yang tidak baik dan tidak patut untuk disampaikan dan
diperlihatkan kepada publik. Adanya kesadaran moral ini sangat diperlukan agar
kampanye, terutama isinya benar-benar berbobot dan bisa dipercaya. Walaupun
kampanye berarti usaha memengaruhi konstituen dan massa rakyat untuk memilih,
kiranya kampanye jangan diartikan hanya sekedar suatu kegiatan pembohongan dan
pembodohan publik suara dan dukungan rakyat harus diperoleh dengan jalan yang
sebaik-baiknya.
3. Adanya
kejujuran. Kejujuran adalah prinsip yang melekat pada kampanye karena yang
disampaikan kepada publik adalah hal-hal yang menyangkut hidup-mati dan masa
depan publik itu sendiri. Kalau terjadi pembohongan maka publik akan sangat
dirugikan dan hal itu sangat bertentangan dengan prinsip kejujuran itu sendiri
serta bertentangan dengan tujuan pemilihan umum sebagai sarana menyalurkan
aspirasi publik. Kejujuran merupakan norma dan nilai paling hakiki dalam
berkampanye sebab ia mempertaruhkan kepercayaan masyarakat terhadap partai
politik dan pemerintah. Untuk kepentingan jangka panjang, kiranya kejujuran
tidak bisa ditawar-tawar lagi dan itu adalah sebuah harga mati yang harus
dijaga.
4. Adanya
sopan santun (etiket). Sopan-santun (etiket) perlu diperhatikan karena ia
menunjukkan kedewasaan para pelaku kampanye dan karenanya menjadi kriteria yang
menakar bobot dari pemilu itu sendiri. Umpamanya, saling menghormati dan
menghargai diantara partai politik, tidak saling mencurangi, menghujat serta
tidak menjelek-jelekan calon walikota dan partai lain. Menghindari kekerasan
terhadap sesama partai dan dan petugas pengamanan maupun terhadap rakyat
pemilih. Menjauhi penggunaan kata dan slogan yang tidak mendidik masyarakat
baik dalam kampanye oral maupun dalam tulisan atau spanduk/baliho.
5. Adanya
pertanggung jawaban. Semua kesempatan, dana dan tempat yang
diberikan/dipercayakan oleh rakyat melalui pemerintah kepada pelaku kampanye
harus bisa dipertanggung jawabkan. Dalam hal ini tidak boleh ada partai atau
calon kepala daerah yang mencuri start kampanye dan tidak boleh ada yang
mencuri waktu pasca-kampanye untuk masih terus berkampanye disaat tenang. Dana
kampanye harus dapat dipertanggung jawabkan sumber dan penggunaannya. Dana
kampanye bisa rawan korupsi dari pemimpin-pemimpin partai dan bisa juga
digunakan menjadi “money politic” dalam arti negatif yaitu membeli suara. Dana
kampanye seharusnya digunakan hanya untuk membiayai kampanye. Para pelaku
kampanye harus pula menjaga dan memelihara kebersihan tempat dan fasilitas umum
yang dipakai untuk kampanye.
6.
Adanya
kedamaian. Selama pelaksanaan kampanye hendaknya tidak mengganggu jalannya roda
kegiatan masyarakat, tidak terjadi keributan dan kekerasan. Sudah menjadi
tradisi masa kampanye selalu menguasai ruas-ruas jalan sehingga mengganggu
aktifitas masyarakat. Penggunaan jalan dan tempat-tempat umum harus bisa diatur
sedemikian rupa sehingga sungguh-sungguh menjamin hak rakyat pengguna jalan dan
pemukiman disekitar tempat kampanye sehingga tidak terganggu dan terusik. Para
pelaku kampanye tidak boleh memancing kerusuhan dan tidak boleh menggunakan
kekerasan.
7.
Tak
kalah pentingnya yaitu adanya
ketertiban. Para peserta kampanye, khususnya massa pendukung harus bisa
dikendalikan agar tidak menimbulkan keributan dan kekacauan. Pelaksanaan
kampanye dan isi yang disampaikan hendaknya membawa kesejukan dan ketentraman
bagi masyarakat. Fasilitas publik seperti taman, kendaraan, lampu penerangan di
jalan raya dan lain sebagainya sangat rawan dirusak oleh massa peserta
kampanye. Maka ketertiban berkampanye merupakan salah satu nilai harus dijaga
dan dipelihara dengan sebaik-baiknya.
Pendidikan Politik
Etika berkampanye sebagaimana yang telah
diuraikan menjadi prasyarat dilakukannya hukum karena kalau nilai-nilai etika
yang dikemukakan berdasarkan kesadaran moral tersebut, akan melahirkan suatu
ketaatan hukum yang pada gilirannya akan menghasilkan tumbuhnya kepercayaan
masyarakat dan dengan demikian momentum kampanye sungguh-sungguh menjadi pesta
demokrasi dan ajang pendidikan politik.
Jikalau para calon, kepala daerah,
kepala Negara, calon anggota legislatif dan partai-partai politik menyampaikan
visi dan misi serta program-programnya kepada rakyat dengan cara-cara yang
penuh simpatik, niscaya rakyat akan memberikan dukungannya. Kalau sekarang bisa
melakukan kampanye yang simpatik, itu sudah merupakan sebagian besar
keberhasilan dan kemenangan dalam pendidikan politik. Kalau dalam sebuah
kampanye partai politik ia bisa memberikan kesejukan, dan kedamaian kepada
rakyat maka rakyat akan mendukung calon walikota atau calon pemimpin lainnya
serta partai tersebut dan akan memberikan penghargaan dan penghormatan yang
tinggi. Penghargaan dan penghormatan itulah yang menjadi kunci keberhasilan
sejati dari sebuah kampanye.
Etika dan Estetika Kampanye Pemilu.
Jelang perhetalan Pemilu 2019, para
calon legislatif (caleg) berikut tim suksesnya dengan dukungan politik aktivis
partai politik (parpol) secara serampangan mematok daerah kekuasaannya. Hal itu
dilakukan untuk menandai daerah pemilihan (dapil) kekuasaannya. Setelah
menemukan area kekuasaan, mereka kemudian menempatkan dan memasang iklan
politik serta atribut parpol dengan sesuka hatinya.
Atas nama pengukuhan dapil kekuasaannya,
mereka memprivatisasi seluruh ruang publik. Lebih spesifik lagi, mereka
memprivatisasi jalan raya berikut ruas jalan simpangannya yang dianggapnya
strategis. Sependek akal rasionalitasnya, mereka melakukan hal itu untuk
menempatkan penanda visual iklan politik miliknya. Sudah menjadi rahasia umum,
penanda visual iklan politik milik para caleg selalu divisualkan dalam wujud
media iklan luar ruang. Di antaranya: rontek, spanduk, umbul-umbul, poster,
stiker, baliho, billboard, dan bendera parpol.
Kekerasan Simbolik.
Mereka sengaja melakukan kekerasan
simbolik dengan menebarkan iklan politik di ruang publik yang dimitoskannya
memiliki nilai daya ganggu visual. Ruang patembayatan sosial itu kemudian
didaku menjadi milik pribadi sang caleg beserta parpol peserta Pemilu 2019.
Kekerasan simbolik yang sengaja mereka
lakukan di ruang publik sama sekali tidak mengindahkan etika dan estetika
kampanye Pemilu 2019 yang telah disepakati bersama. Padahal inti dari kesepatan
itu sejatinya ingin menempatkan aspek etika dan estetika kampanye pemilu
sebagai bagian integral dari sebuah dekorasi kota yang artistic dan menawan.
Dampak visual atas pelanggaran kesepakatan tersebut, menyebabkan panorama
visual kota kehilangan roh keelokannya.
Tata visual panorama kota menjadi
berantakan. Penampakan visual kota, yang dikepung sampah visual iklan politik
milik caleg yang kebingungan mencari suara, menjadi terlihat kotor dan kumuh.
Berdasarkan realitas sosial atas karut-marut penempatan iklan politik milik
caleg dan atribut parpol yang mengemuka selama ini, seyogianya segera dilakukan
upaya penertiban oleh kedua pihak.
Semuanya itu sebaiknya dilaksanakan
bersama antara pemerintah dan partai politik. Upaya paling simpatik dalam
konteks ini, penertiban itu dilakukan atas kesadaran sendiri dari peserta pesta
demokrasi, yakni: tim sukses dan calon legislative peserta Pemilu 2019 yang
dengan sengaja menebar iklan politik di ruang publik.
Tetapi, manakala tidak segera dilakukan
penertiban atas pemasangan atribut kampanye yang semrawut, menyebabkan suasana
kota akan menjadi sumpek. Karena faktanya, kebanyakan billboard, poster,
baliho, spanduk, umbul-umbul milik caleg dan bendera partai politik sudah
menjadi sampah visual yang membuat tata ruang kota secara visual berantakan
tidak terkendali.
Kalau hal itu dibiarkan bergulir liar,
dikhawatirkan akan menjadi teror visual yang berujung pada bencana sosial di
ruang patembayatan sosial warga masyarakat.
Masalahnya sekarang, bagaimana membangun kesadaran bersama untuk
mengatur penempatan iklan politik milik para caleg. Begitu pula
menumbuhkembangkan kesadaran bersama untuk pemasangan atribut parpol didasarkan
pada aturan perundang-undangan yang ada.
Hal itu wajib dijalankan secara
bersama-sama dan bertanggung jawab demi mewujudkan ekologi visual dan estetika
kota secara bertanggung jawab. Ketika hal itu dapat diwujudkan oleh caleg, tim
sukses dan partai politik, maka penyelenggaraan kampanye pemilu dengan
menempatkan iklan politik para caleg dan memasang atribut parpol, yang dipasang
dengan tertib, indah, dan nyaman dipandang mata, akan menciptakan untaian
dekorasi kota yang artistik. Ujungnya akan tercipta etika dan estetika kampanye
Pemilu yang nyeni, komunikatif serta menawan hati jutaan calon pemilih.
Sampah Visual.
Dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, di sana dijabarkan: semua peserta
pemilu harus memperhatikan estetika dalam menyebarkan bahan kampanye. Kalau
aturan itu dijunjung tinggi, maka estetika kampanye pemilu dengan sangat
artistic dapat diparadekan di seantero negeri ini.
Selain itu, estetika kampanye pemilu
akan terjaga estetikanya secara elegan. Keberadaannya ditopang pasal 298 ayat
(2) dan (3) dari UU Pemilu. Di sana telah diatur tata cara dan tata kelola
pemasangan alat peraga kampanye pemilu. Dalam ayat (2) ditetapkan aturan
sebagai berikut: pemasangan alat peraga kampanye pemilu oleh pelaksana kampanye
pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan
etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota atau kawasan setempat sesuai
dengan peraturan perundangundangan. Sementara itu dalam ayat (3) ditegaskan,
“Pemasangan alat peraga kampanye pemilu
pada tempat yang menjadi milik perseorangan atau badan swasta harus dengan izin
pemilik tempat tersebut”.
Mengacu hasil catatan Komunitas Reresik
Sampah Visual, berdasar tinjauan lapangan di setiap kabupaten dan kota,
menemukan pelanggaran alat peraga kampanye berupa iklan politik caleg, bendera
dan atribut partai politik. Pelanggaran tersebut dilakukan antara lain memasang
alat peraga kampanye berupa iklan politik caleg dan bendera parpol yang
dipasang di ruang publik. Ditebarkan di taman kota, jembatan dan trotoar.
Diikatkan di tiang listrik, tiang telepon, tiang rambu lalu lintas dan tiang
lampu penerangan jalan. Yang paling menyedihkan, iklan politik milik caleg
peserta Pemilu dipakukan di batang pohon yang ada di sepanjang jalan.
Masih berdasarkan catatan dari Komunitas
Reresik Sampah Visual, pelaku pelanggaran perundangundangan pemilu ternyata
berasal dari parpol papan atas. Mereka banyak melakukan pelanggaran pemasangan
alat peraga kampanye pemilu di ruang publik. Ironisnya, pelanggaran tersebut
dilakukan oleh mayoritas parpol besar yang sudah berpengalaman mengikuti pesta
coblosan pemilu periode lima tahun sebelumnya.
Kemerdekaan Visual.
Atas peristiwa pelanggaran UU Pemilu
yang mengakibatkan bermunculannya sampah visual iklan politik, masyarakat pun
secara terbuka mengambil sikap tegas. Mereka lalu berkeluh kesah lewat medsos.
Hal itu dilakukan karena masyarakat merasa terganggu kemerdekaan visualnya di
ruang publik. Mereka juga rajin menulis di media massa perihal gangguan visual
yang disebabkan tebaran sampah visual iklan politik di ruang publik.
Hal itu dilakukan karena mereka mulai
jengah dengan perilaku sang caleg, tim sukses dan parpol yang senang menebar
sampah visual iklan politik di ruang publik. Para caleg yang kebingungan
mencari suara itu dengan sengaja memasang atribut parpol dan iklan politik
miliknya tanpa mengindahkan estetika keindahan kota. Mereka pun rupanya enggan
mengikuti kaidah baku ekologi visual sebuah kota demi melahirkan rasa keindahan
dan kenyamanan lingkungan, serta menjaga ruang hati masyarakat penghuni
perkotaan.
Ujungnya, para caleg, tim sukses dan
elite parpol sengaja memberangus kemerdekaan visual yang menjadi hak sosial
warga sipil di ruang patembayatan sosial. Pemberangusan hak kemerdekaan visual
tersebut mereka lakukan dengan menempatkan “teroris visual” di ruang publik.
Para caleg memberi tugas kepada “teroris visual” untuk memporakporandakan tata
kelola visual sebuah kota. Hal itu dilakukannya dengan cara menebar sampah
visual iklan politik milik sang caleg di ruang publik.
Pada titik inilah, kemerdekaan visual
milik warga sipil menjadi terganggu. Gangguan-gangguan visual seperti itu
senantiasa didengungkan secara masif. Ujungnya, bencana sosial pun menimpa
warga masyarakat tanpa ada yang mau menolongnya.
Etika Kampanye di Media Sosial.
"Para peserta pemilu, para caleg,
dan para pendukung calon tertentu boleh-boleh saja menggunakan media sosial
untuk alat kampanye. Tetapi, ada batasan-batasan tertentu yang harus ditaati,
yaitu aturan dan etika."
MASA kampanye Pemilu 2019 sudah mulai
sejak 22 September 2019. Kampanye akan berlangsung hingga sekitar enam bulan ke
depan, yaitu sampai 13 April 2019. Sesuai dengan pasal 275 UU No 7/2017 tentang
Pemilu, salah satu metode kampanye adalah di media sosial. Harus diakui, saat
ini model kampanye dalam pemilu telah mengalami berbagai perubahan dibandingkan
dengan kampanye pemilupemilu sebelumnya. Pembuat undang- undang sadar bahwa
metode kampanye harus mengikuti perkembangan zaman dan teknologi. Dulu, kita tidak
mengenal metode kampanye di media sosial. Kala itu, kampanye hanya bisa
dilakukan secara manual melalui penyebaran poster, pamflet dan selebaran
lainnya. Kini, berbagai platform media sosial telah digunakan banyak orang.
Penyebaran informasi sudah sangat mudah
melalui berbagai aplikasi yang tersedia. Maka, kini berbagai platform media
sosial itu bisa dipergunakan sebagai salah satu metode kampanye. Penulis
memetakan, setidaknya ada empat jenis konten kampanye bisa tersebar di media
sosial. Pertama, konten kampanye di media sosial yang disebar oleh akun resmi
milik peserta pemilu. Nama akun ini yang didaftarkan ke KPU di masing-masing
tingkatan. Sesuai dengan PKPU kampanye, masingmasing peserta pemilu bisa
membuat maksimal 10 akun media sosial untuk setiap jenis aplikasi. Catatan
pentingnya, konten kampanye bisa tersebar di media sosial melalui postingan,
bukan melalui iklan. Konten kampanye ini bisa tersebar selama masa kampanye.
Akun media sosial kategori ini wajib
ditutup pada hari terakhir masa kampanye. Biasanya, akun media sosial yang
didaftarkan ke KPU ini akan mudah terpantau. Sebab, nama dan pemilik akunnya
bisa dideteksi secara mudah karena sudah didaftarkan ke KPU. Kedua, konten
kampanye di media sosial yang disebar oleh selain akun resmi yang didaftarkan
ke KPU. Konten ini bisa disebar siapa saja, baik masyarakat biasa, pendukung
peserta pemilu, sukarelawan peserta pemilu maupun lain-lain. Media sosial
digunakan untuk meraih dukungan.
Bawaslu RI mengeluarkan kebijakan bahwa
konten kampanye seperti itu diperbolehkan. Namun ada syaratnya, yaitu sepanjang
materi kampanye tidak dilarang oleh Undang-Undang Pemilu (lihat pasal 280
mengenai larangan dalam kampanye). Selain itu, konten kampanye yang disebar
juga tidak menggunakan hoaks, fitnah dan SARA. Selain itu, konten kampanye
tersebar tidak dengan cara iklan. Ketiga, konten kampanye yang tersebar di
media sosial melalui iklan yang dipasang peserta pemilu.
Aturannya, iklan itu dipasang pada 21
hari sebelum hari tenang. KPU juga sudah membuat batasan iklan di media online,
yaitu 1 banner untuk setiap media dalam jaringan setiap hari dan 1 spot
berdurasi paling lama 30 detik untuk di setiap media sosial (lihat: pasal 37
ayat 4 PKPU Kampanye). Keempat, konten kampanye di media sosial yang tersebar
melalui iklan yang difasilitasi KPU. Masa iklan kampanye ini sama dengan yang
poin ketiga, yaitu 21 hari sebelum hari tenang. KPU sudah menerbitkan petunjuk
teknis yang akan digunakan untuk fasilitasi iklan di media sosial, yaitu
Facebook, Instragram atau laman resmi KPU- /KPUD (lihat huruf G Surat Keputusan
KPU No 1096 tentang Petunjuk teknis fasilitasi metode kampanye).
Batasan Waktu.
Dari empat pemetaan tersebut, unsur yang
paling penting perbedaannya adalah konten tersebut tersebar melalui postingan
biasa ataukah melalui pemasangan iklan. Hal ini penting karena iklan kampanye
ada batasan waktu yang sangat ketat, yaitu hanya bisa dilakukan pada 21 hari
sebelum masa tenang. Jika ada peserta pemilu yang memasang iklan kampanye di
luar jadwal maka itu bagian dari pelanggaran. Adapun postingan biasa di media
sosial yang tidak iklan bisa disebar selama masa kampanye. Selama ini media
sosial seperti hutan belantara, orang bisa bebas bereskpresi, bebas
mengungkapkan sikap politiknya, hingga bisa saling menghujat.
Pengguna media sosial bisa saling
memberikan penilaian kepada peserta pemilu tertentu. Jika penilaian itu dari
sisi positif maka tidaklah menjadi masalah. Namun, jika penilaian itu lebih
banyak ke sisi negatifnya maka bisa menyinggung orang atau kelompok lainnya. Di
sinilah antarpendukung peserta pemilu bisa saling hujat. Bahkan, terkadang
sampai keluar kata/kalimat yang tidak pantas.
Sesuai dengan karakteristiknya,
antarpengguna media sosial itu saling terhubung tapi mereka tidak bertemu
secara langsung/fisik. Maka seolah-olah mereka kemudian bisa bebas saling
menghujat dan menyebarkan fitnah. Media sosial yang semula didirikan untuk bisa
saling menjalin pertemanan dan bersilaturahmi malah menjadi medium untuk saling
konflik. Menurut penulis, situasi seperti itu haruslah dihentikan. Dalam
politik, media sosial bukan sebagai alat propaganda untuk menyebarkan fitnah,
ujaran kebencian dan SARA. Sebaiknya, dalam momentum politik, media sosial
harus digunakan untuk menyimak aspirasi yang diinginkan masyarakat; untuk penyebaran
visi, misi dan program; untuk memperat interaksi karena media sosial
menghubungkan yang terpisah; serta media sosial bisa untuk membangun dan
mendidik komunitas. Para peserta pemilu, para caleg, dan para pendukung calon
tertentu boleh-boleh saja menggunakan media sosial untuk alat kampanye.
Tetapi, ada batasan-batasan tertentu
yang harus ditaati, yaitu aturan dan etika. Untuk masyarakat, janganlah mudah
percaya dengan konten yang tersebar di media sosial. Kita harus pandai menerima
informasi secara kritis. Perbanyaklah konten narasi yang positif bukan konten
fitnah dan SARA.
Etika Kampanye Menurut Islam
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik.” (QS. An-Nahl: 125)
Kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) 2019
sudah dimulai sejak 22 September 2018 lalu. Kampanye dapat dilakukan dengan
varian metode seperti tatap muka, pemasangan alat peraga kampanye, dan
lain-lain. Pasal 1 angka 35 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu menjelaskan bahwa
kampanye adalah kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh
peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program
dan/atau citra diri peserta pemilu. Kampanye merupakan bagian penting dalam
percaturan politik.
Melalui kampanye, suatu partai atau
pasangan kontestan dapat memperkenalkan program, visi-misi, dan citra dirinya
serta partainyasekaligus dapat menarik simpati pemilih agar memberikan hak
suara dan dukungan mereka kepada partai atau calon tertentu. Bentuk dan tujuan
kampanye sebenarnya tidak jauh berbeda dengan tugas dakwah, oleh karena itu
pelaksanaan kampanye perlu diatur agar sesuai dengan etika Islam dan tidak
menyimpang dari garis-garis yang ditetapkan syariat Islam.
Dalam Islam, berkampanye harus memerhatikan
beberapa hal:
1.
Ikhlas, yaitu
membebaskan diri dari motivasi yang salah dan rendah. Kampanye dalam Islam
merupakan bagian dari amal saleh dan ibadah, maka dari itu perlu diperhatikan
keikhlasan niat dan ketulusan motivasi setiap hati nurani para penyelenggara,
peserta, terutama juru kampanye. Kampanye yang dilakukan tidak hanya berdampak
pada masalah-masalah keduniaan, tetapi juga mendapat keridhaan dan keberkahan
dari Allah Swt serta pahala kebaikan di akhirat. Allah berfirman, “Padahal mereka
tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (QS. Al-Bayyinah;5).
2.
Ketaatan, yakni komitmen
kepada seluruh aturan Allah Swt, peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan
arahan dari partai politik dan pasangan calon (capres/cawapres). Pada saat
kampanye terkadang larut dalam berbagai acara dan pembicaraan yang membuat lupa
atau mengabaikan ketaatan kepada Allah, seperti kewajiban salat, dan lain-lain.
Bagi seorang Muslim, saat berkampanye jangan sampai mengabaikan ketaatan kepada
Allah Swt, apalagi sampai kepada tingkat melalaikan diri dan orang lain dari
jalan Allah. Demikian halnya dengan ketaatan kepada aturan yang berlaku, dan
arahan partai yang berkenaan dengan kampanye sebagai bentuk ketaatan kepada
ulil amri.
3.
Keteladanan
(uswah),
yaitu menampilkan dan menyampaikan program-program partai atau pasanagan calon
dengan cara dan keteladanan yang terbaik (ihsan). Menyampaikan atau
mengedepankan keunggulan partai yang bersangkutan, tanpa perlu menjelekkan dan
mengejek orang, partai atau golongan lain seperti black campaign, hate speech,
dan hoax. Partai yang baik dan program yang bagus, tentunya harus disampaikan
dengan cara yang bagus pula. Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya Allah mewajibkan
untuk berbuat sebaik-baiknya (ihsan) dalam segala sesuatu.” (HR. Muslim).Kemudian
di antara kampanye yang efektif adalah dengan cara memberi keteladanan yang
terbaik. Bahasa perilaku sering lebih efektif daripada bahasa lisan. Kampanye
adalah memikat dan menarik simpati orang. Rasulullah saw bersabda, “Mukmin yang
paling sempurna imannya adalah yang paling sempurna akhlaknya.” (HR. Abu Daud,
At-Tirmidzi, dan Ahmad).
4.
Jujur (shiddiq), yaitu tidak
berdusta/berbohong atau mengumbar janji. Bagi sebagian orang mengubar janji
bohong merupakan satu kunci sukses berkomunikasi politik, padahal hal itu tidak
dibenarkan dalam Islam. Kampanye tidak boleh menghalalkan segala cara. Tujuan
luhur tidak boleh dirusak oleh cara yang kotor. Berbohong adalah perbuatan
terlarang dalam Islam, apalagi yang dibohongi itu orang banyak, sudah tentu
bahayanya lebih berat. Berbohong adalah menyampaikan sesuatu yang tidak sesuai
dengan keadaan sebenarnya.
Rasulullah saw besabda, “Berpeganglah
kamu dengan kejujuran, karena jujur itu menujukkan (jalan) kepada kebaikan, dan
kebaikan itu menunjukkan (jalan) ke sorga. Dan seseorang yang senantiasa jujur
dan selalu menjaga kejujuran sampai dicatat di sisi Allah sebagai orang yang
jujur. Dan janganlah kamu berdusta, karena dusta mengantarkan pada kemaksiatan
(kecurangan) dan kemaksiatan (kecurangan) itu mengantarkan ke neraka. Dan
seseorang yang senantiasa berdusta dan terus melakukan dusta sampai dicatat di
sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Muslim).