Pengertian Pemilih
Menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
pemilihan umum Pilpres dan Pileg, yang akan di;aksanakan pada tanggal 17 April 2019, pemilih diartikan sebagai Warga
Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh
belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.
Menurut Firman zah (2007:102) pemilih diartikan sebagai
semua pihak yang menjadi tujuan utama para kontestan untuk mereka pengaruhi dan
yakinkan agar mendukung dan kemudian memberikan suaranya kepada kontestan yang
bersangkutan. Pemilih dalam hal ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat
pada umumnya.
Namun, menurut Joko J. Prihatmoko (2005:46). pemilih yang
merupakan bagian dari masyarakat luas bisa saja tidak menjadi konstituen partai
politik tertentu. Masyarakat terdiri dari beragam kelompok.
Pemilihan umum
(disebut Pemilu) adalah proses memilih orang untuk mengisi jabatan-jabatan
politik tertentu.[butuh rujukan] Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai
dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala
desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi
jabatan-jabatan 'pemilihan' lebih sering digunakan.
Pemilu merupakan
salah satu usaha untuk memengaruhi rakyat secara persuasif (tidak memaksa)
dengan melakukan kegiatan retorika, hubungan publik, komunikasi massa, lobi dan
lain-lain kegiatan.[butuh rujukan] Meskipun agitasi dan propaganda di Negara demokrasi
sangat dikecam, namun dalam kampanye pemilihan umum, teknik agitasi dan teknik
propaganda banyak juga dipakaioleh para kandidat atau politikus selalu
komunikator politik.
Dalam Pemilu, para
pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah para peserta
Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye. Kampanye
dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara.
Setelah pemungutan
suara dilakukan, proses penghitungan dimulai.[butuh rujukan] Pemenang Pemilu
ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya
telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para
pemilih.
Tipe-tipe Pemilih
Pemilih Rasional Pemilih memiliki orientasi tinggi pada
“policy problem solving” dan berorientasi rendah untuk faktor ideologi. Pemilih
dalam hal ini lebih mengutamakan kemampuan partai politik atu kontestan dalam
progrma kerjanya. Pemilih jenis ini memiliki ciri khas yang tidak begitu
mementingkan ikatan ideologi kepada suatu partai politik atau seorang
kontestan. Faktor seperti paham, asal usul, nilai tradisional, budaya, agama,
dan psikografis memang dipertimbangkan juga, tetapi bukan hal yang signifikan.
Hal yang terpenting bagi jenis pemilih ini adalah apa yang bisa (dan yang
telah) dilakukan oleh sebuah partai atau seorang kontestan, daripada paham dan
nilai partai atau kontestan. Pemilih jenis ini mulai banyak terdapat di
Indonesia, terutama sejak lengsernya Soeharto dari pemerintahannya akibat
reformasi.
Pemilih Kritis Pemilih jenis ini merupakan perpaduan
antara tingginya orientasi pada kemampuan partai politik atau seorang kontestan
dalam menuntaskan permasalahan bangsa maupun tingginya orientasi mereka akan
hal-hal yang bersifat ideologis. Pentingnya ikatan ideologis membuat loyalitas
pemilih terhadap sebuah partai politik atau seorang kontestan cukup tinggi dan
tidak semudah “rational voter ́” untuk berpaling ke partai lain.
Pemilih Tradisional Pemilih dalam jenis ini memiliki
ideologi yang sangat tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan partai politik
atau seorang kontestan sebagai sesuatu yang penting dalam pengambilan
keputusan. Pemilih tradisional sangat mengutamakan kedekatan sosial-budaya,
nilai asal usul, paham, dan agama sebagai ukuran untuk memilih sebuah partai
politik. Biasanya pemilih jenis ini lebih mengutamakan figure dan kepribadian
pemimpin, mitos dan nilai historis sebuah partai politik atau seorang
kontestan. Salah satu karakteristik mendasar jenis pemilih ini adalah tingkat
pendidikan yang rendah dan konservatif dalam memegang nilai serta paham yang
dianut. Pemilih tradisional adalah jenis pemilih yang bisa dimobilisasi selama
periode kampanye. Loyalitas tinggi merupakan salah satu ciri khas yang paling
kelihatan bagi pemilih jenis ini.
Pemilih Skeptis. Pemilih skeptis adalah pemilih yang
tidak memiliki orientasi ideologi cukup tinggi dengan sebuah partai politik
atau seorang kontestan, juga sebagai sesuatu yang penting.Keinginan untuk
terlibat dalam sebuah partai politik jenis ini sangat kurang karena ikatan
ideologis mereka memang rendah sekali. Mereka juga kurang memedulikan program
kerja atau’platform’ dan kebijakan sebuah partai politik.
Artikel Pada Blog ini kami kutip dari berbagai sumber.
Semoga Artikel Tentang Pengertian Pemilih Serta Syarat dan Tipe-Tipenya Dapat
Bermanfaat Dan Apabila artikel ini berguna untuk anda silahkan copy paste
dengan menyertakan Sumbernya. Kami Mohon maaf yang sebesar-besarnya jika ada
Kesalahan Dan Kekurangan Pada penulisan Artikel ini. Terima kasih atas
perhatiannya.
Para kandidat ialah political publicity, yakni sebuah
upaya memoles diri (pencitraan) untuk menjadi yang terbaik demi mendulang
dukungan publik. Beragam strategi dilakukan untuk meningkatkan popularitas,
kesukaan, dan elektabilitas mereka. Tentu yang disasar ialah pemilih di semua
kalangan kelas sosial.
Para ahli marketing politik mendefinisikan politik
sebagai sesuatu yang inheren dari upaya membangun citra positif di depan
khalayak. Tim sukses, relawan, bahkan konsultan kenamaan dipakai untuk
melakukan personal branding kandidat biar ciamik. Tutur bahasa, gerak tubuh,
dan performa politiknya ditata yang kemudian dipersonifikasikan sebagai
kandidat yang layak dipilih. Tak hanya itu, tim suskses juga mendesain model
kampanye apik sebagai upaya meyakinkan khalayak ramai. Beriklan di media arus
utama serta membangun opini positif melalui jejaring new media sosial merupakan
strategi yang sering dilakukan kandidat, termasuk juga melakukan aksi ‘serangan
darat’ dengan door to door campaign menemui calon pemilih.
Bahkan, tak jarang para kandidat ataupun tim sukses juga
menyerang (attacking campaign) lawan pesaing dengan isu-isu suku, agama, ras,
dan antar golongan (SARA) demi kemenangan elektoral. Mereka memanfaatkan medium
apa pun untuk menyuarakan penolakan terhadap calon yang tak seiman, tak
seagama, dan tak berasal dari satu golongan yang sama. Di antara sekian banyak
pilkada yang bakal diselenggarakan pada 15 Februari 2017 mendatang, pilkada DKI
Jakarta paling banyak menyedot energi publik. Bukan semata soal Jakarta sebagai
barometer politik nasional, melainkan isu SARA yang diembuskan pun cukup
ekstrem untuk mendistorsi calon minoritas seperti Basuki Tjahaja Purnama alias
Ahok.
Perubahan pemilih
Dominasi Ahok di tegah hantaman badai isu SARA yang terus
berembus mengindikasikan sejumlah hal penting terkait dengan perilaku pemilih
(political behavior) di Jakarta. Namun, satu hal yang pasti, pemilih mulai
cerdas, meninggalkan pola pikir tradisional yang lebih berorientasi pada
kedekatan etnik, agama, serta faktor primordial lainnya dalam menentukan
pilihan. Agama ataupun etnik tak lagi menjadi parameter utama dalam mendukung
kandidat di pilkada. Publik kian rasional menambatkan pilihan hatinya pada sang
calon. Sebab itu, personality serta track record calon seperti kinerja,
kapasitas, dan kompetensi menjadi ukuran penting bagi pemilih.
Dalam studi perilaku pemilih, ada tiga mazhab yang sering
dijadikan instrumen untuk mengukur pilihan seseorang terhadap kandidat. Pertama
mazhab sosiologis. Model aliran itu dibangun dengan asumsi dasar bahwa pilihan
seseorang ditentukan kesamaan karakter sosiologis dengan sang calon terutama
faktor suku, agama, etnik serta faktor sosiologis lainnya. Pendekatan itu
banyak dikritik karena cenderung menafikan kapasitas dan kompetensi kandidat.
Kedua ialah mazhab psikologis yang muncul sebagai kritik
terhadap aliran sosiologis. Dalam banyak hal, model sosiologis mengalami
masalah terutama menyangkut soal partisipasi politik masyarakat dalam pemilu.
Pendekatan itu memperkenalkan apa yang disebut sebagai budaya politik pemilih.
Substansi dari pendekatan psikologis yakni dukungan seseorang terhadap kandidat
disebabkan perasaan dekat terhadap kandidat, mempunyai informasi lebih tentang
calon, serta keyakinan bahwa calon pilihannya itu akan mampu memperbaiki
keadaan (political efficacy).
Ketiga ialah mazhab pilihan rasional yang salah satunya
mengadopsi pemikiran Anthony Downs dalam karya klasiknya, An Economic Theory of
Democracy (1957). Secara garis besar, pendekatan yang banyak dipengaruhi
perspektif ekonomi itu menjelaskan pilihan politik seseorang sangat ditentukan
kondisi ekonomi seseorang ataupun kondisi ekonomi masyarakat secara umum.
Jika hasil evalusi masyarakat terhadap kondisi ekonomi
cukup positif, itu akan berdampak baik pada pemerintah yang sedang berkuasa.
Kepercayaan publik akan meningkat. Sebaliknya, jika kondisi ekonomi buruk,
publik akan memberikan punishment terhadap pejabat yang bersangkutan. Dalam
perkembangannya, pendekatan rational choice itu juga ditarik ke sektor lain
untuk menilai kinerja, rekam jejak, serta integritas pejabat ataupun calon
pejabat publik. Pemilih rasional akan memilih kandidat yang memiliki dampak positif
terhadap perkembangan ekonomi politik suatu wilayah. Pada titik inilah,
anasir-anasir pendekatan sosiologis seperti agama dan etnik tak lagi menemukan
relevansinya.