POLITIK UANG
Pengertian Politik Uang Indonesia secara umum yang mudah kita telalah adalah
suap, arti suap dalam buku kamus besar Bahasa Indonesia adalah
uang sogok, salam tempel, amplopan, sangu, sak iki dan banyak kata dan kalimat untuk hal politik uang.
Politik uang atau politik perut adalah suatu bentuk pemberian atau
janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk
memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat
pemilihan umum. Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang. Politik
uang adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye.
Dari sumber lain :
Politik uang atau politik
perut adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya
orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan
haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. Pembelian bisa dilakukan
menggunakan uang atau barang. Politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran
kampanye. Politik uang umumnya dilakukan simpatisan, kader atau bahkan pengurus
partai politik menjelang hari H pemilihan umum. Praktik politik uang dilakukan
dengan cara pemberian berbentuk uang, sembako antara lain beras, minyak dan
gula kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar
mereka memberikan suaranya untuk partai yang bersangkutan.
Politik uang umumnya dilakukan
simpatisan, kader atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari H
pemilihan umum. Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian berbentuk
uang, sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat dengan
tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk
partai yang bersangkutan.
Menurut pakar hukum Tata
Negara Universitas Indonesia, Yusril Ihza Mahendra, definisi money politic
sangat jelas, yakni mempengaruhi massa pemilu dengan imbalan materi. Yusril
mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Indra Ismawan kalau kasus money
politic bisa di buktikan, pelakunya dapat dijerat dengan pasal tindak pidana
biasa, yakni penyuapan. Tapi kalau penyambung adalah figur anonim (merahasiakan
diri) sehingga kasusnya sulit dilacak, tindak lanjut secara hukum pun jadi
kabur.
Secara umum money politic
biasa diartikan sebagai upaya untuk mempengaruhi perilaku orang dengan
menggunakan imbalan tertentu.
Seperti yang telah dikutip di
atas dan menurut pendapat para ahli bahwa Money Politic adalah salah satu
tindakan penyuapan berupa uang atau barang yang ditukar dengan posisi atau
jabatan yang bertujuan untuk memperoleh suara dari para pemilih yaitu
masyarakat yang mengikuti Pemilu, agar dapat terpilih dan menduduki posisi
jabatan yang diinginkan. Money politic dapat dilakukan oleh Individu atau
kelompok baik partai atau independent dengan memiliki berbagai maksud dan
tujuan, dilakukan dengan sadar dan terencana dengan baik.
Dampak Praktik Money
Ciri khas demokrasi adalah
adanya kebebasan (freedom), persamaan derajat (equality), dan kedaulatan rakyat
(people’s sovereghty). Di lihat dari sudut ini, demokrasi pada dasarnya adalah
sebuah paham yang menginginkan adanya kebebasan, kedaulatan bagi rakyatnya yang
sesuai dengan norma hukum yang ada.
Dengan demikian adanya praktik
Politik uangberarti berdampak terhadap bangunan, khususnya di Indonesia berarti
prinsi-prinsip demokrasi telah tercemari dalam praktek politik uang. Suara hari
nurani seseorang dalam bentuk aspirasi yang murni dapat dibeli demi
kepentingan. Jadi pembelokan tuntutan bagi nurani inilah yang dapat dikatakan
kejahatan.
Sisi etika politik yang
lainnya adalah pemberian uang kepada rakyat dengan harapan agar terpilihnya
partai politik tertentu berimbas pada pendidikan politik, yaitu mobilisasi yang
pada gilirannya menyumbat partisipasi politik. Rakyat dalam proses seperti ini
tetap menjadi objek eksploitasi politik pihak yang memiliki kekuasaan.
Politik uangbukan secara moral
saja yang salah dalam dimensi agama juga tidak dibenarkan, sebab memiliki
dampak yang sangat berbahaya untuk kepentingan bangsa ini. Jika yang dihasilkan
adalah kekecewaan rakyat, maka sesungguhnya yang akan mengadili adalah rakyat
itu sendiri.
MELAWAN PRAKTIK POLITIK UANG.
Partai politik dan para
anggota legislatif di segala tingkatan sudah mempersiapkan strategi untuk
mendapatkan simpati rakyat agar menang dalam Pemilu yang nampaknya akan lebih
kompetitif, karena diikuti oleh tiga puluh delapan partai politik nasional dan
enam partai politik lokal.
Pemilu mendatang nampaknya
akan diwarnai dengan praktik politik uang. Hal ini terjadi karena sebagian
besar rakyat telah terbiasa dengan praktik ini dalam proses-proses politik yang
terjadi yang dilakukan secara langsung, baik untuk memilih kepala desa,
bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota, maupun gubernur/wakil gubernur.
Padahal, salah satu pertimbangan dilakukannya pemilihan langsung adalah agar
praktik Politik uangbisa diminimalisir. Bahkan dalam demokrasi langsung
sebagaimana yang terjadi selama ini, praktik Politik uangmenjadi semakin tak
dapat dikendalikan. Berbagai peraturan perundang-undangan yang melarang praktik
haram ini, seolah dibuat hanya untuk melanggar.
Praktik Politik uangdalam
setiap perhelatan politik tersebutlah yang kemudian menyebabkan masyarakat
tidak bisa membedakan antara penyelenggaraan mekanisme politik dengan Money
Politics. Singkatnya, terbangun pandangan umum bahwa politik uang dalam setiap
kompetisi politik adalah sebuah keharusan. Inilah yang kemudian menyebabkan
semacam pandangan bahwa uang merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam
pemilihan umum.
Selain itu, partai politik
tidak siap menyediakan kader-kader handal, baik sebagai calon maupun sebagai
relawan yang mau bekerja secara militan untuk mensosialisasikan calon-calon
yang diajukan oleh partai. Dengan demikian, calon-calon yang maju kemudian
melakukan cara-cara instan dan praktis untuk menggerakkan rakyat yang memiliki
hak pemilih untuk memberikan hak pilihnya.
Hal inilah yang kemudian
menyebabkan kualitas pejabat publik menjadi terabaikan. Sebab, seseorang
dipilih menjadi pejabat politik bukan karena kualitas atau kapasitasnya dan
kompetensinya untuk menempati posisi politik tersebut, tetapi semata-mata
karena memberikan uang kepada para pemilih menjelang saat pemilihan. Inilah
menyebabkan jabatan-jabatan publik akhirnya ditempati oleh kaum medioker alias
mereka yang sesungguhnya tidak memiliki prestasi memadai untuk menjalankan
struktur negara. Akibatnya tentu saja struktur negara tidak akan bekerja dengan
baik untuk mewujudkan cita-cita negara untuk mewujudkan kebaikan bersama
(common goods).
DASAR HUKUM
BAB XX Penyelesaian
Pelanggaran Pemilu Dan Perselisihan Hasil Pemilu Undang-undang No. 10 Tahun
2008 Pasal 247 Ayat 1 sampai Ayat 10.
Undang-undang No. 10 Tahun
2008 mengenai PELANGGARAN PIDANA PEMILU Pasal 252, Pasal 253 Ayat 1 sampai Ayat
4, Pasal 254 Ayat 1 sampai Ayat 3, Pasal 255 Ayat 1 sampai Ayat 5, Pasal 256
Ayat 1 sampai Ayat 2, Pasal 257 Ayat 1 sampai Ayat 3.
Undang-undang No. 10 Tahun
2008 mengenai PERSELISIHAN PEMILU Pasal 258 Ayat 1 sampai Ayat 2, Pasal 259
Ayat 1 sampai Ayat 3.
Undang-undang No. 32 Tahun
2008 mengenai Pemberhentian Kepala Daerah (yang sudah dilantik atau yang akan
dilantik) Pasal 29 Ayat 1 sampai 4, Pasal 30 Ayat 1 smapai 2, Pasal 31 Ayat 1
sampai Ayat 2, Pasal 32 Ayat 1 sampai Ayat 7, Pasal 33 Ayat 1 sampai Ayat 3,
Pasal 34 Ayat 1 sampai Ayat 4, Pasal 35 Ayat 1 sampai Ayat 5, Pasal 36 Ayat 1
sampai Ayat 5.
Pasal 73 ayat 3 Undang Undang
No. 3 tahun 1999 berbunyi:
"Barang siapa pada waktu
diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan pemberian
atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya
untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu,
dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu
dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji
berbuat sesuatu.
PEMILU (PILPRES DAN PILEG) 2019
PEMILIHAN Umum (Pemilu) 2019
merupakan pesta demokrasi pertama di Indonesia yang akan dilaksanakan secara
serentak selain untuk memilih anggota parlemen (DPR RI, DPR propinsi, dan DPR
kabupaten/kota), serta anggota DPD dan memilih pasangan presiden/wakil presiden
sekaligus. Pemilu 2019 mendatang merupakan ujian demokrasi Indonesia untuk
masa-masa mendatang sekaligus menjadi ikon pesta demokrasi dunia. Oleh
karenanya, peserta pemilu yang terdiri dari 20 partai politik (parpol) dan 4 di
antaranya partai lokal, akan menggunakan varian cara dan siasat agar dapat
meraup suara masyarakat sebanyak-banyaknya.
Sebagai negara hukum (rechstaat)
tentunya kepastian dan supremasi hukum adalah sebagai ciri utamanya, dan
regulasi yuridis normatif pemilu 2019 adalah UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Dalam UU ini secara tegas dijelaskan beberapa larangan dan sanksi hukum bagi
peserta pemilu yang melanggar ketentuan-ketentuan atau the rule of game. Yang
dimaksud peserta pemilu adalah parpol untuk pemilu anggota DPR, anggota DPRD
provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, perseorangan untuk pemilu anggota DPD,
dan pasangan calon yang diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol untuk pemilu
presiden/wakil presiden.
Setelah penetapan DCT (Daftar
Calon Tetap) pada 20 September 2018, yang menjadi peserta pemilu adalah seluruh
calon legislatif. Artinya, mereka secara personal dapat mengajukan keberatan atau
membuat laporan kepada Pengawas Pemilu, jika menilai telah terjadi kecurangan
atau pelanggaran termasuk hal-hal lain yang merugikan para caleg. Pada pemilu
kali ini, peserta pemilu terikat dengan beberapa ketentuan yang harus dipatuhi
agar tidak ada sanksi hukum (pidana kurangan) mulai 6 bulan hingga 6 tahun dan
ditambah hukuman denda mulai Rp 6 juta hingga paling banyak Rp 100 miliar.
UNTUK KEMASLAHATAN UMUM
Larangan-larangan dalam pesta
demokrasi sesungguhnya adalah untuk kemaslahatan peserta pemilu sendiri agar
terwujud pemilu berintegritas, berkualitas, berwibawa, dan tentunya untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dalam kontestasi politik lima tahunan
tersebut. Kualitas demokrasi bukan dilihat dari jumlah partai politik dan animo
masyarakat yang begitu tinggi, tetapi ia ditentukan oleh pribadi kontestan yang
sadar hukum yang tidak melanggar ketentuan-ketentuan pemilu.
Dalam Pemilu 2019 ini, tidak
kurang 19 item yang harus dijauhkan oleh peserta pemilu, jika tidak
menginginkan partainya atau kandidat (caleg, casen, atau capres/cawapres)
berhadapan dengan Tim Sentra Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu). Tim ini
terdiri dari tiga institusi penyelenggara negara, yaitu Pengawas Pemilu,
Kepolisian, dan Kejaksaan. Di antara larangan yang cukup sering dilanggar oleh
peserta pemilu adalah kampanye di luar jadwal, perusakan dan penurunan alat
peraga kampanye peserta lain serta politik uangdan SARA.
Pada pemilu 2019 definisi
kampanye berbeda dengan pemilu atau pilkada sebelumnya. Menurut Pasal 1 angka
35 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu, kampanye adalah “kegiatan peserta pemilu
atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih
dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri Peserta Pemilu.”
Larangan kampanye sebenarnya sudah dimulai sejak seluruh parpol ditetapkan
sebagai peserta pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 17 Februari 2018.
Sejak tanggal tersebut hingga
23 September 2018 seluruh peserta pemilu dilarang melakukan kampanye dalam
bentuk apapun kecuali sosialisasi untuk internal partai. Metode kampanye dapat
dilakukan dengan berbagai cara, mulai pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka,
penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga kampanye di tempat umum,
media sosial, iklan di media massa, media elektronik, internet, rapat umum, dan
lain-lain. Ancaman pidana bagi peserta pemilu yang berkampanye di luar jadwal
adalah pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp 12 juta.
Larangan lain adalah
memberikan keterangan yang tidak benar dalam laporan dana kampanye pemilu.
Ancaman pidananya adalah kurungan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling
banyak Rp 24 juta. Demikian juga dilarang pada saat pemungutan suara
menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya
tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau
menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak
sah. Ancamannya adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp 36 juta.
DILARANG MENGHASUT
Dilarang juga pada masa
tahapan Pemilu 2019 adalah mempersoalkan dasar negara, Pancasila, Pembukaan UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan bentuk NKRI. Demikian juga dilarang
melakukan kegiatan yang dapat membahayakan keutuhan NKRI, menghina seseorang,
agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain, menghasut
(hate speech) dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat, mengganggu
ketertiban umum, mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan
kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau peserta
pemilu yang lain, merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye peserta
pemilu, menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan,
membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut selain dari tanda gambar
dan/atau atribut peserta pemilu yang bersangkutan, dan menjanjikan atau
memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta Kampanye Pemilu. Jika hal
itu terjadi, maka ancamannya adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama
2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta.
Larangan lain adalah menerima
sumbangan dana kampanye pemilu dari pihak asing (luar negeri), donatur yang
tidak jelas identitasnya, hasil tindak pidana pidana yang telah terbukti
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dan/atau bertujuan menyembunyikan atau menyamarkan hasil tindak pidana, dana
dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau pemerintah desa dan badan usaha milik
desa, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda
paling banyak Rp 36 juta.
Larangan dan sanksi hukum
bukan hanya yang telah diuraikan di atas, tetapi masih cukup banyak lainnya,
tetapi karena item-item tersebut cukup sering terjadi ketika pesta demokrasi
digelar, maka dalam tulisan ini hanya disebutkan beberapa saja yang dianggap
cukup penting dan lazim terjadi. Harapannya adalah pemilu ke depan menjadi
pesta demokrasi yang menjadi sejarah dalam mempererat ukhuwah wathaniyah agar
tidak tergerus washatiyah dan tasamiyah. Tunjukkan kepada dunia luar bahwa
bangsa Indonesia yang mayoritas muslim, taat dan tunduk pada aturan konsensus
yang telah menjadi hukum positif bagi bangsa Indonesia yang penduduknya
mencapai 262 juta jiwa.
UU NOMOR 10 TAHUN 2016 PASAL 187A
(1) Setiap orang yang dengan
sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau
materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara
langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi pemilih agar tidak
menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga
suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon
tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 Ayat (4) dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh
puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp 200.000.000 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
(2) Pidana yang sama
diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan
hukum menerima pemberian atau
janji sebagaimana dimaksud pada Ayat (1).
KUHP BAB V PENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA PASAL 55.
(1) Dipidana sebagai pelaku
tindak pidana:
1. mereka yang melakukan, yang
menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
2. mereka yang dengan memberi
atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan
kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau
keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
(2) Terhadap penganjur, hanya
perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta
akibat-akibatnya.
Pasal 149.
(1) Barang siapa pada waktu
diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, dengan memberi atau
menjanjikan sesuatu, menyuap seseorang supaya tidak memakai hak pilihnya atau
supaya memakai hak itu menurut cara tertentu, diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling lama empat ribu lima ratus
rupiah.
(2) Pidana yang sama
diterapkan kepada pemilih, yang dengan menerima pemberian atau janji, mau
disuap.
Ketentuan tentang dilarangnya
praktik politik uang telah diatur secara tegas dan Jelas, pengertian politik
uang dalam peraturan pemilu dirumuskan sebagai perbuatan memberikan uang atau
materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau
Pemilih. selain mengatur tentang Siapa saja yang bisa dipidana, dan perbuatan
apa yang termasuk sebagai Politik Uang, juga diatur ancaman atau Sanksi yang
bisa dijatuhkan berupa Pembatalan Pasangan calon, hal ini terdapat dalam
Undang-Undang No 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi
Undang-Undang. Pada Pasal 73 mengatur bahwa :
1. Calon
dan/atau tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi
penyelenggara Pemilihan dan/atau.
2. Calon
yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi dapat dikenai sanksi administrasi
pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
3. Tim
Kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Selain
Calon atau Pasangan Calon, anggota Partai Politik, tim kampanye, dan relawan,
atau pihak lain juga dilarang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum
menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada
warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk
mempengaruhi Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih
dengan cara tertentu sehingga mengakibatkan suara tidak sah dan mempengaruhi
untuk memilih calon tertentu atau tidak memilih calon.
5. Pemberian
sanksi administrasi terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak menggugurkan sanksi.
Dalam penjelasan pasal 73 ayat
1 yang tidak termasuk “memberikan uang atau materi lainnya” meliputi pemberian
biaya makan minum peserta kampanye, biaya transpor peserta kampanye, biaya
pengadaan bahan kampanye pada pertemuan terbatas dan/atau pertemuan tatap muka
dan dialog, dan hadiah lainnya berdasarkan nilai kewajaran dan kemahalan suatu
daerah yang ditetapkan dengan Peraturan KPU. pemberian yang dimaksud dalam
penjelasan pasal terasebut adalah pemberian yang terbatas pada waktu kampanye
yang telah dijadwalkan oleh penyelenggara Pemilu, baik kampenye yang bersifat
monologis maupun dialogis, pemberian diluar jadwal kampanye seperti saat masa
tenang atau menjelang pencoblosan sampai penetapan jumlah suara dilarang.
Formulasi yang terdapat dalam
pasal 73 ayat 2 secara jelas telah mengatur sanksi administrasi berupa
pembatalan pasangan calon oleh KPU Provinsi atau KPU kabupaten/kota bagi
pasangan calon atau tim kampanye yang terbukti melakukan politik uang
berdasarkan keputusan Bawaslu Provinsi, dan sanksi administarsi berupa
pembatalan pasangan calon tidak
menggugurkan, mengahapuskan pidana bagi siapa saja seperti tim kampanye,
anggota paratai politik, relawan, atau pihak lain yang terlibat dalam melakukan
politik uang tersebut.
SANKSI PIDANA
Selain Sanksi Administrasi
berupa Pembatalan pasangan calon Pelaku politik uang dikenakan Sanksi Pidana,
Pada Pasal 187 A mengatur bahwa Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau
memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara
Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk
mempengaruhi Pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih
dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu,
atau tidak memilih calon tertentu.
Sanksi pidana terhadap pelaku
Politik Uang tidak saja dikenakan kepada pemberi tetapi juga dikenakan kepada
pemilih sebagai penerima dengan ancaman pidana yang sama, Ancaman Pidana dalam
Pasal 187 A pelaku dijatuhi pidana secara kumulatif yaitu pidana Penjara yang
ditambah juga dengan pidana denda, pelaku dikenakan pidana paling singkat 36
bulan dan paling lama 72 bulan, dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Adapun dipasal 187 B mengatur
praktek politik uang yang melibatkan anggota partai politik atau anggota
gabungan partai politik yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum
menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan
denda paling sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Selanjutnya pada pasal 187 C
diatur juga bahwa Setiap orang atau lembaga yang terbukti dengan sengaja
melakukan perbuatan melawan hukum
memberi imbalan pada proses
pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota
dan Wakil Walikota maka penetapan
sebagai calon, pasangan calon terpilih, atau sebagai Gubernur,
Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota atau Wakil Walikota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 47 ayat (5), dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan pidana penjara
paling lama 60 (enam puluh) bulan dan
denda paling sedikit Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
PERAN SERTA MASYARAKAT
Semakin banyak institusi
penegak hukum yang mengawasi praktik politik uang pada Pilkada akan semakin
baik, kerjasama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian Republik
Indonesia (POLRI) untuk membentuk satgas Politik uangagar segera diwujudkan
sampai ke daerah-daerah di setiap Kepolisian Daerah (POLDA), dengan membentuk
Satgas Politik uangdi setiap daerah, tim khusus yakni Satuan Tugas (Satgas)
untuk mengawal Pilkada Serentak 2018 mulai awal pencalonan, pemungutan
suara sampai pada sengketa Pilkada.
Keberadaan satgas dapat membantu Bawaslu mengawasi kegiatan politik
transaksional, politik uang terhadap pemilih, dan dana kampanye, membantu
Bawaslu di daerah yang mengalami kesulitan karena keterbatasan waktu dalam
menangani pelanggaran pidana Pemilu yang selama ini ditangani Sentra Penegakan
Hukum Terpadu.
Keberhasilan pelaksanaan
Pilkada tidak lepas dari peran masyarakat, Salah satu peranan masyarakat dalam
Negara demokrasi adalah partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum. rakyat
dalam posisi penting untuk menentukan Pemimpin baik di pusat maupun daerah.
Oleh karena itu diperlukan pendidikan politik
untuk mendorong partisipasi masyarakat agar dapat menentukan pilihannya
dengan benar didasarkan atas rasionalitas, ide, gagasan, program, rekam jejak
calon, tidak didasarkan atas kepentingan transaksional, Pendidikan politik akan
menciptakan masyarakat yang rasional sehingga mereka tidak akan salah dalam
memilih pemimpin, dengan demikian aspirasi, kebutuhan, Program pembangunan di
berbagai bidang, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
keadilan sosial dapat dijalankan oleh pemimpin yang terpilih.
Terlaksananya proses Pilkada
yang yang Jujur dan adil membutuhkan partisipasi bersama, semua komponen
masyarakat, Aparat Penegak Hukum, Penyelenggara Pemilu, media massa, untuk
berperan aktif mengawasi praktik politik uang yang terjadi dimulai dari proses
pencalonan, selama masa kampanye, pada hari pencoblosan, penghitungan suara dan
sengketa Pilkada. informasi masyarakat akan memudahkan penegak hukum,
penyelenggara pemilu dalam menjalankan tugas-tugasnya, bila ada informasi
masyarakat disertai dengan alat bukti kuat seperti foto ataupun video, sehingga
tim yang sudah dibentuk langsung melakukan penindakan menangkap pelakunya,
termasuk orang yang menyuruhnya (calon kepala daerah) untuk diproses hukum.
Sehingga Pemilu bersih untuk mendapatkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas,
memiliki kapasitas dan integritas dapat terwujud.
Politik uang marak sebab tidak
ada definisi jelas dalam peraturan Pemilu.
Dalam praktik politik uang
(money politic) dan mahar politik kerap terjadi lantaran tidak ada definisi
yang jelas dan kelonggaran peraturan.
“Dalam Undang-Undang Pemilu
tidak ada definisi terkait mahar dan money politic. Kalau money politic masuk
dalam bagian bab larangan dalam berkampanye.
Banyak pihak menafsirkan
politik uang berdasarkan Pasal 71 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 4 Tahun
2017 dan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Pada Pasal 71 ayat (1) PKPU
menyebutkan partai politik atau gabungan partai politik, pasangan calon
dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi
lainnya untuk memengaruhi pemilih. “Di situlah ada penafsiranmoney politic,”
kata Adi.
Namun, ayat (2) menyebutkan
dalam masa kampanye partai politik dan gabungan partai politik, pasangan calon
dan/atau tim kampanye dapat memberikan makan, minum, dan transportasi kepada
peserta kampanye. Dilanjutkan dengan ayat (3) yakni biaya makan, minum, dan
transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang diberikan dalam bentuk
uang.
Menilik hal tersebut, Adi
berpendapat ia pesimis meski KPU dan Bawaslu memiliki kekuatan ihwal pemilu,
tapi aturan-aturannya tidak detail menjelaskan soal politik uang. Selain itu,
pembuktian untuk kegiatan politik uang sulit dibuktikan.
“Harus ada bukti autentik soal
money politic. Misalnya ada pihak yang melihat secara langsung ada uang yang diberikan
kepada parpol, atau foto. Tanpa bukti, Bawaslu tidak bisa menuduh pasangan
calon atau parpol menerima mahar politik,” Selama ini praktik antara mahar
politik dan dana saksi yang diminta partai kepada kandidat memang sulit
dibedakan.
POINT Consultant