REVOLUSI INDUSTRI 4.0
By, Try noegroho
Industri 4.0
adalah nama tren otomasi dan pertukaran data terkini dalam teknologi pabrik.
Istilah ini mencakup sistem siber-fisik, internet untuk segala, komputasi awan,
dan komputasi kognitif.
Industri 4.0
menghasilkan "pabrik cerdas". Di dalam pabrik cerdas berstruktur
moduler, sistem siber-fisik mengawasi proses fisik, menciptakan salinan dunia
fisik secara virtual, dan membuat keputusan yang tidak terpusat. Lewat Internet
untuk segala (IoT), sistem siber-fisik berkomunikasi dan bekerja sama dengan
satu sama lain dan manusia secara bersamaan. Lewat komputasi awan, layanan
internal dan lintas organisasi disediakan dan dimanfaatkan oleh berbagai pihak
di dalam rantai nilai.
Istilah
"Industrie 4.0" berasal dari sebuah proyek dalam strategi teknologi
canggih pemerintah Jerman yang mengutamakan komputerisasi pabrik.
Istilah
"Industrie 4.0" diangkat kembali di Hannover Fair tahun 2011. Pada
Oktober 2012, Working Group on Industry 4.0 memaparkan rekomendasi pelaksanaan
Industri 4.0 kepada pemerintah federal Jerman. Anggota kelompok kerja Industri
4.0 diakui sebagai bapak pendiri dan perintis Industri 4.0.
Laporan akhir
Working Group Industry 4.0 dipaparkan di Hannover Fair tanggal 8 April 2013.
Ada empat prinsip rancangan dalam Industri 4.0.
Prinsip-prinsip
ini membantu perusahaan mengidentifikasi dan mengimplementasikan
skenario-skenario Industri 4.0.
1. Interoperabilitas
(kesesuaian): Kemampuan mesin, perangkat, sensor, dan manusia untuk
berhubungan dan berkomunikasi dengan satu sama lain lewat Internet untuk segala
(IoT) atau Internet untuk khalayak (IoP). IoT akan mengotomatisasikan proses
ini secara besar-besaran.
2. Transparansi informasi: Kemampuan sistem informasi untuk menciptakan salinan dunia fisik secara
virtual dengan memperkaya model pabrik digital dengan data sensor. Prinsip ini
membutuhkan pengumpulan data sensor mentah agar menghasilkan informasi konteks
bernilai tinggi.
3. Bantuan teknis: Pertama, kemampuan sistem bantuan untuk membantu manusia dengan
mengumpulkan dan membuat visualisasi informasi secara menyeluruh agar bisa
membuat keputusan bijak dan menyelesaikan masalah genting yang mendadak. Kedua,
kemampuan sistem siber-fisik untuk membantu manusia secara fisik dengan
melakukan serangkaian tugas yang tidak menyenangkan, terlalu berat, atau tidak
aman bagi manusia.
4. Keputusan mandiri: Kemampuan sistem siber-fisik untuk membuat keputusan sendiri dan melakukan
tugas semandiri mungkin. Bila terjadi pengecualian, gangguan, atau ada tujuan
yang berseberangan, tugas didelegasikan ke atasan.
Denagn
penjelasan lain, Revolusi industri merupakan generasi keempat ini ditandai
dengan kemunculan superkomputer, robot pintar, kendaraan tanpa pengemudi,
editing genetik dan perkembangan neuroteknologi yang memungkinkan manusia untuk
lebih mengoptimalkan fungsi otak. Hal inilah yang disampaikan oleh Klaus
Schwab, Founder dan Executive Chairman of the World Economic Forum dalam
bukunya The Fourth Industrial Revolution.
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah dunia sebagaimana revolusi
generasi pertama melahirkan sejarah ketika tenaga manusia dan hewan digantikan
oleh kemunculan mesin. Salah satunya adalah kemunculan mesin uap pada abad
ke-18. Revolusi ini dicatat oleh sejarah berhasil mengerek naik perekonomian
secara dramatis di mana selama dua abad setelah Revolusi Industri terjadi
peningkatan rata-rata pendapatan perkapita Negara-negara di dunia menjadi enam
kali lipat.
Berikutnya, pada
revolusi industri generasi kedua ditandai dengan kemunculan pembangkit tenaga
listrik dan motor pembakaran dalam (combustionchamber). Penemuan ini
memicu kemunculan pesawat telepon, mobil, pesawat terbang, dll yang mengubah
wajah dunia secara signifikan. Kemudian, revolusi industri generasi ketiga
ditandai dengan kemunculan teknologi digital dan internet.
Selanjutnya,
pada revolusi industri generasi keempat, seperti yang telah disampaikan pada
pembukaan tulisan ini, telah menemukan pola baru ketika disruptif teknologi (disruptive technology)
hadir begitu cepat dan mengancam keberadaan perusahaan-perusahaan incumbent.
Sejarah telah mencatat bahwa revolusi industri telah banyak menelan korban
dengan matinya perusahaan-perusahaan raksasa.
Lebih dari
itu, pada era industri generasi keempat ini, ukuran besar perusahaan tidak
menjadi jaminan, namun kelincahan perusahaan menjadi kunci keberhasilan meraih
prestasi dengan cepat. Hal ini ditunjukkan oleh Uber yang mengancam
pemain-pemain besar pada industri transportasi di seluruh dunia atau Airbnb
yang mengancam pemain-pemain utama di industri jasa pariwisata. Ini membuktikan
bahwa yang cepat dapat memangsa yang lambat dan bukan yang besar memangsa yang
kecil.
Oleh sebab itu,
perusahaan harus peka dan melakukan instrospeksi diri sehingga mampu mendeteksi
posisinya di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai
panduan untuk melakukan introspeksi diri, McKinsey&Company memaparkannya
dalam laporan berjudul An Incumbent’s Guide to Digital Disruption yang
memformulasikan empat tahapan posisi perusahaan di tengah era disruptif
teknologi.
Tahap pertama, sinyal di tengah kebisingan (signals amidst the noise).
Pada tahun 1990, Polygram dicatat sebagai salah satu perusahaan recording terbesar
di dunia. Namun, pada 1998 perusahaan ini dijual ketika teknologi MP3 baru saja
ditemukan sehingga pemilik masih merasakan puncak kejayaan Polygram pada saat
itu dan memperoleh nilai (value) penjualan yang optimal.
Contoh
lainnya adalah industri surat kabar tradisional yang mengejar oplah dan
pemasukan dari pemasangan iklan. Kemunculan internet yang mengancam
dimanfaatkan oleh Schibsted, salah satu perusahaan media asal Norwegia yang
menggunakan internet untuk mengantisipasi ancaman sekaligus memanfaatkan peluang
bisnis.
Perusahaan
ini melakukan disruptif terhadap bisnis inti mereka melalui media internet yang
akhirnya menjadi tulang punggung bisnis mereka pada kemudian hari. Pada tahap
ini, perusahaan (incumbent) merespons perkembangan teknologi secara
cepat dengan menggeser posisi nyaman dari bisnis inti yang mereka geluti
mengikuti tren perkembangan teknologi, preferensi konsumen, regulasi dan
pergeseran lingkungan bisnis.
Tahap kedua, perubahan lingkungan bisnis tampak lebih jelas (change takes hold).
Pada tahap ini perubahan sudah tampak jelas baik secara teknologi maupun dari
sisi ekonomis, namun dampaknya pada kinerja keuangan masih relatif tidak
signifikan sehingga belum dapat disimpulkan apakah model bisnis baru akan lebih
menguntungkan atau sebaliknya dalam jangka panjang. Namun, dampak yang belum
signifikan ini ditanggapi secara serius oleh Netflix tahun 2011 ketika
menganibal bisnis inti mereka yakni menggeser fokus bisnis dari penyewaan DVD
menjadi streaming. Ini merupakan keputusan besar yang berhasil
menjaga keberlangsungan perusahaan pada kemudian hari sehingga tidak mengikuti
kebangkrutan pesaingnya, Blockbuster.
Tahap ketiga, transformasi yang tak terelakkan (the inevitable transformation).
Pada tahap ini, model bisnis baru sudah teruji dan terbukti lebih baik dari
model bisnis yang lama. Oleh sebab itu, perusahaan incumbent akan
mengakselerasi transformasi menuju model bisnis baru. Namun demikian,
transformasi pada tahap ini akan lebih berat mengingat perusahaan incumbent relatif
sudah besar dan gemuk sehingga tidak selincah dan seadaptif
perusahaan-perusahaan pendatang baru (startup company) yang hadir dengan
model bisnis baru.
Oleh sebab itu,
pada tahap ini perusahaan sudah tertekan pada sisi kinerja keuangan sehingga
akan menekan budget bahkan mengurangi beberapa aktivitas
bisnis dan fokus hanya pada inti bisnis perusahaan incumbent.
Tahap keempat, adaptasi pada keseimbangan baru (adapting to the new normal).
Pada tahap ini, perusahaan incumbent sudah tidak memiliki
pilihan lain selain menerima dan menyesuaikan pada keseimbangan baru karena
fundamental industri telah berubah dan juga perusahaan incumbent tidak
lagi menjadi pemain yang dominan. Perusahaan incumbent hanya
dapat berupaya untuk tetap bertahan di tengah terpaan kompetisi.
Pada tahap inipun
para pengambil keputusan di perusahaan incumbent perlu jeli
dalam mengambil keputusan seperti halnya Kodak yang keluar lebih cepat dari
industry fotografi sehingga tidak mengalami keterperosokan yang semakin dalam.
Berangkat dari tahapan-tahapan ini seyogianya masing-masing perusahaan dapat
melakukan deteksi dini posisi perusahaan sehingga dapat menetapkan langkah
antisipasi yang tepat.
Tantangan
terberat justru kepada para market leader di mana biasanya
merasa superior dan merasa serangan disruptif hanya ditujukan kepada kompetitor
minor yang kinerjanya tidak baik. Oleh sebab itu, perusahaan incumbent perlu
terus bergerak cepat dan lincah mengikuti arah perubahan lingkungan bisnis
dalam menyongsong era revolusi industri generasi keempat (Industry 4.0).
Reed Hasting,
CEO Netflix pernah mengatakan bahwa jarang sekali ditemukan perusahaan mati
karena bergerak terlalu cepat, namun sebaliknya yang seringkali ditemukan
adalah perusahaan mati karena bergerak terlalu lambat.
REVOLUSI
INDUSTRI 4.0 DI INDONESIA
Kementerian Perindustrian telah
merancang Making Indonesia 4.0 sebagai sebuah roadmap (peta jalan) yang
terintegrasi untuk mengimplementasikan sejumlah strategi dalam memasuki era
Industry 4.0. Guna mencapai sasaran tersebut, langkah kolaboratif ini perlu
melibatkan beberapa pemangku kepentingan, mulai dari institusi pemerintahan,
asosiasi dan pelaku industri, hingga unsur akademisi.
Dalam kurun waktu tahun 2011, kita telah
memasuki Industry 4.0, yang ditandai meningkatnya konektivitas,interaksi, dan
batas antara manusia, mesin, dan sumber daya lainnya yang semakin konvergen
melalui teknologi informasi dan komunikasi, kata Menteri Perindustrian
Airlangga Hartarto padaacara Sosialisasi Roadmap Implementasi Industry 4.0 .
Menperin menjelaskan, revolusi industri
generasi pertama ditandai oleh penggunaan mesin uap untukmenggantikan tenaga
manusia dan hewan. Kemudian, generasi kedua, melalui penerapan konsep produksi
massal dan mulai dimanfaatkannya tenaga listrik. Dan, generasi ketiga, ditandai
denganpenggunaan teknologi otomasi dalam kegiatan industri.
Pada revolusi industri keempat, menjadi
lompatan besar bagi sektor industri, dimana teknologi informasi dan komunikasi
dimanfaatkan sepenuhnya.Tidak hanya dalam proses produksi, melainkan juga di
seluruh rantai nilai industri sehingga melahirkan model bisnis yang baru dengan
basis digital guna mencapai efisiensi yang tinggi dan kualitas produk yang
lebih baik.
Untuk itu, sektor industri nasional
perlu banyak pembenahan terutama dalam aspek penguasaan teknologi yang menjadi
kunci penentu daya saing di era Industry 4.0. Adapun lima teknologi utama yang
menopang pembangunan sistem Industry 4.0, yaitu Internet of Things, Artificial
Intelligence, Human–Machine Interface, teknologi robotik dan sensor, serta
teknologi 3D Printing.
Berdasarkan Global Competitiveness
Report 2017, posisi daya saing Indonesia berada di peringkat ke-36 dari 100
negara. “Walaupun telah naik sebesar 5
peringkat dibandingkan tahun sebelumnya, tetapi perlu terus dilakukan perubahan
secara sistematis dan strategi yang jelas untuk berkompetisi.
Menperin juga menyampaikan, semua negara
masih mempelajari implementasi sistem Industry 4.0, sehingga dengan penyiapan
peta jalannya, Indonesia berpeluang menjadi pemain kunci di Asia. “Kitamelihat
banyak negara, baik yang maju maupun berkembang, telah menyerap pergerakan ini
keagenda nasional mereka dalam rangka merevolusi strategi industrinya agar
semakinberdaya saing global. Dan, Indonesia siap untuk mengimplementasikan.
Implementasi Industry 4.0 tidak hanya
memiliki potensi luar biasa dalam merombak aspek industri, bahkan juga mampu
mengubah berbagai aspek dalam kehidupan manusia. Kita punya pasar dalam negeri
yang kuat, dan punya banyak talenta dari jumlah universitas yang ada, sehingga
tersedianya pool of talent.
Jadi, langkah dasar yang sudah diawali
oleh Indonesia, yakni meningkatkan kompetensi sumber daya manusia melalui
program link and matchantara pendidikaan dengan industri. Upaya ini
dilaksanakan secara sinergi antara Kemenperin dengan kementerian dan lembaga
terkait seperti Bappenas, Kementerian BUMN, Kementerian Ketenagakerjaan,
Kemeneterian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi.
Dengan menerapkan Industry 4.0,
Airlangga menargetkan, aspirasi besar nasional dapat tercapai. Aspirasi
tersebut secara garis besar, yaitu membawa Indonesia menjadi 10 besar ekonomi
di tahun 2030, mengembalikan angka net export industri 10 persen, peningkatan
produktivitas tenaga kerja hingga dua kali lipat dibanding peningkatan biaya
tenaga kerja, serta pengalokasiaan 2 persen dari GDP untuk aktivitas R&D
teknologi dan inovasi atau tujuh kali lipat dari saat ini.
Pada kesempatan yang sama, Sekjen
Kemenperin Haris Munandar mengungkapkan, salah satu strategi Indonesia memasuki
Industry 4.0 adalah menyiapkan lima sektor manufaktur yang akan menjadi
percontohan untuk memperkuat fundamental struktur industri Tanah Air.
Adapun kelima sektor tersebut, yaitu
Industri Makanan dan Minuman, Industri Otomotif, Industri Elektronik, Industri Kimia,
serta Industri Tekstil. “Melalui komitmen dan partisipasi aktif dari
pemerintah, swasta dan publik melalui kemitraan yang tepat sasaran, kita semua
yakin bahwa Industry 4.0 akan membawa manfaat bagi bangsa dan Negara,”
terangnya.
Revitalisasi manufaktur
Sementara itu, Kepala Badan Penelitian
dan Pengembangan Industri (BPPI) Ngakan Timur Antaramengatakan, implementasi
Industry 4.0 akan membawa peluang besar untuk merevitalisasi sektor manufaktur
dan menjadi akselerator dalam mencapai visi Indonesia menjadi 10 besar ekonomi
dunia pada tahun 2030.
Kedepan negara Republik Indonesia akan meningkatkan produktivitas industri kita
dan dapat menciptakan lapangan kerja baru yang lebih bernilai tambah tinggi
sebagai dasar dari fondasi pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa datang.
Ngakan menegaskan, penerapan Industry
4.0 dinilai dapat menghasilkan peluang pekerjaan baru yang lebih spesifik,
terutama yang membutuhkan kompetensi tinggi. Untuk itu, dibutuhkan transformasi
keterampilan bagi SDM industri di Indonesia yang mengarah kepada bidang
teknologi informasi.
Studi yang dilakukan terhadap industri
yang ada di Jerman menunjukkan bahwa permintaan tenaga kerja akan meningkat
secara signifikan hingga 96 persen, khususnya di bagian R&D dan
pengembangan software.
Penjelasan lain bahwa terjadi shifting
pekerjaan karena penerapan Industry 4.0. Pekerjaan nanti tidak hanya di
manufaktur saja, akan berkembang ke supply chain, logistik, R&D. Selain
itu, yang di sektor manufaktur juga perlu rescaling atau up-scaling untuk memenuhi
kebutuhan.
Dengan penggunaan teknologi terkini dan
berbasis internet, muncul pula permintaan jenis pekerjaan baru yang cukup
banyak, seperti pengelola dan analis data digital, serta profesi yang dapat
mengoperasikan teknologi robot untuk proses produksi di industri.
Ada beberapa potensi keuntungan yang
dihasilkan sebagai dampak penerapan konsep Industry 4.0. Keuntungan tersebut,
antara lain mampu menciptakan efisiensi yang tinggi, mengurangi waktu dan biaya
produksi, meminimalkan kesalahan kerja, dan peningkatan akurasi dan kualitas
produk.
Agar menjamin keberlangsungan sistem
Industry 4.0 berjalan secara optimal, Ngakan menyebutkan, ada beberapa
prasyarat yang harus dipenuhi oleh industri. Kebutuhan penunjang itu di
antaranya adalah ketersediaan sumber daya listrik yang melimpah, murah, dan
kontinyu, serta ketersediaan infrastruktur jaringan internet dengan bandwidth
yang cukup besar dan jangkauan luas (wide coverage).
Selanjutnya, ketersediaan data center
dengan kapasitas penyimpanan yang cukup banyak, aman dan
terjangkau,ketersediaan infrastruktur logistik modern, dan kebijakan
ketenagakerjaan yang mendukung kebutuhan industri sesuai dengan karakter
Industry 4.0.
Tidak hanya industri skala besar,
Kemenperin juga mendorong kepada industri kecil dan menengah (IKM) agar ikut
menangkap peluang di era Industry 4.0.
Kemenperin telah meluncurkan program
e-Smart IKM. Ini yang perlu dimanfaatkan oleh mereka untuk lebih meningkatkan
akses pasarnya melalui internet marketing.