FENOMENA CALON TUNGGAL PILKADA 2020
By,
point
Setelah KPU membuka pendaftaran calon
kepala daerah pada 4-6 September 2020, sampai batas akhir pendaftaran terdapat
28 pasangan calon tunggal. Munculnya pasangan calon tunggal, seperti di Kota
Balikpapan, Kota Pemantang Siantar, dan Kabupaten Kediri merupakan sebagian
contoh yang menggambarkan problem mendasar tantangan demokrasi lokal di
Indonesia. Calon tunggal ini memborong hampir bahkan seluruh dukungan partai
politik yang ada.
Fenomena calon tunggal pada pilkada
serentak sejak 2015, bukan pertama kalinya. Data KPU menunjukkan, calon tunggal
juga terjadi pada pilkada sebelumnya.
Fenomena Bakal
Calon Tunggal Jadi Strategi Menangkan Pilkada
Calon calon calon (paslon) tunggal pada
tahun ini tidak lepas dari faktor strategi untuk memenangkan kontestasi Pilkada
2020. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), ada 25 bakal paslon tunggal
yang kini tercatat sebagai peserta Pilkada di 25 kabupaten / kota. "Kami
melihat pada 2020 ini selain faktor syarat pencalonan yang berat, kehadiran
(banyak) paslon tunggal juga menjadi strategi pemenangan,". Fenomena Calon Tunggal di Pilkada 2020 Dampak Pandemi
Indikasinya, terlihat sejumlah bakal paslon tunggal yang didukung
hampir 100 persen kursi di DPRD. Dengan kata lain, banyak parpol yang mengusung
bakal paslon tunggal itu. Indikasi lainnya, bakal paslon tersebut merupakan
petahana atau punya latar belakang kekerabatan dengan petahana atau parpol.
"Itu merupakan modal awal, yang bisa dijadikan jalan pintas sehingga
jalannya lebih mulus untuk meraih suara terbanyak," kata dia. "Soal bakal paslon tunggal menjadi tren
strategi pemenangan," Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) merilis data 25 daerah dengan
calon calon (paslon) tunggal di Pilkada 2020. Komisioner KPU Ilham Saputra
mengatakan, di 25 daerah itu hingga saat ini masih ada hanya satu bakal paslon
yang dikenakan diri sebagai peserta Pilkada 2020. Data ini tercatat setelah KPU
masa pendaftaran di daerah dengan hanya satu bakal paslon, yakni pada 11, 12,
dan 13 September 2020.
Sejarah Pelaksanaan Pilkada Calon Tunggal
Pada Pilkada 2015, terdapat tiga calon
tunggal, Pilkada 2017 sembilan calon tunggal, dan Pilkada 2018 terdapat 16
calon tunggal. Data ini memberikan gambaran, tren pasangan calon tunggal secara
kuantitas dalam tiga pilkada sebelumnya.
Setidaknya, salah satu penyebab kuat
munculnya calon tunggal adalah konstelasi politik yang berkembang di
masing-masing daerah, termasuk munculnya calon pejawat dan calon dalam
lingkaran kekuasaan (oligarki). Secara akademis, munculnya calon tunggal dalam
pilkada tak hanya dipengaruhi satu penyebab dan setiap daerah memiliki
karakteristik tersendiri terkait penyebab munculnya calon tunggal. Namun, pada
kenyataannya, munculnya calon tunggal sering didominasi calon pejawat dan
politik oligarki di satu sisi, serta sikap pragmatis partai politik dalam
pemenangan kontestasi pilkada pada sisi lainnya.
Kekuasaan
pejawat
Kata pejawat merupakan padanan untuk kata incumbent. Incumbent bisa diartikan sebagai orang yang mempunyai posisi dan masih aktif menjabat. Melihat kata incumbent memiliki aspek kemiripan dari semantik dengan kata pejabat dan penjabat. Namun, pejabat telah memiliki artinya sendiri, begitu juga dengan penjabat. Penjabat, 'pemegang jabatan orang lain untuk sementara'. Sedangkan penjawat, yang merupakan kata klasik, yakni `pegawai istana yang bertugas membawa atau melayani' dan 'pemegang jabatan.
Pada pilkada di tengah pandemi ini, munculnya calon tunggal sulit dilepaskan dari dominasi pejawat. Ini terlihat dari munculnya calon tunggal di tiga pilkada sebelumnya, erat kaitannya dengan pejawat yang sejak awal memiliki popularitas dan tingkat keterpilihan tinggi.
Terlebih dalam kondisi pandemi, partai
politik lebih condong kepada pejawat karena figur alternatif sulit menyaingi
pejawat. Situasi pandemi menjadi momentum pejawat lebih menegaskan sosoknya di
tengah masyarakat.
Pejawat dengan kewenangan sebagai kepala
gugus tugas penanganan Covid-19, memiliki panggung politik luas dan strategis,
termasuk terkait pendistribusian bantuan sosial (bansos). Meskipun begitu,
pejawat tak serta-merta memperoleh keuntungan karena juga dihadapkan pada
situasi berat saat pengendalian Covid-19. Kegagalan mengendalikan pandemi
menjadi preseden buruk bagi pejawat.
Urgensi
pelembagaan parpol
Tak seperti pejawat, calon penantang tak
memiliki momentum seimbang dalam mengampanyekan gagasannya. Bahkan,
pemberlakuan pembatasan sosial, menjadi ancaman serius untuk meningkatkan
popularitas.
Belum lagi, banyaknya penyalah gunaan
kewenangan pejabat, seperti di Kabupaten Jember dalam proses penyaluran bansos
dengan ditumpangi kampanye, semakin memperlebar gap petakompli potensi
kemenangan antara pejabat dan calon penantang. Selain aspek kandidat, partai
politik (parpol) berperan menentukan calon, tak dapat dipisahkan atas
merebaknya calon tunggal di pilkada tahun ini. Banyaknya calon tunggal menjadi
batu uji bagi keberlangsungan kaderisasi partai politik.
Jika kaderisasi parpol gagal,
pelaksanaan demokrasi lokal akan mundur dan mela hir kan sikap pragmatis.
Sebagai institusi sosial yang menyiapkan kepemimpinan daerah, seharusnya parpol
melakukan kaderisasi politik.
Mereka juga semestinya menyeleksi calon
kandidat kepala daerah jauh sebelum konstestasi pilkada. Namun, faktanya
menunjukkan hal sebaliknya. Banyaknya calon tunggal yang didominasi pejawat
mengindikasikan kaderisasi parpol belum optimal.
Indikator kuat pada pilkada tahun ini
adalah "pemborongan" dukungan partai politik. Contohnya, calon
tunggal di pilkada Kota Balikpapan, yang merupakan wakil wali kota dan ketua
DPRD, telah memperoleh seluruh dukungan partai politik yang ada.
Jadi, tak ada ruang bagi calon
alternatif karena tidak terpenuhinya dukungan kursi atau suara partai politik
sebagai syarat minimal pencalonan kepada daerah. Di sisi lain, hadirnya calon
perseorangan semakin sulit diharapkan dalam situasi pandemi seperti ini.
Selain beratnya syarat minimal dukungan,
jalur per seorangan ini juga memerlukan biaya tak sedikit dalam mengumpulkan
dukungan minimal. Apalagi, ruang gerak calon perseorangan di hadapkan pada
situasi sulit di tengah pembatasan sosial.
Sejauh ini berarti demokrasi lokal tetap
bertumpu pada kaderisasi parpol. Sikap pragmatis parpol yang belakangan ini
meningkat, sepatutnya jadi perhatian publik. Penguatan pelembagaan parpol jadi
keniscayaan dalam menjawab persoalan calon tunggal.
Setidaknya, ada beberapa strategi untuk
mengatasi persoalan calon tunggal.
1. Mengatur
secara tegas batasan maksimal dukungan parpol kepada salah satu calon sehingga
memberikan peluang munculnya calon alternatif.
2. Kewajibkan
parpol menyeleksi calon kepala daerah disertai akuntabilitas proses seleksi
dalam setiap pilkada.
Fenomena Calon Tunggal vs Kotak Kosong di Pilkada 2020
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020
tampaknya akan diikuti sederet calon tunggal atau satu pasangan calon (paslon).
Istilahnya, calon tersebut bakal melawan kotak kosong. Fenomena ini pun dinilai
oleh berbagai pihak sebagai kemerosotan demokrasi, namun sama sekali tak bisa
dihindari.
Ini menunjukkan kegagalan di
internal partai politik dalam mencetak figur atau calon untuk berani maju.
Dampak krisis calon figur yang diusung membuat persaingan di Pilkada juga tidak
kompetitif,
Tidak menutup
kemungkinan masyarakat akan menjadi apatis, jika calon kepala daerahnya hanya
kotak kosong. Menurutnya, partai politik harus membuat strategi agar masyarakat
tidak apatis dan menggunakan hak pilihnya.
Seperti halnya yang terjadi pada
Pilwakot Makassar 2018 lalu, itu tercatat dalam sejarah pemilihan kepala daerah
di Indonesia, kotak kosong lebih unggul dari calon tunggal yang punya visi dan misi,"
Banyaknya calon tunggal di Pilkada
serentak 2020 ini juga tidak terlepas dari adanya syarat ambang batas 20 persen
dalam UU Pilkada. Misalnya Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada menyebutkan bahwa
Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan calon jika telah
memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD,
atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota
DPRD di daerah yang bersangkutan.
Adanya syarat ambang batas 20 persen ini bisa dianggap memperbesar peluang Pilkada hanya diikuti oleh calon tunggal. Ke depan, jika tak bisa ditiadakan, syarat ambang batas ini sebaiknya diturunkan menjadi 10 persen atau bahkan 5 persen saja,
Fenomena Calon Tunggal Pilkada 2020
Menurut pemerhati dan pengamat
Pendapat anggota Komisi III DPR RI
Arteria Dahlan menegaskan bahwa calon tunggal tak akan pernah ada dalam
pilkada apabila legislator tak diwajibkan mengundurkan diri saat berkompetisi
dalam pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Namun, karena situasi sebaliknya,
pilkada dengan banyak calon tunggal pun sulit dihindari.
"Seandainya anggota DPR boleh cuti,
dipastikan tidak ada calon tunggal dalam pilkada yang ada di republik
ini," kata Arteria Dahlan dalam sidang uji materi UU Pilkada di Gedung
Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (12/8),
dikutip dari Antara.
Menurut Arteria, berlakunya Pasal 7 ayat
(2) huruf s Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang mensyaratkan
pengunduran diri anggota legislatif sejak ditetapkan sebagai calon kepala
daerah, justru berdampak pada minimnya peserta yang mengikuti kontestasi
pilkada.
Arteria mengatakan bahwa calon tunggal
dalam setiap kontestasi bisa mengancam kualitas pilkada dan mencerminkan
kemunduran dalam pelaksanaan demokrasi. Selain persoalan calon tunggal,
menurutnya, norma dalam pasal tersebut menyebabkan anggota legislatif tidak
dapat menjalankan tugas dan kewajiban selama lima tahun karena diganti dengan
mekanisme pergantian antarwaktu setelah mengundurkan diri untuk mengikuti
pilkada.
Anggota DPR, DPD, DPRD seharusnya
mendapatkan perlakuan yang sama dengan kepala daerah, yakni menjalankan tugas
dan wewenangnya dan kewajibannya selama lima tahun dan tidak boleh dikurangi
satu detik pun.
Arteria mengatakan bahwa nyaris semua
anggota DPR menolak syarat legislator harus melepas jabatan untuk maju dalam
pilkada saat pembahasan Undang-Undang Pilkada, tetapi terpaksa menyetujui
keinginan pemerintah. Menurutnya, hampir semua fraksi sepakat bahwa anggota DPR,
DPRD dan DPD tidak harus mengundurkan diri saat ditetapkan sebagai calon kepala
daerah.
Namun, saat itu pemerintah khawatir
dengan isu korupsi. Beberapa partai politik pun takut karena sejumlah menteri
memiliki kepentingan yang tersandera sehingga pembahasan berakhir dengan
kesepakatan.
Pasal ketentuan mundurnya anggota DPR
ini, itu dari awal sampai mau diputusnya undang-undang itu, masih alot terus
sampai akhirnya kami dipaksa karena fraksi diperintahkan untuk ikuti yang ada
di pemerintah, tapi suasana kebatinannya, semuanya ini adalah menolak.
Arteria pun merasa keberatan saat
pemerintah memberikan keterangan dalam sidang sebelumnya dengan mengutip
sejumlah putusan MK terkait syarat pencalonan kepala daerah. Menurutnya,
pemerintah dalam menyajikan keterangan kepada MK juga melihat suasana kebatinan
faktual, yakni hampir semua fraksi setuju untuk menolak syarat DPR harus mundur
itu.
Anggota Komisi Kepemiluan (Komisi II) DPR, Zulfikar Arse Sadikin, menanggapi soal potensi terjadinya peningkatan calon tunggal pada Pilkada Serentak 2020. Menurutnya, fenomena Pilkada dengan satu pasangan calon secara aturan sah karena adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 100/PUU-XIII/2015.
Putusan MK tersebut, kata Zulfikar,
merupakan jalan keluar atas realitas yang ada demi menjaga keberlangsungan
pemerintahan setiap 5 tahun sekali di daerah. Selain itu, ia juga mengatakan
ketentuan demi menegakkan hak konstitusional warga negara.
Jika dilihat, tren pasangan calon
tunggal terus meningkat di tiga gelombang pilkada serentak. Fakta ini
dikhawatirkan akan kembali berlanjut di pilkada 2020.
Pada pilkada 2015 yang berlangsung
serentak di 269 daerah, tiga daerah menggelar pilkada dengan calon tunggal. Di
2017, pilkada yang melibatkan 101 daerah juga memperlihatkan 9 daerah menggelar
pilkada dengan kondisi yang sama. Jumlah itu semakin meningkat di pilkada 2018.
Dari 171 daerah penyelenggara pilkada, 16 daerah menggelar pilkada dengan calon
tunggal.
Zulfikar menjelaskan, meski Pilkada
dengan satu pasangan calon terkesan meniadakan kompetisi dan kontestasi sebagai
prinsip dalam demokrasi, namun dengan keharusan Pilkada dengan satu pasangan
calon disandingkan dengan kotak kosong dan harus mencapai keterpilihan di atas
50 % suara.
Menurutnya, hal itu menandakan bahwa
warga negara yang punya hak tetap diberi pilihan.
Selain itu, warga negara juga tetap
diberi ruang untuk menyatakan kesetujuan dan atau ketidaksetujuan terhadap
pasangan calon paslon tunggal tersebut. Zulfikar mengatakan hal ini pernah
terjadi pada Pilkada di Kota Makassar pada 2018.
Direktur eksekutif Lembaga Survei
Celebes Research Center (CRC) Herman Heizer memaparkan hasil penghitungan cepat
Pilkada Makassar di hotel Four Poin by Sheraton di Makassar, Sulawesi Selatan,
Rabu (27/6) malam. CRC melansir pasangan calon Munafri Arifuddin-A Rachmatika
Dewi (Appi-Cicu) memperoleh angka 46,55 persen sedangkan kolom kosong
memperoleh 53,45 persen dan partisipasi pemilh 59 persen.
Jadi inilah bentuk kearifan kita sebagai
bangsa. Inilah bentuk demokrasi partikular," kata politikus Partai Golkar
ini saat dihubungi, Rabu 12 Agustus 2020.
Meski begitu, lanjut dia, apabila ke
depan ingin ada kompetisi dan kontestasi pemilu melibatkan banyak paslon,
anggota badan legislasi (Baleg) DPR ini memandang perlu ada pembaharuan.
Dari sisi aturan, Zulfikar memaparkan
ada 4 hal yang perlu diperbarui.
1.
Pertama,
ambang batas pencalonan ditiadakan. Artinya, setiap partai politik yang dapat
kursi di DPRD bisa mengusung paslon.
2.
Pemilihan
kepala/wakil kepala daerah diserentakkan dengan pemilihan anggota DPRD karena
kepala/wakil kepala daerah dan DPRD itu entitas pemerintahan daerah.
3.
Pembiayaan
partai politik dari negara harus semakin besar agar parpol semakin
bertanggungjawab kepada publik.
4.
Belanja
kampanye dibatasi secara rasional, untuk fairnes dan kesetaraan serta
mengeliminir prilaku electoral fraud akibat biaya politik sangat mahal.
Zulfikar juga mengatakan partai politik
sebagai tulang punggung demokrasi dan pilar demokrasi, harus semakin bertindak
sesuai fungsi dan misi yang diembannya. Jangan sampai justru partai politik
nanti yang merusak bahkan mematikan demokrasi itu sendiri.
Selain itu, dalam konteks elektoral,
fungsi dan misi parpol adalah merekrut, mengkader, menseleksi, dan menyuguhkan
kader mereka untuk menduduki jabatan publik, terlepas suatu nantinya mereka
bisa menang ataupun kalah.
Apapun yang akan terjadi fungsi dan misi
partai politik tersebut harus dijalankan. Sebab komitmen dan konsistensi parpol
dalam konteks ini pun menjadi penilaian publik.
Prediksi Bakal Ada Calon Tunggal di 31 Daerah
Prediksi bahwa akan ada calon tunggal di
31 daerah yang menggelar Pilkada 2020 secara serentak. Angka tersebut sangat
mungkin berubah. Sebab proses pencalonan masih berlangsung hingga ditutup pada Rabu (23/9).
Prediksi hanya akan memiliki calon
tunggal itu di
antaranya :
1.
Kota
Semarang.
2.
Solo.
3.
Kebumen.
4.
Grobogan.
5.
Sragen.
6.
Wonosobo.
7.
Ngawi.
8.
Wonogiri.
9.
Banyuwangi.
10. Blitar.
11. Kabupaten
Semarang.
12.
Kediri.
13. Botolali.
14. Klaten.
15. Gowa.
16. Sopeng.
17. Gunung Sitoli.
18. Balikpapan.
19. Buru Selatan.
20. Pematang
Siantar.
21. Kita lihat
perkembangan lebih lanjut ???
Calon tunggal dan dinasti politik memang
tak dilarang dalam konstitusi di Indonesia. Namun praktik ini perlu diimbangi
agar demokrasi tetap berjalan secara adil bagi setiap warga negara.
Ø
Bukan
hanya kedaulatan rakyat, tapi kesetaraan politik.
Ø
Bukan
sekadar membolehkan orang untuk maju dan berkompetisi, tapi memastikan kompetisinya
berjalan dengan adil dan setara.
Akan mendorong terciptanya koalisi yang
lahir secara alamiah, meski tidak ada ambang batas pencalonan. Karena partai
akan berpikir untuk mengusung calon yang bisa menarik suara dan berpotensi
memenangkan partai