Penyebab Calon Tunggal di Pilkada 2020
By,
point
Banyaknya calon tunggal dalam Pemilih
Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 patut disoal. Sejumlah faktor disebut
mepengaruhi hal tersebut.
Calon tunggal menguat karena faktor
petahana dan biaya politik,
23 dari 28 daerah yang diisi calon
tunggal pada Pilkada 2020 diikuti oleh petahana. Mereka maju sebagai kepala
daerah atau sebagai wakil kepala daerah.
Sebanyak 10 dari 23 daerah diisi pasangan petahana. Kepala daerah dan wakil kepala daerah inkumben,
maju kembali. Kondisi ini disebut mereduksi munculnya kandidat penantang.
Sebab calon tunggal menguat :
1. Biaya
politik yang mahal juga memengaruhi. Calon yang tak populer bakal
mempertimbangkan pencalonannya yang serba terbatas di tengah pandemi virus
korona (covid-19).
2. Dengan
situasi pandemi siapa yang mau biayai orang? Pemodal politik pasti berhitung
sekali, untuk apa investasi ke kandidat dalam situasi bisnis yang enggak
pasti.
3. Faktor
lainnya ialah tidak adanya ambang batas parlemen (parliamentary threshold/ PT)
di DPRD yang bisa membentuk dukungan pencalonan. Ambang batas pencalonan oleh
parlemen sebesar 4% hanya berlaku di DPR.
4. Tidak
adanya ambang batas parlemen membuat terjadinya multi-partai ekstrem.
5. Faktor terakhir yakni dominasi kekuatan oleh
satu partai. Ada 12 daerah dengan calon tunggal yang memiliki hubungan erat
dengan PDIP. Hampir setengah calon tunggal itu punya hubungan politik,
mayoritas sebagai kader, semuanya mungkin kader PDIP.
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020
tampaknya akan diikuti sederet calon tunggal atau satu pasangan calon (paslon).
Istilahnya, calon tersebut bakal melawan kotak kosong. Fenomena ini pun dinilai
oleh berbagai pihak sebagai kemerosotan demokrasi, namun sama sekali tak bisa
dihindari.
"Ini menunjukkan kegagalan di
internal partai politik dalam mencetak figur atau calon untuk berani maju.
Dampak krisis calon figur yang diusung membuat persaingan di Pilkada juga tidak
kompetitif,"
Bahwa tak menutup kemungkinan masyarakat
akan menjadi apatis, jika calon kepala daerahnya hanya kotak kosong.
Menurutnya, partai politik harus membuat strategi agar masyarakat tidak apatis
dan menggunakan hak pilihnya.
Seperti halnya yang terjadi pada
Pilwakot Makassar 2018 lalu, itu tercatat dalam sejarah pemilihan kepala daerah
di Indonesia, kotak kosong lebih unggul dari calon tunggal yang punya visi dan
misinya.
Banyaknya calon tunggal di Pilkada
serentak 2020 ini juga tidak terlepas dari adanya syarat ambang batas 20 persen
dalam UU Pilkada. Misalnya Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada menyebutkan bahwa
Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan calon jika telah
memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD,
atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota
DPRD di daerah yang bersangkutan.
Adanya syarat ambang batas 20 persen ini
bisa dianggap memperbesar peluang Pilkada hanya diikuti oleh calon tunggal. Ke
depan, jika tak bisa ditiadakan, syarat ambang batas ini sebaiknya diturunkan
menjadi 10 persen atau bahkan 5 persen saja,