- MODUS
- PUNGLI
- PREMAN
- PEMBOHONGAN PUBLIK
- HOAKS
- PENCEMARAN NAMA BAIK
- PERMUFAKATAN JAHAT
- TEROR
- MENGANGGU KENYAMANAN & KETENTRAMAN
- PERBUATAN TIDAK MENYENANGKAN
Tulisan artikel ini dibuat atas dasar kejadian2 dan fenomena yang sering kita temui didalam masyarakat baik berita dari visual maupun media cetak dan online, sumber data ini di ambil dari berapa sumber online yang valid dan dapat dipertanggung jawabkan kebenaran sumbernya.
Semoga tulisan artikel blog ini bermanfaat.
MODUS
Modus operandi adalah cara operasi orang perorang atau kelompok penjahat dalam menjalankan rencana kejahatannya. Kata tersebut sering digunakan di koran-koran atau televisi jika ada berita kejahatan. Kata tersebut sering disingkat menjadi M.O.
Istilah ini sering digunakan dalam pekerjaan polisi ketika membahas kejahatan dan metode yang digunakan oleh penjahat . Ini juga digunakan dalam pembuatan profil kriminal, di mana ia dapat membantu menemukan petunjuk tentang psikologi pelaku .
Ini sebagian besar terdiri dari memeriksa tindakan yang digunakan oleh individu untuk melakukan kejahatan, mencegah deteksi dan memfasilitasi pelarian.
Modus operandi tersangka dapat membantu dalam identifikasi, penangkapan, atau represi mereka, dan juga dapat digunakan untuk menentukan hubungan antara kejahatan.
Dalam bisnis, modus operandi digunakan untuk menggambarkan cara yang disukai perusahaan dalam menjalankan bisnis dan berinteraksi dengan perusahaan lain.
TENTANG MODUS MARAK SAAT INI.
Dilangsir dari beberapa sumber, sudah setahun lebih lamanya, Indonesia diserang oleh wabah virus Corona (Covid-19). Sejak Maret hingga saat ini, dampak dari penyebaran virus corona ini sangat terasa. Misalnya, meningkatnya jumlah pengangguran akibat ribuan karyawan terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) hingga meningkatnya jumlah tindak kejahatan akibat kebijakan pembebasan narapidana.
Memang, sejak corona menyerang, kondisi ekonomi menurun dan mencari pekerjaan baru menjadi sangat sulit. Kondisi ini bisa jadi pemicu bagi orang-orang yang nekad melakukan kriminalitas demi memenuhi kebutuhan hidup.
Menyikapi hal ini. tentu Anda harus waspadai agar tidak menjadi korban kejahatan oknum yang tidak bertanggung jawab. Jadilah masyarakat cerdas yang tahu ciri-ciri modus kejahatan yang sering terjadi di tengah masyarakat selama pandemi corona.
Apa saja modus kejahatan yang umumnya muncul di tengah pandemi covid-19 ?
Mari kita cermati fenomena modus kejahatan saat ini yang meresahkan masyarakat.
1. Penipuan Mengatasnamakan Perbankan
Penipuan mengatasnamakan perbankan
Nasabah perbankan harus waspada setiap saat karena penipuan mengatasnamakan perbankan kini semakin meningkat. Banyak oknum penipuan ini yang menjalankan aksinya lewat telepon tanpa kenal waktu dengan cara mengelabui korbannya atau dikenal dengan phishing.
Canggihnya, mereka menggunakan nomor telepon yang hampir sama dengan nomor layanan bank dan intonasi suara yang hampir mirip dengan petugas bank. Hal ini membuat si korban percaya betul bahwa ia benar-benar di telpon oleh pihak bank.
Pelaku penipuan dengan modus perbankan ini, biasanya mereka akan memberikan iming-iming hadiah karena rutin menabung, mendapat poin kartu kredit yang besar dan sebagainya. Akan tetapi, secara tidak sadar, penipu tersebut akan mengarahkan pembicaraan meminta data nasabah. Mulai dari data pribadi, password hingga nomor CVV pada kartu kredit.
Selain itu, juga ada kejahatan skimming yang merupakan pembobolan kartu ATM dengan mencuri informasi yang ada di kartu debit atau kredit. Ada juga kejahatan malware yang biasanya terjadi saat seseorang melakukan transaksi e-banking.
2. Maling Berpura-pura Sebagai Warga Setempat
Mungkin menurut kebanyakan orang, melihat orang lain yang lalu lalang di sekitar rumah adalah hal yang wajar. Sebab, Anda pasti akan berpikir orang tersebut adalah warga yang juga tinggal di lingkungan RT (resmi) yang sama.
Namun, jangan dianggap sepele juga karena bisa jadi salah satu diantara orang yang berkeliling di sekitar rumah adalah maling yang sedang melakukan pengintaian terhadap rumah incaran. Anda tentunya perlu mawas diri, jangan sampai rumah Anda menjadi incaran para maling tersebut.
3. Rampok Jadi Petugas Penyemprotan Disinfektan
Rampok jadi petugas penyemprotan disinfektan
Semenjak pandemi corona, banyak warga yang menyemprotkan cairan disinfektan ke area rumahnya, baik secara mandiri ataupun minta bantuan petugas. Situasi seperti ini dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan tindak kejahatan, yaitu merampok rumah korban.
Mereka beroperasi dengan menyebarkan nomor telepon dengan mengatasnamakan jasa penyemprotan disinfektan. Oknum tersebut datang benar-benar dengan seragam dan peralatan yang lengkap. Setelah orang rumah menunggu di teras atau luar rumah, ini menjadi kesempatan oknum untuk merampok harta benda yang ada.
4. Berpakaian Rapi Padahal Jambret
Biasanya, penampilan para pelaku kriminalitas di jalan seperti jambret menggunakan celana dan rompi berbahan jeans, atau kaos yang sudah robek atau lusuh. Ditambah paras pelaku yang menyeramkan.
Akan tetapi, sekarang ini pelaku jambret mengubah penampilannya. Untuk menjalankan aksinya, mereka mengubah penampilannya dengan berpakaian rapi dan bersih selayaknya orang biasa pada umumnya. Dengan begitu, tidak ada satu orang pun yang menaruh kecurigaan kepada pelakau jambret.
Pelaku jambret, akan mengincar orang-orang yang sedang bermain smartphone di jalan, memakai perhiasan yang mencolok hingga orang yang sedang memakirkan kendaraannya di pinggir jalan. Jambret tidak akan segan-segan untuk merampas barang berharga korban incarannya, maka Anda jangan menunjukkan barang berharga di sembarang tempat.
5. Begal Layaknya Orang Berkendara Biasa
Begal layaknya orang berkendaraan
Jika sedang berkendara, tentunya Anda hanya akan fokus melihat kedepan serta kaca spion untuk melihat kendaraan lainnya di belakang. Namun, Anda harus berhati-hati ketika sedang di jalan, terutama di jalanan yang sepi. Sebab, dikhawatirkan ada begal layaknya seperti orang berkendara biasa yang mengikuti Anda.
Biasanya begal sudah mengintai korbannya sejak si korban dari rumah hingga ke kantor, begitu sebaliknya. Begal akan menjalankan aksinya di jalan yang sepi, merampas kendaraan, hingga barang berharga, dan juga tak segan untuk melukai korban bahkan membunuh.
6. Penipu Berlaga Sebagai CEO Perusahaan
Banyak cara yang bisa dilakukan oleh oknum penipuan, seperti berlaga sebagai pemimpin atau CEO perusahaan. Mereka akan mencari data-data korban yang dibutuhkan melalui Google, LinkedIn, situs perusahaan dan sebagainya
Dalam menjalankan aksinya, pelaku akan mengirimkan sebuah pesan lewat email yang ditujukan kepada karyawan bagian finance. Isi pesan tersebut memerintahkan untuk transfer sejumlah dana ke rekening yang dituju.
Mawas Diri dan Segera Lapor.
Melihat kondisi kejahatan ini tak melihat siapa korbannya, maka Anda harus selalu mawas diri, baik ketika berada di rumah atau sedang berada di jalan. Simpan harta berharga yang dimiliki di tempat yang sulit ditemukan, baik itu di brankas atau di gudang rahasia. Ketika di jalan, jangan tunjukan smartphone atau dompet, sebaiknya simpan di dalam tas.
Jika melihat orang yang mencurigakan di sekitar Anda atau melihat tindak kriminal, segera lapor ke petugas satpam atau RT setempat. Setelah itu lanjutkan laporan dengan datang ke kantor Kepolisian terdekat. Agar lebih mudah dan cepat, hubungi layanan kepolisian atau call center Polri di nomor 110.
Call Center Polri 110
Dalam rangka lebih cepat pelayanan kepada masyarakat, Polri menunjukkan kepada PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) untuk melaksanakan Layanan Contact Center 110.
Kehadiran
Layanan Contact Center 110 POLRI ditujukan untuk memenuhi harapan dan kebutuhan
masyarakat terselenggaranya keamanan publik. Dalam layanan penyelenggaraan
contact center, telah disiapkan sebuah sistem aplikasi yang dapat memungkinkan
pencatatan/perekaman setiap interaksi Polri & masyarakat, sehingga
memungkinkan pengendalian kebutuhan masyarakat terhadap Polri.
Sistem
tersebut direncanakan akan membuka saluran melalui : telepon, sms, email, fax
dan media sosial yang didukung oleh jaringan Telkom Group di Indonesia.
Masyarakat
yang nantinya akan melakukan panggilan ke nomor akses 110 akan langsung
terhubung ke agen yang akan memberikan layanan berupa informasi, pelaporan
(kecelakaan, bencana, korban, dll) dan pengaduan (penghinaan, ancaman, tindak
kekerasan dll).
Masyarakat
bisa menggunakan layanan Contact Center 110 secara gratis. Namun demikian,
Polri menghimbau agar layanan 110 ini tidak dibuat utama-utama, karena jika
nantinya terjadi seperti itu, pihak Polri tentu akan melacak masyarakat yang
menurut laporan bohong.
Dengan
layanan 110 ini diharapkan dapat memudahkan pengaduan masyarakat di mana pun
berada.
Seluruh
pengaduan masyarakat di mana pun berada bisa dilayani oleh kepolisan, anggota
polri, secara cepat dan anggota kita yang merespons atau menerima laporan
tersebut bisa menggerakkan anggota terdekat di lapangan untuk melakukan pelayanan
secara cepat.
Kepolisian
tidak akan menutup telinga apabila ada koreksi dan masukan terkait dengan pelayanannya
kepada masyarakat.
Tentunya kami selalu menerima masukan dan koreksi terkait dengan pelayan kepolisian, sehingga ke depan pelayanan kami tentunya akan menjadi semakin baik seperti apa yang diharapkan oleh masyarakat.
Aplikasi PolisiKu
Dalam
rangka lebih cepat memberikan pelayanan kepada masyarakat, Polri telah
meluncurkan aplikasi Polisiku, yaitu aplikasi bantuan polisi kepada masyarakat
yang dapat didownload di android play store dan apple app store.
Aplikasi
PolisiKu memiliki fitur utama yaitu untuk mencari pos polisi terdekat dari
posisi masyarakat. Selain itu terdapat fitur lain antara lain :
1.
Melakukan
panggilan telepon call center 110 melalui jaringan internet/ Voip.
2.
Mencari
pos polisi dan teleponnya di seluruh Indonesia.
3.
Melakukan
pengaduan masyarakat.
4.
Serta
sebagai sarana penyampaian informasi dari Humas Polri kepada masyarakat.
5.
Memberikan
aspirasi melalui fitur Halo Polisiku.
6.
Fitur
layanan publik seperti SKCK Online dan SIM Online
Kedepannya
Polri akan terus mengembangkan aplikasi Polisiku sebagai aplikasi bantuan
layanan polisi tersentralisasi dan nasional. Sehingga masyarakat tidak perlu
menginstall banyak aplikasi untuk mengakses layanan-layanan polisi.
Nomor Telefon Halo Polisi 110 Telah Dioperasionalkan, Ini 9 Hal Perlu Anda Ketahuai Soal Layanan Darurat 110
Masyarakat
bila mengetahui ada berbagai hal kejahatan, atau membutuhkan layanan
kepolisian, bisa setiap saat enelefon ke nomor layanan darurat 110 yang kalau
di Kepolisian Amerika dikenal dengan nomor kontak 911.
Inilah
9 hal yang mesti masyarakat ketahui mengenai nomor telefon Halo Polisi atau
layanan darurat 110 :
1.
Sejak
Kamis, 20 Mei 2021, bertapatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, layanan telpon
110 dari kepolisian di resmikan dan diluncurkan keseluruh POLDA dan Polres
secara bertahap sesuai dengan kesiapan masing-masing Polda.
2.
Peresmian
dan peluncuran ini dihadiri bapak Panglima TNI, Ka Polri, Gubernur Jawa Barat
dan undangan terbatas di Bandung, Jawa Barat dan dilaksanakan secara online ke
seluruh Polda.
3.
Semua
operator seluler telah MOU mengalokasikan nomor pelayan 110 khusus untuk polisi
dalam menerima panggilan darurat (seperti 911 di AS ) dan dinyatakan gratis.
4.
Kelanjutan
dari tahap awal yang pernah dimulai tahun 2015 ini, telah disempurnakan/diupgrade
dan bahkan semua laporan dari masyarakat akan terekam oleh server dari MABES
Polri.
5.
Semua
unit mobil patroli dan aparat kepolisian yang bertugas di lapangan telah di
rekam dan ter detek secara GPS tempat petugas polisi polisi yang bertugas dari alat
komunikasinya (alkom).
6.
Semua
pengaduan dan telepon dari masyarakat yang memakai HP atau telp rumah/umum akan
terekam dan terlacak oleh GPS di semua Polres/Polda dan Mabes.
7.
Pelayanan
telpon dari masyarakat akan tersambung atau di angkat oleh petugas piket polisi
pada polres terdekat. Kalau Polres tidak mengangkat panggilan telepon, maka
sambungan telpon akan masuk di Polda. Dan kalau Polda tidak mengangkat, telpon
ini akan tersambung ke Mabes Polri. (beban berat dari ka Polres, Kapolda dan
jajaran operator yang lengah atau ketiduran, karena layanan ini dibuka 24 jam
non stop).
8. Diharapkan
semua masyarakat memanfaatkan nomor panggilan 110 ini dengan benar dan baik,
supaya bisa bermanfaat dalam melayani masyarakat dengan cepat.
(Dan jangan ada yang iseng karena akan
terlacak dari GPS yang sudah disiapkan untuk semua panggilan yang masuk ke
polisi.
Apabila masyarakat tiga kali melakukan
perbuatan jail (prank), nomor ponsel mereka akan terblokir secara otomatis. Dan
pemilik nomor seluler yang telah diblokir itu tidak akan bisa menghubungi call
center 110 sampai kapan pun).
TENTANG MODUS KEJAHATAN ELEKTRONIK & TRANSAKSI EFEK.
Untuk mengingkatkan kewaspadaan Anda, mari kenali fenomena kejahatan elektronik dalam transaksi efek :
1. Modus pemalsuan identitas.
Pelaku mengatas namakan dirinya sebagai admin group chat pada suatu media sosial perusahaan sekuritas, untuk mengelabui nasabah.
2. Modus memancing (pishing).
Pelaku melalui jaringan elektronik misalnya email dan website, memberikan promosi palsu untuk mengelabui nasabah masuk dalam pancinganya.
3. Modus meminta data.
Dalam hal pemenuhan syarat administrasi pendaftaran untuk berinvestasi pelaku meminta identitas, password, dan PIN nasabah.
4. Modus mempengaruhi nasabah (spamming).
Intensitas berkomunikasi yang sering kepada nasabah untuk menggiring opini melakukan transaksi atau memberikan data pribadi, biasanya menggunakan berita atau iklan email yang tak dikehendaki.
5. Modus pengiriman dana.
Nasabah dituntut untuk mengirimkan sejumlah dana ke rekening deposit, dimana nama rekening deposit tersebut berbeda dengan nama nasabah.
Menerobos alat komunikasi elektronik nasabah (hacking).
Mencuri data dan bertransaksi menggunakan data nasabah, melalui jaringan internet dengan cara meretas alat komunikasi elektronik Anda.
Setelah memahami modus kejahatan elektronik dalam pendaftaran dan transaksi efek.
Penting juga harus memahami langkah preventif yang harus dilakukan :
- Selektif dengan informasi
Selektif di setiap informasi yang didapat pada jejaring sosial dan portal berita manapun, sehingga nasabah dituntut aktif dalam menilai segala validitas informasi.
Hubungi official customer service
- Nasabah tidak membagikan data pribadi
Merahasiakan data pribadi terutama password dan PIN kepada siapapun termasuk kepada pihak Perusahaan Sekuritas. Pihak dari Mandiri Sekuritas tidak pernah menanyakan password melalui komunikasi pribadi kepada nasabah.
- Memperkuat keamanan password dan PIN
Nasabah diharapkan mengubah password dan PIN secara berkala dan tidak menggunakan password dan PIN yang mudah ditebak (misal tanggal lahir).
- Tidak mengakses menggunakan jaringan elektronik umum
Karena jaringan yang bersifat umum rentan terhadap hacking, sehingga rawan untuk pengaksesan data nasabah maupun bertransaksi efek.
- Dengan mengenali modus kejahatan elektronik dan menjaga kerahasiaan data, diharapkan transaksi investasi dan efek lebih nyaman dan lancar.
PUNGLI
Pungutan liar (PUNGLI) adalah pengenaan biaya di tempat yang tidak seharusnya biaya dikenakan atau dipungut. Kebanyakan pungli dipungut oleh pejabat atau aparat, pungli termasuk ilegal dan digolongkan sebagai KKN, tetapi kenyataannya hal ini jamak/jamaah/bareng2/kongsi sering dan seporadis terjadi di Indonesia.
Pungli & Tindak Pidana.
Pungutan Liar (Pungli) yang dimana dalam hal ini meliputi :
1. Faktor Penyebab dan.
2. Tindak Pidana.
Pengertian Pungutan Liar (Pungli)
Pungutan liar adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang/kelompok/sekawanan atau pegawai Negeri atau pejabat Negara dengan cara meminta pembayaran sejumlah (uang / duit / doku / fulus / ceperan / upeti / thek-thekan / amplop / tarikan / uang keamanan / uang lingkungan dll istilahnya), yang tidak sesuai atau tidak berdasarkan peraturan yang berkaitan dengan pembayaran tersebut.
Hal ini sering disamakan dengan perbuatan pemerasan, penipuan atau korupsi.
Faktor Penyebab Pungutan Liar
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan seseorang melakukan pungutan liar yaitu :
1. Penyalahgunaan wewenang, jabatan atau kewenangan seseorang dapat melakukan pelanggaran disiplin oleh oknumnya yang melakukan pungutan liar.
2. Faktor mental, moral dan aklaq, karakter atau kelakuan dari pada seseorang dalam bertindak dan mengontrol dirinya sendiri.
3. Faktor ekonomi, penghasilan yang bisa dikatakan tidak mencukupi kebutuhan hidup tidak sebanding dengan tugas/jabatan yang diemban membuat seseorang terdorong untuk melakukan pungli :
a. Faktor kultural dan Budaya organisasi, budaya yang terbentuk di suatu lembaga yang berjalan terus menerus terhadap pungutan liar dan penyuapan dapat menyebabkan pungutan liar sebagai hal biasa.
b. Terbatasnya sumber daya manusia.
c. Lemahnya sistem kontrol dan pengawasan oleh atasan.
Tindak Pidana Pungutan Liar
Dalam kasus tindak pidana pungutan liar tidak terdapat secara pasti dalam KUHP, namun demikian pungutan liar dapat disamakan dengan perbuatan pidana penipuan, pemerasan dan korupsi yang diatur dalam KUHP sebagai berikut :
1. Pasal 368 KUHP
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian ialah milik orang lain atau supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang, diancam, karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
2. Pasal 415 KUHP
Seorang pegawai negeri atau orang lain yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum terus-menerus atau untuk sementara waktu yang dengan sengaja menggelapkan uang atau surat-surat berharga yang disimpan karena jabatannya atau membiarkan uang atau surat berharga itu diambil atau digelapkan oleh orang lain atau menolong sebagai pembantu dalam melakukan perbuatan tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.
3. Pasal 418 KUHP
Seorang pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau sepatutnya harus diduganya, bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau menurut pikiran orang memberi hadiah atau janji itu ada hubungan dengan jabatannya diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
4. Pasal 423 KUHP
Pegawai negeri yang dengan maksud mengutungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa orang lain untuk menyerahkan sesutau melakukan suatu pembayaran, melakukan pemotongan terhadap suatu pembayaran atau melakukan suatu pekerjaan untuk pribadi sendiri, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun.
Berdasarkan ketentuan pidana tersebut diatas, kejahatan pungutan liar dapat dijerat dengan tindak pidana di bawah ini :
1. Tindak Pidana Penipuan
Penipuan dan pungutan liar ialah tindak pidana yang mana terdapat unsur-unsur yang sama dan saling berhubungan antara lain untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan rangkaian kebohongan untuk atau agar orang lain menyerahkan barang atau sesuatu kepadanya.
2. Tindak Pidana Pemerasan
Penipuan dan pungutan liar adalah tindak pidana yang mana terdapat unsur-unsur yang sama dan saling berhubungan antara lain untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan rangkaian kekerasan atau dengan ancaman agar orang lain menyerahkan barang atau sesuatu kepadanya.
3. Tindak Pidana Korupsi
Tindak pidana korupsi yang sangat erat kaitannya dengan kejahatan jabatan ini, karena rumusan pada :
Pasal 415 pasal penggelapan dalam KUHP diadopsi oleh UU No. 31 tahun 1999 yang kemudian diperbaiki oleh UU No. 20 tahun 2001 yang dimuat dalam pasal 8.
PELAKU PUNGLI DAPAT DIKENAI DUA PASAL KUHP
Pasal 368 ancaman hukumannya penjara maksimal sembilan tahun, sedangkan Pasal 423 ancaman hukumannya pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun.
PREMAN
Pemalakan yang dilakukan oleh oknum atau preman ini dalam hukum pidana dikenal dengan istilah pemerasan.
Kata pemerasan sendiri berasal dari kata peras, yang menurut (KBBI) berarti : mengambil untung banyak-banyak dari orang lain, meminta uang dengan ancaman.
Preman yang melakukan pemerasan dengan cara-cara kekerasan atau paksa dapat dijerat menggunakan Pasal 368 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu :
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
Unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain adalah menambah baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain dari kekayaan semula.
Unsur memaksa dalam pasal tersebut berarti melakukan tekanan pada orang sehingga orang itu melakukan sesuatu yang berlawan Unsur untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Unsur untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang dianggap telah ada apabila barang yang diminta oleh pemeras tersebut telah dilepaskan dari kekuasaan orang yang diperas, tanpa melihat apakah barang tersebut sudah benar-benar dikuasai oleh orang yang memeras atau belum.
Unsur supaya membuat hutang artinya pemeras memaksa orang yang diperas untuk membuat suatu perikatan atau suatu perjanjian yang menimbulkan kewajiban bagi orang yang diperas untuk membayar sejumlah uang kepada pemeras atau orang lain yang dikehendaki.
Unsur menghapuskan piutang maksudnya ialah untuk meniadakan perikatan yang sudah ada dari orang yang diperas kepada pemeras atau rang tertentu yang dikehendaki oleh pemeras.
Apabila setelah proses pengadilan terdakwa terbukti memenuhi unsur-unsur pada tindak pidana pemerasan, terdakwa bisa dijatuhi pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
INTIMIDASI & PEMERASAN
Untuk menjawab pertanyaan tadi terlebih dahulu kita pahami makna intimidasi. Intimidasi (intimidationdalam bahasa Inggris) bermakna menakut-nakuti, atau intimidatie (dalam bahasa Belanda) sebagai perbuatan menakut-nakuti.
Intimidasi (cowing) dimaksudkan adalah perilaku yang akan menyebabkan seseorang yang pada umumnya akan merasakan takut cedera atau berbahaya. Ini tidak diperlukan untuk membuktikan bahwa perilaku tersebut sehingga menimbulkan kekerasan sebagai teror atau korban yang sebenarnya takut yang dihitung menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk mencapai tujuan politik, agama, atau ideologi melalui intimidasi, kekerasan, atau Menanamkan takut dapat didefinisikan sebagai terorisme.
Perilaku mengancam seharusnya menjadi sebuah perkembangan yang normal kompetitif maladaptive untuk mendorong dominasi umumnya terlihat pada hewan. Dalam kasus manusia, perilaku mengancam mungkin lebih terpola sepenuhnya oleh kekuatan sosial, atau mungkin lebih mercilessly plotted egotisme oleh individu. Untuk menggunakan ancaman kekerasan atau mengancam atau dengan terganggu berarti untuk mengatakan atau melakukan sesuatu dalam keadaan yang sama, akan menyebabkan orang lain bisa merasakan harus takut dari keadaan berbahaya bilamana ia tidak mematuhinya.
Intimidasi secara leksikal diartikan sebagai perbuatan menakut-nakuti atau mengancam. Berdasarkan penelusuran kami, tidak ada lema ‘intimidasi’ dalam Buku II KUHP. Tetapi ada beberapa pasal yang memuat frasa ‘dengan kekerasan atau ancaman kekerasan’ yang dimaknai ada intimidasi pelaku kepada saksi/korban. Cuma, pembentuk undang-undang tidak memberikan penjelasan bagaimana kekerasan atau ancaman kekerasan itu dilakukan.
Undang-undang memang tidak memberikan penjelasan tentang bagaimana ancaman dengan kekerasan (bedreiging met geweld) itu dilakukan. Maknanya berkembang dalam yurisprudensi. Berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang berkembang, ancaman itu menggunakan tenaga meskipun hanya sedikit. Dalam beberapa kali putusan Hoge Raad dapat disimpulkan bahwa ancaman itu harus memenuhi syarat, yaitu :
1. Ancaman itu harus diucapkan dalam keadaan yang sedemikian rupa, sehingga dapat menimbulkan kesan pada orang yang diancam, bahkan yang diancamkan itu benar-benar akan dapat merugikan kebebasan pribadinya, dan.
2. Maksud pelaku memang telah ditujukan untuk menimbulkan kesan tersebut.
PERNAH DIANCAM
(Pasal Untuk Menjerat Pelaku) Pengancaman Yang Harus Anda Ketahui.
Diancam, pasti anda ada yang pernah mengalaminya. Di mulai dari ancaman yang ringan sampai yang membahayakan baik secara langsung ataupun melalui sosial media. Pengancaman merupakan menyatakan maksud (niat, rencana) untuk melakukan sesuatu yang merugikan, menyulitkan, menyusahkan, atau mencelakakan pihak lain.
Aturan hukum yang bisa menjerat pelaku pengacaman.
Tentu ada, berikut akan yuridisID jelaskan aturan hukum yang mana mampu menjerat pelaku pengancaman.
Di dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Pasal 369 Ayat 1 bahwa Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan ancaman pencemaran baik lisan maupun tulisan atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa seseorang supaya memberikan sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, atau supaya memberikan hutang atau menghapus piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Jadi bagi anda pelaku pengancaman bisa dipidana penjara paling lama 4 Tahun.
Kemudian itu jika pengancaman secara langsung, bagaimana jika secara media online / melalui elektronik.
Aturan hukumnya tercantum dalam UU ITE yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 45b yang berbunyi bahwa “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Sumber :
1. KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Pasal 369 Ayat 1
2. Pasal 45b Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik .
PEMERASAN
Pemerasan kejahatan pidana.
Pemerasan atau Chantage (Prancis faire chanter quelqu'run, arti : memeras seseorang) merupakan istilah dalam hukum pidana untuk pemerasan atau pemfitnahan. Chantage diartikan sebagai memeras dengan memaksa orang menyerahkan barang atau uang dan sebagainya dengan ancaman, antara lain membuka rahasia yang dapat memburukkan namanya di muka umum.
PASAL 368 KUHP
(TINDAK PIDANA PEMERASAN BERDASARKAN)
Pengaturan hukum tindak pidana pemerasan berdasarkan Pasal 368 KUHP dan bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pemerasan berdasarkan Pasal 368 KUHP. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan :
1. Pengaturan hukum tindak pidana pemerasan diatur dalam Pasal 368 KUHP sebagai lex generalis termasuk juga dalam Pasal 27, 29 dan 45 Undang-Undang ITE (UU Nomor 19 Tahun 2016) sebagai lex specialis. Unsur tindak pidana pemerasan adalah memaksa, menggunakan cara kekerasan atau ancaman kekerasan. Objek tindak pidana pemerasan berupa benda (barang), utang, dan/atau perikatan. Dari sudut subjektif, sifat melawan hukum yakni terdapat unsur maksud menguntungkan diri sendiri dan atau orang lain dan dari sudut objektif terletak pada unsur perbuatan memaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
2. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pemerasan diatur pada Pasal 368 ayat (2) KUHPidana tindak pidana pemerasan diperberat ancaman pidananya Pemerasan tersebut dilakukan dengan cara mengancam (pengancaman) dimana bentuk pengancamannya berupa ancaman kekerasan. Secara substansi yang merupakan tindak pidana adalah pemerasan, bukan pengancamannya. Sedangkan pengancaman adalah cara untuk melakukan pemerasan.
Istilah pemerasan adalah bahasa hukum yang rumusan pidananya ada dalam hukum positif.
Pemerasan adalah satu jenis tindak pidana umum yang dikenal dalam hukum pidana Indonesia. Spesifik tindak pidana ini diatur dalam pasal 368 KUHP. Dalam struktur KUHP, tindak pidana pemerasan diatur dalam satu bab (Bab XXIII) bersama tindak pidana pengancaman. Karena itu kata afpersing sering digabung dengan kata afdreiging yang diatur pasal 369 KUHP.
Kata pemerasan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata dasar peras yang bisa bermakna leksikal ‘meminta uang dan jenis lain dengan ancaman (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002: 855).
Afpersing berasal dari kata kerja afpersen yang berarti memeras (Marjanne Termorshuizen, 1999: 16).
Dalam Black’s Law Dictionary (2004: 180), lema blackmail diartikan sebagai ‘a threatening demand made without justification’. Sinonim dengan extortion, yaitu suatu perbuatan untuk memperoleh sesuatu dengan cara melawan hukum seperti tekanan atau paksaan.
Dalam konteks hukum pidana, suatu perbuatan disebut pemerasan jika memenuhi sejumlah unsur. Unsur-unsurnya bisa ditelaah dari pasal 368 ayat (1) KUHP :
Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang atau menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Subjek pasal ini adalah barangsiapa.
Menurut Andi Hamzah (2009: 82), ada empat inti delik atau delicts bestanddelen dalam pasal 368 KUHP.
1. Pertama, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
2. Kedua, secara melawan hukum.
3. Ketiga, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman.
4. Keempat, untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang atau menghapuskan piutang.
Unsur dengan maksud dalam pasal ini memperlihatkan kehendak pelaku untuk menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain. Jadi, pelaku sadar atas perbuatannya memaksa. Memaksa yang dilarang di sini adalah memaksa dengan kekerasan. Tanpa ada paksaan, orang yang dipaksa tidak akan melakukan perbuatan tersebut (SR. Sianturi, 1996: 617).
Dengan cara memaksa, pelaku ingin korban menyerahkan barang atau membayar utang atau menghapus piutang. Jika yang terjadi penyerahan barang, maka berpindahnya barang dari tangan korban menjadi peristiwa penting melengkapi unsur pasal ini. Putusan Hoge Raad 17 Januari 1921 menyebutkan penyerahan baru terjadi apabila korban telah kehilangan penguasaan atas barang tersebut (R. Soenarto Soerodibroto, 2009: 229).
Putusan Hoge Raad pada 23 Maret 1936 menyimpulkan bahwa disebut pemerasan jika seseorang memaksa menyerahkan barang yang dengan penyerahan itu dapat memperoleh piutangnya, juga jika memaksa oang untuk menjual barangnya walaupu dia harus bayar harganya penuh atau bahkan melebihi harganya.
Jumlah barang yang dipaksa untuk diserahkan tidak masalah. PN Kisaran lewat putusan No. 309/Pid.B/2008 tanggal 11 Juni 2008 telah menghukum seorang terdakwa RSP dua bulan penjara karena terbukti memaksa orang lain menyerahkan uang seribu rupiah.
Contoh Kasus Pemerasan vs pencurian dengan kekerasan :
Pemerasan hamir mirip dengan pencurian dengan kekerasan (pasal 365 KUHP). Hubungan kedua pasal juga erat karena ayat (2) pasal 368 menyebutkan terhadap pasal ini berlaku juga rumusan ayat 2 sampai 4 pasal 365 KUHP.
Pada kedua jenis tindak pidana ini, sama-sama ada unsur pemaksaan dan pengambilan barang milik orang lain.
Menurut Andi Hamzah (2009: 84), perbedaannya terletak pada ada tidaknya interaksi pelaku dengan korban.
Pada tindak pidana pemerasan, ada semacam kerjasama antara pelaku dengan korban karena korban sendiri yang menyerahkan barang walau dengan paksaan. Sebaliknya, pada pencurian dengan kekerasan, pelaku mengambil sendiri barang tersebut tanpa diketahui pemiliknya.
PEMBOHONGAN PUBLIK
Pada dasarnya, berkata bohong bukanlah suatu tindak pidana. Sepanjang penelusuran kami, tidak ada satupun pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa seseorang yang berkata bohong dapat dijerat pidana. Lain halnya apabila kebohongan itu dibarengi dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum. Misalnya dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya.
Tindak pidana ini dikenal dengan nama penipuan yang diatur dalam :
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
Pembohongan publik merupakan salah satu bentuk pelanggaran menyebar berita palsu bahkan bohong, sehingga telah menipu masyarakat hal ini tentu melanggar undang-undang no. 14/2008 tentang keterbukaan informasi publik dan juga pelanggaran UU-ITE penyebaran informasi.
Unsur inipun dilakukan dengan sengaja dan penyebaran beritanya pun sangat disengaja dan bahkan berjemaah yang telah merugikan masyarakat. Karena kebohongan yang dilakukan ini tentu berdampak dalam proses bernegara terlebih mereka-meraka yang menyebar informasi kebohongan ini merupakan para tokoh dan pejabat publik.
PENYEBARAN BERITA BOHONG / HOAKS
Penyebaran berita bohong atau hoaks semakin masif seiring dengan meningkatnya seiring dengan kebebasan yang tidak mengindahkan etika dan moral bermedsos di Indonesia.
Seseorang bisa dikenai pidana apabila menyebarkan informasi palsu.
Merujuk UU ITE, dalam Pasal 45A ayat (1), setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan dipidana dengan pidana penjara enam tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.
Bisa kena Undang-Undang ITE. Itu ancaman dalam Undang-Undang (enam tahun).
PENCEMARAN NAMA BAIK
Saat ini Negara kita, Negara Indonesia telah merdeka sejak diproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dengan bergulirnya waktu ke waktu, dan kini kita semua ada pada era globalisasi. Di era globalisasi seperti sekarang ini, terdapat pertumbuhan dan perkembangan di berbagai sektor.
Salah satu sektor yang berkembang cukup signifikan adalah sektor teknologi informasi. Manusia adalah makhluk sosial yang sudah pasti dalam kehidupan sehari-hari membutuhkan interaksi dengan orang lain. Dalam berinteraksi tentunya akan muncul penyampaian pendapat antara satu manusia dengan manusia yang lain, karena dapat kita ketahui bersama bahwa setiap manusia memiliki cara pandang yang berbeda dalam memandang dan menilai sesuatu hal dalam kehidupan. Kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat secara lisan dan tulisan adalah milik seluruh rakyat Indonesia. Demikian pula sebagai Negara yang berkedaulatan rakyat dan berdasarkan hukum (rechstaat), dan bukan berdasar atas kekuasaan belaka (machstaat), Indonesia mengakui bahwa kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat secara lisan dan tulisan, kebebasan berekspresi, dan kemerdekaan pers merupakan hak-hak dasar yang harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat dan sekaligus sebagai dasar dari tegaknya pilat demokrasi (M. Halim, 2009 ; 2).
Tanpa adanya kemerdekaan untuk berpendapat, masyarakat tidak dapat menyampaikan gagasan-gagasan dan tidak bisa mengkritisi pemerintah. Dengan demikian tidak ada nada demokrasi.
Pencemaran nama baik merupakan salah satu bentuk khusus dari perbuatan melawan hukum. Istilah yang dipakai mengenai bentuk perbuatan melawan hukum ini ada yang mengatakan pencemaran nama baik, namun ada pula yang mengatakan sebagai penghinaan. Sebenarnya yang menjadi ukuran suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama baik orang lain masih belum jelas karena banyak faktor yang harus dikaji kembali. Dalam hal pencemaran nama baik atau penghinaan ini yang hendak dilindungi adalah kewajiban setiap orang untuk menghormati orang lain dari sudut kehormatannya dan nama baiknya dimata orang lain meskipun orang tersebut telah melakukan kejahatan yang berat.
Kehormatan merupakan perasaan terhormat seseorang di mata masyarakat, dimana setiap orang memiliki hak untuk diperlakukan sebagai anggota masyarakat yang terhormat. Menyerang kehormatan berarti melakukan perbuatan menurut penilaian secara umum menyerang kehormatan seseorang. Rasa hormat dan perbuatan yang termasuk kategori menyerang kehormatan seseorang ditentukan menurut lingkungan masyarakat pada tempat perbuatan tersebut dilakukan (Mudzakir, 2004: 17).
Sedangkan nama baik merupakan penilaian baik menurut anggapan umum tentang perilaku atau kepribadian seseorang dari sudut moralnya. Nama baik seseorang selalu dilihat dari sudut orang lain, yakni moral atau kepribadian yang baik, sehingga ukurannya ditentukan berdasarkan penilaian secara umum dalam suatu masyarakat tertentu di tempat mana perbuatan tersebut dilakukan dan konteks perbuatannya (Mudzakir, 2004 : 17).
Penghinaan merupakan tindak pidana penghinaan (beleediging) yang dibentuk oleh pembentuk Undang-Undang, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus dan ditujukan untuk memberi perlindungan bagi kepentingan hukum mengenai rasa semacama ini. Undang-Undang tidak memberikan keterangan apapun tentang istilah penghinaan (beleediging) sebagai kualifikasi kejahatan dalam Bab XVI Buku II. Begitu juga kedua objek hukum kejahatan tersebut, yakni eer (kehormatan) dan goeden naam (nama baik).
Bentuk kejahatan dalam Bab XVI ini memang sebaiknya disebut dengan penghinaan, karena istilah ini lebih luas dari istilah kehormatan, meskipun istilah kehormatan sering juga digunakan oleh beberapa ahli hukum kita. Karena kehormatan hanyalah salah satu dari objek penghinaan.
Tentang tindak pidana penghinaan (pencemaran nama baik), ada yang merupakan penghinaan umum dan terdapat penghinaan khusus yang diatur dalam KUHP.
Diluar KUHP, terdapat pula penghinaan khusus. Penghinaan khusus dalam pengertian yang disebut terakhir ini berbeda dengan penghinaan khusus dalam KUHP.
Penghinaan khusus dalam KUHP adalah penghinaan yang diatur di luar Bab XVI KUHP. Penghinaan khusus tersebut terdapat secara tersebar di dalam jenis-jenis tindak pidana tertentu. Sementara penghinaan khusus di luar KUHP yang kini terdapat dalam perundang-undangan kita, ialah penghinaan khusus (pencemaran nama baik) dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dalam UU ITE No. 11 Tahun 2008 terdapat 19 bentuk tindak pidana dalam Pasal 27 sampai 37.
Satu diantaranya merupakan tindak pidana penghinaan khusus, dimuat dalam Pasal 27 ayat (3) yang menyatakan bahwa :
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau menstransmisikan dan/atau membuat dapat diakses-nya informasi elektronik dan/atau dokumen yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Tindak pidana penghinaan khusus dalam Pasal 27 ayat (3) jika dirinci terdapat unsur berikut. Unsur objektif :
(1) Perbuatan :
a. mendistribusikan;
b. mentransmisikan; c. membuat dapat diaksesnya.
(2) Melawan hukum: tanpa hak; serta
(3) Objeknya :
a. Informasi elektronik dan/atau;
b. dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Pencemaran Nama Baik Menurut KUHP
Salah satu perbuatan pidana yang sering mengundang perdebatan di tengah masyarakat adalah pencemaran nama baik. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, pencemaran nama baik (penghinaan) diatur dan dirumuskan dalam Pasal 310 KUHP, yang terdiri dari 3 (tiga) ayat.
Menista dengan lisan (smaad), Pasal 310 ayat (1).
Menista dengan surat (smaadschrift), Pasal 310 ayat (2).
Sedangkan perbuatan yang dilarang adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk melanggar kehormatan atau menyerang kehormatan atau nama baik orang lain. Dengan demikian, unsur-unsur Pencemaran Nama Baik atau penghinaan (menurut Pasal 310 KUHP) adalah :
1. Dengan sengaja, menyerang kehormatan atau nama baik.
2. Menuduh melakukan suatu perbuatan.
3. Menyiarkan tuduhan supaya diketahui umum.
Apabila unsur-unsur penghinaan atau Pencemaran Nama Baik ini hanya diucapkan (menista dengan lisan), maka perbuatan itu tergolong dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP.
Namun, apabila unsur-unsur tersebut dilakukan dengan surat atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan (menista dengan surat), maka pelaku dapat dijerat atau terkena sanksi hukum Pasal 310 ayat (2) KUHP.
Hal-hal yang menjadikan seseorang tidak dapat dihukum dengan pasal Pencemaran Nama Baik atau Penghinaan adalah :
1. Penyampaian informasi itu ditujukan untuk kepentingan umum.
2. Untuk membela diri.
3. Untuk mengungkapkan kebenaran.
Dengan demikian, orang yang menyampaikan informasi, secara lisan ataupun tertulis diberi kesempatan untuk membuktikan bahwa tujuannya itu benar.
Kalau tidak bisa membuktikan kebenarannya, itu namanya penistaan atau fitnah. Berdasarkan rumusan pasal di atas dapat dikemukakan bahwa pencemaran nama baik bisa dituntut dengan Pasal 310 ayat (1) KUHP, apabila perbuatan tersebut harus dilakukan dengan cara sedemikian rupa, sehingga dalam perbuatannya terselip tuduhan, seolah-olah orang yang dicemarkan (dihina) itu telah melakukan perbuatan tertentu, dengan maksud agar tuduhan itu tersiar (diketahui oleh orang banyak).
Perbuatan yang dituduhkan itu tidak perlu perbuatan yang menyangkut tindak pidana (menipu, menggelapkan, berzina dan sebagainya), melainkan cukup dengan perbuatan biasa seperti melacur di rumah pelacuran. Meskipun perbuatan melacur tidak merupakan tindak pidana, tetapi cukup memalukan pada orang yang bersangkutan apabila hal tersebut diumumkan. Tuduhan itu harus dilakukan dengan lisan, karena apabila dilakukan dengan tulisan atau gambar, maka perbuatan tersebut digolongkan pencemaran tertulis dan dikenakan Pasal 310 ayat (2) KUHP.
Kejahatan pencemaran nama baik ini juga tidak perlu dilakukan di muka umum, cukup apabila dapat dibuktikan bahwa terdakwa mempunyai maksud untuk menyiarkan tuduhan tersebut. Pencemaran nama baik (menista) sebenarnya merupakan bagian dari bentuk penghinaan yang diatur dalam Bab XVI KUHP. Pengertian penghinaan dapat ditelusuri dari kata menghina yang berarti menyerang kehormatan dan nama baik seseorang. Korban penghinaan tersebut biasanya merasa malu, sedangkan kehormatan disini hanya menyangkut nama baik dan bukan kehormatan dalam pengertian seksualitas. Perbuatan yang menyinggung ranah seksualitas termasuk kejahatan kesusilaan dalam Pasal 281-303 KUHP Penghinaan dalam KUHP terdiri dari pencemaran atau pencemaran tertulis (Pasal 310), fitnah (Pasal 311), penghinaan ringan (Pasal 315), mengadu dengan cara memfitnah (Pasal 317) dan tuduhan dengan cara memfitnah (Pasal 318).
Memfitnah (Laster) Pasal 311 ayat (1) KUHP
Berbunyi :
Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
Jika dibandingkan antara kejahatan memfitnah (laster) dan kejahatan menista (smaad) atau penghinaan/pencemaran nama baik, maka perbedaan itu terletak dari ancaman hukumannya. Namun demikian, pada intinya, kejahatan memfitnah ini juga termasuk kejahatan pencemaran nama baik. Hanya saja, memfitnah ini mepunyai unsur-unsur yang lain.
Unsur-unsur memfitnah, yaitu :
1. Seseorang melakukan kejahatan menista (smaad) atau menista dengan tulisan.
2. Apabila orang yang melakukan kejahatan itu diberikan kesempatan untuk membuktikan kebenaran dari tuduhannya itu. Setelah diberikan kesempatan tersebut ia tidak dapat membuktikan kebenarannya daripada tuduhannya itu, dan.
3. Melakukan tuduhan itu dengan sengaja walaupun diketahuinya tidak benar.
Salah satu unsur daripada delik fitnah (lasterdelict) ini adalah bahwa kepada orang yang melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan itu diberi kesempatan untuk membuktikan kebenarannya daripada tuduhan yang dilancarkannya.
Demikianlah uraian pencemaran nama baik menurut KUHP. Pencemaran nama baik melalui sosial media.
Sosial media merupakan sebuah media untuk bersosialisasi satu sama lain dan dilakukan secara online yang memungkinkan setiap manusia untuk saling berinteraksi tanpa dibatasi ruang dan waktu.
Akan tetapi, fakta yang terjadi adalah terjadi penyimpangan penggunaan sosial media.
Sosial media menjadi sarana untuk menyerang kehormatan atau nama baik pihak lain. Sebelumnya kita sering mendengar ungkapan mulutmu harimaumu, tetapi kini berubah menjadi jarimu harimaumu.
Arti dari ungkapan tersebut adalah apa yang dituliskan oleh jari kita melalui sosial media dapat menjadi sesuatu yang berbahaya untuk diri kita sendiri ataupun untuk orang lain. Selain itu, sosial media digunakan untuk mempermalukan orang lain.
Sering ditemukan adanya cyberbullying, hal tersebut dapat mengganggu psikis seseorang yang menjadi korban atas perbuatan tersebut.
Karena ketika seseorang sudah merasa diambang batas rasa malu karena telah dipermalukan dapat bertindak dengan tanpa memikirkan akibat jangka panjang, yaitu mengakhiri hidupnya. Korban akan merasa tidak ada gunanya lagi dia hidup dengan keadaan yang harus dia hadapi. Sehingga perlu disadari bersama, bahwa hal-hal seperti itu harus kita hindari dan jangan dibiarkan berkembang begitu saja. Ketika suatu permasalahan terjadi dan apabila jika dilakukan pembiaran begitu saja dapat mengakibatkan suatu resiko yang berdampak luar biasa, semua pihak harus secara serius dan urgent untuk menindaklanjuti hal tersebut. Karena dari sebuah percikan api, dapat timbul kebakaran yang luar biasa.
Mempermalukan juga sering dijumpai dilakukan sebagai ajang balas dendam karena tidak terima atas perlakuan seseorang kepadanya, hal tersebut dapat dilakukan oleh siapapun dengan latar belakang alasan yang beragam dengan maksud untuk mempermalukan. Tentunya hal ini tidak boleh dibiarkan begitu saja tanpa ditindaklanjuti oleh pihak terkait. Setiap orang harus dapat menghargai dan menghormati harga diri seseorang.
Dalam kehidupan ini, terdapat akibat atas segala perbuatan yang kita lakukan, jika kita tidak ingin mendapatkan akibat buruk maka sebaiknya menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan buruk.
Jadi kesimpulannya adalah, hormatilah orang lain sebagaimana kita ingin dihormati.
Dalam hidup kita harus mampu memanusiakan manusia.
Karena dari setiap perbuatan yang menyimpang terdapat resiko berupa sanksi hukum maupun sanksi sosial yang harus ditanggung oleh setiap pelaku suatu perbuatan.
PERMUFAKATAN JAHAT
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berkaitan dengan ancaman sanksi pidana yang sama terhadap permufakatan jahat dan tindak pidana selesai.
Persoalan yang kemudian timbul adalah ketika sudah ada suatu kesepakatan dan merujuk pada unsur Pasal 88 KUHP, yaitu merujuk kepada niat untuk melakukan kejahatan, kesepakatan atau niat untuk melakukan kejahatan belum tentu dilaksanakan dalam bentuk perbuatan konkrit, maka dalam permufakatan jahat hanya ada niat dengan mengadakan permufakatan jahat, sama sekali tidak ada perbuatan pelaksanaan, sehingga dalam kasus tindak pidana korupsi, permufakatan jahat bisa dijatuhkan sanksi pidana yang sama seperti pelaku tindak pidana korupsi yang telah selesai melakukan tindak pidananya seperti yang diatur dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sumber hukum primer dalam penelitian ini adalah KUHP dan Undang-Undang No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sumber hukum sekunder terdiri dari buku-buku dan artikel-artikel tentang makar dan tindak pidana korupsi.
Sumber hukum tersier terdiri dari kamus hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Hasil penelitian yang diperoleh adalah :
1) Alasan mendasar untuk menjatuhkan pidana terhadap permufakatan jahat terbagi menjadi dua, yaitu pertama kejahatan tersebut termasuk dalam kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), dan yang kedua adalah sanksi pidana untuk permufakatan jahat juga dibenarkan oleh hukum dengan menggunakan doktrin delictum sui generis, yaitu doktrin yang mengatakan permufakatan jahat dianggap sebagai delik yang berdiri sendiri.
2) Penjatuhan pidana yang sama terhadap permufakatan jahat pada tindak pidana korupsi yang selesai dapat dibenarkan.
Delik-delik permufakatan jahat (samenspannning) dalam KUH Pidana dan Pengertian permufakatan jahat dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sesudah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XIV/2016.
Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan :
1. Cakupan delik permufakatan jahat (samenspanning) :
- Sebagai perluasan tindak pidana.
- Tidak meliputi semua kejahatan dalam Buku II KUH Pidana, melainkan hanya untuk delik-delik yang disebut hanyalah beberapa tindak pidana yang disebut dalam Pasal 110 (makar dan pemberontakan).
- Pasal 116 (surat dan benda rahasia berkenaan dengan pertahanan negara).
- Pasal 125 (memberi bantuan kepada musuh dalam masa perang).
- Pasal 139c KUH Pidana (makar ditujukan kepada negara sahabat).
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XIV/2016 telah menegaskan pengertian permufakatan jahat dalam Pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001 sebagai lebih spesifik dari Pasal 87 KUH Pidana yaitu untuk tindak pidana korupsi permufakatan jahat adalah bila dua orang atrau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling bersepakat melakukan tindak pidana.
Mengenai penyertaan dan pembantuan dalam tindak pidana, kami berasumsi bahwa yang Anda maksud adalah penyertaan sebagai turut melakukan dan pembantuan sebagai membantu melakukan.
Ketentuan mengenai turut melakukan dan membantu melakukan dapat dilihat dalam :
1. Pasal 55 (turut melakukan).
2. Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) (membantu melakukan) :
Pasal 55 KUHP :
(1) Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana :
1e. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan itu.
2e. Orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan.
(2) Tentang orang-orang yang tersebut dalam sub 2e itu yang boleh dipertanggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang dengan sengaja dibujuk oleh mereka itu, serta dengan akibatnya.
Pasal 56 KUHP :
Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan :
1. Barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu.
2. Barangsiapa dengan sengaja memberikan kesempatan, daya upaya, atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.
Menurut ahli/pakar hukum :
1. R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan orang yang turut melakukan (medepleger) dalam Pasal 55 KUHP. Menurut R. Soesilo, turut melakukan dalam arti kata bersama-sama melakukan.
Sedikit-dikitnya harus ada dua orang, ialah orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana.
Di sini diminta bahwa kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi melakukan anasir atau elemen dari peristiwa tindak pidana itu.
Tidak boleh misalnya hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya menolong, sebab jika demikian, maka orang yang menolong itu tidak masuk medepleger akan tetapi dihukum sebagai membantu melakukan (medeplichtige) dalam Pasal 56 KUHP.
Sedangkan mengenai Pasal 56 KUHP, R. Soesilo menjelaskan bahwa orang membantu melakukan jika ia sengaja memberikan bantuan tersebut, pada waktu atau sebelum (jadi tidak sesudahnya) kejahatan itu dilakukan.
Bila bantuan itu diberikan sesudah kejahatan itu dilakukan, maka orang tersebut melakukan perbuatan sekongkol atau tadah melanggar Pasal 480 KUHP, atau peristiwa pidana yang tersebut dalam Pasal 221 KUHP.
Dalam penjelasan Pasal 56 KUHP ini dikatakan bahwa elemen sengaja harus ada, sehingga orang yang secara kebetulan dengan tidak mengetahui telah memberikan kesempatan, daya upaya, atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu tidak dihukum.
Niat untuk melakukan kejahatan itu harus timbul dari orang yang diberi bantuan, kesempatan, daya upaya atau keterangan itu.
Jika niatnya itu timbul dari orang yang memberi bantuan sendiri, maka orang itu bersalah berbuat membujuk melakukan (uitlokking).
2. Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H., dalam bukunya yang berjudul Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (hal. 123), mengutip pendapat Hazewinkel-Suringa, Hoge Raad Belanda yang mengemukakan dua syarat bagi adanya turut melakukan tindak pidana, yaitu :
1. Kesatu, kerja sama yang disadari antara para turut pelaku, yang merupakan suatu kehendak bersama di antara mereka.
2. Kedua, mereka harus bersama-sama melaksanakan kehendak itu.
Lebih lanjut, Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H.(Ibid, hal. 126-127), sebagaimana kami sarikan, menjelaskan mengenai perbedaan antara turut melakukan dan membantu melakukan.
Menurutnya, berdasarkan teori subjektivitas, ada 2 (dua) ukuran yang dipergunakan :
1. Ukuran kesatu adalah mengenai wujud kesengajaan yang ada pada di pelaku.
2. Ukuran kedua adalah mengenai kepentingan dan tujuan dari pelaku.
TEROR
Teror adalah usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan.
Teror adalah suatu kondisi takut yang nyata, perasaan luar biasa akan bahaya yang mungkin terjadi. Keadaan ini sering ditandai dengan kebingungan atas tindakan yang harus dilakukan selanjutnya.
Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi untuk menciptakan teror.
Meneror adalah berbuat kejam (sewenang-wenang dan sebagainya) untuk menimbulkan rasa ngeri atau takut.
Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 6
Setiap Orang yang dengan sengaja menggunakan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap Objek Vital yang Strategis, lingkungan hidup atau Fasilitas Publik atau fasilitas internasional dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati.
Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 10A sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 10A
1). Setiap Orang yang secara melawan hukum memasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, membuat, menerima, memperoleh, menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, atau mengeluarkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia senjata kimia, senjata biologi, radiologi, mikroorganisme, nuklir, radioaktif atau komponennya, dengan maksud untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati.
2). Setiap Orang yang dengan sengaja memperdagangkan bahan potensial sebagai Bahan Peledak atau memperdagangkan senjata kimia, senjata biologi, radiologi, mikroorganisme, bahan nuklir, radioaktif atau komponennya untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 atau Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun.
3). Dalam hal bahan potensial atau komponen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terbukti digunakan dalam Tindak Pidana Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
4). Setiap Orang yang memasukkan ke dan/atau mengeluarkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia suatu barang selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang dapat dipergunakan untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.
PENGHASUTAN
Penghasutan adalah dorongan dari orang lain untuk melakukan kejahatan. Bergantung pada wilayah yurisdiksinya, beberapa atau semua jenis penghasutan mungkin merupakan tindakan ilegal. Jika ilegal, ini dikenal sebagai pelanggaran dugaan, di mana terdapat niat kejahatan tetapi kejahatan tersebut mungkin atau mungkin tidak benar-benar terjadi.
Dalam kamus Bahasa Indonesia tindakan penghasutan adalah suatu perwujudan untuk membangkitkan hati orang supaya marah (untuk melawan atau memberontak).
Bunyi lengkap Pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) :
Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
R Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal 136-137) menerangkan bahwa :
1. Menghasut artinya mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu.
Dalam kata menghasut tersimpul sifat dengan sengaja.
Menghasut itu lebih keras daripada memikat atau membujuk, akan tetapi bukan memaksa.
Orang memaksa orang lain untuk berbuat sesuatu, menurut Soesilo, bukan berarti menghasut.
2. Menghasut itu dapat dilakukan baik dengan lisan, maupun dengan tulisan. Apabila dilakukan dengan lisan, maka kejahatan itu menjadi selesai jika kata-kata yang bersifat menghasut itu telah diucapkan. Jika menghasut dengan tulisan, hasutan itu harus ditulis dahulu, kemudian disiarkan atau dipertontonkan pada publik.
3. Orang hanya dapat dihukum apabila hasutan itu dilakukan di tempat umum, tempat yang didatangi publik atau dimana publik dapat mendengar.
Tidak perlu penghasut itu berdiri di tepi jalan raya misalnya, akan tetapi yang disyaratkan ialah di tempat itu ada orang banyak. Tidak mengurangkan syarat bahwa hasutan harus di tempat umum dan ada orang banyak, hasutan itu bisa terjadi meskipun hanya ditujukan pada satu orang.
Orang yang menghasut dalam rapat umum dapat dihukum demikian pula di gedung bioskop, meskipun masuknya degan karcis, karena itu adalah tempat umum, sebaliknya menghasut dalam pembicaraan yang bersifat kita sama kita (onder onsjes, vertrouwelijk) itu tidak dapat dihukum.
4. Maksud hasutan itu harus ditujukan supaya :
a. Dilakukan suatu peristiwa pidana (pelanggaran atau kejahatan) / semua perbuatan yang diancam dengan hukuman.
b. Melawan pada kekuasaan umum dengan kekerasan.
c. Jangan mau menurut pada peraturan perundang-undangan.
d. Jangan mau menurut perintah yang sah yang diberikan menurut undang-undang.
Sebagai tambahan informasi, pasal penghasutan berubah menjadi delik materil. Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengubah rumusan delik penghasutan dalam Pasal 160 KUHP dari delik formil menjadi delik materil. Artinya, pelaku penghasutan baru bisa dipidana bila berdampak pada tindak pidana lain, seperti kerusuhan atau perbuatan anarki lainnya. Dalam artikel Pasal Penghasutan Berubah Menjadi Delik Materil disebutkan bahwa sebelumnya, KUHP menyebut Pasal 160 yang mengatur penghasutan sebagai delik formil. Artinya, perbuatan penghasutan itu bisa langsung dipidana tanpa melihat ada tidaknya dampak dari penghasutan tersebut.
Dengan diubahnya penghasutan menjadi delik materil, tentu memiliki dampak yang berbeda. Rumusan delik materil adalah seseorang yang melakukan penghasutan baru bisa dipidana bila berdampak pada tindak pidana lain, seperti kerusuhan atau suatu perbuatan anarki.
TAFSIR DELIK PENGHASUTAN DALAM PASAL 160 KUHP
Tentang pasal 160
Esensi dari perbuatan menghasut adalah usaha untuk menggerakan orang lain supaya melakukan perbuatan tertentu yang dikehendaki oleh penghasut. Dengan demikian dalam delik penghasutan ada dua subjek delik, yaitu orang yang melakukan penghasutan dan orang yang dihasut.
Dengan demikian sumber niat jahat dari perbuatan penghasutan adalah orang melakukan penghasutan.
Bentuk penghasutan yang dilakukan penghasut adalah agar orang lain (orang yang dihasut) melakukan tindak pidana, melakukan sesuatu kekerasan kepada penguasa umum, tidak memenuhi peraturan perundang-undangan atau tidak mematahui perintah jabatan yang dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Penghasutan itu sendiri harus terjadi di muka umum dan dilakukan dengan sengaja (kehendak). Dengan penjelasan di atas jelas bahwa Pasal 160 KUHP baru bisa digunakan jika :
(a) ada perbuatan menghasut.
(b) yang dilakukan dengan sengaja.
(c) dilakukan di depan umum.
(d) orang yang dihasut melakukan perbuatan yang melawan hukum.
Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 7/PUU-VII/2009 telah mengubah rumusan delik penghasutan dalam Pasal 160 KUHP dari delik formil menjadi delik materil. Artinya, pelaku penghasutan baru bisa dipidana bila timbulnya akibat yang dilarang seperti kerusuhan atau perbuatan anarki lainnya atau akibat terlarang lainnya.
Bahwa sebelumnya, KUHP menyebut Pasal 160 yang mengatur penghasutan sebagai delik formil. Artinya, perbuatan penghasutan itu bisa langsung dipidana tanpa melihat ada tidaknya akibat dari penghasutan tersebut.
Dengan adanya putusan MK tersebut, makin jelas bahwa perbuatan penghasutan saja tidak bisa dipidana jika orang yang dihasut tidak melakukan perbuatan dan ada hubungan antara hasutan tersebut dengan timbulnya perbuatan yang dilakukan oleh orang yang terhasut. Hubungan sebab-akibat tersebut harus dibisa dibuktikan di pengadilan sehingga orang yang menghasut dapat dipidana.
Unsur-Unsur Pasal 160 KUHP
Sebelumnya menjelaskan unsur-unsur Pasal 160, maka dijelaskan lebih dahulu tentang isi Pasal 160 yang dikutip dari buku R. Soesilo, sebagai berikut :
Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
MENGANGGU KENYAMANAN & KETENTRAMAN
Menggangu Kenyamanan dan Ketentraman orang lain dapat pula diartikan sebagai perbuatan yang tidak menyenangkan. Dalam hukum atau dalam pengertian hukum pidana, perbuatan tidak menyenangkan dapat berakibat fatal bagi pelakunya jika perbuatan yang tidak menyenangkan tersebut tidak disukai atau tidak dapat diterima oleh pihak yang menjadi korban dari perbuatan yang tidak menyenangkan.
Memang akibat perbuatannya tidak membahayakan jiwa korban atau penderita, akan tetapi ada perasaan yang sungguh tidak enak dirasakan oleh si penderita atau korban, oleh karenanya dari sudut pandang hukum positip, perbuatan yang tidak menyenangkan sebagai ancaman terhadap kemerdekaan orang perorangan, dan oleh sebab itu hukum positif perlu berperan aktif dan mengambil langkah-langkah penyelamatan, perlindungan, pemulihan atas kejahatan dan pelanggaran terhadap kemerdekaan orang.
Dalam hukum pidana perbuatan tidak menyenangkan sebagaimana telah disebut di atas diatur dalam Bab XVIII Tentang Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang Pasal 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang rumusannya berbunyi :
Diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
Ke-1 : Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri atau orang lain.
Ke-2 : Barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis.
Dalam hal diterangkan ke-2, kejahatan hanya di tuntut atas pengaduan orang yang terkena.
Perkara perbuatan yang tidak menyenangkan sebagaimana diatur Pasal 335 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dapat dilakukan penahanan meskipun ancaman hukumannya paling lama 1 (satu) tahun. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (4) huruf (b) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Kualifikasi penahanan seorang tersangka dalam dalam perkara perbuatan tidak menyenangkan tetap mengacu pada suatu alasan hukum seperti diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
Dalam surat perintah penahanannya, instansi yang berkepentingan (penyidik, penuntut umum atau hakim) harus menyebutkan alasan penahanannya. Tanpa penyebutan alasan penahanan, maka penahanan yang dilakukan adalah cacat hukum dan dapat di praperadilankan.
Praktek Penegakan Hukum.
Pada praktek hukum, seorang tersangka dalam perkara perbuatan tidak menyenangkan umumnya tidak dilakukan penahanan. Praktek umum ini tidak berarti menyampingkan kewenangan penahanan yang ada pada masing-masing instansi aparatur penegak hukum seperti penyidik, penuntut umum atau hakim sebagaimana diatur Pasal 20 KUHAP. Artinya, pada waktu tingkat penyidikan, bisa saja si tersangka tidak dilakukan penahanan namun kemudian di tingkat penuntutan, penuntut umum melakukan penahanan. Kesemuanya itu tergantung pada kondisi kepentingan instansi yang mengeluarkan perintah penahanan dimaksud.
Adalah suatu hal yang tidak dapat dipungkiri, terkesan disini bahwa sifat kepentingan untuk melakukan penahanan merupakan sifat yang sangat subjektif yang diukur berdasarkan kewenangan yang bersifat subjektif pula. Karena bersifat subjektif pada akhirnya banyak perintah-perintah penahanan dikeluarkan yang tidak sesuai dengan alasan-alasan penahanan sebagaimana dimaksud dan diatur Pasal 21 ayat (1) KUHAP.
Dan untuk mengukur apakah perintah penahanan itu bersifat subjektif atau tidak, umumnya dapat dilihat dalam surat perintah penahanan yang dikeluarkan instansi penegak hukum tersebut. Dalam surat perintah penahanan pada bagian pertimbangannya disebutkan beberapa alasan penahanan yang seharusnya alasan-alasan penahanan tersebut dipilih dan dicoret oleh penyidik atau penuntut umum yang mengeluarkan perintah penahanan dimaksud dengan mencocokkan alasan yang tersedia.
Tanpa adanya pencoretan tersebut maka alasan penahan tersebut adalah alasan yang bersifat subjektif, entah itu subjektif dari si penyidik atau penuntut umum yang mengeluarkan surat perintah penahanan dimaksud atau subjektif yang merucut pada kesewenang-wenangan lembaga. Dan kembali pada konteks perbuatan pidana tidak menyenangkan yang diatur Pasal 335 ayat (1), sesungguhnya konteks perbuatan pidana yang diatur dalam pasal tersebut ada 2 hal yakni perbuatan melawan hak dan pemaksaan memaksa orang dengan penistaan lisan atau tulisan.
TAMBAHAN
Menggangu Kenyamanan & Ketentraman Orang Lain
Manusia sebagai makhluk sosial sangat membutuhkan rasa aman, tenteram dan terlindungi. Terutama segala yang berkaitan dengan hubungan atau interaksi terhadap sesama, sekitar dan komunitasnya. Setiap manusia memiliki kepentingan namun jika kepentingan itu salah sasaran maka dapat merugikan atau bahkan membahayakan orang lain. Negara sebagai payung tempat masyarakat berteduh wajib memberikan solusi dan melindungi segala kepentingan masyarakat agar tidak mengganggu dan saling merugikan antara yang satu dengan yang lainnya.
PELANGGARAN MENGENAI KETERTIBAN UMUM
Pelanggaran terhadap ketertiban umum adalah tindak pidana yang bermacam-macam sifatnya, dan yang tampaknya sukar dapat dimasukkan ke dalam titel-titel lain dari KUHP. Bentuk-bentuk Pelanggaran Ketertiban umum :
- Membuat ingar atau gaduh, Dalam pasal 503,Mengemis di tempat umum (Ps 504),
- Mengembara dengan tidak mempunyai pencaharian atau gelandangan (505)Mengambil untuk dari perbuatan cabul seorang wanita sebagai pekerjaan sehari-hari (ps. 506).
- Memakai gelar palsu, tanda pengenal palsu, nama palsu, memakai pakaian seragam tanpa hak. (507,508, dan 508bis)
- Mengadakan akad gadai secara gelap untuk barang-barang di bawah harga seratus rupiah itu dilarang (509).
- Mengadakan pesta, keramaian umum, pawai tanpa izin yang berkuasa (510, 511).
- Melakukan suatu pekerjaan tanpa surat izin pemerintah (512, 512a)
- Memakai barang orang lain tanpa hak (513)Kewajiban pemberitahuan kepada yang berkuasa bagi orang yang pindah ke daerah lain (515).
- Melakukan perhotelan gelap (516)Transaksi pakaian seragam prajurit (517)Larangan barang cetakan, logam beredar didalam negeriPenjelasan Membuat ingar atau gaduh, Dalam pasal 503
Yang dimaksud dengan ingar adalah membuat ramai di dalam rumah, sehingga orang-orang tetangga terdekat terganggu dalam ketentraman malam. Sedangkan gaduh diantara tetangga adalah membuat geger diantara agak banyak tetangga dalam suatu kelompok rumah. Akan tetapi ukuran jam berapa ketentraman malam berlangsung, menurut keadaan setempat.
- Membuat ingar atau gaduh diantara orang-orang tetangga (rumoer of buren geructh), yang mengakibatkan dapat terganggunya ketenteraman malam (nachrust).Membuat ingar di dekat rumah ibadat atau gedung pengadilan pada waktu dilakukan ibadat atau pemeriksaan perkara.
PERBUATAN TIDAK MENYENANGKAN
Pasal 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur tentang perbuatan memaksa orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dengan ancaman kekerasan atau kekerasan, yang berbunyi :
Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah :
barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain;
barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis.
Dalam hal sebagaimana dirumuskan dalam butir 2, kejahatan hanya dituntut atas pengaduan orang yang terkena.
Perlu kami luruskan bahwa frasa perbuatan tidak menyenangkan dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP telah dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013. MK menyatakan bahwa frasa, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan dalam pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sehingga, Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP selengkapnya berbunyi :
Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.
Dalam artikel MK Cabut Aturan Delik Perbuatan Tidak Menyenangkan, Mahkamah menilai frasa sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Sebab, implementasi ketentuan itu memberi peluang terjadinya kesewenang-wenangan penyidik dan penuntut umum terutama bagi pihak yang dilaporkan.
Perbuatan Tidak Menyenangkan.
Pasal 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur tentang perbuatan memaksa orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dengan ancaman kekerasan atau kekerasan, yang berbunyi :
Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah :
barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain;
barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis.
Dalam hal sebagaimana dirumuskan dalam butir 2, kejahatan hanya dituntut atas pengaduan orang yang terkena.
Perlu kami luruskan bahwa frasa perbuatan tidak menyenangkan dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP telah dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013. MK menyatakan bahwa frasa, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan dalam pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sehingga, Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP selengkapnya berbunyi :
Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.
Dalam artikel MK Cabut Aturan Delik Perbuatan Tidak Menyenangkan, Mahkamah menilai frasa “sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan” dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Sebab, implementasi ketentuan itu memberi peluang terjadinya kesewenang-wenangan penyidik dan penuntut umum terutama bagi pihak yang dilaporkan.
Selanjutnya tentang kekerasan dan ancaman kekerasan dari rumusan Pasal 335 ayat (1) KUHP harus dipenuhi untuk pembuktian.
R. Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 238), mengatakan bahwa yang harus dibuktikan dalam pasal ini adalah :
Bahwa ada orang yang dengan melawan hak dipaksa untuk melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu atau membiarkan sesuatu.
Paksaan itu dilakukan dengan memakai kekerasan, suatu perbuatan lain atau suatu perbuatan yang tidak menyenangkan, ataupun ancaman kekerasan, ancaman perbuatan lain, atau ancaman perbuatan yang tidak menyenangkan, baik terhadap orang itu, maupun terhadap orang lain.
Jadi berdasarkan hal tersebut, pembuktian delik ini cukup dengan terpenuhinya salah satu dari dua unsur tersebut (ancaman kekerasan atau kekerasan).
Sebagaimana telah dibahas dalam artikel Makna Intimidasi, Menurut Hukum Pidana, menurut R. Soesilo dalam buku yang sama (hal. 239 dan 98) definisi kekerasan dalam Pasal 335 KUHP merujuk pada Pasal 89 KUHP, dimana definisi melakukan kekerasan yakni menggunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil dan tidak sah, misalnya : memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang, dan sebagainya.
Yang disamakan dengan melakukan kekerasan ialah membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah).
Kemudian menjawab pertanyaan kedua Anda, maksud dari Pasal 335 ayat (2) KUHP ini adalah, seseorang yang melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 335 ayat (1) butir 2 KUHP ini hanya dapat dijerat pidana apabila adanya pengaduan dari korban.
Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Adakah Delik Aduan yang Tetap Diproses Meski Pengaduannya Sudah Dicabut ?, delik aduan artinya delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana.
Dasar hukum :
Undang-Undang Dasar 1945;
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Putusan :
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013.
INFORMASI :
LAYANAN POLRI 110
NONSTOP 24 JAM
Masyarakat yang melakukan panggilan ke nomor akses 110 akan langsung terhubung ke agen yang akan memberikan layanan berupa informasi, pelaporan (kecelakaan, bencana, kerusuhan, dll) dan pengaduan (penghinaan, ancaman, kejahatan, tindak kekerasan dll).
(Terima kasih mudah-mudahan bermanfaat bagi masyarakat umum khususnya masyarakat umum khususnya yg terdampak musibah).