EKSTRIM KANAN DAN EKSTRIM KIRI
Bangsa Indonesia yang besar dengan segala aspeknya dan pluralisme merupakan aset potensial oleh sebab itu, agar masyarakat tidak terjerumus pada pemahaman agama yang cenderung ekstrim, baik ektrim kanan maupun ekstrim kiri.
Pemahaman keagamaan kita menghadapi tantangan besar, yaitu paham ekstrim kanan. Paham Islam yang sangat ‘rigid’ (kaku) yang dengan mudah mengkafir-kafirkan orang lain yang berbeda dengan kita.
Misalnya, kita dengan mudah menyalahkan orang Islam yang lain hanya karena cara salat dan cara wudhu mereka berbeda. Jadi hitam putih dalam melihat perbedaan dalam Islam.
Ada kelompok yang mudah mengkafir-kafirkan orang lain ini merupakan ektrim kanan. Ini merupakan tantangan bagi pendidikan Islam untuk terus memberikan pemahaman tentang ajaran Islam yang benar.
Munculnya paham yang kontradiksi dengan ekstrem kanan tadi bisa dikategorikan sebagai ekstrim kiri. Ekstrim kiri ini adalah kelompok liberal, misalnya, mereka yang mempersoalkan perkawinan beda agama.
Ekstrem kiri adalah mereka yang memiliki pemahaman liberal, dan sebetulnya mereka juga memiliki pengetahuan Islam yang memadai.
Munculnya pemahaman ekstrim kiri dan kanan tersebut sebagai dampak globalisasi. “Karena itu, pendidikan Islam sangat penting dan relevan dalam mencegah dampak globalisasi negatif.
Tantangan Umat Islam Islam dan umat Islam saat ini paling tidak menghadapi dua tantangan :
1. Kecenderungan sebagian kalangan umat Islam untuk bersikap ekstrem dan ketat dalam memahami teks-teks keagamaan dan mencoba memaksakan cara tersebut di tengah masyarakat muslim, bahkan dalam beberapa hal menggunakan kekerasan.
2. Kecenderungan lain yang juga ekstrem dengan bersikap longgar dalam beragama dan tunduk pada perilaku serta pemikiran negatif yang berasal dari budaya dan peradaban lain. Untuk itu, moderasi menawarkan solusi sebagai pilihan jalan tengah untuk menangkal paham yang tidak sesui dengan identitas bangsa. Dalam konteks agama, moderasi dipahami oleh penganut dan pemeluk Islam dikenal dengan istilah Islam wasatiyah atau Islam moderat yaitu Islam jalan tengah yang jauh dari kekerasan, cinta kedamian, toleran, menjaga nilai luruh yang baik, menerima setiap perubahan, dan pembaharuan demi kemaslahatan. Oleh karena itu, pemahaman tentang moderasi beragama harus dipahami secara kontekstual bukan secara tekstual. Artinya bahwa, moderasi dalam beragama di Indonesia bukan Indonesia yang dimoderatkan, tetapi cara pemahaman dalam beragama yang harus moderat karena Indonesia memiliki banyaknya kultur, budaya, dan adat-istiadat. Dengan perkembangan dunia dalam keterbukaan informasi memiliki pengaruh terhadap pola berpikir dan informasi yang diterima yang semakin liar jika tidak ada filter. Maka, akan menghilangkan identitas pengenal dan jati diri individu dalam hubungan interaksi sosial antar bangsa. Moderasi Beragama Sebagai Diskursus Islam sebagai sistem agama yang dianut mayoritas oleh masyarakat Indonesia, memiliki dua pijakan ajaran yaitu tekstual yang bersumber dari Al-Qur’an sebagai kalamullah dan hadis sebagai sunah Rasulullah, serta ajaran yang yang didasarkan kepada konteks sebagai hasil dari cipta, rasa, dan karsa manusia yang terpengaruhi oleh kondisi geografis, sosial, dan budaya. Sehingga, memiliki kearifan dan tradisi yang berbeda menjadi corak praktik ajaran ajaran agama yang khas.
Wasathiyah atau moderasi saat ini telah menjadi diskursus dan wacana keislaman yang diyakini mampu membawa umat Islam lebih unggul dan lebih adil serta lebih relevan dalam berinteraksi dengan peradaban modern di era globalisasi dan revolusi industri, informasi, dan komunikasi. Hal ini dapat dilihat dan dirasakan oleh umat Islam yang mampu memahami dan menjiwai Islam sesuai dengan orisinalitas nash-nya dan sesuai dengan konsep dan pola hidup Nabi Muhammad saw, sahabat, dan para salafushalih. Konsep pemikiran moderasi Islam atau wasathiyatul Islam menjadi menarik dan menjadi impian semua entitas, gerakan dakwah Islam bahkan negara-negara Islam, setelah dunia Islam dirisaukan dengan munculnya dua arus pemikiran dan gerakan yang mengatasnamakan Islam. Model Gerakan Islam Pemikiran dan gerakan pertama, mengusung model pemikiran dan gerakan yang kaku dan keras, atau sering disebut dengan Al-Khawarij al-Judud (New Khawarij). Kelompok ini melihat bahwa Islam adalah agama nash dan konstan, tidak menerima perubahan dan hal-hal baru dalam ajaran-ajarannya khususnya dalam akidah, ibadah, hukum, dan muamalat, sehingga perlu membersihkan anasir-anasir syirik dan bid’ah dari akidah, ibadah, hokum, dan muamalat umat. Sementara, arus pemikiran dan gerakan kedua yang juga mengatasnamakan Islam adalah pemikiran dan gerakan liberasi Islam, atau sering disebut dengan Muktazilah Al-Judud (New Muktazilah), yang mengusung narasi dan pemikiran rasionalis dan kebebasan penuh terhadap Islam. Bila arus pemikiran pertama kaku, keras, dan tidak mudah menerima hal-hal baru dalam agama, maka arus pemikiran atau arah pemikiran kedua berpendapat sebaliknya. Mereka menerima semua perubahan, membolehkan semua hal-hal baru ke dalam Islam termasuk pemikiran, budaya, dan kehidupan Barat. Para ulama Islam modern, menyadari kondisi benturan dua arus pemikiran yang saling bertentangan ini. Antara arus pemikiran ekstrem kanan (tafrith) dan ekstrem kiri (ifrath), sangat berbahaya bagi peradaban Islam dan kehidupan umatnya dalam persaingan peradaban dunia.
Sedangkan, konsep moderasi di Indonesia dapat merujuk kepada para pendakwah Islam wali songo, sunan, syeikh, sayid, habaib, kiyai yang arif, bijaksana, ajur, berbaur menyatu dengan masyarakat dengan pendekatan budaya menanamkan ajaran Islam yang jauh dari kekerasan, menciptakan kedamaian yang diadopsi oleh para pendiri bangsa sebagai cikal bakal ideologi pancasila. Sayangnya, sebagian kelompok dengan keyakinannya merusak kemesraan dalam keragamaan yang sudah terjalin mengatasnamakan agama Islam dengan kekerasan, kezaliman, tidak menghargai perbedaan. Sehingga, seperti tidak ada lagi nilai kemanusian menyebabkan phobia terhadap Islam.
DUNIA EKSTRIM INDONESIA
Dunia serba ekstrem melahirkan konflik antar pemikiran yang sama-sama keras.
Musuh terbesar Pancasila ialah agama! Indonesia pun menjadi gaduh. Jika pernyataan kontroversial itu lahir dari fakta kelompok kecil umat yang memandang Pancasila thaghut. Kesimpulan tersebut jelas salah secara logika maupun substansi.
Jika anda melihat kucing hitam hatta jumlahnya banyak maka jangan simpulkan semua kucing berbulu hitam. Ini pelajaran mantiq paling elementer. Ketika kesalahan logika dasar itu dibenarkan dan diulangi, boleh jadi ada masalah lain yang lebih problematik di ranah personal dan institusional.
Kesalahan subtansi menjadi lebih parah. Agama manapun tidak bertentangan dan memusuhi Pancasila. Para pendiri bangsa dari semua golongan telah bersepakat menjadikan Pancasila ideologi negara. Di dalam Pancasila terkandung jiwa dan nilai ajaran agama yang luhur. Bung Karno bahkan berkata, dengan sila Ketuhanan maka bukan hanya manusianya, tetapi Negara Indonesia itu bertuhan.
Indonesia sebenarnya tak perlu gaduh, jika siapapun yang salah berjiwa kesatria. Bila kearifan itu lahir tanpa kepongahan, reaksi publik tentu positif. Klarifikasi pun tidak diperlukan jika sekadar apologia post factum, mencari pembenaran di kemudian hari dengan merakit argumen baru yang esensinya bermasalah.
PARADIGMA EKSTREM
Menyatakan agama musuh terbesar Pancasila sama bermasalah dengan memandang Pancasila thaghut modern. Setali mata uang dengan pemikiran jika Indonesia ingin maju tirulah Singapura yang menjauhkan agama dari negara. Berbanding lurus dengan pandangan bila negeri ini ingin keluar dari masalah harus menjadi negara khilafah.
Sejumlah kegaduhan di negeri ini terjadi tidak secara kebetulan. Di balik kontroversi soal agama versus Pancasila serta pandangan sejenis lainnya terdapat gunung es kesalahan paradigma dalam memposisikan agama dan kebangsaan. Di dalamnya bersemi paradigma ekstrem (ghuluw, taá¹arruf) dalam memandang agama, Pancasila, keindonesiaan, dan dimensi kehidupan lainnya.
Pikiran ekstrem dalam hal apapun akan melahirkan pandangan dan tindakan yang berlebihan. Karena sudah lama dicekoki oleh pemikiran bahwa sumber radikalisme-esktremisme dalam kehidupan berbangsa ialah agama dan umat beragama, maka lahirlah pandangan dan orientasi yang serba ekstrem tentang agama dan kebangsaan. Agama seolah racun negara dan Pancasila.
Apalagi ada realitas induksi ketika sebagian kecil umat beragama mengembangkan paham ekstrem dalam menyikapi dunia dan negara. Kelompok ini dikenal beraliran takfiri dengan memandang pihak lain salah, sesat, dan kafir. Negara-bangsa atau bentuk negara lainnya dipandang sebagai thaghut. Pancasila, demokrasi, dan hak asasi manusia produk dari sistem thaghut itu yang harus dilawan.
Pola pandang ekstrem beragama ala takfiri ini melahirkan pengikut (folowwer) fanatik buta. Sebaliknya melahirkan reaksi balik yang sama ekstrem. Tumbuh pula kelompok ekstrem liberal-sekular, yang tampil dalam kekenesan baru. Dalam situasi paradoks ini negara seolah ikut andil dalam memproduksi ekstremitas melalui program deradikalisme, sehingga kian menambah rumit persilangan dunia ekstrem di Republik ini. Plus berbagai persoalan bangsa yang dibiarkan akut dan menjengkelkan.
Dunia serbaekstrem inilah yang melahirkan konflik antar pemikiran yang sama-sama keras. Agama versus Pancasila. NKRI versus Khilafah. Ekstrem kanan lawan ekstrem kiri. Radikal dilawan radikal, melahirkan radikal-ekstrem baru. Tariq Ali menyebutnya sebagai The Clash of Fundamentalism, sementara Michael Adas mencandranya sebagai fenomena sosiologis “the sectarian respons”. Konflik kebangsaan ini akan terus berlangsung jika tidak ada peninjauan ulang terhadap paradigma keindonesiaan yang ekstrem dalam hegemoni nalar positivistik, kuasa monolitik, dan mono-perspektif di Republik ini.
Jalan Terjal Moderasi
Indonesia menghadapi jalan terjal dunia ekstrem. Dua kecenderungan antagonistik dalam relasi agama dan negara mengemuka di negeri ini. Pertama, ekstremitas atau kesekstreman dalam memandang radikalisme hanya tertuju pada radikalisme agama khususnya Islam. Akibatnya, negara dan kalangan tertentu terjebak pada kesalahan pandangan dalam menentukan posisi agama dan negara. Pancasila dan Indonesia pun dikonstruksi dengan paradigma liberal-sekular.
Kedua, pola pikir keagamaan yang ekstrem, yang memandang kehidupan bernegara serbasalah, thaghut, dan sesat. Pandangan ini beriringan dengan kebangkitan agama era abad tengah yang teosentrisme, millenari, dan hitam-putih. Paham ekstrem keagaamaan ini sering didukung diam-diam oleh mereka yang kecewa terhadap keadaan dalam istilah Taspinar ekstrem karena deprivasi relatif, sehingga lahir revitalisasi paham ekstrem keagamaan.
Bagaimana solusinya? Kembangkan moderasi atau wasathiyyah, baik dalam kehidupan keagamaan maupun kebangsaan. Masalah moderasi telah dipilih banyak pihak untuk melawan masalah mendesak saat ini, yaitu ekstremisme (Haslina, 2018). Jika ingin terbangun kehidupan beragama, berbangsa, dan bersemesta yang moderat maka jalan utamanya niscaya moderasi, bukan deradikalisasi.
Paradigma deradikalisme menimbulkan benturan karena ekstrem dilawan ekstrem dalam oposisi biner yang sama-sama monolitik. Membenturkan agama versus Pancasila maupun ide mengganti salam agama dengan salam Pancasila secara sadar atau tidak merupakan buah dari alam pikiran deradikalisme yang esktrem. Jika paradigma ini terus dipertahankan maka akan muncul lagi kontroversi serupa yang menghadap-hadapkan secara diametral agama dan kebangsaan, yang sejatinya terintegrasi.
Mayoritas umat beragama di negeri ini sejatinya moderat, termasuk umat Islam sebagai mayoritas. Masyarakat Indonesia pun dalam keragaman suku, keturunan, dan kedaerahan sama moderat. Hidup di negeri kepulauan dengan angin tropis dan keindahan alamnya membuat masyarakat Indonesia berkepribadian ramah, lembut, toleran, dan saling berinteraksi dengan cair sehingga lahir bhineka tunggal ika. Pancasila dan negara-bangsa telah diterima sebagai kesepakatan nasional yang dalam paradigma Muhammdiyah disebut Darul Ahdi Wasyahadah.
Pancasila sejatinya mengandung nilai-nilai dasar dan ideologi moderat. Sekali Pancasila dan Indonesia dibawa ke paradigma ekstrem, maka berlawanan dengan hakikat Pancasila dan Keindonesiaan yang diletakkan oleh para pendiri negara. Siapapun yang membenturkan Pancasila dengan agama dan elemen penting keindonesiaan lainnya pasti ahistoris dan melawan ideologi dasar dan nilai fundamental yang hidup di bumi Indonesia. Jika ingin Indonesia moderat maka jangan biarkan kehidupan keagamaan dan kebangsaan disandera oleh sangkar-besi paradigma dunia ekstrem.
EKSTRIM KANAN DAN EKSTRIM KIRI BISA MENGGEROGOTI FALSAFAH BANGSA
Mengingatkan kembali tentang ancaman terhadap bangsa Indonesia, bahwa saat ini ada upaya menggerogoti keberagamaan dan kebhinekaan bangsa Indonesia serta falsafah bangsa yakni Pancasila.
Ancaman kebhinekaan atau Bhineka Tunggal Ika, akibat reformasi yang berujung kebebasan yang keblablasan. Bebas melakukan apa saja seperti sekarang.
Ada ekstrim kanan, ini dalam agama. Juga ada ekstrim kiri, kemudian adanya krisis kepercayaan yang runtuh saat akhir orde baru lalu berganti orde reformasi. Namun sampai sekarang belum bisa merealisasikan pokok-pokok reformasi itu sehingga munculah gerakan-gerakan yang tidak percaya negara, memecah-belah anak bangsa, intoleransi terhadap perbedaan, dan seterusnya.
Misalnya :
1. Fenomena sosial dan penyakit yang diderita anak bangsa saat ini. Mulai dari fenomena lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Semua itu membuat ricuh dan perdebatan nasional. Globlalisasi dan ancaman media sosial (medsos) yang digunakan sebagai wadah caci maki dan sebar fitnah kian menjadi fenomena sosial, hingga merosostnya degradasi moral bangsa.
2. Kerap kita lihat para koruptor yang sudah tertangkap kok anehnya masih senyum dan melambai tangan tanpa ada malu. Jatuhnya orde baru diikuti neo komunisme, konflik etnis, dan sosial yang sebenarnya akibat konflik pribadi lalu dibesarkan dengan membawa simbol etnik dan berdampak potensi konflik sosial. Ini yang harus kita sadari dan bendung.
Solusi awal mengimbau semua lapisan masyarakat supaya sadar dan menahan diri, agar tidak mudah terkotak-kotak akibat permainan provokasi. 'Mari kita hidup berdampingan rukun dan damai, jangan terkotak-kotak karena isu tertentu yang belum disaring betul kebenarannya. Bisa jadi itu kesengajaan orang tertentu dari luar yang ingin kita terus gaduh.
SAYAP KANAN DAN SAYAP KIRI DALAM POLITIK
Ideologi atau paham yang dianut seseorang atau kelompok dalam politik sering diklasifikasikan dengan istilah sayap kanan dan sayap kiri.
Istilah ini pertama kali muncul di Perancis. Pada mulanya, sayap kiri dianggap sebagai partai gerakan dan sayap kanan dianggap sebagai partai keteraturan. Sedangkan posisi tengah disebut sentrisme atau moderat.
Realitanya, seseorang atau kelompok bisa saja memiliki poisis sayap kiri dalam konteks tertentu dan sayap kanan dalam konteks lain.
SAYAP KANAN
Sayap kanan adalah istilah yang mengacu kepada segmen politik yang dikaitkan dengan konservatisme, liberalisme klasik, kelompok kanan agama, atau sekedar lawan politik sayap kiri.
Mereka yang dapat disebut sayap kanan adalah mereka yang menganut paham konservatisme, neokonservatisme, imperialisme, monarkisme, fasisme, reaksionerisme, tradisionalisme, dan demokrasi kristen di negara-negara Barat.
Seseorang dengan politik sayap kanan adalah mereka yang memandang ketimpangan sosial atau stratifikasi sosial sebagai hal yang wajar, normal, bahkan diinginkan.
Ciri dominan dari pemikiran sayap kanan adalah nilai-nilai tradisional yang seringkali berkaitan dengan agama dan pelestarian hak-hak individu dengan membatasi kekuasaan pemerintah.
POLITIK SAYAP KANAN DI INDONESIA
Sebelum berdirinya Republik Indonesia, golongan sayap kanan bisa diasosiasikan dengan mereka yang mendukung Pemerintah Hindia Belanda yang berkuasa saat itu. Kursi Volksraad atau Dewan Hindia Belanda selalu dimenangkan oleh partai sayap kanan moderat.
Setelah kemerdekaan, mereka yang berada di sayap kanan adalah kelompok TNI dan pendukungnya.
Ada pula mereka yang termasuk ekstrem kanan, biasanya kelompok agamis yang mendukung pemberlakuan hukum Islam.
Contohnya gerakan Darul Islam, Jamaah Islamiyah, dan berbagai gerakan Islam radikal lainnya.
Setelah reformasi, kelompok sayap kanan memunculkan kekhawatiran karena terbukti banyak melakukan kekerasan berlatar agama untuk melawan keberagaman dan mengancam demokrasi.
Pergerakan kelompok sayap kanan bertolak belakang dengan sistem yang ditawarkan oleh demokrasi yang menjunjung penyamarataan setiap aspek dan golongan.
SAYAP KIRI
Sayap kiri adalah istilah yang mengacu kepada segmen politik yang berkaitan dengan egalitarianisme dan kontrol rakyat atau negara atas lembaga-lembaga utama politik dan ekonomi.
Kelompok sayap kiri menganggap ideologi sayap kanan harus diubah karena sifatnya yang sangat kaku, kolot, dan tradisional akan sulit berkembang di era globalisasi.
Sayap kiri cenderung memusuhi kepentingan elite tradisional, termasuk orang kaya dan anggota aristokrasi, serta mendukung kepentingan kelas pekerja atau proletariat.
Kelompok sayap kiri adalah mereka penganut paham anarkisme, komunisme, sosialisme, sosialisme demokrat, progresivisme, liberalisme sosial, dan serikat buruh.
POLITIK SAYAP KIRI DI INDONESIA
Sebelum kemerdekaan, mereka yang disebut sayap kiri adalah mereka yang mendukung kemerdekaan. Para tokoh kemerdekaan seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka, dan banyak lainnya melawan otoritas Belanda.
Setelah kemerdekaan, politik sayap kiri di Indonesia diisi oleh mereka yang berhaluan sosialis dan komunis seperti Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pada 1948, mantan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) beranggotakan partai-partai dan organisasi sayap kiri seperti PKI, Partai Sosialis, Partai Buruh Indonesia, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), dan Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia).
Memasuki Orde Baru setelah komunisme diberangus, orang-orang kiri digantikan oleh mereka yang cenderung melawan Soeharto. Misalnya golongan aktivis, buruh, sastrawan, seniman, intelek, dan mereka yang dianggap mengancam rezim.
Dalam perpolitikan, deklarasi Partai Rakyat Demokratik atau PRD mengembalikan wacana politik sayap kiri di Indonesia yang menghilang selama 30 tahun di bawah kekuasaan orde baru.