JUSTICE COLLABORATOR
Justice collaborator adalah pelaku tindak pidana yang bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kasus tindak pidana tertentu yang terorganisir dan menimbulkan ancaman serius.
Tindak pidana tertentu yang dimaksud seperti korupsi, terorisme, narkotika, pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana terorganisir yang lain. Justice collaborator dapat disebut juga sebagai saksi pelaku yang bekerja sama.
Pemaknaan lain justice collaborator sebagai pelaku yang bekerja sama yang memberikan bantuan kepada penegak hukum dalam bentuk pemberian informasi penting, bukti yang kuat, atau kesaksian di bawah sumpah yang dapat mengungkapkan kasus tindak pidana yang melibatkannya.
Justice collaborator sebutan untuk pelaku kejahatan yang bekerja sama dalam memberikan keterangan dan bantuan bagi penegak hukum. Sebagai imbalannya, seorang justice collaborator akan mendapat pembebasan bersyarat, penjatuhan pidana percobaan bersyarat khusus, pemberian remisi dan asimilasi.
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011, justice collaborator salah satu pelaku dari tindak pidana yang mengakui kejahatannya. Tapi, bukan pelaku utama yang bersedia memberikan keterangan sebagai saksi di persidangan.
Di dalam peraturan nasional, keberadaan justice collaborator diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Itu tentang perlindungan bagi pelapor, saksi pelapor, dan saksi pelaku yang bekerja sama.
Jika seorang justice collaborator berbohong dalam keterangannya, berbagai hak yang dimiliki akan dicabut. Ia bisa dituntut telah memberikan keterangan palsu.
Syarat menjadi justice collaborator :
1. Tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana serius dan atau terorganisir.
2. Memberikan keterangan yang signifikan, relevan dan andal untuk mengungkap suatu tindak pidana serius dan atau terorganisir.
3. Bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang akan diungkapnya.
4. Kesediaan mengembalikan sejumlah aset yang diperolehnya dari tindak pidana yang bersangkutan, hal mana dinyatakan dalam pernyataan tertulis.
5. Adanya ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan adanya ancaman, tekanan secara fisik maupun psikis terhadap saksi pelaku yang bekerja sama atau keluarganya. Apabila tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya.
Syarat untuk menjadi justice collaborator juga diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011, 9 (A) dan (B).
1. Justice Collaborator merupakan salah satu pelaku tindak pidana yang mengakui semua kejahatan yang dilakukannya. Tapi bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta bersedia memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.
2. Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan. Sehingga, penyidik dan atau penuntut umum bisa mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan atau mengembalikan aset-aset, hasil dari suatu tindak pidana.
SANKSI
Jika justice Collaborator melakukan kebohongan tersebut pada akhirnya akan terbukti juga dalam proses penyelidikan yang panjang. Jaksa penuntut, memiliki cara untuk mengetahui apakah seseorang Justice Collaborator berbohong atau tidak.
Justice Collaborator kelihatan berbohong atau tidak adalah dari konsistensinya, dari penyelidikan sudah terlihat. Para penuntut yang sudah dibekali kemampuan interview bisa menilai, apakah dia konsisten atau tidak dalam memberikan keterangan.
Justice Collaborator agar tidak berbohong dalam memberikan keterangan. Karena setiap kebohongan di pengadilan memiliki konsekuensi hukum, termasuk dalam kasus tindak pidana maupun perdata.
"Segala apa yang diungkapkan di persidangan ada akibat hukumnya. Ada ketentuan kalau dia berbohong, diatur di Pasal 22 pada Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, ada ancamannya.
Dalam pasal itu disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memberi keterangan tidak benar dalam proses penyelidikan kasus korupsi, maka terancam pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun, dengan denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta.
MENGADOPSI SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 4 TAHUN 2011
Syarat menjadi Justice Collaborator, salah satu aturan terkait justice collaborator adalah Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011, seseorang dapat dikategorikan sebagai justice collaborator adalah sebagai berikut :
1. Merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu;
2. Mengakui kejahatan yang dilakukannya;
3. Bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut;
4. Memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradilan; dan
5. Keterangan dan bukti-bukti yang diberikannya sangat penting dan dapat membantu pengungkapan kasus, mengungkap pelaku-pelaku lain yang memiliki peran lebih besar, dan mengembalikan aset atau hasil dari tindak pidana tersebut.
Syarat untuk menjadi justice collaborator juga tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Syarat untuk mendapatkan status justice collaborator menurut peraturan bersama tersebut, yaitu :
1. Tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana serius dan/atau terorganisir;
2. Memberikan keterangan yang signifikan, relevan dan andal untuk mengungkap suatu tindak pidana serius dan/atau terorganisir;
3. Bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang akan diungkapnya;
4. Kesediaan mengembalikan sejumlah aset yang diperolehnya dari tindak pidana yang bersangkutan, hal mana dinyatakan dalam pernyataan tertulis; dan
5. Adanya ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan adanya ancaman, tekanan, baik secara fisik maupun psikis terhadap yang bersnagkutan atau keluarganya apabila tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya.
6. Justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama berhak mendapatkan perlindungan fisik dan psikis, perlindungan hukum, penanganan secara khusus, dan penghargaan.
7. Penghargaan yang dimaksud seperti keringanan tuntutan hukum, pemberian remisi tambahan dan hak narapidana lain, dan lain sebagainya sesuai ketentuan yang berlaku.
JUSTICE COLLABORATOR DAN PERLINDUNGAN HUKUMNYA
Justice collaborator dalam perkembangan terkini mendapat perhatian serius, karena peran kunci mereka dalam membuka tabir gelap tindak pidana tertentu yang sulit diungkap oleh penegak hukum. Justice collaborator diartikan sebagai saksi pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu atau bekerjasama dengan penegak hukum. Peran kunci yang dimiliki oleh justice collaborator antara lain :
1. Untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana, sehingga pengembalian asset dari hasil suatu tindak pidana bisa dicapai kepada negara;
2. Memberikan informasi kepada aparat penegak hukum; dan
3. Memberikan kesaksian di dalam proses peradilan.
Dengan demikian kedudukan justice collaborator merupakan saksi sekaligus sebagai tersangka yang harus memberikan keterangan dalam persidangan, selanjutnya dari keterangan tersebut dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
Justice collaborator pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat sekitar tahun 1970-an. Dimasukkanyan doktrin tentang justice collaborator di Amerika Serikat sebagai salah satu norma hukum di negara tersebut dengan alasan perilaku mafia yang selalu tutup mulut atau dikenal dengan istilah omerta sumpah tutup mulut . Oleh sebab itu, bagi mafia yang mau memberikan informasi, diberikanlah fasilitas justice collaborator berupa perlindungan hukum. Kemudian terminology justice collaborator berkembang pada tahun selanjutnya di beberapa negara, seperti di Italia (1979), Portugal (1980), Spanyol (1981), Prancis (1986), dan Jerman (1989).
Dalam perkembangannya, pada konvensi Anti Korupsi (United Nation Convention Against Corruption /UNCAC) dilakukan sebagai upaya untuk menekan angka korupsi secara global. Dengan adanya kerjasama internasional untuk menghapuskan korupsi di dunia, maka nilai-nilai pemberantasan korupsi didorong untuk disepakati oleh banyak negara. Salah satu hal yang diatur di dalam konvensi UNCAC, pada ketentuan Pasal 37 ayat (2) dan (3) adalah penanganan kasus khusus bagi pelaku tindak pidana korupsi yang ingin bekerjasama dengan aparat penegak hukum. Kerjasama tersebut di atas ditujukan untuk mengusut pelaku lain pada kasus yang melibatkan si pelaku. Kemudian kerjasama antara pelaku dengan penegak hukum dikenal dengan istilah Justice Collaborator. Konvensi UNCAC telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003).
NORMA HUKUM NASIONAL
Dalam hukum nasional, Justice collaborator diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-undang Nomor 31 tahun 2014 (perubahan atas UU Nomor 13 tahun 2006) tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 04 tahun 2011, Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.
Sumber hukum yang disebutkan di atas masih belum memberikan pengaturan yang proporsional, sehingga keberadaan justice collaborator bisa direspon secara berbeda oleh penegak hukum. Misalnya pada Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Wistleblowers) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Lahirnya Surat Edaran Mahkamah Agung di atas didasarkan pada pertimbangan: bahwa dalam tindak pidana tertentu yang serius seperti teroris, korupsi, narkotika, pencucian uang, tindak pidana perdagangan orang, telah menimbulkan gangguan yang serius pada masyarakat, sehingga perlu ada perlakuan khusus kepada setiap orang yang melaporkan, mengetahui atau menemukan suatu tindak pidana yang membantu penegak hukum dalam mengungkapnya. Oleh sebab itu, untuk mengatasi tindak pidana tersebut di atas, para pihak yang terlibat dalam tindak pidana tersebut perlu mendapatkan perlindungan hukum dan perlakuan khusus.
Selanjutnya, dalam Surat Edaran Mahkamah Agung diberikan pedoman kepada hakim dalam menjatuhkan pidana kepada justice collaborator dengan beberapa kriteria:
Yang bersangkutan merupakan pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatannya, bukan pelaku utama dan memberikan keterangan sebagai saksi dalam perkara tersebut;
Jaksa Penuntut Umum telah menjelaskan dalam tuntutannya menyatakan yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan sehingga dapat mengungkap tindak pidana dimaksud.
Dalam konteks di atas, hakim yang memeriksa perkara diminta untuk menjatuhkan putusan :
Pidana percobaan bersyarat dan atau;
Pidana penjara yang paling ringan dengan mempertimbangkan keadilan dalam masyarakat.
Meskipun dalam Surat Edaran Mahkamah Agung sudah diatur dan sudah dijadikan panduan bagi hakim-hakim di lingkungan peradilan di Indonesia, namun Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut tidak bisa mengikat jaksa maupun bagi penyidik. Surat Edaran Mahkamah Agung di atas hanyalah aturan internal di lingkungan peradilan, sehingga tidak memiliki otoritas yang kuat dalam memastikan bahwa justice collaborator mendapatkan perlakuan khusus. Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban juga tidak memberikan jaminan perlindungan terhadap justice collaborator. KUHP dan KUHAP juga tidak mengatur posisi justice collaborator secara tuntas. Dengan demikian norma pada hukum positif kita tidak memberikan tempat yang layak pada justice collaborator. Oleh sebab itu, perlu untuk mencari terobosan hukum dalam memberikan perlindungan kepada justice collaborator.
Selain Surat Edaran Mahkamah Agung, ada juga Peraturan Bersama Nomor 11 Tahun 2011, yang mana peraturan tersebut dinilai sebagai terobosan hukum dalam rangka mengisi kekosongan hukum namun dalam pelaksanaannya tetap ditemukan kendala. Kendala utama yang ditemukan adalah penanganan khusus bagi saksi pelaku yang bekerjasama. Perwujudan dari penanganan khusus bagi saksi pelaku yang bekerjasama juga yang tidak jelas (clear), yang mana terlihat pada Pasal 6 ayat 3. Lembaga penegak hukum lebih cenderung menggunakan KUHAP dari pada Peraturan Bersama, sehingga hak-hak saksi pelaku yang bekerjasama, dalam praktiknya tidak mendapatkan penanganan khusus.
Atas kerumitan norma yang ada tentang justice collaborator, maka Undang-undang No. 13 Tahun 2006 direvisi dengan Undang-undang No. 31 Tahun 2014 khususnya pada Pasal 10 Undang-undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 rumusan normanya adalah sebagai berikut :
Saksi, Korban dan Saksi Pelaku dan atau Pelaporan tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dana tau laporan yang akan, sedang atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.
Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan atau Pelapor atas kesaksian dan atau laporan yang akan, sedang atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksianntelah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Kemudian dalam dalam Pasal 10 (A)
Saksi Pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan.
Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :
(1) Pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi Pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapaidana yang diungkap tindak pidananya;
(2) Pemisahan pemeriksaan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya dan/atau:
(3) Memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.
(3) Penghargaan atas kesaksian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :
Keringanan penjatuhan pidana; atau
Pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-unndangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana.
Untuk memperoleh penghargaan berupa keringanan penjatuhan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntututannya kepada hakim. dan Untuk memperoleh penghargaan berupa pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Meskipun norma justice collaborator telah diatur dalam Undang-undang No. 31 Tahun 2014, namun masih tetap ditemukan kelemahan dalam pelaksanaannya. Kelemahan pertama adalah untuk mengajukan permohonan justice collaborator ke LPSK, sehingga mengacu pada tersebut di atas, pengaturannya masih belum jelas diatur. Pada kondisi demikian, muncul pertanyaan: Jika tersangka ditahan oleh KPK, apakah permohonan sebagai justice collaborator diajukan ke KPK atau LPSK atau kepada keduanya ?
Dalam praktik, ada tiga jawaban atas pertanyaan tersebut di atas. Pertama; permohonan sebagai justice collaborator diajukan kepada KPK. Kedua, untuk mendapatkan penanganan khusus, sangat tergantung dari instansi yang menangani tersangka/terdakwa, dan penilaian apakah yang bersangkutan bisa dikategorikan sebagai justice collaborator atau tidak bisa, keputusannya ditentukan oleh instansi yang bersangkutan. Dengan demikian, penilaian akan ketentuan justice collaborator menjadi sangat subjektif, dan LPSK tidak memiliki kekuatan dalam menentukan apakah seseorang layak mendapatkan status justice collaborator atau tidak layak. Ketiga, penghargaan untuk mendapatkan keringanan hukuman sifatnya tidak mengikat hakim. Surat rekomendasi yang diterbitkan oleh LPSK terhadap pengadilan belum tentu bisa dijadikan dasar untuk meringankan hukuman seorang justice collaborator. Demikian juga dengan rekomendasi LPSK untuk mendapatkan remisi tambahan, pembebasan bersyarat kepada justice collaborator tidak serta merta menjadi pertimbangan dalam pelaksanaannya.
Oleh sebab itu, sepanjang norma tentang justice collaborator tidak melekat dalam revisi KUHAP, maka masih ditemukan kendala prosedural formal. KUHAP merupakan norma hukum pidana formil, yang meletakan dasar-dasar yang kokoh dalam criminal justice system. LPSK tidak ditempatkan dalam sistem tersebut, sehingga keberadaan institusi tersebut belum begitu dipertimbangkan oleh lembaga-lembaga penegak hukum yang ada. Positioning LPSK berbeda sekali dengan KPK, lembaga tersebut tidak memiliki kewenangan yang “berwibawa” di mata penegaka hukum, sehingga rekomendasi yang diberikan oleh LPSK memiliki dua opsi, yaitu : “boleh dipatuhi” atau “boleh tidak dipatuhi”. Jadi, pentingnya perlindungan hukum terhadap justice collaborator, perlakuan khusus dan hukuman percobaan/peringanan hukum menjadi hal yang sangat penting untuk dapat membuat sebuah perisitiwa pidana yang awalnya gelap gulita menjadi terang menderang. Namun untuk mewujudkan misi penyelesaian akan tindak pidana, peraturan yang ada tidak mendukung untuk memujudkanya. Demikian juga dengan keberadaan LPSK yang diberikan mandat oleh undang-undang yang tidak maksimal menjalankan fungsinya. Situasi di atas tentunya harus segera diatasi. Dalam jangka panjang, KUHAP harus mamasukkan pengaturan yang tegas dan jelas mengenai hal justice collaborator, dan LPSK juga harus diberikan mandat untuk dapat memberikan perlindungan hukum bagi justice collaborator, dan dimandatkan juga sebagai bagian dari criminal justice system. Dengan kelengkapan instrumen hukum maka keberadaan justice collaborator bisa mengungkap berbagai kasus pidana menjadi lebih jelas.
Sumber referensi :
- Mulyadi, Lilik. 2015. Perlindungan Hukum terhadap Whistle Blower dan Justice Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime. Bandung: Alumni.
- Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.
By, POINT Consultant