KALAM & KALAMULLAH
Istilah kalam, sering digunakan untuk menyebut deretan wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Muhammad SAW.
Kesemuanya itu tertuang dalam Alquran. Seperti apa dinamika penggunaan istilah kalam?
Secara tata bahasa, mengutip Ensiklopedi Islam, kalam adalah kata benda umum tentang perkataan, sedikit atau banyak.
Rangkaian kata itu dapat digunakan untuk setiap bentuk pembicaraan atau ekspresi suara yang berturut-turut hingga pesan-pesan suara itu jelas maksudnya. Konteks kata tersebut bisa ditelusuri dalam akar bahasa Arab.
Dalam Alquran, misalnya surah al-A’raf ayat 144. Disebutkan kata bi kalami yang ditujukan kepada Musa AS. Sedangkan, lafal kalam Allah pada surah al-Fath ayat 15 berarti janji atau ketentuan Allah yang wajib diikuti segenap manusia.
Ada dua pengertian kalam sebagai kata benda, yaitu berbicara dan hukum (undang-undang). Terkait makna yang pertama, sebagaimana disebutkan surah al-Baqarah ayat 75. Sedangkan, pemaknaan yang kedua, yaitu kalam diartikan sebagai hukum, seperti tertulis di surah at-Taubah ayat 6.
Smentara, kalam sebagai kata kerja banyak digunakan dalam Alquran, yang artinya berbicara pada seseorang yang dikenai perbuatan. Ini seperti dikuatkan oleh pendapat Abu Musa al-Asy’ari di kitab Al-Ibanah.
Sejalan dengan dinamika perkembangan ilmu pengetahuan dan sosial keagamaan kala itu, secara teknis kalam menjadi salah satu penamaan bagi ilmu. Ini kemudian disebut dengan ilmu kalam.
Awalnya, kalam sebagai ilmu berkorelasi dengan kajian seputar kalam Allah, Alquran, dan sifat-sifat-Nya. Ada banyak istilah yang lekat dengan ilmu kalam, yakni ilmu tauhid, ushuludin, ataupun ilmu aqaid.
Kalam (kalamos, jamak Yunani kalamoi) adalah sejenis alat tulis yang terbuat dari setangkai gelagah atau sebatang buluh yang dipotong dan diraut. Kalam mirip pena berujung belah telah ditemukan di situs-situs Mesir Kuno yang berasal dari abad ke-4 SM. Kalam digunakan untuk menulis pada papirus, dan merupakan alat tulis yang paling lazim digunakan pada zaman kuno.
Kata dalam bahasa Arab disebut dengan istilah kalam/kalimah. Dalam kitab Matn al-Jurumiyah disebutkan bahwasanya al-kalam adalah lafadz yang tersusun dan berfaidah (mempunyai pengertian sempurna dengan disengaja) dalam bahasa Arab.
Kata kalam dengan pengertian alat tulis dalam kosakata bahasa Indonesia, merupakan sebuah kata serapan dari bahasa Arab: قلم (Qalam) yang berarti pena. Anak batu tulis atau gerip juga dikenal dengan sebutan kalam batu.
Kalam lebih tebal dibanding pena bulu yang terbuat dari bulu unggas dan ujungnya yang runcing tidak tahan lama. Itulah sebabnya kalam di kemudian hari tergantikan oleh pena bulu. Sekalipun demikian, kalam berguna untuk menorehkan garis-garis tebal, dan tetap menjadi sebuah alat penting dalam seni kaligrafi.
Kalam menurut definisi paling mendasar adalah suatu lafaz yang tersusun yang berfaedah, serta disengaja dalam pengucapannya.
Dari definisi di atas, kalam memiliki empat syarat, yaitu harus berupa Lafaz, Murakab, Mufid dan Disengaja dalam pengucapannya.
Apabila suatu lafaz tidak memenuhi kriteria empat di atas, atau mungkin tidak memenuhi salah satu kriteria di atas, maka lafaz tersebut tidak bisa dikatakan kalam.
Kalam adalah suatu lafaz yang tersusun yang memiliki faedah serta di sengaja dalam pengucapannya.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kalam memiliki beberapa ketentuan :
1. Kalam harus berupa lafaz.
Lafaz adalah suara yang mengandung salah satu huruf Hijaiah. Contoh : عمر (Mengandung Huruf Hijaiah ر ، م، ع )
Jadi syarat pertama sesuatu bisa di katakan kalam adalah harus berupa huruf Hijaiah. Ketika kita berbicara menggunakan bahasa Indonesia, Inggris atau yang lainnya itu bukanlah disebut Kalam karena Kalam hanya berlaku dalam bahasa Arab.
Contoh, Zaid berkata, "Amir telah memukul Umar".
Apabila Zaid mengucapkannya menggunakan bahasa arab, maka ucapan tersebut termasuk lafaz. Sedangkan apabila Zaid dalam pengucapannya menggunakan bahasa Indonesia, maka hal tersebut tidak dinamakan lafaz.
Ingat! Tidak semua suara bisa dikatakan kalam. Berhubung kalam disyaratkan harus berupa lafaz atau suara yang mengandung bahasa arab, maka segala bunyi atau suara yang tidak mengandung huruf Hijaiah tidak bisa dikatakan kalam. Contoh: Suara burung, suara alarm, suara kucing, dan lain sebagainya.
Intinya begini, kalam harus berupa lafaz, sedangkan lafaz harus berupa suara yang mengandung huruf hijaiah (bahasa arab).
Jadi, selain bahasa arab, maka secara otomatis ia tidak dinamakan kalam.
2. Kalam harus Murakab/Tersusun (مُرَكَبْ)
Yang dimaksud murakab di sini adalah kalimat yang terdiri dari 2 kata atau lebih. Atau susunan dua kata atau lebih.
Suatu kalimat bisa dikatakan kalam apabila memiliki susunan yang jelas dan tertuju, jika ada pekerjaan pasti ada yang mengerjakan, jika ada yang di pukul pasti ada juga pelaku yang memukul.
Hal ini sejalan dengan aturan SPO (Subjek + Predikat + Objek) dalam bahasa Indonesia. Tetapi yang menjadi pembeda adalah kalau bahasa arab susunannya adalah PSO atau Predikat + Subjek + Objek.
Di dalam bahasa Indonesia, kalimat "Zaid sedang menolong Umar" adalah susunan yang benar. Sebab, syarat-syarat SPO-nya terpenuhi. "Zaid" posisinya adalah sebagai Subjek (pelaku), "sedang menolong" posisinya menjadi Predikat (kata kerja), sedangkan "Umar" posisinya adalah Objek (sasaran).
Nah, sekarang kita beralih ke contoh murakab:
ضرب زيد عمرا adalah contoh murakab atau susunan kalimat yang benar dalam bahasa arab. Adapun artinya adalah Zaid sudah memukul Umar.
Berhubung format kalimat bahasa arab diawali dari kanan, maka kita juga harus mengurutkannya dari kanan. Artinya, ضرب di tempat pertama, زيد di tempat kedua, sedangkan عمرا di tempat ketiga.
Perhatikan, susunan tersebut bisa disimpulkan bahwa murakab memilik susunan PSO (Predikat + Subjek + Objek), bukan SPO ((Subjek + Predikat + Objek) sebagaimana yang berlaku di Indonesia. ضرب di posisi pertama menjadi Predikat, زيد di posisi kedua menjadi Subjek, sedangkan عمرا di posisi ketiga menjadi Objek.
Itulah penjelasan lengkap mengenai murakab. Nah, sekarang pertanyaannya, bagaimana contoh susunan yang tidak murakab?
Jawabannya simpel saja, susunan yang tidak murakab adalah susunan yang tidak memiliki susunan PSO (Predikat + Subjek + Objek). Misal, Zaid menolong, Zaid Bertanya. Pasti akan timbul pertanyaan, Zaid menolong siapa? Zaid bertanya apa? dll.
Ketiga, kalam harus berfaedah atau memahamkan (مُفِيْدْ)
Mufid (مُفِيْدْ) adalah memberi pemahaman, berfaedah, atau dapat memberikan informasi yang sekiranya orang yang diajak bicara tidak bertanya-tanya lagi.
Nah itu kuncinya. Kalau seseorang sudah tidak bertanya lagi dengan apa yang kita sampaikan. Maka ucapan tersebut sudah masuk kriteria berfaedah (memahamkan)
Contoh:
يَذْهَبُ اَمِرٌ فِى المَدْرَسَةِ (Amir sedang pergi ke madrasah) = Sudah Mufid Karena sudah jelas.
يَذْهَبُ اَمِرٌ (Amir sedang pergi) = Belum Mufid karena masih menimbulkan pertanyaan (pergi ke mana?).
Keempat, kalam harus ada unsur disengaja dalam pengucapannya (الوضع)
Syarat yang terakhir dari kalam adalah adanya unsur "disengaja" dalam pengucapannya. Artinya, apabila ucapannya bersumber dari orang yang tidak sadar, mabuk, tidak berakal, ayan, mengigau, atau sejenisnya, maka ucapan tersebut tidak bisa dinamakan kalam.
Jadi, apabila seseorang yang mabuk, ayan, mengigau, atau gila mengucapkan sebuah kalimat yang sudah memenuhi syarat Lafaz, Murakab dan Mufid, maka mutlak ucapan tersebut tidak dinamakan kalam. Sebab, ucapannya dilontarkan dalam keadaan tidak disengaja.
KALAM DALAM ILMU NAHWU
Kalam yang akan dibahas disini adalah kalam dalam ilmu nahwu, maka pemahaman kalam dalam ilmu nahwu berbeda dengan pemahaman kalam dalam ilmu kalam, ilmu tauhid, ilmu manthiq, ilmu fiqih maupun ilmu-ilmu lain.
Kalam dalam ilmu nahwu berarti perkataan, kalam dalam bahasa Arab (كلام). Kalam adalah objek kajian dalam ilmu nahwu yaitu keadaan huruf dan harakat akhir dalam sebuah kata bahasa Arab.
- Kalimat (كلمة/ كلمات) Dalam bahasa Arab khususnya dalam pembahasan nahwu berarti KATA.
- Jumlah (جملة) Dalam bahasa Arab khususnya dalam pembahasan nahwu berarti KALIMAT.
Pengertian Kalam
الكلام : هو اللَفْظُ المُرَكّبُ المُفِيدُ بِالوَضْعِ
Kalam : Adalah suatu lafaz yang tersusun berfaedah dan disengaja.
اللفظ : النُّطْق باللسان
Lafaz adalah pengucapan dengan lisan.
اللفظ : الصَوتُ المُشْتَمِلُ على بَعض حُروف الهجائيّةِ التي أولها الأَلفُ و أخرُها اليَاءُ
Lafaz adalah suara yang mengandung sebagian huruf-huruf hijaiyyah yang awalnya Alif dan huruf terakhirnya ya'.
Catatan :
Tulisan menurut ahli nahwu tidak dikategorikan kalam begitu juga dengan isyarat sekalipun orang paham karena isyarat tidak mengandung lafaz.
Misalnya, seseorang menulis di kertas إجْلِسْ yang berarti duduk, ini tidak dianggap kalam karena tidak ada lafaz atau bunyi, secara syariat termasuk kalam, ulama fiqih menganggap itu kalam, Tapi bagi ulama nahwu itu bukan kalam.
المركّب : تَرْكيبًا إسْناديّا تحصُل به الفَائدة
Tarsusun adalah susunan yang bersandar (kepada kata yang lain) yang menghasilkan faedah/fungsi.
المركب : من كلمتين فأكثر تركيبا إسناديا
Tersusun artinya terdiri atas 2 kata atau lebih sehingga menjadi susunan yang saling bersandar.
Catatan :
Baik itu tersusun secara haqiqi (nyata), contoh (قام زيد) terdiri dari fi'il dan fa'il jelas tampak, ataupun taqdir (tersirat) contoh (قُمْ) artinya berdirilah, dalam nahwu ini dianggap kalam karena terdiri dari 2 kata, namun taqdir atau tersirat, dibalik kata tersebut ada dhomir yang tersembunyi yaitu kamu.
المفيد : فائدة يحسن السكوت عليها
Berfaedah artinya berfungsi perkataannya sehingga orang yang medengar diam (artinya tidak bertanya lagi apa yang iakatakan karena sudah paham).
المفيد : المفهم، يحسن السكوت المتكلّم عليه
Berfaedah maksudnya Paham, artinya lawan bicara sudah paham dan mengerti apa yang diucapkan si pembicara.
بالوضع : المفيد بالقصد وبوضع العربي
Pertama :
Pembicara harus sengaja dan sadar dalam perkataannya dengan maksud yang jelas. Maka, perkataan orang mabuk, orang gila, orang tidur, orang mengigau tidak dikategorikan kedalam kalam.
Kedua :
Orang yang sadar tersebut berbicara bahasa Arab dan orang Arab yang mendengarnya paham. Karena kalam yang dimaksud disini oleh para ahli nahwu adalah bahasa Arab.
Maka, dapat kita simpulkan bahwa Kalam dalam ilmu nahwu harus terdiri dari 4 syarat diatas tadi yaitu lafaz, murakkab, mufid, waza'. Jika tidak terdiri dari 4 kompenen tersebut atau kurang salah satunya maka tidak dianggap kalam.
Kalam dalam ilmu nahwu dibagi 3 (tiga).
Pembagian sebatas ini perlu kepada pemahaman. Jika ada orang bertanya, apa dalil pembagian kalam itu ada tiga.
"fi" dalam Al-quran ada disebutkan kalam ada 3 (dalam sunnah, ada dalam qiyas) ada disebutkan dalam qiyas terkait dalil kalam itu dibagi 3.
Tidak ada dalil dalam Al-quran, hadist, ijma', qiyas yang menyebutkan dalil tentang kalam itu dibagi 3. Hal-hal diatas membutuhkan kepada penetapan hukum syariah, sedangkan nahwu tidak.
Adapun kalam dibagi menjadi 3 berdasarkan penelitian dan pengamatan para ulama nahwu terhadap bahasa Arab dan ditemukan bahwa kalam tidak keluar dari 3 elemen yaitu : Isim, fi'il dan huruf.
Isim adalah sesuatu yang menunjukkan makna pada dirinya, contoh nama orang, nama benda dan lain-lain.
Fi'il adalah sesuatu yang menunjukkan kelakuan atau pekerjaan yang diiringi salah satu zaman yang 3, yaitu mazi (lampau), mudhari (sekarang) dan Mustaqbal (akan datang).
Huruf adalah sesuatu yang tidak menunjukkan makna atsnya dan sesuatu yang selain isim dan fi'il.
اَلْكَلَامُ : هو اَللَّفْظُ اَلْمُرَكَّبُ, اَلْمُفِيدُ بِالْوَضْعِ
Artinya, Kalam adalah suatu ucapan atau lafadz tersusun yang diucapkan secara sadar oleh pembicara kepada pendengar (yang diajak bicara) sehingga si pendengar (yang diajak bicara) dapat memahami tujuan dari lafadz tersebut.
Maksudnya, kalam merupakan susunan beberapa lafadz yang terbentuk secara tersusun dan mempunyai makna, pengucapan atau pembuatan lafadz pada kalam sendiri dilakukan secara sadar oleh pembicara atau pembuat lafadz.
Sehingga syarat dari kalam adalah ucapan/lafadz, tersusun, bermakna (mempunyai makna), dan dibuat atau di ucapkan oleh si pembicara atau penulis secara sadar.
Kalam sendiri diucapkan atau dilafadzkan, yaitu suara yang melengkapi atas sebagian dari huruf hijaiyah dalam bahasa arab. Atau secara kadah yaitu: “Suara yang melengkapi atas sebagian huruf hijaiyah”
Kalam disusun dengan menggunakan minimal dua kalimat dan dan boleh disusun dengan dua, tiga, dan jumlah kalimat yang lebih banyak.
Kalam harus dapat memberikan faidah atau manfaat secara sempurna, sehingga si pembicara berbicara atau memberikan kalimat kepada pendengar secara jelas. Pada saat si pembicara memberikan kalimat maka si pendegar disarankan untuk diam dan mendengarkan.
Syarat-Syarat Kalam.
Secara umum berdasrkan kaidah yang tertuang di beberapa kitab nahwu karangan para ulama, maka terdapat kurang lebih ada 4 syarat kalam, yaitu:
1. Berbahasa Arab
2. Diucapkan atau di lafadzkan
3. Disusun
4. Difahami
Pembagian Kalam.
Kalam dapat dibagi menjadi tiga yaitu: isim, fi’il dan harfun, berikut penjelasan mengenai pembagian kalam dalam Bahasa Arab yaitu :
1. Isim.
Isim adalah setiap kata yang menujukkan kepada jenis benda, baik berupa nama benda, nama orang, gelar, kota, Negara, binatang dan sebagianya.
Ciri-Ciri Isim.
- Bertanwin (mempunyai harokat tanwin)
- Dimasuki oleh alif-lam
- Berharakat Kasroh (Khafadh)
Contoh-Contoh Isim :
Bahasa Indonesia dan bahasa Arab
Pintu بَاب
Rumah بَيْت
Muhammadمُحَمَّدٌ
Sekolah مَدْرَسَةٌ
2. Fi’il
Fi’il adalah setiap kata dalam Bahasa Arab yang menujukkan suatu pekerjaan pada waktu tertentu, misalnya lampau, sekaang dan akan datang.
Didalam Bahasa Arab sendiri fi;il dikenal dengan kata kerja, akan tetapi pengertian fi’il dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Arab berbeda karena terdapat sedikit perbedaan antara keduanya.
Ciri-Ciri Fi’il
- Terdapat Huruf Alif di Awal kata
- Huruf nun diawal kata
- Huruf ya’ diawal kata
- Huruf ta’ diawal kata
Contoh Fi’il
Bahasa Indonesia ke bahasa Arab
Dia telah menulisكَـتَـبَ
Dia telah membacaقَــرَأَ
Dia telah berbicaraقَالَ
3. Harfun
Huruf dalam bahasa arab adalah suatu kata yang menujukkan kepada suatu arti tertentu apabila kata tersebut disandingkan dengan kata yang lainnya.
Huruf harus disandingkan dengan kata yang lainnya sehingga membentuk kalimat agar dapat dipahami dan dimengerti maksudnya.
Contoh-Contoh Harfun :
Kepunyaan (milik)
Contoh Huruf dalam Ilmu Nahwu
Bahasa Arab dan bahasa Indonesiaمِنْ
Dariاِلىَ
Keعَنْ
Dariعَلىَ
Diatasفِي
Di dalamرُبَّ
Banyak atau sedikitبِ
Denganكَ
Sepertiلِ
KALAMULLAH
Islam adalah agama yang benar dan sempurna. Untuk mempelajari hukum dan ajaran yang terkandung di dalamnya, umat Muslim bisa berpedoman pada kalamullah.
Secara bahasa, kalamullah artinya perkataan Allah. Sedangkan secara istilah, kalamullah adalah perkataan Allah yang disampaikan Jibril kepada Nabi Muhammad SAW untuk dijadikan pedoman bagi kehidupan manusia.
Tidak hanya seputar hukum dan ajaran Islam saja, kalamullah juga memuat pesan moral yang mengatur perilaku manusia. Dengan mengikuti kalamullah, seseorang bisa selamat dari api neraka dan siksaan Allah Swt.
Secara kontekstual, kalamullah terdiri dari surat dan ayat. Agar lebih memahaminya, berikut penjelasan tentang kalamullah selengkapnya yang bisa Anda simak.
KEDUDUKAN AL QUR'AN SEBAGAI KALAMULLAH
Kalamullah adalah nama lain dari kitab suci Alquran. Kitab ini berfungsi sebagai pedoman sekaligus sumber hukum utama yang dibutuhkan umat Islam.
Meski menjadi sumber hukum utama, Abdullah Ahmad An-Naim dalam buku Dekonstruksi Syariah menyebut bahwa Alquran bukanlah kitab hukum maupun kitab kumpulan hukum.
Alasannya karena aturan di dalam Alquran masih bersifat universal, hanya 80 ayat saja yang secara eskplisit menggunakan kata hukum. Menurut beliau, Alquran lebih pantas dikatakan sebagai kitab petunjuk untuk standar moral perilaku manusia.
Pembahasan ibadah dan muamalah dalam Alquran bersifat umum, sehingga diperlukan suatu penjelas baginya. Hadits menjadi sumber hukum kedua yang bisa dijadikan pelengkap ayat Alquran.
Contohnya adalah ayat yang membahas sholat dan zakat. Di dalam Alquran tidak ditemukan waktu sholat, gerakan sholat, dan lain-lain. Rincian tata-tata cara tersebut dapat ditemukan pada hadist Nabi SAW.
Di sisi lain, Alquran juga merupakan sumber kebaikan bagi umat Islam. Mereka yang senantiasa membaca, mempelajari, hingga mengamalkan isinya akan diberikan pahala serta keutamaan besar oleh Allah SWT. Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Sebaik-baiknya kamu adalah orang yang belajar al Qur’an dan mengajarkannya.” (HR Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah)
Secara tersirat, hadits tersebut menganjurkan umat Islam untuk senantiasa mempelajari Alquran dan mengajarkannya. Termasuk di dalamnya memerhatikan dan mengenal hukum-hukum Alquran, mempelajari aqidah Islam, memahami sunatullah, dan mengambil pelajaran dari kisah-kisah ummat terdahulu.
Selain itu, dianjurkan pula memahami apa saja yang diperintahkan serta dilarang oleh Allah Swt. Sebab, di dalam perintah dan larangan tersebut terdapat keberuntungan bagi umat Islam, baik di dunia maupun di akhirat.
Alquran adalah kalamullah yang sifatnya agung. Maka, seorang Muslim yang ingin mendapatkan rahmat dari Allah harus membaca, mempelajari serta mengamalkan isinya. Allah Swt berfirman:
وَاِذَا قُرِئَ الْقُرْاٰنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهٗ وَاَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat,” (QS. Al-A‘raf [7]: 204)
HAKIKAT KALAMULLAH AL-QUR'AN
ALAH satu dari sifat yang wajib bagi Allah adalah sifat kalam (berbicara),sifat yang qadim yang melekat pada dzat-Nya.Sedangkan perlawanannya adalah bukmun (bisu).Dalil bahwa Allah wajib memiliki sifat kalam yaitu firman Allah:
وَكَلَّمَ اللهُ مُوْسَى تَكْلِيْمًا (النساء ]4[ الأية: 164)
"Dan kepada Nabi Musa, Allah berfirman langsung"
(QS.an-Nisa`[4], 164)
Lalu bagaimana kita menyikapi al-Qur’an yang sekarang,yang berupa tulisan yang bias dibaca ? Jawabannya adalah,istilah kalamullah untuk al-Qur’an yang sudah tertulis dan terbukukan mulai surah al-Fatihah sampai an-Nas, hanyalah istilah dalam penamaan (lughathan) saja,bukan secara hakiki atau substansi. Sebab,kalamullah yang sebenarnya itu qadim,ada sejak zaman azali(zaman sebelum segala sesuatu ada)kalamullah tidak berupa huruf maupun suara,sedangkan al-Qur`an yang kita baca adalah hadits (baru),karena memuat susunan huruf dan rangkaian bahasa,seperti lafal berikut:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَحِيْمِ اَلْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ اْلعَا لَمِيْنَ
Lafal-lafal (kata) yang ada dalam al-Qur`an juga tidak bias mewakili definisi sifa tkalam yang ada. Artinya,sifat kalam Allah tidak bias dipahami dari lafal al-Qur`an,karena yang di maksud sifat kalam adalah kalamullahan-Nafsial-Qadimal-Qa’imbidzatihita’ala (sifat kalam yang melekat pada dzat Allah) yang bias kita ketahui apabila hijab (penghalang antara kita dengan Allah) telah dibuka.
Hal ini perlu kita cermati dan jangan sampai kita salah paham. Karena, jika kita memahami kalamullahal-Qadim adalah al-Qur`an yang sudah tertulis dan kita baca setiap hari,maka kita tidak ada bedanya dengan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa kalamullah itu berupa huruf dan meyakininya sebagai makhluk. Menurut mereka, tidak mungkin ada kalam tanpa huruf atau tanpa suara seperti kalaman-Nafsi (perkatanhati) sebagaimana perkataan penyair berikut:
إِنَّ اْلكَلَامَ لَفِي اْلفُؤَادِ*وَإِنِّمَا جُعِلَ اللِّسَانُ عَلَى اْلفُؤَادِ دَلِيْلًا
“Sesungguhnya kalam yang hakiki adalah kalam yang ada dalam hati,sedangkan bahasa lisan hanya mengungkapkan maksud yang ada dalamhati.”(Imam Akhthal)
Bayi yang belum bias berbicara hanya akan menangis ketika ia ingin makan atau minum.Tangisan bayi di Madura,Jawa,Arab maupun di Inggris semuanya sama.Maksudnya pun sama,yaitu minta makan atau minum. Akan tetapi, orang dewasa mengungkapkan dengan cara yang berbeda-beda, sesuai bahasanya. Orang Madura mengatakan,‘ terongakan’, orang Arab mengatakan,‘ ath’im’dan lain sebagainya. Padahal, keinginan hati mereka sama,yaitu minta makan. Inilah yang dimaksud kalam an-Nafsi (perkataanhati). Namun, bukan berarti kalamullah sama dengan kalam an-Nafsi. Ini hanya sekedar menjelaskan bahwa kalam tanpa huruf dan suara itu ada, tidak seperti pendapat golongan Mu’tazilah.
Lalu mengapa al-Qur`an sekarang tidak sama susunan urutannya denganal-Qur`an saat pertama kali diturunkan? Perlu kita ketahui, susunan al-Qur`an memang tidak sama dengan urutan saat diturunkan. Ada dua faktor yang mengharuskan al-Qur`an tidak disusun sebagaimana urutan saat diturunkan. Pertama, susunan al-Qur`an bersifat tauqifi (dogmatif) dari Allah kepada malaikat Jibril dan oleh malaikat Jibril dibacakan kepada Nabi Muhammad Saw.dengan cara tadarrus pada bulan Ramadhan, Nabi mendengarkan bacaan malaikat Jibril ini pada tiap bulan Ramadhan, malaikat Jibril membacaka nayat-ayat yang sudah diturunkan kepada Nabi hingga hatam, lalu pada bulan Ramadhan berikutnya malaikat Jibril membacakan satu kali khataman dengan urutan dari ayat-ayat yang telah diturunkan dengan tanpa menyesuaikan urutan saat diturunkan. Pada bulan Ramadhan terakhir, menjelang wafatnya Nabi, malaikat Jibril datang dua kali dengan dua kali khataman. Kemudian, Nabi mengajarkan kepada para sahabatnya dengan urutan sesuai yang dibacakan malaikat Jibril kepadanya, tidak dengan urutan diturunkannya wahyu. Sehingga, cara ini menyebabkan al-Qur`an mempunyai beberapa qira’ah (bacaan). Yaitu ada tujuh bacaan. Kedua, al-Qur`an diturunkan Allah dengan utuhs eperti urutan pertamakali diturunkan kelauhal-Mahfudh. Kemudian diturunkan kepada Nabi dengan berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan untuk tasyri’ dan jawaban atas kasus tertentu yang memang membutuhkan jawaban.Diturunkan al-Qur`an dengan model demikian ini, karena ada hikmah yang banyak sekali. Diantaranya sebagai berikut :
A. Untuk menetapkannya dihati nabi karena beliau tidak bisa membaca lainhalnya dengan nabi-nabi yang lain,yang bisa membaca, maka pantas jika diturunkan kitab kepada mereka dengan satu kumpulan.Hal ini sesuai firmannya dalam surah al-Furqan ayat 32.
وَقَالَالَّذِينَكَفَرُوالَوْلانُزِّلَعَلَيْهِالْقُرْآنُجُمْلَةًوَاحِدَةًكَذَلِكَلِنُثَبِّتَبِهِفُؤَادَكَوَرَتَّلْنَاهُتَرْتِيلاً(الفرقان]25[ الأية: 32)
“Dan orang-orang kafir berkata mengapa al-Qur`an itu tidak diturunkan kepanya sekaligus ? Demikianlah, agar kami memperteguh hatimu (Muhammad) dengannya dan kami membacakannya secara tartil (ber-angsur-angsur).”(QS. al-Furqan [25],32)
Maksudnya, al-Qur`an itu tidak diturunkan sekaligus tetapi diturunkan secara berangsu-angsur agar dengan cara demikian hati Nabi Muhammad menjadi kuat dan tetap .
B. Agar maknanya mudah dihafal dan dipahami oleh orang-orang muslim.
C. Menurunkan syari’at dengan berangsur-angsur sesuai dengan kasus yang terjadi agar mudah diingat.
PANDANGAN KAUM SUFI
(Al-Qur’an dan Kalamullah Menurut Abu Bakar al-Kalabadzi)
Abu Bakar al-Kalabadzi memiliki nama lengkap Abu Bakar bin Ishaq Muhammad bin Ibrahim bin Ya’qub al-Bukhari al-Kalabadzi. Ia adalah seorang sufi keturunan Persia bermazhab Hanafi-Maturidi. Sebutan al-Kalabadzi diambil dari nama sebuah wilayah di daerah Bukhara (sekarang termasuk negara Uzbekistan), yakni “Gulabad” (The Doctrine Of The Sufis: xi).
Nama berbahasa Persia ini kemudian ditransliterasikan ke bahasa Arab menjadi “Kalabadz” atau di barat lebih dikenal sebagai “Kalabadhi”. Sangat sedikit ditemukan catatan mengenai riwayat hidup al-Kalabadzi, namun ia dipercaya dilahirkan di Bukhara di mana Imam al-Bukhari sang maestro hadis dikebumikan (Warisan Agung Tasawuf: Mengenal Karya Besar Para Sufi: 153).
Hal menarik dari sosok al-Kalabadzi adalah meskipun ia lebih dikenal sebagai seorang sufi ia digolongkan oleh Abd al-Hayy al-Lakhnawi sebagai ulama ahli fikih mazhab Hanafi yang termasyhur di bawah Muhammad bin Fadhl. Fakta ini sangat spesial karena pada periode sebelum dan setelahnya ada pergolakan antara ulama fikih dan ahli tasawuf (Mystical Dimensions Of Islam: 42).
Walaupun hanya ada sedikit informasi mengenai kehidupan al-Kalabadzi, para ahli sejarah meyakini bahwa ia kemungkinan besar memiliki hubungan dengan para tokoh sufi generasi awal yang sezaman dengan dirinya atau pernah membaca dan mempelajari karya-karya mereka secara komprehensif, baik melalui guru atau mengkajinya secara mandiri.
Hal ini dapat dibuktikan melalui perkataan Abu Bakar al-Kalabadzi sendiri yang menyebutkan bahwa telah ada sekitar 17 kitab sufi dan 11 tokoh sufi yang menulis tentang ajaran sufi sebelum ia menulis buku al-Ta’arruf Li Madzhabi Ahl al-Taṣawwuf. Dengan demikian, secara nyata dapat disimpulkan bahwa ia telah melakukan studi pustaka.
Selain dikenal sebagai sufi dan ahli fikih, Abu Bakar al-Kalabadzi sebenarnya juga merupakan ahli hadis. Ia menulis sebuah kitab berjudul Bahr al-Fawa’id fi Ma’ani al-Akhbar yang terdiri dari komentar-komentarnya terhadap 222 hadis pilihan. Karya al-Kalabadzi yang masih bisa dinikmati hingga sekarang ini membuktikan kepada kita bahwa ia juga seorang ahli hadis.
Ketokohan Abu Bakar al-Kalabadzi dalam bidang hadis sebenarnya adalah hal yang lumrah, sebab Bukhara merupakan salah satu kota yang menjadi pusat peradaban, perdagangan dan keilmuan Islam pada masa dinasti Samaniyah yang muncul pasca melemahnya dinasti Abbasiyah di Baghdad. Pada masa inilah lahir ilmuan muslim ternama seperti Imam Bukhari (w. 870M).
Semasa hidupnya, al-Kalabadzi telah menuliskan enam buah karya. Namun dari enam buku tersebut, hanya dua buah yang bisa ditemukan hingga saat ini, yaitu: Bahr al-Fawa’id fi Ma’ani al-Akhbar, komentar singkat pada 222 hadis dan al-Ta’arruf Li Madzhabi Ahl al-Taṣawwuf yang berisi tentang pengantar terhadap doktrin-doktrin tasawuf Islam.
Para ahli sejarah berbeda pendapat mengenai kapan Abu Bakar al-Kalabadzi wafat, sebab sangat sedikit ditemukan catatan tentang akhir kehidupannya sehingga sulit untuk dipastikan kebenarannya. Hal ini juga disampaikan oleh Darah Sikuh. Namun menurutnya, al-Kalabadzi diyakini wafat pada hari Jumat tanggal 19 Jumadil Awal tahun 380 H, 384 atau 385.
Jika pendapat Darah Sikuh benar, maka yang paling mungkin adalah Abu Bakar al-Kalabadzi wafat pada tahun 385 H/995 M, karena satu-satunya tahun pada dekade itu yang tanggal 19 Jumadil Awalnya jatuh pada hari Jumat, tidak ada yang cocok selain itu. Pendapat inilah yang dipegangi oleh N. Hanif dalam Biographical Encyclopaedia of Sufis: South Asia.
PANDANGAN KAUM SUFI TENTANG POSISI AL-QUR'AN DAN KALAMULLAH
Dalam kitab Ta’arruf Li Madzhabi Ahl al-Taṣawwuf, Abu Bakar al-Kalabadzi membahas dua pasal terkait Al-Qur’an dan Kalamullah. Menurutnya, semua sufi sepakat bahwa Al-Qur’an itu merupakan kata-kata Allah atau Kalamullah yang hakiki dan (Al-Qur’an) bukanlah makhluk hasil ciptaan atau sesuatu yang baharu (hadist).
Al-Qur’an dibaca dengan lisan kita, ditulis dalam buku (mushaf) kita, dihafal dalam hati kita, akan tetapi bukanlah ia bermukim di sana sebagaimana Allah swt. Dia diketahui dalam hati kita, disembah dalam masjid-masjid kita, tetapi Dia tidak berada di sana. Sebab Allah swt Maha Suci dari sikap dan sifat ketergantungan terhadap sesuatu apa pun.
Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa Al-Qur’an benar-benar firman Allah (Kalamullah), bukan kalam Muhammad saw maupun bisikan setan sebagaimana dituduhkan oleh Salman Rushdie dalam “The Satanic Verses”. Bagi para sufi, posisi Al-Qur’an yang transenden ini mutlak adanya, tanpa bisa diganggu gugat.
Kendati demikian sebagaimana disampai Abu Bakar al-Kalabadzi hakikat eksistensi Al-Qur’an bagi kaum sufi tidaklah terletak pada teks, bunyi, maupun hafalan. Al-Qur’an tidak terikat dengan semua instrumen itu sebagaimana Dzat Allah Swt atau bisa dikatakan Al-Qur’an tidak terpisahkan dengan Dzat-Nya. Oleh karena itu, Al-Qur’an bukan benda, unsur atau bagian sesuatu.
Mayoritas sufi berpandangan, Al-Qur’an sebagai Kalamullah merupakan sebuah sifat Allah yang kekal ada pada Dzat-Nya, ia tidak menyerupai perkataan makhluk-Nya dari segala bentuk dan segi, tidak bersuara kecuali dari segi ketetapan atau kekuatan. Dengan kata lain, Al-Qur’an pada hakikatnya tidaklah sama dengan sesuatu apa pun.
Kalamullah pada hakikatnya termasuk Al-Qur’an bukanlah berupa huruf, bukan berupa suara maupun ucapan. Adanya huruf, suara dan ucapan hanyalah sesuatu yang menunjuk kepada Kalamullah, bukan hakikat yang sesungguhnya. Sebab, huruf, suara dan ucapan mempunyai alat dan anggota yang mendukungnya seperti pena dan lidah. Sedangkan Allah swt tidak membutuhkan itu semua.
Dalam konteks ini, mushaf yang terdiri dari tulisan dan kertas tidaklah bisa dikatakan sebagai Kalamullah. Ia hanyalah sesuatu yang menunjuk kepada kalamullah yang tidak berhuruf, bersuara, dan berkata. Kalamullah adalah sebuah misteri yang tak bisa ditangkap panca indera manusia. Mereka hanya tahu bahwa Allah swt bersifat kalam.
Agak pelik memang untuk menjelaskan hakikat Al-Qur’an dan teksnya, namun al-Kalabadzi menyebutkan, “Al-Qur’an adalah perkataan Allah (Kalamullah) yang sunyi dari kata, suara dan huruf, ketika ia (kalam) sebelum didatangkan (diturunkan) dan sebelum dibacakan sebagai ayat, maka ia adalah bukan makhluk.”
PEMAHAMAN KALAMULLAH PANDANGAN AHLUS SUNNAH
Pada abad ke tiga hijriah umat Islam didera sebuah ujian yang sama sekali belum pernah dialami. Bukan dari luar, ujian ini justru berasal dari dalam umat Islam sendiri tepatnya dari sebuah kelompok yang menamakan diri mereka dengan Muktazilah. Singkatnya, mereka meyakini bahwa Al Quran adalah makhluk ciptaan Allah dan bukan kalam-Nya sebagaimana telah mapan difahami secara konsensus oleh para ulama dari kalangan sahabat dan tabiin. Pembahasan kalam ini pada akhirnya menjadi sebuah tema pfaling substansial dalam kajian akidah umat Islam.
Kalangan ulama ahlus sunnah wal jamaah meyakini bahwa Allah Swt memiliki sifat kalam, yaitu sebuah sifat yang qadim, ada bersama dzat Allah Swt, berkaitan dengan suatu hal wajib, mungkin dan mustahil dalam kaitannya sebagai penanda. Lawan dari sifat ini adalah bisu, bisu adalah sebuah aib bagi manusia dan tentunya hal yang mustahil bagi Allah Swt. Salah satu bukti bahwa Allah Swt bersifat kalam adalah diturunkannya Al Quran yang merupakan representasi dari berbagai hal yang disampaikan kepada manusia sebagai pedoman kehidupan dan jalan keselamatan.
Sifat ini tercantum dalam Al Quran dengan eksplisit di antaranya adalah QS An Nisa 164: وكلم الله موسى تكليما “Dan Allah berbicara pada Musa sebuah perbincangan”, dan Qs Asy Syura 51
: وما كان لبشر أن يكلمه الله إلا وحيا أو من وراء حجاب أو يرسل رسولا فيوحي بإذنه ما يشاء “dan tiada seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantara wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.”
Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah memahami Kalam Allah Swt.
Di awal sedikit disinggung perdebatan antara ahlus sunnah dan muktazilah terkait Al Quran, apakah ia kalamullah atau makhluk Allah Swt yang diciptakan. Pendapat muktazilah ini didasari wujud Al Quran sendiri yang secara materi terdiri dari huruf, kalimat, awalan dan akhiran, dengan kertas atau apapun yang menjadi alas tulisnya. Tentu yang disebutkan tadi adalah hal yang diciptakan. Namun ternyata perkara tidak seringan yang terlihat, ulama kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah membagi Kalam menjadi dua: kalam nafsi dan kalam lafzhi.
Kalam nafsi adalah kalam hakikat yang terlepas dari unsur suara, huruf atau kertas sebagai penanda. Akan tetapi kalam ini adalah sebuah sifat azali yang ada bersama Allah Swt yang terbebas dari sifat diam dan aib seperti gagu dan gagap atau penyakit wicara lainnya. Kalam ini bersifat qadim, atau tiada berawal, karena segala sifat Allah tidak diperkenankan untuk disisipi perkara hawadis (berubah-ubah). Sifat ini tidak terkait pada waktu, tempat atau kaum tertentu, dan bisa saja berbentu isyarat, tulisan dan perkara lainnya sebagai penanda. Kalam Allah adalah sebuah gambaran dari ilmu-Nya, maka dari itu ia tidak lah terbatas seperti ilmu-Nya yang tiada batasannya.
Sementara kalam lafzhi adalah kalam yang terbentuk dari huruf dan suara. Di titik ini maka Al Quran dan kitab-kitab lainnya yang telah diturunkan sebelum Al Quran seperti Taurat dan Injil, boleh disebut sebagai makhluk. Akan tetapi walau bagaimananpu Al Quran dari sisi kalam nafsi maka hal itu tidak disematkan bahwa ia makhluk. Dan para ulama juga tidak memperkenankan untuk menyebut Al Quran sebagai makhluk kecuali dalam kondisi pembelajaran. Sejarah mencatat banyak ulama besar semacam Imam Ahmad bin Hanbal, Asy Sya’bi, Isa bin Dinar yang turut tertimpa ujian dari perkara ini.
Kalam merupakan sifat terakhir dari tujuh sifat ma’any yaitu Qudrah, iradah, ilmun, hayyun, sama’, bashar dan kalam. Sifat-sifat ini dinafikan oleh kalangan muktazilah, karena mereka meyakini bahwa sifat-sifat ini tidak lah terlepas dari dzat Allah Swt yang satu. Mereka menafikan dzat Allah yang jamak dengan sifat-sifat tersebut. Berbeda dengan kalangan ulama ahlus sunnah, mereka meyakini bahwa Allah adalah satu dzat dengan beraneka sifat, dan sifat-sifat ini bukanlah dzat-Nya melainkan sifat yang lazim berada bersama dzat-Nya.
Sampai saat ini diskursus tentang tema ini terus menjadi perbincangan hangat di kalangan akademisi dalam spesialisasi theologi Islam. Diktat-diktat perkuliahan juga terus membahasnya sebagai bentuk upaya untuk memperkaya khazanah keilmuan. Namun tidak jarang pula banyak terlampau jauh memikirkan tentang dzat Allah Swt dengan tanpa sadar melupakan esensi dari ilmu ini yaitu untuk membentengi akidah serta menambah keimanan ke pada Allah Swt. semoga kita senantiasa diberikan perlindungan dari akidah yang sesat.