GADUH POLITIK
Gaduh artinya mencari perhatian, membuat keonaran, menciptakan ketidak stabilan dan gempar karena perkelahian, beda pendapat, percekcokan, perdebatan, saling lontar kata-kata, ribut, huru-hara.
Secara harfiah gaduh bermakna rusuh dan gempar karena perkelahian (percekcokan dan lain sebagainya), ribut atau menimbulkan keributan.
Dua makna gaduh ini akan menjelaskan politik gaduh di Indonesia yang dikaitkan dengan bagaimana perkembangan demokratisasi di Indonesia yang semakin menunjukkan ke arah kemajuan dan meningkatnya harapan publik terhadap republik yang mesti disikapi secara responsif untuk mewujudkan cita-cita bersama bagi terwujudnya masyarakat bangsa Indonesia yang makin adil, demokratis dan sejahtera.
Di masa Orde Baru, kegaduhan politik menjadi barang yang langka, bahkan mungkin sebuah keistimewaan. Sebab, gaduh berarti musuh negara dan tabu, berarti anti stabilitas politik, merongrong pemerintahan, infiltrasi dan anti pembangunan. Orde baru mensyaratkan stabilitas politik yang mantap untuk menopang pertumbuhan ekonomi. Untuk menjalankannya maka ditopang dengan sistem otoritarian.
Sistem terkendali di bawah kekuasan Presiden dan hanya menyisakan sedikit ruang bagi oposisi, agar disebut demokratis (demokrasi semu/demokrasi abu-abu).
Kegaduhan politik dalam demokrasi itu seperti musik yang mengiringi kehidupan manusia, kadangkala merdu kadangkala nyaring.
Partai politik dan oposisi pemerintah gaya menyerang menjatuhkan akan menguras energi untuk merebut suara rakyat. Aktivitas politik yang marak itu diduga akan menimbulkan friksi atau konflik.
Ada banyak sekali kegiatan politik yang baik dan penting. Namun, kalau bisa, semua itu dilakukan dalam rambu-rambu dan koridor untuk menjaga marwah ketenangan dan kestabilan keamanan.
Kegaduhan dapat menimbulkan kebingungan masyarakat dan mengganggu efektivitas pemerintahan.
Kegaduhan politik itu adalah kegagalan sistem demokrasi internal parpol sehingga kekecewaan dan ketidakpuasan disalurkan secara publik. Mestinya yang namanya parpol itu harus tampak kompak dalam gagasan dan langkah-langkah politik yang diambil.
Kegaduhan merupakan bagian dari persoalan demokrasi yang belum mapan dan sistem presidensial yang berdiri di atas struktur multipartai. Namun, bagaimanapun, situasi gaduh juga dipengaruhi faktor gaya pemerintahan yang terkesan kurang tegas bisa juga faktor KKN.
Kegaduhan politik hanya akan menyebabkan kebuntuan politik hingga berujung pada konflik yang akhirnya menimbulkan keguncangan domestik terutama masyarakat tingkat bawah (grass root).
Sebaiknya parpol dan jargon-jargonnya berpegang pada variabel politik yang sehat dan etis. Variabel sehat tentu bertolak pada kepentingan publik, bukan hanya kepentingan kelompok. Seharusnya pimpinan parpol atau politisi tidak belajar dari kehidupan politik kita.
MENURUT GRAMSCI
Pandangan Gramsci tentang masyarakat madani (civil society) pada pengantar buku Jika Rakyat Berkuasa tentang apa sebenarnya yang hendak kita tuju dari mekanisme check and balance itu adalah makin terbukanya peluang yang sangat berarti bagi dapat tidaknya terbentuk sebuah tatanan masyarakat madani (civil society).
Dalam pandangan Gramsci, ada dua syarat bagi terbentuknya masyarakat madani (civil society) yaitu :
1. Pertama, sangat tergantung pada tersedia atau tidaknya sebuah ruang atau pentas bagi pertarungan ide, gagasan atau ideologi. Karenanya masalah demokrasi dan masyarakat madani (civil society) tidak bisa dipisahkan dari komunikasi politik.
2. Kedua, prasyarat bagi kehidupan masyarakat madani (civil society) adalah lenyapnya feodalisme sebagai ideologi tunggal. Sebaliknya, feodalisme akan terkikis dengan sendirinya bila daya kritis dan kreatif masyarakat dibuka. Untuk membuka semuanya ini, perlu diciptakan suatu medan komunikasi terbuka, termasuk komunikasi politik.
Komunikasi politik yang terbuka juga membuka peluang bagi munculnya kegaduhan sebagaimana yang belakangan sedang kita alami. Lantaran mekanisme check and balance dalam oposisi sebagai suatu kenyataan di masyarakat Indonesia belum terlembagakan. Oposisi yang belum terlembagakan itu menimbulkan mekanisme saling curiga dan melihat oposisi sebagai suatu ancaman. Jika ini dibiarkan, eskalasi akan terjadi, artinya kecurigaan semakin tinggi dan ancaman juga akan semakin tinggi. Akibatnya, timbul nafsu beroposisi untuk semata-mata menjatuhkan pemerintahan.
KONTRAKTUAL BUKAN TRANSAKSIONAL
Kemajuan demokratisasi di Indonesia juga belum dibarengi dengan berbagai kebijakan-kebijakan republik yang menyangkut kepentingan publik bersifat kontraktual, justru lebih berkecendrungan menuju ke arah transaksional untuk mempertegas tentang fenomena berbagai barter kebijakan kekuasaan.
Politik yang transaksional itu dalam kehidupan kebangsaan yang masih mengalami berbagai bentuk moral hazardmenumbuhkan semakin berseminya barter kebijakan untuk menjaga posisi kekuatan dan kekuasaan politik kelompok masing-masing kepentingan. Berbagai kebijan politikpun hanya menimbulkan kegaduhan lantaran membuat bernuansa transaksional, barter kebijakan bahkan lebih bersifat bargaining politik semata (politik dagang sapi).
Kalau kita mendekati perkembangan kekuasaan kenegaraan dalam perspektif politik gaduh dalam makna yang lebih esensial tentu wajar bila masing-masing pihak baik republik dan publik akan terjadi proses kontraktual dan bukan transaksional.
Penggaduh sebagai yang memiliki hak untuk mendapat bagi hasil dari kontrak kesepakatan akan menuntut hak-haknya misalnya kenaikan gaji pejabat dan rakyat sebagai tuan juga menuntut hak-haknya pula secara proporsional. Mekanisme merit system, penghargaan dan hukuman (reward dan punishment) akan berlangsung dengan sangat baik bila kita justru mendorong ke arah proses politik yang kontraktual.
Dalam perspektif semacam ini kita akan semakin mensyukuri betapa kritik, mekanisme check and balance dan komunikasi politik yang makin terbuka sebagaimana kritik terbuka yang dilontarkan oleh banyak pihak kepada pemerintah, kepada politisi dan pejabat publik lainnya menjadi berkah bagi kemajuan demokratisasi di Indonesia. Agar mekanisme check and balance dan komunikasi politik yang makin terbuka tidak sekedar menjadi politik gaduh yang bermakna hanya menimbulkan keributan, kita mesti menata sistem politik demokratis kita untuk melembagakan oposisi dan mendorong politik yang kontraktual antara republik dan publik.
Kesadaran ini diperlukan, lantaran kita menyadari bahwa demokrasi tidak mungkin ditegakkan jika masyarakat masih didominasi oleh pola kepatuhan mutlak kepada pemimpin karismatik. Demokrasi dapat ditegakkan hanya dalam masyarakat yang mampu mengembangkan pola kepatuhan terbuka, rasional dan kalkulatif, hampir-hampir kontraktual kepada pemimpin. Kalau para pejabat publik dinaikkan gajinya ditambah lagi masih melakukan korupsi yang merupakan kejahatan extra ordinary crime, lantas kontrak apa yang mesti disepakati dengan rakyat, begitu secara sederhana setidaknya kita memaknainya.
Jika suatu kelompok tengah mengarah pada perubahan politik gaduh yang bermakna hanya menimbulkan heboh dan keributan ke arah politik gaduh yang bermakna politik kontraktual yang membuka seluas-luasnya bagi perkembangan kepemimpinan di Indonesia yang egaliter dan terbuka dengan membangun negara kebangsaan (modern nation state) yang adil, demokratis, terbuka, egaliter, dinamis dan kosmopolit.
OPINI PUBLIK
Komprador adalah seorang pembeli atau komprador adalah orang yang bertindak sebagai agen bagi organisasi asing yang terlibat dalam investasi, perdagangan, atau eksploitasi ekonomi atau politik.
Komprador politik ini disinyalir sengaja dipesan oleh elite politik untuk membuat sebuah pertarungan opini publik. Selama ada permintaan dari sisi elite yang membutuhkan, tujuan dari pertarungan opini publik ini demi memuluskan niat pelaku politik di tingkat implementatif. Saat opini publik dipenuhi oleh polemik, menandakan adanya agenda yang belum tuntas dicapai. Pertarungan opini publik pun akan terus dimainkan demi meraih kekuasaan yang sedang dirancang oleh kelompok elite tertentu. Agenda settingan politik dalam rangka menjegal atau mematahkan langkah konservatif penguasa yang tak mau diajak bersama-sama. Panggung belakang politik akan terus bergerilya untuk mendapatkan pengaruhnya demi memuluskan tujuan mereka. Ini sama halnya buzzer-buzzer (Rp) dimainkan. Terkadang orang atau tokoh yang punya pengaruh diendorsement guna memancing huru-hara perdebatan di kalangan masyarakat. Hal ini biasa terjadi demi kepentingan kekuasaan politik yang ingin diraih. Pertarungan opini publik, bagaikan dua kutub yang sedang unjuk gigi dari kelompok tertentu yang sedang meramu jurus-jurus apiknya untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah atau penguasa.
Selanjutnya ke mana arah dan akhir dari perdebatan elite tersebut. Hal ini patut diperhatikan agar publik tidak terjebak dalam pusaran permainan yang sedang dijalankan. Di saat banyak opini liar publik diaduk-aduk secara bersamaan, banyak orang lupa dengan agenda yang sesungguhnya terjadi di tengah masyarakat.
DEADLOCK
Di negara-negara demokratis sesungguhnya, kegaduhan mewarnai perjalanan politik suatu bangsa.
Deadlock, tidak terjadi permufakatan terhadap suatu keputusan antara eksekutif dan legislatif, antara Presiden dan Parlemen. Beda pendapat itu hal yang wajar dalam iklim demokrasi, namun, yang pasti penyelesaian dalam demokrasi melalui negosiasi dan sesuai konstitusi, bukan perang fisik antar pendukung.
PENYEBAB KEGADUHAN
Meski kegaduhan hal yang lumrah terjadi di negara demokratis, intinya kegaduhan tidak boleh menyurutkan dalam berdemokrasi dan tergoda kembali pada politik otoritarian. Namun di Indonesia, ada lima fundamental manajemen pengelolaan negara yang menurut dia dapat memicu kegaduhan.
Mengutip Sistem Ketatanegaraan RI dan Relasinya dengan Politik Nasional tersebut, menyatakan lima hal fundamental tersebut belum tertata dengan baik. Kelima hal fundamental itu memerlukan konsensus nasional adalah :
1. Pertama, seringnya terjadi kegaduhan politik karena sistem politik yang semi-presidensial. Sistem presidensial yang ditopang oleh multipartai. Untuk itu perlu segera ditata.
2. Kedua, Negara Kesatuan berbentuk Republik, namun dijalankan dengan desentralisasi yang luas dan otonomi daerah. Sebab otonomi itu lazimnya ada dalam sistem federasi dan bukan sistem kesatuan. Bisa saja sistem desentralisasi dan otonomi itu menjadi pilihan kita, namun sistem distribusi kewenangan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota perlu ditata.
3. Ketiga, tidak adanya keseimbangan hubungan negara dan rakyat yang berkaitan dengan kewajiban dan tanggung jawab, terutama terkait HAM.
4. Keempat, sistem parlemen dua kamar semu. Meski terdapat dua kamar DPR dan DPD namun praktiknya 1,5 kamar, karena peran dan kewenangan DPD masih sangat kecil. Untuk itu, perlu segera ditata ulang guna keseimbangan sistem parlementer.
5. Kelima belum tertatanya hubungan antarlembaga dengan fungsi yang sama, seperti MA-MK-KY atau Polri-Kejaksaan-KPK atau antara lembaga yang lain hingga pemerintahan dari pusat hingga daerah. Penataan tersebut diperlukan agar tidak terjadi perselisihan dan perbedaan pandangan yang menghabiskan energi.
Jadi, penataan kelima fundamental itu perlu dan mendesak agar energi kita tidak terkuras dan habis untuk mengatasi konflik dan gangguan yang bersifat internal, karena sistem manajemen nasional yang fundamental tidak kita miliki. Kita semua optimis dan menyakini para pihak di negara dan bangsa Indonesia cukup dewasa (sudah banyak makan garam pengalaman) dalam berdemokrasi, sehingga kegaduhan yang terjadi pada akhirnya dapat diselesaikan secara demokratis.
Point Consultant