CUKONG KONTEKS POLITIK
Cukong adalah orang yang mempunyai uang banyak yang menyediakan dana atau modal yang diperlukan untuk suatu usaha atau kegiatan orang lain atau pemilik modal (kapitalis, modalwan, pemodal, sponsor, penyokong, penyantun).
Mencukongi bisa diartikan memberikan uang sebagai modal, memodali (mereka sedang mencari orang yang mau usahanya).
Percukongan adalah perihal cukong atau mencukongi.
Cukong adalah menunjuk kepada pengusaha-pengusaha pemilik perusahaan besar di Indonesia. Cukong bisa diartikan Consultant disitu sudah mempunyai konsep sedetail mungkin input output secara menyeluruh hingga goal suatu tujuan visi dan misi. Kata ini sendiri berasal dari bahasa Hokkien yang lazim dilafalkan di Indonesia oleh suku Tionghoa-Indonesia. Cukong (Hanzi, hanyu pinyin: zhugong) dalam bahasa Hokkien atau bahasa Mandarin berarti pemimpin, ketua, pemilik atau bos. Sampai pada tahun 1950-an, cukong masih digunakan sebagai kata untuk merujuk bos atau majikan, tetapi setelah 1960-an, cukong kemudian mulai mendapat konotasi negatif karena sering dirujuk kepada pengusaha-pengusaha dari suku tertentu terutama suku Tionghoa-Indonesia. Konotasi negatif ini kemudian menjadi-jadi setelah pemerintah Orde Baru menciptakan opini publik bahwa pengusaha Tionghoa mayoritas terlibat dalam praktik kolusi, korupsi dan nepotisme dalam setiap kegiatan bisnis.
PERANAN CUKONG DALAM POLITIK
Waktu menuju Pemilu mendatang yang hanya menyisakan kurang dari dua atau tiga tahun lagi, bukan masa yang panjang bagi parpol untuk bersiap. Diakui atau tidak, faktor uang berperan besar dalam menentukan kemenangan seorang kandidat. Modal besar dinilai dapat mempermulus kesiapan logistik partai. Sejumlah survei menunjukkan bahwa uang memiliki peranan penting dalam kontestasi politik di Indonesia. Biaya yang tinggi membuat para tokoh politik kini bergantung pada suntikan dana dari para cukong, yang seringkali mempunyai agenda tertentu dibalik dukungan yang diberikan. Survei yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), misalnya, menemukan bahwa biaya yang diperlukan untuk dapat mencalonkan diri sebagai bupati atau wali kota berkisar di angka Rp.20 miliar hingga Rp.30 miliar bahkan lebih bila semua kursi diborong dan pada endingnya melawan bumbung kosong (bukos).
Dana tersebut membengkak ketika seseorang ingin maju dalam kontes pemilihan gubernur di mana kandidat harus menyiapkan dana sebesar Rp.100 miliar bahkan lebih.
Di sisi lain, sejumlah lembaga survei menyebutkan bahwa ongkos yang dibutuhkan untuk bertarung melenggang ke Senayan berkisar Rp. 2 miliar hingga Rp. 4 miliar bahkan lebih. Sebagai contoh, seorang artis (public figure) dalam kontestasi ke senayan mengaku bisa menghabiskan biaya sekitar Rp. 3 miliar, meski popularitasnya sebagai seorang artis sudah banyak dikenal masyarakat. Menurut Kepala Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional, Prof Firman Noor, mengingatkan politisi dan partai harus menghindari praktik oligarki tersebut. Godaan oligarki saat ini semakin menguat.
MODAL TIDAK SELALU UANG
Mengutip di media online, salah satu anggota DPR RI dari partai besar, menolak menghubungkan pemilu dengan uang. Menurutnya, modal utama seseorang untuk maju baik dalam kontestasi kepala daerah maupun ke parlemen adalah dukungan politik. Karena, modal itu kan tidak harus selalu uang. Modal dasar politik sebetulnya dukungan loyalitas politik kalau untuk maju. Sejauh dukungannya kuat, saya jujur nggak pernah memikirkan antara fenomena pemilu berhadapan dengan fenomena kebutuhan uang. Meski begitu, uang memang dibutuhkan dalam masa kampanye, tetapi besarannya sangat ditentukan oleh strategi kampanye itu sendiri. Tidak semua politisi merasa perlu memasang iklan luar ruang atau membuat puluhan ribu spanduk untuk disebar di daerah pemilihan. Cara itu akan mengalir saja, mau maju tidak tahu kebutuhan caleg/paslon dalam pilkada akan ditutup cukong tersebut. Ada yang menyebarkan stiker, kaos, atribut misalnya. Nanti ada yang bantu cetak/print spanduk, barner. Kalau dukungannya baik, otomatis logistiknya juga akan didukung. Inilah peranan cukong tersebut yang memanajemen semua kebutuhan caleg/paslon dalam pilkada seperti layaknya EO (Event Organizer).
UANG TETAP PENTING
Menurut anggota DPR RI secara terbuka mengakui, meski bukan segalanya, uang tetap memiliki peranan penting dalam karir politik seseorang. Kalau caleg tidak punya uang, bagaimana caleg bisa melakukan strategi, membangun jaringan dan seterusnya. Jaringan kita punya, tapi tidak ada uang untuk mengongkosi, itu pun tidak mungkin. Jadi semuanya harus rasional, harus realistis. Uang memang bukan segalanya, tapi tanpa uang tidak mungkin juga itu bisa terjadi. Dapat dicontohkan seseorang sebagai mantan artis/publik figur yang relatif cukup populer di masyarakat.
Bila seseorang sudah populer setiap orang ketemu rata-rata mau difoto atau selfi. Oleh karena itulah, populer (public fiture) juga bukan segalanya. Karena strategi sangat menentukan perjuangan sebagai dewan wakil rakyat (caleg) dan memenangkannya.
MODAL BESAR BERTARUNG TIMBULKAN KETERGANTUNGAN PERAN CUKONG POLITIK
Jika muncul pendapat bahwa sistem terbuka seperti saat ini, di mana setiap kandidat bertarung bebas bahkan dalam satu partai sekalipun, telah melahirkan kehadiran para cukong politik. Pilihannya, kata dia, adalah kembali ke sistem tertutup. Ada saran lain penerapan skema fix seat, dimana sejumlah kursi memang diperuntukkan secara khusus bagi pengurus utama partai yang menjaga ideologi dalam memperjuangkan mix member proporsional. Supaya ada orang yang menjaga ideologi partai, diberikan fix seat. Karena mereka seringkali tidak punya waktu untuk ke lapangan, tidak punya dana. Tapi kita harus menghargai, karena kalau free fight, pondasinya itu adalah finansial.
MENCEGAH DARI DALAM
Upaya menekan peran cukong dilakukan partai ini sejak penyiapan kader-kader. Mereka yang akan maju harus melewati seleksi dari struktur paling bahwa, dan memastikan bahwa prosesnya berintegritas.
Seharusnya partai melakukan dengan membuat parameter-parameter, sehingga tidak ada yang namanya caleg punya modal besar, didukung oleh oligarki, kemudian dia harus nomor urut 1. Jadi kami ada sistem yang sudah mapan, yang seleksinya luar biasa, dan tidak ada money politik di internal partai. Terutama bagi partai perolehan kursi kecil dan tidak memiliki cukup kekuatan uang untuk bertarung dalam pemilu atau pilkada. Pilihan tepat tidak membuang banyak uang selama proses, partai ini berharap calon yang terpilih tidak memiliki keberpihakan pada cukong.
Cara lain partai mendorong para kadernya untuk tidak memaksakan diri. Jika potensi yang ada hanya cukup untuk mencalonkan diri di tingkat kabupaten atau kota, kader akan didorong untuk bertarung di wilayah terendah tersebut. Begitu pula jika berpotensi terpilih ke Senayan, tentu rekomendasinya akan berbeda.
Dan kalau bicara mengenai angka, tidak ada modal harus segini minimal. Pada saat penentuan caleg, yang dilihat adalah jejak rekam, kapabilitas, kapasitas, kemudian seperti apa di daerah, dan kita lakukan surveibberdasar indikator potensi keterpilihan seseorang.
CUKONG PILKADA
Hasil kajian KPK bahwa 82% calon kepala daerah didanai sponsor mengonfirmasi kecurigaan publik soal pemodal yang bergerilya di balik layar kompetisi. Sponsor atau pemodal yang kerap disebut cukong ini saling berkelindan dengan kandidat.Terbangun relasi simbiosis mutualisme yang saling membutuhkan. Di tengah ongkos politik yang kian mahal, tentunya posisi cukong memainkan peran strategis. Bahkan, menjadi nyawa peme nangan. Publik selama ini hanya bisa meraba-raba tentang pendanaan calon di pilkada. Namun, pengakuan KPK dan menurut Mahfud MD menyibak tabir gelap kekuatan cukong yang berselancar ikut main pilkada.Sebenarnya bukan hanya di pilkada, cukong selalu menggoda di setiap event politik elektoral, seperti pileg, pilpres, dan bahkan di pemilihan kepala desa. Semua sangat tergantung iman politik calon. Tergiur atau mencampakkan godaan cukong itu.Secara normatif, tak masalah jika cukong ikut berkontribusi dalam pendanaan kandidat asal sesuai regulasi dan memenuhi asas transparansi. Problemnya, banyak dana berseliweran yang tak terdeteksi Bawaslu dan penegak hukum. Para pialang dan aktor politik itu sangat lihai mengintip celah regulasi yang mudah dikangkangi. Mereka terbiasa bermain di ruang gelap meloloskan kepentingan ekonomi politik melalui calon yang mungkin menang.Pilkada seketika disulap menjadi tempat transaksi kepentingan politik dan ekonomi. Bagai dua sisi mata uang yang sukar dipisahkan. Satu sisi, kandidat membutuhkan sokongan dana berlimpah demi memuluskan strategi pemenangan. Sisi lainnya, cukong berkepentingan agar calon yang diusung mampu mengamankan kepentingan ekonominya jika terpilih nanti.Dalam regulasi pilkada sebenarnya sudah diatur soal mekanisme dan teknis pendanaan calon. Misalnya, calon perseorang an maupun yang diusung parpol atau gabungan parpol harus membuat rekening khusus kampanye yang dilaporkan ke KPU. Termasuk jumlah sumbangan dari pihak swasta, perseorangan, maupun dana dari kandidat sendiri. Masalahnya, sukar sekali memvalidasi objektivitas nominal dana calon.Dalam laporan dana kampanye, banyak sekali calon yang ‘terlihat miskin’ meski dalam praktiknya jorjoran. Penyakit kronis. Banyak faktor yang sebenarnya bisa dijelaskan soal fenomena perselingkungan calon kepada daerah dengan cukong.
Praktik politik yang serupa penyakit kronis sukar disembuhkan antara lain :
1. Pertama, budaya mahar politik membeli perahu parpol. Soal mahar politik perkara rumit karena parpol mematok harga selangit untuk harga sebuah dukungan. Apalagi calon berhasrat menyapu bersih semua dukungan parpol, tentunya membutuhkan dana tak terbatas. Sepanjang gelaran pilkada langsung, praktik mahar politik tak pernah dapat diungkap Bawaslu. Padahal, regulasinya tersedia meski tak terlampau jelas.Misalnya, dalam UU Pilkada 2016 pasal 47 disebutkan parpol maupun gabungan parpol dilarang menerima imbalan dalam bentuk apa pun pada proses pencalonan gubernur, bupati, dan wali kota. Frasa ini kabur yang kemudian ditafsirkan sebagai mahar politik.
2. Kedua, ongkos politik yang kian mahal, seperti belanja logistik kampanye, mendanai mesin parpol, tim suskes, relawan, konsultan politik, dan lembaga survei. Paket pemenangan semacam inilah yang memaksa kandidat kerja keras mencari sponsor. Secara tak langsung, para calon mengundang cukong menjadi bagian penting pemenangan. Sekali lagi, ini soal tebal tipisnya iman politik saja.
3. Ketiga, hasrat melakukan politik uang. Meski dilarang, praktik politik haram ini hampir dipastikan dilakukan semua calon.Sudah banyak kasus, temuan penelitian, jurnal, maupun buku yang mengungkap jual-beli suara sudah mandarah daging di Indonesia. Selain lemah pada level eksekusi, aturan main soal money politic cukup longgar, hanya dicantumkan dalam pasal larangan dalam kampanye.
4. Keempat, dari segi cukong yang berkepentingan mengamankan jejaring ekonominya. Dengan mendukung kepala daerah terpilih, sangat mudah mengintervensi regulasi yang menguntungkan dirinya. Efeknya akan lahir kebijakan yang korup. Termasuk pula kemudahan terlibat dalam pengadaan barang dan jasa serta proyek pemda lainnya. Pada tahap inilah pilkada tak ubahnya ajang berburu rente. Tempat para petualang mencari kepentingan ekonomi dengan mendanai calon yang kemungkinan besar menang. Saat ini politik ialah panglima. Segala hal bisa diselesaikan dengan politik. Cukup mendukung kepala daerah yang bisa dikendalikan Beban demokrasiMasuknya cukong ke pilkada menjadi fenomena tersendiri dalam ranah politik Tanah Air. Ketika demokrasi mulai terkonsolidasi, demokrasi mutakhir menyuguhkan realitas baru. Cukong bukan lagi serupa sapi perah atau ATM berjalan di setiap pilkada, melainkan mulai tampil ke permukaan. Turut serta berjibaku menjadi bagian penting pemenang an kandidat. Dalam konteks ini, cukong bermetamorfosis menjadi tim pemenangan nonstruktural dengan menyediakan dana tak terbatas.Inilah beban demokrasi saat ini. Semua dipaksa menerima kenyataan gurita pemodal, cukong, atau apa pun istilahnya yang menjadi faktor determinan pemenangan pilkada. Ironis sekaligus miris. Demokrasi yang terkonsolidasi nyatanya tak mampu memutus ketergantungan pada cukong. Calon belum merdeka seutuhnya. Takdir politik mesti dijalani dengan berat hati. Di tengah kompetisi yang semakin terbuka menghilangkan peran cukong perkara sulit. Pilkada tak ubahnya gula manis yang mengundang semut. Bagi cukong, pilkada bukan hanya suksesi 5 tahunan, melainkan juga ajang memburu kemewahan ekonomi. Ke depan, perjuangan demokrasi makin terjal. Memastikan cukong tak lagi merajalela bisa mengintervensi kebijakan daerah. Mungkin juga sesekali dicoba menggunakan gaya politik ekstrem. Menolak mentah kehadiran cukong dalam pilkada. Pertanyaannya ialah siapa calon yang sanggup membendung arus besar pemodal yang masuk kompetisi daerah. Saat ini mencari calon yang iman politiknya kuat tak tergoda silaunya gemuruh dana besar sangat mustahil. Politik tak bisa lagi hanya berbekal niat baik tulus ikhlas mengabdi mesti ada sesuatu yang bisa dikonversi nyata. Parpol, tim sukses, relawan, dan konsultan butuh suplai dana memadai. Begitu pun rakyat merindukan sesuatu yang konkret bagi kehidupan mereka yang rumit. Di sinilah kerja demokrasi itu diuji.
DALANG CUKONG PILKADA
Menurut Mahfud MD hampir 92% peserta pilkada dibiayai oleh cukong, seorang tokoh publik yang memiliki disiplin keilmuan dan jabatan strategis tentu tak akan sembarangan melempar data ke tengah publik. Persentase sebanyak itu menandakan hampir seluruh peserta pilkada dibiayai oleh cukong politik dan hanya 8% dari peserta pilkada yang bersumber dari dana pribadinya.
Cukong politik atau disebut juga investor atau sponsor politik telah lama menjadi isu yang hadir dalam kontestasi politik skala lokal dan nasional. Pembagian kekuasaan pemerintah pusat dan pemerintah daerah sejak disahkannya UU 33/2004 tentang Otonomi Daerah melahirkan sebuah degradasi kekuasaan. Sasarannya kewenangan atas izin penguasaan sumber daya alam, pemenangan tender strategis, dan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan segelintir pihak.
Banyak cukong politik secara diam-diam mensponsori politikus dalam kontestasi pemilu atau pilkada. Tentu agenda rahasia ini patut dicurigai memiliki motif negatif, suport dana besar yang tidak akuntable dan tidak transparan sangat mungkin digunakan untuk modal politik transaksional. Politik transaksional yang dimaksud dapat berbentuk mahar politik, membiayai mesin partai, money politik, jual beli suara, suap bagi penyelenggara juga bagi penegak hukum.
Hadirnya suntikan dana yang berasal dari cukong tersebut bisa berbentuk uang, barang, atau jasa. Dana tersebut tentu bukan dana yang legal karena tidak dapat dipertanggungjawabkan di depan hukum juga secara moral. PKPU 12 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas PKPU 5/2017 tentang Dana Kampanye Peserta Pemilihan, memuat aturan bagi pasangan calon dalam mengelola dan mempertanggung jawabkan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye. Pada prakteknya peserta pilkada bisa saja membuat dua buku pertanggungjawaban dan yang dilaporkan hanya satu buku.
Dana pilkada yang amat membebani kontestan pemilihan disebabkan oleh demokrasi yang dari awal dikonsep pragmatis. Kontestan terlanjur mengajarkan masyarakat untuk melihat isi amplop sebagai tolak ukur memilih pemimpin. Problem moral ini menjadikan politik transaksional menjadi virus yang saling menulari di antara sesama peserta pilkada. Mentalitas kontestan tidak cukup percaya diri dalam kompetisi yang sehat sejalan dengan regulasi. Kepemimpinan yang awalnya idealis dan antipolitik uang malah ikut arus karena harus berhitung untuk kemenangan.
Sejak jauh hari para cukong ini berburu wayang politk yang akan didalanginya dalam hajat demokrasi, atau sebaliknya perburuan dilakukan oleh bakal calon kontestan pemilihan. Para kontestan berlomba-lomba memiliki dukungan donatur politik yang kuat karena menyadari suntikan dana ilegal dari cukong berpengaruh atas kemenangannya. Problem lainnya dikemudian hari politik balas budi akan dilakukan melalui kebijakan yang menguntungkan sang sponsor gelap.
Kalkulator politik dalam arus pragmatisme menjadikan sponsor politik tumbuh subur dalam pilkada era pandemi. Kenyataan ekonomi dunia lumpuh membuat para cukong menjadikan pilkada sebagai medan investasi. Para cukong berlomba dapat mngendalikan kebijakan politik, ekonomi dan hukum. Penulis menilai kebijakan pemulihan ekonomi pascapandemi yang membuat jumlah cukong berlipat ganda pada pilkada lanjutan tahun berikutnya.
Cukong sebagai dalang demokrasi harus di bawa ke ruang yang terang. Strateginya dengan merekonstruksi regulasi agar dapat mengakses ruang gelap dalam pilkada. Pengaturan pelaporan dana harus diatur realistis sebagaimana apa yang perlu dicover di lapangan. Selanjutnya audit dana yang dilaporkan harus diawasi berdasarkan kenyataan dana yang dipakai di lapangan. Jika terjadi ketimpangan dana yang dilaporkan dan dana yang dipergunakan tentulah patut dicurigai ada aliran dana ilegal. Selanjutnya sanksi hukum harus tegas dan mampu memberikan efek jera, sanksi pidana harus dibarengi sanksi admistratif yaitu berupa diskualifikasi.
Selanjutnya pengawasan partisipatif dari berbagai pihak seperti peserta pemilihan, dan pemilih harus diaktifkan. Seluruh elemen harus dibangun kesadaran hukum pada frekuensi yang sama. Pihak-pihak yang aktif melaporkan pelanggaran pilkada guna mengawal kemurnian demokrasi perlu diberi apresiasi agar lebih konsisten dan gencar.
Cita-cita demokrasi sejatinya untuk membangun kesejahteraan rakyat melalui kebijakan pemimpin yang memiliki legitimasi melalui pilkada. Maka dari itu, keterlibatan cukong dalam kontestasi pilkada harus dibuka agar tak menjadi dalang pemimpin dan demokrasi agar kebijakan untuk menyejahterakan rakyat, bukan cukong.
CUKONG BERMAIN DI PILKADA
Pilkada serentak mendatang diperkirakan masih akan jadi ajang pertaruhan para cukong. Sebab, kalau kandidat gubernur, bupati atau walikota yang dibiayai menang, selama lima tahun ke depan sang cukong akan mengendalikan si kepala daerah. Kalau kalah, ya gigit jari alias ngaplo.
Pasangan calon kepala daerah yang awalnya kurang populer, setelah dibiayai cukong bukan mustahil bisa menang di Pilkada. Tapi dampak buruknya, akibat permainan itu pula, akan muncul kepala daerah yang tidak berkualitas. Baik dari sisi kompetensi maupun integritas.
Menurut Mahfud MD, data dari KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menunjukkan, 82 % calon kepala daerah dibiayai cukong. Akibatnya, kepala daerah akan terjebak pada korupsi kebijakan yang menyusahkan rakyat.
Kepala daerah yang saat Pilkada dibiayai cukong, akan terikat janji dengan sang cukong. Seperti masuk jebakan maut, si kepala daerah tak akan mampu lagi menolak permintaan sang cukong.
Oleh karena itu, menjelang Pilkada Serentak 2024, kita berharap KPK dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) mengawasi ketat para calon kepala daerah. Begitu ada tandatan dan penyuapan atau politik uang, KPK dan Bawaslu didukung penuh instansi, lembaga serta peran serta masyarakat seharusnya bisa langsung bertindak.
POINT Consultant