AKTA OTENTIK & AKTA DIBAWAH TANGAN
AKTA OTENTIK
Dalam pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dimaksud dengan “akta autentik adalah suatu akta yang di buat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang oleh/atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk maksud itu, ditempat di mana akta dibuat.
Akta autentik merupakan pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik atau dengan tulisan di bawah tangan (vide pasal 1867 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Akta otentik adalah akta yang dibuat dan dipersiapkan oleh notaris atau pejabat resmi lainnya (misalnya Camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah) untuk kepentingan pihak-pihak dalam kontrak.
Dalam peraturan perundang-undangan disebutkan beberapa jenis kontrak yang harus dilakukan melalui akta otentik dan yang cukup dilakukan melalui akta bawah tangan.
Surat sebagai alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam akta dan surat bukan akta. Akta dapat dibedakan dalam akta otentik dan akta di bawah tangan. Sesuatu surat untuk dapat dikatakan sebagai akta harus ditandatangani, harus dibuat dengan sengaja dan harus untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat.
Sehingga surat yang tidak ditandatangani dapat dikategorikan sebagai surat bukan akta (vide Pasal 1869 KUHPerdata).
Contoh surat bukan akta adalah tiket, karcis, dan lain sebagainya.
AKTA DIBAWAH TANGAN
Akta bawah tangan adalah akta yang dibuat dan dipersiapkan oleh pihak-pihak dalam kontrak secara pribadi, dan bukan dihadapan notaris atau pejabat resmi lainnya (misalnya Camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah (dulu) sekarang di profesi notaris.
Dalam peraturan perundang-undangan disebutkan beberapa jenis kontrak yang harus dilakukan melalui akta otentik dan yang cukup dilakukan melalui akta bawah tangan.
Dalam praktiknya akta ini lemah di mata hukum, sebab jual beli tanah yang sah hanya boleh dilakukan oleh PPAT atau akta otentik dari pejabat yang berwenang. Hal ini sesuai dengan PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Berdasarkan Pasal 1867 KUHPerdata, suatu akta dibagi 2 (dua) antara lain akta di bawah tangan (onderhands) dan akta resmi (otentik). Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat tidak di hadapan pejabat yang hukum atau notaris. Akta ini dibuat dan ditandatangani oleh para pihak yang membuatnya. Apabila suatu akta di bawah tangan tidak disangkal oleh Para Pihak, maka mereka yang mengakui dan tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis pada akta di bawah tangan tersebut, sehingga sesuai pasal 1857 KUH Perdata akta di bawah tangan tersebut memperoleh kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu Akta Otentik.
PERBEDAAN AKTA OTENTIK DAN AKTA DIBAWAH TANGAN
Dalam bidang Hukum Perdata dikenal 2 (dua) jenis akta yaitu akta otentik dan akta dibawah tangan. Hal ini tercantum dalam Pasal 1867 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang menyebutkan :
Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan dibawah tangan.
Berdasarkan pasal tersebut, maka akta otentik maupun akta dibawah tangan memiliki fungsi yang sama yaitu sebagai alat bukti berupa tulisan-tulisan. Namun, dalam penerapannya akta otentik dan akta di bawah tangan ini memiliki perbedaan. Perbedaan ini terkait dengan cara pembuatan, bentuk, dan kekuatan pembuktian yang akan menjadi pembahasan dalam tulisan ini.
Dalam Pasal 1868 KUHPer disebutkan bahwa :
Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu, di tempat dimana akta itu dibuat.
Berdasarkan dengan pasal tersebut, maka akta otentik adalah suatu akta yang bentuknya ditentukan oleh undang-undang atau dibentuk oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu. Pejabat yang berhak untuk membentuk suatu akta otentik tidak hanya notaris, tetapi semua pejabat tertentu yang diberikan wewenang dan tugas untuk melakukan pencatatan akta tersebut.
Contohnya adalah Pejabat Kantor Urusan Agama (KUA) atau Pejabat Dinas Pencatatan Sipil yang bertugas untuk membentuk akta nikah serta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang bertugas untuk membentuk akta jual beli tanah. Hal ini dikarenakan akta otentik dibentuk oleh pejabat tertentu yang memiliki wewenang sehingga akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang kuat di pengadilan. Apabila akta tersebut dibentuk oleh pejabat yang tidak berwenang, maka akta itu tidak dapat diberlakukan sebagai akta otentik. Hal tersebut berdasarkan pada Pasal 1869 KUHPer yang berbunyi :
Suatu akta yang tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, baik karena tidak berwenang atau tidak cakapnya pejabat umum yang bersangkutan maupun karena cacat dalam bentuknya, mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan bila ditandatangani oleh para pihak.
Oleh karena itu, jika suatu akta dibentuk oleh pejabat yang tidak berwenang, maka akta tersebut tetap memiliki kekuatan sebagai tulisan dibawah tangan apabila ditandatangani oleh para pihak.
Sementara, akta dibawah tangan berdasarkan dengan Pasal 1874 KUHPer adalah akta yang ditandatangani dibawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan lain yang dibuat tanpa perantara seorang pejabat umum. Akta dibawah tangan ini biasanya digunakan dalam suatu perjanjian jual beli, sewa menyewa, dan lain-lain yang ditandatangani oleh para pihak tanpa adanya perantara pejabat umum. Oleh karena itu, kekuatan pembuktian dari suatu akta dibawah tangan tidak sesempurna akta otentik. Perbedaan terkait hal tersebut, akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna secara lahiriah baik formal maupun materiil. Oleh karena itu, hakim tidak perlu lagi menguji kebenarannya, kecuali terdapat adanya bukti lawan yang membuktikan sebaliknya dari akta tersebut. Namun, berbeda dengan akta dibawah tangan yang merupakan alat bukti bebas sehingga hakim bebas untuk menentukan bukti tersebut dapat diterima atau tidak. Walaupun begitu, suatu akta dibawah tangan dapat memiliki kekuatan pembuktian formal dan materiil jika kedua belah pihak dalam akta telah mengakui kebenarannya.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa baik akta otentik maupun akta dibawah tangan merupakan alat bukti berupa tulisan. Namun, terdapat perbedaan dalam hal keterlibatan pejabat umum dalam pembuatannya. Selain itu juga, terdapat perbedaan mengenai kekuatan pembuktian di pengadilan terhadap akta otentik dengan akta dibawah tangan.
Perbedaan pokok antara akta otentik dengan akta di bawah tangan adalah cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut. Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu (seperti Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil),di tempat akta itu dibuat (vide Pasal 1868 KUHPerdata, Pasal 165 Herziene Indonesisch Reglemen (HIR), dan Pasal 285 Rechtsreglement Buitengewesten (RBg).
Akta di bawah tangan cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh dan atau di hadapan pejabat pegawai umum, tetapi cukup oleh pihak yang berkepentingan saja (vide Pasal 1874 KUHPerdata dan Pasal 286 RBg).
Contoh dari akta otentik adalah akta notaris, vonis, surat berita acara sidang, proses perbal penyitaan, surat perkawinan, kelahiran, kematian, dan sebagainya, sedangkan akta di bawah tangan contohnya adalah surat perjanjian sewa menyewa rumah, surat perjanjian jual beli, dan sebagainya.
Akta mempunyai fungsi formil (formalitas causa) dan fungsi sebagai alat bukti (probationis causa) Akta sebagai fungsi formil artinya bahwa suatu perbuatan hukum akan menjadi lebih lengkap apabila dibuat suatu akta.
Sebagai contoh perbuatan hukum yang harus dituangkan dalam bentuk akta sebagai syarat formil adalah perbuatan hukum disebutkan dalam Pasal 1767 KUHPerdata mengenai perjanjian hutang piutang. Minimal terhadap perbuatan hukum yang disebutkan dalam Pasal 1767 KUHPerdata, disyaratkan adanya akta bawah tangan.
Fungsi akta lainnya yang juga merupakan fungsi akta yang paling penting adalah akta sebagai alat pembuktian.
Dibuatnya akta oleh para pihak yang terikat dalam suatu perjanjian ditujukan untuk pembuktian di kemudian hari.
Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut (vide Pasal 165 HIR, Pasal 285 RBg, dan Pasal 1870 KUHPerdata).
Akta otentik merupakan bukti yang mengikat yang berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yaitu akta tersebut dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya.
Sebaliknya, akta di bawah tangan dapat menjadi alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya hanya apabila tanda tangan dalam akta di bawah tangan tersebut diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai (vide Pasal 1857 KUHPerdata).
AKTA NOTARIS SEBAGAI AKTA OTENTIK
Akta Notaris adalah akta otentik. Yang dikatakan sebagai alat bukti otentik. Alat bukti yang memenuhi persyaratan kumulatif dalam Pasal 1868 KUHPerdata.
Tentang akta Notaris sebagai alat bukti otentik, sebelumnya marilah kita lihat pada Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) :
Suatu akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.
Akta otentik harus memenuhi apa yang dipersyaratkan dalam Pasal 1868 KUHPerdata, sifatnya kumulatif atau harus meliputi semuanya. Akta-akta yang dibuat, walaupun ditandatangani oleh para pihak, namun tidak memenuhi persyaratan Pasal 1868 KUHPerdata, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, hanya mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan (Pasal 1869 KUHPerdata).
Ketentuan mengenai kewenangan Notaris untuk membuat akta otentik diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 (UUJN).
Dalam Pasal 1 angka 1 UUJN, disebutkan bahwa Notaris merupakan pejabat umum, yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UU ini atau berdasarkan UU lainnya.
Frasa di tempat dimana akta dibuat dalam Pasal 1868 KUHPerdata, berhubungan dengan tempat kedudukan Notaris, bahwa Notaris mempunyai tempat kedudukan di wilayah kabupaten atau kota (Pasal 18 ayat (1) UUJN). Wilayah jabatan Notaris meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya (Pasal 18 ayat (2) UUJN).
Mengenai kewenangan Notaris, Pasal 15 ayat (1) UUJN memberikan jabarannya, bahwa Notaris, dalam jabatannya, berwenang membuat Akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta Otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
Akta Notaris atau Notariil Akta, dalam Pasal 1 angka 7 UUJN, dimaknai sebagai akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris, menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UU ini. Secara gramatikal, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, akta dimaknai sebagai surat tanda bukti berisi pernyataan (keterangan, pengakuan, keputusan, dsb) tentang peristiwa hukum yang dibuat menurut peraturan yang berlaku, disaksikan dan disahkan oleh pejabat resmi. Sampai pada titik ini, sudah jelas kiranya mengenai posisi, fungsi, tugas dan wewenang Notaris. Bahwa dalam jabatannya, Notaris berwenang membuat akta otentik.
Akta notaris dikatakan sebagai alat bukti otentik. Jika Akta Notaris tersebut dibuat sesuai/memenuhi persyaratan kumulatif sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 1868 KUHPerdata. Namun, apabila salah satu saja tidak terpenuhi, maka Akta Notaris tersebut terdegradasi menjadi hanya sebagai akta dibawah tangan.
Berikutnya tentang apa saja yang dikatakan sebagai alat bukti otentik, alat bukti otentik adalah semua alat bukti surat yang memenuhi persyaratan kumulatif dalam Pasal 1868 KUHPerdata.
Dasar Hukum :
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2. Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2014.