DASAR HUKUM OTT (KPK)
Operasi tangkap tangan (OTT) KPK sebetulnya tidak ada dasar hukum yang spesifik. OTT merupakan istilah yang lazim digunakan dalam operasi tangkap tangan KPK.
OTT dilakukan berdasarkan pasal 12 UU KPK yang mengatur tentang penyadapan kemudian pasal-pasal di dalam KUHAP yang mengatur soal tertangkap tangan, penangkapan dan penahanan.
Pasal 12 ayat 1 huruf a UU KPK.
“Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang : a) melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan”.
I. Penyadapan.
Aturan mengenai penyadapan masih terlalu umum atau belum terlalu jelas. Padahal penyadapan pada dasarnya adalah pelanggaran atas hak privasi. Sehingga besar kemungkinan disalahgunakan. Sebab tidak ada parameter yang jelas kapan kewenangan penyadapan ini dapat dilakukan, apakah tujuannya memang dalam rangka penegakan hukum, siapa-siapa saja yang bisa disadap, bagaimana jika dalam penyadapan ditemukan indikasi tindak pidana lainnya, bagaimana perlindungan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi dengan pihak yang disadap yang tidak terkait dengan tindak pidana, dan lain sebagainya.
Aturan soal penyadapan justru hanya diatur dalam SOP internal KPK yang diberlakukan untuk umum seharusnya tidak sah, karena aturan yang berkaitan dengan prosedur hukum apalagi perampasan hak privasi (HAM) seseorang tidak boleh diatur di aturan setingkat SOP melainkan harus setingkat Undang-Undang bukan SOP yang sifatnya internal.
Juga guna menjamin keadilan dan kepastian hukum dimana setiap warga negara dapat mengetahui aturan tersebut, serta batas-batas atau indikator yang jelas dan pasti terkait penyadapan dan dapat pula men-challenge nya bila dirasa bertentangan dengan Konstitusi atau peraturan perundang-undangan yang lain.
Berdasarkan Pasal 12 UU KPK, penyadapan dilakukan dalam rangka tugas penyelidikan, penyidikan, maka ditanyakan kapan penyadapan itu mulai dilakukan, dan apa dasarnya. Sebab bila penyadapan dilakukan tanpa tidak dalam rangka penyelidikan dan penyidikan maka penyadapan tidak sah.
Misalnya, bila penyadapan dilakukan KPK sebelum ada permufakatan jahat sehingga tidak dapat dikatakan dilakukan pada tahap penyelidikan, maka penyadapan tidak sah. Dan hasil penyadapannya tersebut tidak bisa dijadikan sebagai bukti di persidangan.
II. Tertangkap Tangan.
OTT adalah tindakan lanjutan dari tindakan penyadapan yang sebelumnya oleh KPK. Terkait tertangkap tangan, maka harus merujuk pada pasal 1 angka 19 KUHAP, yaitu :
“Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana ituyang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu”.
Bila tidak memenuhi itu maka tindakan tangkap tangan tidak sah.
Selain itu dilihat juga apakah saat melakukan penangkapan penyidik membawa surat perintah, surat tugas, surat penangkapan dsb. Bila tidak maka penangkapan tidak sah.