LEGAL STANDING
Legal Standing adalah sebuah dasar yang harus dimiliki para pencari keadilan dalam suatu proses penegakan hukum. Dalam kehidupan manusia dan aktivitas bermasyarakat terdapat kepentingan dan hak-hak serta yang diperjuangkan dan dipertahankan, dimana salah satunya yaitu hak hukum untuk memperoleh perlindungan hak hukum seseorang maupun badan hukum melalui putusan lembaga peradilan yang berwenang. Oleh karena itu perlu dipahami lebih lanjut mengenai pentingnya memahami apa itu Legal Standing khususnya dalam tatanan hukum di Indonesia.
Legal standing adalah keadaan di mana seseorang atau suatu pihak ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan atau sengketa atau perkara di depan Mahkamah Konstitusi.
Definisi mengenai Legal Standing atau disebut juga dengan kedudukan hukum, Harjono dalam buku Konstitusi sebagai Rumah Bangsa (hal. 176), menjelaskan bahwa legal standing adalah keadaan di mana seseorang atau suatu pihak ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan atau sengketa atau perkara di depan Mahkamah Konstitusi (MK).
SYARAT-SYARAT LEGAL STANDING
Kedudukan hukum (legal standing) dapat dilihat dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU 24/2003”) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang mana telah ditetapkan sebagai undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang.
Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitutionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu :
a. Perorangan warga negara Indonesia;
Yang dimaksud dengan “perorangan” termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama.
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau privat; atau
d. Lembaga negara.
Achmad Roestandi, dalam buku Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab (hal. 43-44), juga menjelaskan hal serupa, bahwa dengan merujuk pada Pasal 51 UU 24/2003, MK dalam beberapa putusannya telah merumuskan kriteria agar seseorang atau suatu pihak memiliki legal standing, yaitu :
1. Kriteria Pertama berkaitan dengan kualifikasinya sebagai subjek hukum, dimana pemohon harus merupakan salah satu dari subjek hukum berikut ini :
a. Perorangan warga negara;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat;
c. Badan hukum publik atau privat; atau
d. Lembaga negara.
2. Kriteria kedua yang berkaitan dengan anggapan pemohon bahwa hak dan wewenang konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang dengan rincian sebagai berikut :
a. Adanya hak/kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b. Hak/kewenangan konstitusional permohon tersebut dianggap oleh pemohon telah dirugikan oleh undang-undang yang sedang diuji;
c. Kerugian tersebut bersifat khusus (spesifik) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi;
d. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; dan
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkan permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tersebut akan atau tidak lagi terjadi.
Dengan dipenuhinya persyaratan tentang kualifikasi subjek hukum dan persyaratan kerugian tersebut di atas, maka pemohon mempunyai legal standing.
Adanya ketentuan mengenai legal standing, berarti tidak semua orang atau pihak mempunyai hak mengajukan permohonan ke MK. Hanya mereka yang benar-benar mempunyai kepentingan hukum saja yang boleh menjadi pemohon.
Harjono (hal. 176) menjelaskan Pemohon yang tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) akan menerima putusan MK yang menyatakan permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
SEJARAH LEGAL STANDING
Sebelum membahas istilah legal standing di era modern, tidak ada salahnya mendalami maksud sebutan ini berdasarkan sejarahnya. Untuk diketahui, istilah ini muncul pertama kali di pengadilan yang ada di Amerika.
Tepatnya dalam kasus Sierra V. Morton yang terjadi pada tahun 1972. Konsep istilah tersebut kemudian berkembang dan dikenal banyak negara hingga diterima dan diaplikasikan di ranah hukum.
Contohnya, di kasus Nieuwe Mee yang terjadi di tahun 1986 di Negara Belanda dan kasus Kuvaders di tahun 1992. Selanjutnya, di tahun 1990 istilah ini digunakan Pengadilan Negara Australia pada kasus Yates Security Services Pty. Ltd. V. Keating.
Di Indonesia sendiri, istilah ini pertama kali digunakan di tahun 1988 dalam kasus gugatan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Sejak adanya kasus itu, istilah tersebut mulai populer di kalangan praktisi hukum hingga masyarakat umum.
Dalam kasus tersebut, WALHI menggugat PT Indrayon Utama (IU) dalam sengketa pencemaran lingkungan yang dilakukan tergugat. Konsep ini kemudian diresmikan dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup Tahun 1997.
MAKNA LEGAL STANDING SECARA UMUM
Legal standing adalah hak yang diberikan suatu lembaga hukum pada masyarakat, baik perorangan maupun sekelompok orang, untuk mengajukan gugatan. Pihak tergugat yang dimaksud bisa berasal dari berbagai golongan dan tidak dibatasi oleh apa pun, termasuk status hingga kedudukan.
Artinya, masyarakat yang mendapatkan hak untuk menggugat bisa menuntut siapa pun, baik itu perorangan, perusahaan, atau bahkan pihak pemerintah. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa untuk mengajukan tuntutan tersebut diperlukan satu alasan yang benar-benar logis sehingga gugatan perlu ditindaklanjuti.
Misalnya, tuntutan mencakup kebutuhan serta kepentingan publik, mengungkap kebenaran pada khalayak, perlindungan untuk konsumen, hingga hak sipil ataupun politik. Secara materiel, regulasi mengenai legal standing telah diatur dalam kitab Undang-Undang sebagai salah satu dasar negara Indonesia.
Namun, negara belum mengatur secara pasti mengenai hukum materiel ini menggunakan hukum acara yang berfungsi sebagai hukum formal. Untuk diketahui, terdapat beberapa pasal dalam Undang-Undang (UU) yang mengatur tentang hal ini.
Di antaranya, Undang-Undang Nomor 23 Pasal 37 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kemudian, Undang-Undang Nomor 41 Pasal 71 Ayat 1 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Terakhir, Undang-Undang Nomor 8 Pasal 46 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Selain alasan logis, terdapat beberapa syarat lain yang harus dipenuhi agar tuntutan masyarakat bisa dikatakan legal standing.
Salah satunya dijelaskan dalam KUHP Butir 1 Pasal 24. Yang mengatakan bahwa laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh individu dengan hak berdasarkan berdasarkan Undang-Undang.
Untuk lebih jelasnya, simak beberapa contoh orang-orang yang bisa mendapatkan hak menggugat berikut ini.
CONTOH PENERAPAN LEGAL STANDING
Melanjutkan pembahasan sebelumnya, berikut adalah beberapa contoh kasus yang kerap terjadi di masyarakat dan bisa diajukan ke lembaga hukum. Selain itu, di kasus berikut juga akan ditemukan contoh penerapan istilah ius standi atau lebih awal disebut legal standing.
Kasus Pertama :
Tidak Mendapatkan Hak Menggugat.
Kasus pencurian merupakan suatu musibah yang merugikan, karenanya kasus ini bisa diajukan ke ranah hukum untuk ditindaklanjuti. Dalam hal ini, korban meminta keadilan pada lembaga hukum agar pelaku mendapatkan efek jera dengan hukuman sebagaimana yang berlaku.
Namun, jika diketahui pihak tergugat masih merupakan keluarga kandung dan tinggal serumah dengan penggugat, tuntutan berkemungkinan ditolak lembaga berwenang. Untuk diketahui, hal ini diatur dalam Undang-Undang KUHP Pasal 367.
Kasus Kedua :
Dinyatakan Ada dalam Kedudukan Hukum.
Dalam Pasal 284 Undang-Undang KUHP, hak untuk menggugat bisa diberikan pada korban seperti dalam kasus perzinahan. Namun, hak tersebut hanya bisa diberikan pada pihak yang benar-benar dirugikan, seperti suami ataupun istri penggugat.
Selain dari itu, laporan yang diajukan dalam kasus sebagaimana disebutkan akan ditolak oleh lembaga berwenang.
CARA MENGAJUKAN LEGAL STANDING
Untuk diketahui, hak mendapatkan tindak lanjut atas laporan yang diajukan tidak bisa didapatkan begitu saja oleh masyarakat. Baik perorangan maupun sekelompok orang.
Selain memenuhi persyaratan sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, terdapat langkah-langkah penting yang harus dilalui agar laporan bisa diterima lembaga hukum. Di antaranya, pengajuan gugatan harus dibuat secara tertulis dengan ketentuan dan syarat yang diberlakukan.
Salah satunya adalah membuat kop surat dengan tujuan Ketua Pengadilan Negeri di lembaga yang akan dijadikan tempat mengajukan gugatan. Selain itu, gugatan yang diajukan wajib menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Selanjutnya, untuk mendapatkan status legal standing, gugatan wajib didaftarkan pada Kepaniteraan Perdata Pengadilan Negeri guna memperoleh nomor registrasi. Di samping itu, proses registrasi juga harus disertai dengan bukti-bukti untuk menguatkan laporan yang diajukan.
Kemudian, penggugat wajib membayar sejumlah uang perkara untuk proses selanjutnya. Jika gugatan legal standing diserahkan pada kuasa hukum, seperti halnya advokat, diperlukan adanya surat kuasa.
Yang mana, surat kuasa tersebut menjelaskan dan mewakili kepentingan penggugat di muka lembaga hukum yang berwenang, yakni pengadilan. Proses selanjutnya, pihak Kepaniteraan akan memeriksa laporan lengkap dengan bukti-bukti yang diberikan.
Proses pencatatan registrasi tersebut bisa memakan waktu selambat-lambatnya tujuh hari sejak pengajuan. Apabila gugatan telah terdaftar kemudian memperoleh nomor register perkara, jadwal sidang bakal ditentukan oleh pengadilan.
Selain itu, pengadilan juga bakal memanggil pihak-pihak terkait dalam hal ini. Mulai dari penggugat, terlapor, dan beberapa pihak lain yang dibutuhkan untuk menyelesaikan kasus sebagaimana dilaporkan.
JENIS-JENIS KEDUDUKAN GUGAT DALAM TATANAN HUKUM INDONESIA
Sebagai informasi, selain kasus di atas, terdapat beberapa jenis hukum yang bisa mendapatkan kedudukan gugat.
Di antaranya adalah sebagai berikut :
HUKUM MAHKAMAH KONSTITUSI
Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Pasal 51 Ayat 1 dijelaskan mengenai masyarakat yang berhak menggugat Mahkamah Konstitusi. Pertama, hak dan kewenangan yang diberikan sesuai dengan regulasi dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Kedua, masyarakat yang mendapatkan hak merupakan orang yang dirugikan oleh berlakunya aturan yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini, masyarakat yang dimaksud bisa merupakan perorangan ataupun sekelompok orang dengan kepentingan serupa.
Bisa juga merupakan kelompok masyarakat hukum adat selama masih hidup dan sesuai dengan perkembangan serta prinsip NKRI dalam Undang-Undang. Selain itu, badan hukum yang bersifat publik maupun privat dan lembaga negara juga termasuk sebagai masyarakat di poin kedua.
Ketiga, unsur kerugian sebagaimana dimaksud telah aktual dan bukan sesuatu yang masih dikatakan potensial. Keempat, diperlukan adanya kausalitas atau hubungan sebab akibat yang benar-benar jelas antara dua hal. Yakni, aturan yang digugat dan kerugian yang dialami oleh penggugat.
HUKUM LINGKUNGAN
Mengenai Hukum Lingkungan, proses gugatan jenis ini biasa disebut dengan Hak Gugat Organisasi Lingkungan Hidup. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Pasal 92 menyatakan beberapa poin berikut.
Pertama, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan tuntutan demi kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Kedua, gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu sebagai hukuman atas kerugian yang dialami, tidak termasuk ganti rugi.
Ketiga, penggugat memenuhi syarat untuk mengajukan tuntutan, di antaranya :
(a) organisasi berbentuk badan hukum. Kemudian,
(b) mempunyai anggaran dasar bahwa tujuan didirikannya adalah untuk kepentingan pelestarian fungsinya.
Terakhir,
(c) organisasi telah melakukan anggaran dasar sebagaimana dimaksud setidaknya 2 tahun sejak organisasi didirikan.
HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
Selain mengenai Hukum Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 juga mengatur mengenai Hukum Perlindungan Konsumen. Dalam Pasal 46 Ayat 1 Huruf C, disebutkan orang-orang yang berhak mengajukan gugatan melalui Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat di antaranya :
(1) penggugat merupakan konsumen ataupun ahli waris yang dirugikan atas pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha.
(2) Sekelompok orang yang sama-sama dirugikan dan
(3) lembaga perlindungan konsumen yang telah memenuhi syarat.
Mengenai poin ketiga, dijelaskan lebih lanjut bahwa yang termasuk di dalamnya bisa berbentuk badan hukum atau yayasan. Yang mana, lembaga tersebut mempunyai anggaran dasar untuk kepentingan perlindungan konsumen dan itu telah dilaksanakan.
(4) Pemerintah maupun instansi tertentu yang mengalami kerugian cukup besar akibat jasa/layanan ataupun barang dari pihak tergugat.
HUKUM TATA USAHA NEGARA
Beberapa pihak yang dapat mengajukan permohonan legal standing atas gugatannya juga diatur dalam Undang-Undang. Di antara pihak yang dimaksud adalah perseorangan ataupun beberapa orang dengan kerugian sama dan badan hukum perdata.
Yang dimaksud dengan badan hukum perdata adalah satu-kesatuan lembaga non-publik, seperti perusahaan-perusahaan swasta, organisasi-organisasi, atau perkumpulan-perkumpulan masyarakat umum. Gugatan dapat diajukan oleh perwakilan dengan memenuhi syarat, yaitu kerugian dialami oleh pribadi serta bukan hal yang bersifat derivatif.
HUKUM SECARA PERDATA
Meski tidak dijelaskan persyaratan spesifiknya, hukum ini menyebutkan bahwa setiap pihak yang mengajukan gugatan harus orang-orang dengan kepentingan hukum. Yang dimaksud kepentingan hukum ini serupa dengan pembahasan sebelumnya, yakni menyangkut kepemilikan (property interest) atau kerugian (injury in fact).
Dengan dua hal tersebut, pihak penggugat bisa dinyatakan sebagai korban (aggrieved party) seperti yangdimaksud dalam Black’s Law Dictionary.
KEDUDUKAN LEGAL STANDING
Di masa kontemporer, terdapat banyak sekali tantangan yang harus dihadapi oleh masyarakat di berbagai segmen. Mulai dari politik dan sipil, ekonomi dan sosial, hingga perdamaian serta pembangunan.
Satu tantangan yang paling dirasakan adalah pelanggaran dan penegakan hukum atau aturan untuk kepentingan umum. Meski masyarakat bisa saja sadar akan pelanggaran yang dilakukan, kesalahan tersebut bisa jadi dilakukan secara berulang jika tidak ditindaklanjuti.
Di sisi lain, masyarakat juga diatur untuk tidak bertindak sesuka hati dan menjalankan hukum sebagaimana yang berlaku. Oleh karena itu, masyarakat yang dirugikan bisa mengajukan laporan agar pelanggar hukum tersebut dapat diberikan efek jera.
Untuk menindaklanjuti hal itu, diperlukan sebuah tiket yang bisa membuktikan bahwa laporan adalah fakta dan benar-benar butuh tindak lanjut. Tanpa tiket tersebut, laporan jelas akan ditolak dan lembaga hukum tidak menerima komplain tanpa alasan logis.
Berdasarkan penjelasan itu, legal standing dianggap sangat penting untuk mengefektifkan fungsi lembaga hukum. Seperti diketahui, lembaga berwenang tersebut tentu selalu menerima laporan pelanggaran setiap harinya.
Oleh karena itu, badan hukum tersebut bakal memilah mana yang paling butuh ditindaklanjuti berdasarkan aturan dalam dasar negara. Jika butuh pendampingan terkait pengajuan gugatan ini, Anda bisa menghubungi jasa legal standing berpengalaman.
Salah satunya adalah Burs Advocates yang telah menangani berbagai kasus klien dengan sebaik mungkin.
PENGERTIAN LEGAL STANDING
Black’s Law Dictionary menetapkan pengertian Legal Standing sebagai berikut :
“A Party’s right to make legal claim or seek judicial enforcement of a duty or right”
Melalui definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa Legal Standing adalah penentu apakah seseorang yang berperkara merupakan subyek hukum yang telah memenuhi syarat menurut undang-undang untuk mengajukan perkara di muka pengadilan dalam perkara sebagaimana undang-undang mengatur. Istilah Legal Standing disebut juga dengan ius standi yang pada umumnya merupakan hak gugat atau ada pula yang menyebutnya dengan kedudukan gugat. H Lebih lanjut, Legal Standing adalah adaptasi dari istilah personae standi in judicio yang artinya adalah hak untuk mengajukan gugatan atau permohonan di depan pengadilan dengan mengatasnamakan kepentingan kelompok masyarakat tertentu.
BEBERAPA CONTOH LEGAL STANDING DALAM TATANAN HUKUM DI INDONESIA
Kedudukan Hukum (Legal Standing) pada pokoknya adalah keadaan di mana seseorang atau suatu pihak ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan atau sengketa atau perkara hukum. Dalam tatanan hukum Indonesia, kedudukan hukum (Legal Standing) setiap pihak telah diberikan batasan dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh beberapa peraturan perundang-undangan yang telah secara spesifik mengatur terkait batasan atas kedudukan hukum (Legal Standing) bagi seseorang yang hendak memperjuangkan haknya diantaranya adalah seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 32/2009), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999),Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU 24/2003), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU 5/1986) dan Perdata murni yang terdapat dalam Hukum Acara Perdata (HIR/RBg).
Hukum Mahkamah Konstitusi
Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003 mengatur bahwa pemohon pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang. Dalam pasal tersebut pemohon dapat dikualifikasikan sebagai :
1) Perorangan warga negara Indonesia; termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama;
2) Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
3) Badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara.
Lebih lanjut pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Terdapat beberapa unsur penting dari kedudukan hukum Legal Standing pemohon diantaranya :
1. Pertama, unsur Hak dan kewenangan konstitusional yang merupakan hak dan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
2. Kedua, unsur bahwa setiap orang yang menganggap dirinya dirugikan merasa berhak mengajukan permohonan oleh perasaan yang dirugikan itu sehingga dapat mengajukan permohonan.
3. Ketiga, unsur kerugian yang timbul merupakan kerugian yang telah aktual dan bukan sekadar potensial.
4. Keempat, harus ada causal verband, hubungan sebab akibat yang jelas untuk memperlihatkan hubungan antara keberlakuan Undang-Undang dan kerugian yang pemohon derita.
HUKUM LINGKUNGAN
Berkaitan dengan perlindungan lingkungan hidup, Legal Standing dikenal dengan hak gugat organisasi lingkungan hidup melalui pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 92 UU 32/2009 yang menyatakan sebagai berikut :
1. Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
2. Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.
3. Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan apabila memenuhi persyaratan :
a. Berbentuk badan hukum;
b. Menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan
c. Telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun.
HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
Selain dalam hal lingkungan hidup, Legal Standing pula dikenal sebagai hak gugat organisasi dalam perlindungan konsumen melalui Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), sebagaimana bunyi Pasal 46 ayat (1) huruf c UU 24/2003 yang menyatakan sebagai berikut :
1. Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh :
a. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
b. sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
HUKUM TATA USAHA NEGARA
Pasal 53 ayat (1) UU 5/1986 mengatur bahwa yang dapat bertindak sebagai penggugat dalam sengketa tata usaha negara ialah :
1. Seseorang (atau beberapa orang masing-masing selaku pribadi);
2. Badan hukum perdata, yaitu setiap badan yang bukan badan hukum publik, seperti perusahaan-perusahaan swasta, organisasi-organisasi, atau perkumpulan perkumpulan kemasyarakatan yang dapat diwakili oleh pengurusnya yang ditunjuk oleh anggaran dasarnya.
3. Selain itu, gugatan yang diajukan dalam sengketa tata usaha negara harus memiliki kepentingan kerugian yang merupakan kepentingan yang bersifat pribadi yang secara langsung diderita atau dirugikan atas penerbitan surat keputusan tata usaha negara yang tidak bersifat derivatif.
HUKUM ACARA PERDATA (HIR/RBg)
Ketentuan hukum acara perdata positif menyebutkan bahwa setiap orang yang menjadi pihak di pengadilan haruslah pihak yang mempunyai kepentingan hukum. Apa yang dimaksud dengan kepentingan hukum, pada dasarnya menyangkut aspek kepentingan kepemilikan (proprietary interest) atau kerugian yang dialami langsung oleh penggugat (injury in fact), dan karena demikianlah maka mereka disebut sebagai pihak korban/menderita (aggrieved party).
CATATAN
Dasar hukum :
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang mana telah ditetapkan sebagai undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang.
Sumber Referensi :
1. Achmad Roestandi. Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab. Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2006.
2. Harjono. Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa. Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2008.