TUNGGAK JARAK MRAJAK TUNGGAK JATI MATI
Pepatah Jawa Tunggak Jarak Mrajak Tunggak Jati Mati ini dalam kehidupan masyarakat saat ini telah banyak terwujud. Pepatah atau peribahasa ini bisa menjadi sumber inspirasi bagi semua orang (masyarakat) tanpa terkecuali.
Dalam bahasa Jawa, tunggak dapat berarti pohon. Tunggak jarak = pohon jarak, tunggak jati = pohon jati. Sedangkan mrajak dalam bahasa Indonesia berarti berkembang biak. Jadi tunggak jarak mlarak tunggak jati mati jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti pohon jarak berkembang pohon jati mati.
Dalam keadaan sebenarnya, pohon jarak (Ricinus communis) atau kaliki (=sunda) dulang/gloah (=sumatera), kalek (=madura) jika batangnya dipotong dapat bertunas lagi, sedangkan pohon jati jika dipotong akan mati.
Pepatah ini seakan mewakili tentang keberadaan status masyarakat. Tunggak jarak mewakili kalangan kebanyakan sedangkan tunggak (pohon) jati adalah orang dari kalangan bangsawan atau pejabat. Namun tunggak jarak mrajak mengisyaraktan bahwa kalangan bawah yang bisa berkembang (mrajak) dan sebaliknya, tunggak jati mati dari kalangan bangsawan yang tidak punya generasi penerus (mati).
POHON JARAK
Pohon jarak nampak rapuh, penuh getah, namun berapa kali dipatahkan atau ditebang sekalipun akan tetap hidup kembali. Sebaliknya pohon jati yang begitu kuat, dipangkas atau ditebang ia akan mati. Pepatah jawa tentang Tunggak Jarak Mrajak, Tunggak Jati Mati, mengingatkan kita semua bahwa mengandalkan kekuatan manusia atau dunia dengan pangkat, jabatan, kekuasaan, kekayaan, kepandaian sekalipun ada kelemahannya.
Seperti pohon jati ditebang kemuadian mati. Sebaliknya orang yang biasa biasa saja nampak lemah bahkan tanpa pangkat, jabatan, kekuasaan maupun kepandaian sekalipun, tatkala dalam belas kasih Yang Maha Kuasa akan terus hidup tumbuh dan berkembang, sekalipun ditebang. Itu menunjukan bahwa fox populi fox Dei, suara rakyat, suara Tuhan. Sekalipun dilecehkan dilemahkan, dimarginalkan bahkan dimatikan kehidupannya sekalipun tetap akan ada. Ratu iku anane mung winates, kawulo tanpo winates.
Kekuasaan itu terbatas dan amanat dari rakyat. Alangkah durhaka dan durjananya tatkala yang diberi amanat malah berkhianat. Jumawa semau maunya seakan semua milik pribadinya, merasa sebagai matahari yang mempunyai segala sumber energi. Semua sumber daya dieksploitasi digunakan bagi diri dan kroninya.
Mereka yang demikian lupa, orang Jawa mengatakan lali. Lali dalam bahasa Jawa dikatakan gila karena tidak waras. Kaum gila kekuasaan, jabatan biasanya lali jiwa dan menghalalkan segala cara. Pikiran perkataan dan perbuatannya tak jauh dari harta, wanita, tahta.
POHON JATI
Kaum tinggi pangkat derajat dan kastanya kuat dalam dunia namun sekali sengat terkapar hingga menggelepar gelepar. Kuasa membutakan membuat lupa karena dipuja dihormati di sana sini, sehingga lupa diri. Rasa dirinya mematut sebagai malaikat maut, dewa yang berkuasa, lupa dunia ini fana.
Menginjak sana sini, tabur pesona dengan kata kata manis dan mulia namun penuh bisa. Tak akan ada sesuatu yang dikata bijaksana, adanya mengancam, memerintah, marah bagai hantu blau mengerikan bagi siapa saja di bawahnya.
Sebaliknya untuk melanggengkan kuasanya rela menjilat ke atas bagai ular dengan lidah bercabangnya. Gaya katak berenangpun dilakukan menginjak ke bawah, menyepak ke samping dan menjilat ke atas.
Semakin tinggi semakin tidak rukun, smakin tidak solid, baperan, mudah terluka dan mudah melukai engan instropekdi diri terus menerua mengembangkan dendam dan iri dengki. Tak ada lagi sahabat yang ada hanya penjilat. Di sinilah ditunjukkan tunggak jati mati.
LIRIK LAGU KOES PLUS TUNGGAK JATI
Pada tahun 70an Koes Plus menyanyikan lagu Tunggak jati yang syairnya :
Sopo kang mirengake. Dawuh wiku mbiyene
Sajak mung ngece-ece. Opo yo tenane
Iku mau critane. Kito kabeh kang nggawe
Jati opo jarak’e, Sumonggo kersane
Reff
Tunggak jarak mlarak.
Tunggak jati semi 2x
Disirami dijaga kang titi . Jati tuo cagak’e pendopo
Tegese tembung jarak. Sejane mulang sarak
Tegese tembung jati Sejane mukti
Maksud dari lagu Tunggak Jati adalah :
Siapa yang mendengarkan petuah guru (wiku) yang dahulu seolah mengejek, sekarang menjadi kenyataan.
Orang kebanyakan bisa berkembang sementara keturunan bangsawan semakin mengecil. Tetapi golongan bangsawan tetap dijaga dan dipertahankan untuk mempertahankan kehidupan budaya dan kelestarian bangsa.