KEJAHATAN KERAH PUTIH
Munculnya kejahatan dalam banyak wajah
menampilkan berbagai opera politik yang tidak hanya mendera kebersamaan, tetapi
juga pada dirinya menihilkan tanggung jawab moral pribadi.
Berbagai bentuk kejahatan yang dilakukan
para petinggi bangsa sebenarnya menggambarkan kualitas peta perpolitikan kita
yang terus berada di titik nadir. Kita mungkin merasa putus asa dengan aneka
masalah di sekitar kita. Sayang, semua masalah itu diperparah dengan berbagai
mafia di berbagai instansi pemerintahan yang notabene adalah pion-pion
penggerak kesejahteraan rakyat.
Kejahatan kerah putih (white collar crime)
adalah istilah temuan Hazel Croal untuk menyebut berbagai tindak kejahatan di
lembaga pemerintahan yang terjadi, baik secara struktural yang melibatkan
sekelompok orang maupun secara individu. Hazel Croal mendefinisikan kejahatan
kerah putih sebagai penyalahgunaan jabatan yang legitim sebagaimana telah
ditetapkan oleh hukum.
Umumnya, skandal kejahatan kerah putih
sulit dilacak karena dilakukan pejabat yang punya kuasa untuk memproduksi hukum
dan membuat berbagai keputusan vital. Kejahatan kerah putih terjadi dalam
lingkungan tertutup, yang memungkinkan terjadinya sistem patronase. Kejahatan
kerah putih sungguh memasung dan membodohi rakyat. Rakyat yang tidak melek
politik akhirnya pasrah, tetapi kepasrahan ini justru kian membuat para pejabat
menggagahinya.
White collar crime dibedakan dari blue
collar crime. Jika istilah white collar crime ditujukan bagi aparat dan
petinggi negara, blue collar crime dipakai untuk menyebut semua skandal
kejahatan yang terjadi di tingkat bawah dengan kualitas dan kuantitas rendah.
Namun, kita juga harus tahu, kejahatan di tingkat bawah juga sebuah trickle
down effect. Maka, jika kita mau memberantas berbagai kejahatan yang terjadi di
instansi pemerintahan, kita harus mulai dari white collar crime, bukan dari
blue collar crime.
Rapuhnya hukum
Di negara kita, yang namanya kejahatan
kerah putih sudah menjadi berita biasa yang sering didengar, dilihat, dan
dialami. Kejahatan kerah putih di negara yang tidak pernah jera merampas uang
rakyat, menindas, dan mendurhakai rakyat diglorifikasi dengan lemahnya tampilan
penegak hukum di Tanah Air.
Kejahatan kerah putih yang endemik dan
sistemik di negara kita adalah produk dari lemahnya tampilan penegak hukum.
Tidak terlalu salah jika kita mengatakan, kejahatan kerah putih di negara ini
adalah karakter dari bangsa yang begitu permisif dan kompromis. Hukum dengan
mudah diperjualbelikan dengan harga kompromi. Rakyat tetap terpuruk dalam kawah
krisis dan kemiskinan yang terus melilit hidupnya. Kejahatan kerah putih
berjalan sendiri dan menetapkan kebijakan sejauh dapat memberikan peluang
kepadanya untuk terus melestarikan eksistensinya.
Salah satu pokok mengapa kejahatan kerah
putih di negara kita yang tampil dengan banyak wajah sehingga sulit diberantas
adalah karena esensi kedaulatan rakyat tidak pernah ditegakkan. Kedaulatan
hanya terwujud lima tahun sekali dalam momentum pemilu. Di lain pihak tidak ada
empati politik dari para politisi dan pemegang kekuasaan pada negara membuat
kejahatan kerah putih terus berparade dan meneriakkan slogan suci dari mulut
dan hatinya yang kotor. Pertanyaannya, apakah pemerintah mampu memberantas para
bandit yang kini masuk sistem politik, ekonomi, dan hukum, bahkan meluas ke
semua bidang kehidupan?
Kita tentu akan lari ke peran hukum.
Apakah hukum mampu ditegakkan? Negara yang demokratis harus ditopang oleh hukum
yang adil. Hukum yang adil adalah penjamin hak-hak demokratis seluas-luasnya.
Sejatinya, demokrasi adalah sebentuk prosedur yang memaksa kerja sama politik
secara konstitusional.
Demokrasi tidak hanya terletak pada
kehendak umum, tetapi juga sebuah strategi dalam kerja sama politik (Michel
Foucault, 1979). Sejatinya politik oleh Foucault dilihat sebagai cara ampuh
untuk saling memeriksa dan menyeimbang sehingga tidak ada dominasi yang
melahirkan kejahatan kerah putih.
ISTILAH
Kejahatan kerah putih adalah istilah yang
digunakan untuk menggambarkan jenis kejahatan ekonomi atau keuangan yang
dilakukan oleh individu yang berada di dalam suatu organisasi, perusahaan, atau
lembaga dengan posisi yang tinggi atau memiliki wewenang dalam pengambilan
keputusan. Istilah “kerah putih” mengacu pada para pelaku kejahatan ini yang
sering mengenakan pakaian formal, seperti kemeja berkerah putih, yang umumnya
dipakai dalam lingkungan bisnis dan profesional.
Kejahatan kerah putih seringkali dilakukan
untuk mendapatkan keuntungan finansial secara ilegal atau dengan cara menipu
sistem keuangan atau ekonomi. Contoh kejahatan kerah putih termasuk penipuan,
korupsi, pencucian uang, insider trading, manipulasi pasar, penggelapan dana,
pemalsuan dokumen, dan tindakan ilegal lainnya yang terkait dengan keuangan dan
bisnis.
Perbedaan utama antara kejahatan kerah
putih dan kejahatan biasa adalah pelaku kejahatan kerah putih umumnya merupakan
individu atau kelompok yang memiliki akses dan wewenang terhadap sumber daya
keuangan atau informasi rahasia yang memungkinkan mereka untuk melakukan
tindakan ilegal dengan lebih canggih dan kompleks.
Kejahatan kerah putih sering kali menjadi
fokus penegakan hukum dan investigasi oleh lembaga penegak hukum dan badan
regulator untuk memastikan keadilan dan ketertiban di dunia bisnis dan
keuangan. Penegakan hukum terhadap kejahatan kerah putih sangat penting untuk
melindungi masyarakat dan memastikan integritas sistem keuangan dan bisnis.
PENYEBAB KEAHATAN KERAH PUTIH
1. 1. Kesempatan
dan Akses. Individu dengan akses yang tinggi pada sumber daya keuangan atau
informasi rahasia dalam suatu organisasi memiliki kesempatan yang lebih besar
untuk melakukan tindakan ilegal tanpa terdeteksi.
2. 2. Ambisi
Keuntungan. Ambisi untuk memperoleh keuntungan finansial yang besar tanpa
mempertimbangkan dampak negatif pada pihak lain dapat mendorong beberapa orang
untuk terlibat dalam kejahatan kerah putih.
3. 3. Tekanan
Keuangan. Beberapa pelaku mungkin merasa tertekan oleh masalah keuangan atau
utang yang harus mereka atasi, dan hal ini dapat menyebabkan mereka tergoda
untuk mencari jalan pintas melalui kejahatan kerah putih.
4. 4. Lingkungan
Kerja yang Tidak Etis. Budaya organisasi yang kurang mengedepankan etika,
transparansi, dan akuntabilitas dapat menciptakan lingkungan di mana tindakan
ilegal lebih mungkin terjadi.
5. 5. Ketidakpuasan
atau Ketidakadilan. Ketidakpuasan terhadap situasi atau kebijakan tertentu
dalam organisasi dapat memicu tindakan balas dendam atau penyalahgunaan
kekuasaan untuk mencapai tujuan pribadi.
6. 6. Tekanan
Kinerja dan Target. Beberapa organisasi mungkin menetapkan target kinerja yang
sangat tinggi, yang dapat mendorong individu untuk mencari cara-cara tidak sah
untuk mencapainya.
7. 7. Kepercayaan
Tidak Benar. Pelaku kejahatan kerah putih mungkin merasa bahwa mereka bisa
lolos dari pengawasan atau tidak akan terungkap karena posisi atau koneksi yang
dimiliki.
8. 8. Kurangnya
Pengawasan. Kurangnya pengawasan dan kontrol yang tepat di dalam organisasi
dapat memudahkan pelaku untuk melakukan tindakan ilegal tanpa terdeteksi.
9. 9. Kelemahan Sistem dan Kebijakan. Sistem dan kebijakan yang tidak memadai dalam mencegah dan mengatasi kejahatan kerah putih dapat memberikan peluang bagi pelaku untuk melakukan tindakan ilegal.
10. Budaya Menyembunyikan Masalah. Budaya yang cenderung menyembunyikan masalah atau ketidakbenaran dapat mendorong pelaku untuk menghindari tanggung jawab atas tindakan mereka.
Jenis Kejahatan
Kerah Putih
1. 1. Penipuan.
Termasuk penipuan keuangan, penipuan asuransi, penipuan kartu kredit, dan
penipuan investasi, di mana pelaku menggunakan informasi palsu atau menyesatkan
untuk mengelabui orang atau perusahaan lain demi mendapatkan keuntungan
finansial.
2. 2. Pencucian
Uang. Proses mengubah uang yang berasal dari kegiatan ilegal menjadi tampak sah
dan legal dengan cara mengalirkannya melalui berbagai transaksi dan rekening
bank.
3. 3. Insider
Trading. Penggunaan informasi rahasia yang tidak diketahui publik untuk
melakukan transaksi saham atau sekuritas lainnya demi mendapatkan keuntungan di
pasar keuangan.
4. 4. Korupsi. Penyalahgunaan kekuasaan atau posisi untuk memperoleh keuntungan pribadi atau memberikan hak istimewa kepada orang lain secara tidak sah.
5. 5. Manipulasi
Pasar. Upaya untuk mempengaruhi harga pasar atau volume perdagangan dengan cara
yang tidak sah atau tidak etis untuk mendapatkan keuntungan.
6. 6. Penggelapan
Dana. Pengalihan atau pembebasan dana secara ilegal dari organisasi atau
perusahaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
7. 7. Pemalsuan
Dokumen. Membuat, mengubah, atau menggunakan dokumen palsu atau palsu untuk
tujuan menipu atau mendapatkan keuntungan finansial.
8. 8. Kejahatan
Pihak Dalam. Kejahatan yang dilakukan oleh karyawan, pejabat, atau anggota
suatu organisasi yang memanfaatkan posisi mereka untuk mencuri, menggelapkan
dana, atau melakukan tindakan ilegal lainnya terhadap perusahaan atau
organisasi tempat mereka bekerja.
9. 9. Kejahatan
Perbankan dan Keuangan. Melibatkan aktivitas ilegal yang terkait dengan
perbankan, termasuk penipuan perbankan, penggelapan dana bank, atau
penyalahgunaan dana nasabah.
10. Kejahatan
di Bidang Teknologi dan Komputer. Misalnya, peretasan komputer, serangan siber,
atau pencurian data sensitif untuk keuntungan finansial.
KEJAHATAN KERAH PUTIH DIBALIK PENCUCIAN
UANG
Pencucian uang merupakan istilah yang
menggambarkan investasi uang atau transaksi uang, yang berasal dari kegiatan
kejahatan terorganisir, transaksi tidak sah (ilegal), dan sumber-sumber tidak
sah (ilegal) lainnya, dengan tujuan investasi atau transaksi melalui
saluran-saluran sah (legal), sehingga sumber asli tidak dapat dilacak kembali.
Modus operandi kejahatan pencucian uang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang
yang memiliki status sosial menengah keatas dalam masyarakat, dihormati,
bersikap tenang, berkarisma, dan berintelektual tinggi. Dengan menggunakan
kemampuan, kecerdasan, kedudukan serta kekuasaannya, seorang pelaku pencucian
uang dapat meraup dana yang sangat besar untuk keperluan pribadi atau
kelompoknya saja. Sifat dan ciri khas dalam karakter yang secara umum dapat
dilihat pada pelaku-pelaku kejahatan pencucian uang menunjukkan bahwa kejahatan
pencucian uang dikategorikan sebagai suatu bentuk kejahatan kerah putih (White
Collar Crime).
Secara umum pencucian uang merupakan suatu
perbuatan memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil
dari suatu tindak pidana yang kerap dilakukan oleh criminal organization,
maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, penyuapan, perdagangan
narkotika, kejahatan kehutanan, kejahatan lingkungan hidup dan tindak pidana
lainnya dengan maksud menyembunyikan, menyamarkan, dan mengaburkan asal-usul
uang yang berasal dari hasil tindak pidana. Perbuatan menyamarkan,
menyembunyikan atau mengaburkan tersebut dilakukan agar hasil kejahatan
(proceeds of crime) yang diperoleh dianggap seolah-olah sebagai uang yang sah
tanpa terdeteksi bahwa harta kekayaan tersebut berasal dari kegiatan yang
ilegal.
Istilah kejahatan kerah putih dikemukakan
pertama kali oleh seorang kriminolog asal Amerika Serikat bernama Edwin H.
Sutherland pada tahun 1939. Sutherland mendefinisikan White Collar Crime
sebagai "a crime committed by a person of respectability and high social
status in the course of their occupation." Sutherland berpendapat bahwa
kejahatan kerah putih merupakan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang
sangat terhormat dan berstatus sosial tinggi di dalam pekerjaannya. Tindakan
kejahatan ini dapat terjadi di dalam perusahaan, kalangan professional,
perdagangan , maupun kehidupan politik.
White Collar Crime dalam aspek tipologis
berbeda dari Blue Collar Crime. Biasanya istilah White Collar Crime ditujukan bagi
aparat dan petinggi negara sedangkan Blue Collar Crime dipakai untuk menyebut
kejahatan-kejahatan yang terjadi di kelas sosial bawah dengan kualitas dan
kuantitas yang lebih rendah dari kejahatan yang dihasilkan oleh White Collar
Criminal.
Kejahatan kerah putih secara umum mengacu
pada kejahatan yang dimotivasi secara finansial dan biasanya dilakukan oleh
para profesional dalam bidang bisnis dan aparat pemerintah. Kasus-kasus
kejahatan kerah putih sulit dilacak karena biasanya dilakukan pejabat yang mempunyai
kekuasaan, memiliki kuasa untuk memproduksi hukum dan berperan dalam membuat
berbagai keputusan vital. Kejahatan kerah putih (White Collar Crime) juga
sangat sulit tersentuh oleh hukum karena terjadi dalam suatu lingkungan yang
tertutup.
Pencucian uang merupakan suatu bentuk
kejahatan kerah putih hal ini disebabkan dalam kebanyakan kasus-kasus pencucian
uang yang menjadi aktor utama di dalamnya merupakan orang-orang yang memiliki
profil kelas atas, memiliki kedudukan tinggi di pemerintahan ataupun di
perusahaan, memiliki sumber daya dan kekuasaan dalam jabatan dan posisinya,
memiliki peran yang besar di masyarakat, dan status sosio-ekonomi yang tinggi.
Dalam kasus-kasus pencucian uang yang
terjadi di Indonesia, dapat dilihat dengan jelas profil dan karakter yang
dimiliki oleh para pelaku kejahatan pencucian uang. Kasus-kasus seperti kasus
Inong Melinda Dee, Gayus Tambunan, Wa Ode Nurhayati, Tubagus Chaeri Wardana,
Akil Mochtar, merupakan sebagian kasus pencucian uang yang dapat menjadi contoh
dikarenakan adanya kesamaan yang menjadi benang merah dalam kasus-kasus
pencucian lainnya. Seluruh pelaku dalam kasus-kasus tersebut memiliki latar
belakang yang beragam, mulai dari artis, pegawai negeri di bidang perpajakan,
anggota partai politik, bagian dari dinasti penguasa dalam suatu daerah, sampai
ke bagian dari institusi hukum sendiri. Kesamaan profil yang dapat ditarik dari
keseluruhan pelaku utama dan aktor penting dalam kasus yang menyangkut mereka
masing-masing adalah: para pelaku memiliki kedudukan yang tinggi dalam
bidangnya masing-masing, para pelaku memiliki kekuasaan dan alat untuk
menggunakan kekuasaan yang mereka miliki, dan secara keseluruhan mereka berada
di kelas sosio-ekonomi yang tinggi.
Pada dasarnya, kasus pencucian uang
cenderung sangat kompleks untuk dijelaskan tanpa memenuhi rincian dan detail
dari masing-masing kasus. Hal ini dikarenakan ruang lingkup tindak kejahatan
dalam kasus pencucian uang berputar di sekitar skema yang telah dirancang oleh
para profesional dalam bidang keuangan yang telah terlatih untuk mengaburkan
sumber dana gelap asli. Oleh karena itu, sangat diperlukan pemahaman terhadap
karakteristik kejahatan kerah putih dan profil para pelaku kejahatan kerah
putih untuk memahami aspek pelaku kejahatan pencucian uang secara lebih
spesifik.
Referensi :
Gallant, M. Michelle. (2018). Tackling the
Risks of Money Laundering
Husein, Yunus. (2007). Bunga Rampai Anti
Pencucian Uang. Books Terrace & Library
Rub, Jacob. (2015). Money Laundering: Ring
Around The White Collar. Moldova State University
Simpson, Sally S., David Weisburd. (2009).
The Criminology of White-Collar Crime. Springer
Sutherland, Edwin H. (1940). White-Collar
Criminality. American Sociological Review, Vol. 5, No. 1, Hal. 1-12
Weisburd, David, Elin Waring, dan Ellen F.
Chayet. (2001). White-Collar Crime and Criminal Careers. Cambridge University
Press