Demokrasi Prematur
Melihat realita secara umum pelaksanaan sistem demokrasi di Indonesia satu dasawarsa terakhir ini yang masih dan bahkan dalam hal tertentu semakin jauh dari harapan, saya jadi teringat bahwa sekitar 2.500 tahun yang lalu Plato dan muridnya Aristoteles sebagai konseptor demokrasi secara tersirat pernah mengingatkan bahwa penerapan demokrasi pada waktu yang belum tepat, berpotensi besar disalahgunakan.
Disalahgunakan oleh siapa ?
Demagog, itulah istilah yang disitir dari salah satu kontestan pilpres 2024 untuk orang-orang yang menyalahgunakan demokrasi.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, demagog diartikan sebagai penggerak (pemimpin) rakyat yang pandai menghasut dan membangkitkan semangat rakyat untuk memperoleh kekuasaan. Dalam bahasa umum, perayu dan penggombal rakyat.
Setelah kekuasaan didapat, rakyat pun dilupakan. Rakyat hanya dijadikan sebagai batu loncatan atau pijakan untuk meraih kekuasaan.
Mengapa penulis katakan satu dasawarsa terakhir ini ? Ya, amandemen UUD 1945 yang salah satunya menghasilkan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat (mulai Pemilu 2004) merupakan titik tolak awal lahirnya para demagog di Indonesia. Jumlah demagog kemudian semakin bertambah banyak seiring keluarnya Undang-undang No 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang juga mengamanatkan diselenggarakannya pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Tidak hanya sampai di situ, demagog semakin tumbuh subur bak cendawan di musim hujan dengan diputuskannya penetapan calon legislatif (caleg) terpilih berdasarkan suara terbanyak oleh Mahkamah Konstitusi (MK) menjelang pemilihan umum 2009 silam.
Lalu, salahkah demokrasi dalam bentuk pemilihan langsung oleh rakyat di berbagai lini tersebut ?
Jawabannya: tidak. Namun, seperti yang diisyaratkan oleh dua orang filosof terkemuka di atas, penerapan sistem demokrasi pada waktu yang belum tepat akan cenderung disalahgunakan.
Lebih banyak mudharat daripada manfaatnya. Untuk kasus Indonesia, menurut saya waktunya belum tepat dikarenakan sampai hari ini sebagian besar rakyat masih awam politik, apalagi sepuluh tahun yang lalu. Sedangkan politik merupakan instrumen utama dari demokrasi.
Awam politik bukan hanya monopoli rakyat yang tingkat pendidikannya rendah, tetapi juga rakyat yang tingkat pendidikannya sudah cukup tinggi. Di Indonesia terlihat cenderung tidak ada korelasi tingkat pendidikan dengan tingkat pemahaman politik seseorang. Para mahasiswa misalnya, mayoritas mahasiswa yang diharapkan sebagai pembawa perubahan (agent of change) tidak memiliki pemahaman dan juga kesadaran politik yang cukup, tak terkecuali mahasiswa-mahasiswa jurusan ilmu sosial dan politik sekalipun. Akibatnya, sebagian dari mereka ada yang dimanfaatkan oleh para demagog politik untuk kepentingan sesaatnya, dan sebagian besar lainnya cenderung apatis atau tidak mau tahu terhadap politik. Padahal, politik adalah hal yang tak mungkin dielakkan dalam kehidupan bernegara, terlebih lagi dalam negara demokrasi.
Begitupun para guru dengan segala jenisnya, mereka yang berhadapan langsung mendidik dan mengajar calon-calon generasi penerus bangsa ini, juga tidak bisa banyak diharapkan. Bahkan, tidak sedikit juga lembaga-lembaga pendidikan di negeri ini yang sudah terkooptasi dan dikendalikan oleh para demagog. Akibatnya, banyak lembaga pendidikan hanya menjadi tempat formalitas mendapatkan ijazah dan gelar akademik belaka.
Partai politik yang salah satu fungsinya memberikan pendidikan politik, justru sebagian besarnya mempertontonkan politik yang tidak “sehat” ke hadapan publik. Bukan sekadar itu, ada pula yang melakukan pembodohan politik dengan berbagai bentuk terhadap rakyat. Mungkin ada ketakutan bila rakyat cerdas secara politik, mereka dan partai politik mereka tidak akan dipilih lagi, karena memang tidak memiliki kualitas yang cukup untuk diandalkan sebagai “jualan” politik.
Ideologi sebagian besar partai politik tidak lebih dari kekuasaan dan uang. Tidak heran bila menjelang pemilu bermunculan partai politik yang tidak jelas asal-usul dan ideologinya, sebagaimana tidak herannya kita pada budaya “kutu loncat” politik, karena yang mereka buru memang hanya kekuasaan dan uang. Apa dan bagaimana partai politiknya, tidaklah penting bagi mereka.
Akibatnya, apa yang dikhawatirkan oleh Plato dan Aristoteles 2.500 tahun yang lalu, telah benar-benar terbukti di Indonesia. Satu dasawarsa ini bermunculan para demagog yang jago membuai rakyat dengan pidato-pidato dan janji-janji. Berjanji akan memakmurkan rakyat, menggratiskan pendidikan, menjamin biaya pengobatan dan segala hal yang diperlukan rakyat. Namun setelah terpilih jarang direalisasikan.
Berkaca dari kondisi buruk itu, apakah kita harus meninggalkan sistem demokrasi? Bukan itu solusi yang tepat, karena bagaimanapun kita sejatinya harus menuju pada demokrasi. Namun karena laju pelaksanaan demokratisasi formal di negara kita tidak disertai laju pendidikan politik, akibatnya kemudian lahir demokrasi yang prematur, demokrasi yang belum masanya. Sungguhpun begitu, bila demokrasi yang prematur ini “dirawat” dengan baik, saya optimis secara perlahan kita akan bisa sampai pada demokrasi yang sebenarnya. Demokrasi yang sebenarnya adalah demokrasi yang substantif, bukan sebatas demokrasi formal prosedural seperti yang mengemuka satu dasawarsa lebih ini.
Dalam situasi darurat demokrasi seperti ini, hukum dengan berbagai instrumennya diharapkan memberikan peran yang lebih optimal. Meskipun peraturan perundang-undangan adalah produk lembaga legislatif dan eksekutif yang notabene banyak dihuni oleh para demagog, namun ditangan para penegak hukum yang bersih dan independen saya rasa produk hukum yang buruk sekalipun masih bisa diharapkan memberikan hasil yang baik. Apalagi sekarang kita sudah memiliki ruang judicial review untuk mengawal dan menghentikan berlakunya undang-undang yang tidak pro rakyat.
By. PC