Menerapkan Hukuman Mati Bagi Koruptor
Faktanya, hukuman mati bagi koruptor di Indonesia sebenarnya sudah
diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
diubah dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Namun hingga kini Presiden dan DPR belum menemui kata sepakat
dengan penerapan hukuman mati bagi para koruptor.
Pernyataan Presiden Jokowi soal hukuman mati bagi koruptor hanya
sebatas wacana. Sampai saat ini belum ada koruptor yang divonis hukuman mati
oleh pengadilan.
Korupsi
dalam kehidupan manusia bukanlah suatu hal yang baru, melainkan sudah ada
bersamaan dengan umur manusia itu sendiri. Korupsi pada saat ini menjadi sangat
akrab di telinga serta dianggap sesuatu yang tidak baik dan menyebabkan
keterpurukan bangsa. Masalah ini perlu dijadikan suatu hal yang harus
ditanggulangi bersama dan diperangi bersama. Makna dari korupsi sendiri ialah
penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi atau privat yang
merugikan publik dengan cara-cara bertentangan dengan ketentuan hukum yang
berlaku.
Korupsi
terjadi jika memenuhi tiga hal, yaitu pertama jika seseorang memiliki kekuasaan
termasuk untuk menentukan kebijakan publik dan melakukan administrasi kebijakan
tersebut. Kedua, adanya economic rent, yaitu manfaat ekonomi yang ada kebijakan
publik tersebut. Ketiga, sistem yang ada membuka peluang terjadinya pelanggaran
oleh pejabat publik yang bersangkutan.[1]Korupsi tidak hanya sebatas mengambil
uang Negara melainkan banyak jenisnya.
Tertera
pada UU nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
mengelompokkaan korupsi menjadi tujuh kelompok, yaitu[2] :
1.
Korupsi yang terkait dengan merugikan keuangan Negara.
2.
Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap.
3.
Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan.
4.
Korupsi yang terkait dengan pemerasan.
5.
Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang.
6.
Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam
pengadaan.
7.
Korupsi yang terkait dengan gratifikasi.
Fenomena
korupsi di Indonesia sudah menjadi berita hangat yang sering didengar dan
dibicarakan. Korupsi di Indonesia sudah menjadi virus yang sedemikian parah dan
akut bahkan telah menyebar dibanyak sektor pemerintahan. Adanya korupsi di
Indonesia menunjukkan bahwa korupsi dilakukan oleh orang-orang yang menduduki
kekuasaan tertentu. Para koruptor bahkan tidak menunjukkan rasa malu dan takut
saat dirinya ketahuan dan ditangkap melakukan hal tersebut[3]. Banyak dampak
yang ditimbulkan dari tindakan korupsi seperti merusak kestabilan ekonomi dan
keamanan Negara. Dampaknya juga terhadap hak-hak masyarakat dari Negara yang
seharusnya tersalurkan menjadi tidak tercapai.
Contoh Kasus Korupsi di BUMN dan Jajaran Departemen Kementrian
Keuangan
Tindakan
korupsi di Indonesia masih ada sampai saat ini, seperti kasus BLBI merupakan
kasus korupsi terbesar di Indonesia. Pada tahun 1998 negara mengeluarkan Rp.
320 Triliun untuk 54 bank swasta, akan tetapi yang terjadi dana yang kembali hanya
8,5% atau Rp. 27,2 triliun saja. Kasus korupsi yang terbaru di Indonesia saat
ini adalah dari PT. Asuransi Jiwasraya (persero) dengan kerugian ditanggung
oleh negara berjumlah Rp. 17 triliun[4]. Melihat fenomena ini, silih berganti
dari pemerintah selalu menjadikan pemberantasan korupsi sebagai salah satu dari
agenda kegiatannya. Pada 2019, indeks persepsi korupsi untuk Indonesia mencapai
skor 40. Indeks persepsi korupsi di Indonesia meningkat dari 22 skor pada 2005
menjadi 40 pada 2019, tumbuh rata-rata tahunan 4,45%.[5]
Negara
telah mengupayakan langkah-langkah dalam mempersempit peluang untuk tindakan
korupsi seperti langkah preventif dan langkah detektif. Upaya preventif seperti
pembentukan lembaga yang dapat mencegah terjadinya tindakan korupsi, membuat
undang-undang yang menindak bagi pelaku korupsi. Redaksinya tercantum dalam UU
Tentang Pemberantasan Tindakan Korupsi Bab 2 Pasal 2 sebagai berikut :
Setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).[6]
Dalam
hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam
keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Langkah
detektif juga sudah diupayakan seperti perbaikan sistem dan tindak lanjut atas
pengaduan masyarakat, partisipasi Indonesia pada gerakan anti korupsi dan anti
pencucian uang di masyarakat internasional dan lain sebagainya.[7] Hasilnya
masih saja tetap ada oknum yang melakukan tindakan korupsi. Bahkan ada beberapa
pelaku korupsi yang ketahuan berada di salah satu cafe padahal ia dalam masa
hukuman di balik jeruji besi. Salah satu media informasi juga pernah meliput
bagaimana keadaan kamar para koruptor yang sangat berbeda dengan keadaan kamar
Narapidana pada umumnya. Negara ini perlu menerapkan hukuman yang sesuai pada
keadaan Indonesia saat ini yaitu hukuman mati atau potong tangan sebagai efek
jera bagi para koruptor.
Pada
dasarnya hukuman mati bagi para koruptor telah tercantum pada UU tetapi hanya
menjadi wacana belaka. Hendaknya Negara ini bisa mencontoh negeri Cina dalam
penerapan hukuman tersebut.Sudah sangat banyak para koruptor yang mengalami
eksekusi ini, mulai dari ditembak, digantung hingga disuntik mati. Eksekusi
para pelaku koruptor berada di lapangan dan diperlihatkan kepada masyarakat
sehingga akan menimbulkan efek jera bagi siapa saja yang ingin melakukan
tindakan korupsi. Stabilitas ekonomi dan politik Cina tidak menentu sebelum
diberlakukannya hukuman mati bagi para koruptor karena hukuman sebelumnya tidak
membuat jera para koruptor. Setelah hukuman mati diterapkan dengan tegas, maka
perekonomian dan politik kian maju bahkan disegani oleh negara-negara
lainnya.[8]
Hukuman
potong tangan juga sudah diterapkan oleh beberapa negara seperti Arab Saudi dan
Brunei Darussalam yang hasilnya di Negara tersebut minim pencuri. Cara eksekusi
hukuman ini ialah apabila seorang pencuri telah dipotong tangan kanannya
kemudian mengulangi berbuat mencuri untuk kedua kalinya, maka kaki kirinya
dipotong pada persendian antara betis dengan telapak kaki.
Hukuman
ini tidak semena-mena dijatuhkan akan tetapi memiliki syarat tertentu, adapun
syarat tertentu adalah:
1.
Pencuri tersebut sudah baligh, berakal dan melakukan
pencurian tersebut dengan kehendaknya. Anak-anak, orang gila dan orang yang
dipaksa orang lain tidak dipotong tangannya.
2.
Barang yang dicuri itu sedikitnya sampai satu nisab
(kira-kira seberat 93,6 gram emas), barang itu diambil dari tempat penyimpanannya
dan arang itu pun bukan kepunyaan si pencuri.[9]
Keputusan
ini pasti akan menimbulkan perspektif negatif bagi beberapa orang, bahkan
menganggap hukuman ini tidak manusiawi dan tidak sesuai dengan hak asasi
manusia seperti yang tercantum pada Pernyataan Hak Asasi Manusia Pasal 5: Tidak
seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, memperoleh perlakuan
atau dihukum secara tidak manusiawi atau direndahkan martabatnya.
Mereka
tidak melihat bagaimana kondisi orang yang hak tidak tersampaikan bahkan
diambil begitu saja padahal orang tersebut telah menantikannya. Maka dari itu
hal ini perlu diterapkan karena tidak hanya ditinjau dari satu perspektif saja,
melainkan dari semua perspektif. Hukum itu perlu ditegakkan karena bukan hanya
untuk kepentingan individu melainkan untuk kepentingan orang banyak. Sehingga
jika negara ini menerapkan hukuman tersebut maka para koruptor akan berkurang
karena telah mengetahui konsekuensi dari pebuatan korupsi. Pada saat itu juga
perekonomian serta kemaslahatan bersama akan terjamin.
Dengan
demikian jika negara ini menerapkan hukuman tersebut bagi para koruptor, maka
sedikit demi sedikit tingkat korupsi di negeri ini akan berkurang serta akan
hilangnnya bentuk deskriminasi antar tahanan. Maka dari itu selain dengan
menegakkan hukuman tersebut perlu adanya upaya yang mendukung hal tersebut
seperti membangun budaya anti korupsi di masyarakat, memperbaiki mental dan
moral bangsa, melibatkan institusi pendidikan anti korupsi, meningkatkan
kejujuran dan karakter bangsa serta melibatkan masyarakat dalam penegakan
hukum.
KUHP Pangkas Hukuman Penjara dan Denda untuk Koruptor
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2022 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengurangi
hukuman untuk koruptor.
KUHP mengatur hukuman untuk koruptor pada Pasal 603. Hukuman berupa
pidana penjara dan denda.
"Setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri,
orang lain, atau korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI," bunyi Pasal 603
KUHP.
Kategorisasi
denda diatur dalam Pasal 79 KUHP. Denda kategori II sebesar Rp10 juta,
sedangkan kategori VI sebesar Rp2 miliar.
Hukuman bagi koruptor di KUHP lebih kecil dibandingkan hukuman di Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Pasal
2 UU Tipikor menyebut hukuman penjara bagi koruptor paling sedikit empat tahun
penjara. Maksimal hukuman penjara bagi koruptor adalah 20 tahun.
Selain itu, UU Tipikor mengatur denda bagi koruptor paling kecil Rp200 juta. Denda paling besar Rp1 miliar.
UU Tipikor juga mengatur hukuman mati bagi koruptor yang korupsi saat negara dalam keadaan bahaya. Aturan itu tak dicantumkan KUHP.
"Dalam
hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam
keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan," bunyi Pasal 2 ayat (2) UU
Tipikor.
Sumber Referensi :
[1]Ridwan dan Wijayanto.2009.Korupsi Mengkorupsi
Indonesia.Jakarta.Gramedia Pustaka Utama. Hlm 9
[2]Syahroni,dkk.2018.Korupsi, Bukan Budaya Tetapi
Penyakit.Yogyakarta.CV Budi Utama. Hlm 13
[3]Ibid. Hlm 103
[4]Cantika Adinda Putri.BPK: Kerugian Negara Dari Kasus
Jiwasraya Sudah Diketahuihttps://www.cnbcindonesia.com/ diakses pada 7 Mei 2020
pukul 16.00
[5]https://knoema.com/atlas/Indonesia/Corruption-perceptions-index
diakses pada 7 Mei 2020 pukul 14.00
[6]Undang-Undang Republik Indonesia nomor 31 Tahun 1999
[7]Arum Sutrisni Putri,UU Tipikor dan Upaya Pemberantasan
Korupsi, https://www.kompas.com/ diakses pada 28 April 2020 pukul 16.00 WIB
[8]Nur.Menggapai Hukum Pidana Ideal.Yogyakarta.DeePublish. hlm
320
[9]Rasyid.Fiqh Islam.Bandung.Sinar Baru Algensindo. Hlm 441