INDONESIA UPDATE
BDS Alliance.
Brief Update (BU) menyajikan pratinjau topik-topik yang berpotensi menjadi perhatian publik pada tahun 2025 ini.
*INDONESIA UPDATE*
_BDS Alliance_
*Kamis, 2 Januari 2025*
_Pembaca yang terhormat, untuk edisi hari ini *Brief Update (BU)* menyajikan pratinjau topik-topik yang berpotensi menjadi perhatian publik pada tahun 2025 ini. Terima kasih atas perhatiannya_.
*CUKUP SUDAH OMON-OMON*
Presiden Prabowo Subianto memang gemar bicara di depan publik, tanpa teks pula. Dalam kapasitas sebagai presiden, sebaiknya Prabowo mulai 2025 mengurangi “omon-omon” alias berbicara tidak substansial atau melantur. Sebab baru dua bulan menjabat sebagai orang nomor satu di RI, Prabowo sudah banyak “omon-omon” yang menimbulkan kehebohan.
Dalam kesempatan berbincang dengan pelajar Indonesia di Kairo, Mesir, 18 Desember lalu, Prabowo bilang, berencana mengampuni para koruptor jika mereka mengembalikan uang negara yang mereka curi. Bahkan pengembalian boleh dilakukan diam-diam. Tujuan Prabowo, supaya kas negara yang defisit bisa dapat pemasukan cepat.
Pernyataan ini membuat Menteri Hukum Supratman Andi Agtas sampai jumpalitan mencari dasar hukum untuk membenarkan rencana sang Presiden. Supratman pun dengan yakin mengatakan bahwa pengampunan itu bisa dilakukan berdasarkan UU Kejaksaan.
Ternyata, dasar hukum yang dikutip sang menteri hukum itu salah total. Kejagung sampai mengoreksi Supratman, bahwa UU tersebut hanya bisa digunakan untuk pengampunan tindak pidana ekonomi, yakni perpajakan, bea cukai, dan kepabeanan. Hanya itu. Sedangkan untuk kasus tindak pidana korupsi harus digunakan UU Tindak Pidana Korupsi, yang menetapkan bahwa kejahatan jenis ini harus dihukum pidana, meskipun si koruptor sudah mengembalikan uang rakyat yang dicurinya. Di sini, sang menteri juga terkesan tidak menguasai materi yang seharusnya menjadi domain kerjanya.
Dari kasus tersebut, memang sebaiknya Presiden Prabowo mulai lebih selektif dalam melempar materi wacana. Selain itu, perlu lebih mengoptimalkan _team work_ dalam kabinetnya. Sehingga, Presiden mendapat masukan dari para pembantunya tentang topik-topik yang substansial yang memang _urgent_ untuk disampaikan kepada publik. “Omon-omon” cukup dilakukan di warung kopi saja.
*BUTUH BUKTI KONKRET PEMBERANTASAN KORUPSI*
Sudah tak terhitung Prabowo mengungkap rasa geram terhadap korupsi. Komentar terbaru dia adalah mengenai vonis ringan terhadap koruptor kasus korupsi penambangan timah, yang disebut Kejagung merugikan negara Rp 300 triliun. Seharusnya para koruptor itu, kata Prabowo, dihukum penjara 50 tahun.
Tahun ini seharusnya digunakan Prabowo untuk melakukan langkah konkret dalam pemberantasan korupsi, tak sekarang geram dan omon-omon. Pemerintah sekarang mendapat warisan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang rendah, karena pemerintahan periode kedua Jokowi dinilai abai dalam urusan pemberantasan korupsi. Pemerintahan Prabowo yang mengaku sebagai kelanjutan pemerintahan Jokowi, tentu tidak ingin pula dinilai melanjutkan pembiaran praktik korupsi yang sudah akut ini.
Jika memang Prabowo berkomitmen kuat dalam pemberantasan korupsi, tahun ini merupakan kesempatan emas untuk menunjukkan langkah konkret. Salah satunya adalah pemberlakuan UU Perampasan Aset. Rancangan UU ini sudah ada di DPR sejak dulu, tapi tak kunjung diteken DPR. Bahkan DPR periode sekarang tidak juga menjadikan RUU itu sebagai prioritas untuk disahkan tahun ini. Padahal, kalangan akademisi dan gerakan sipil antikorupsi sudah bertalu-talu menyuarakan pentingnya UU tersebut.
RUU Perampasan Aset itu menjadi batu uji bagi keseriusan Prabowo dalam urusan tersebut. Sebab, dengan konfigurasi DPR yang mayoritas mutlak berisi pendukung pemerintah maka dengan sangat mudah RUU itu disahkan. Tidak perlu menunggu lama, jika memang Presiden menitahkan untuk diproses. Pengalaman pemerintahan periode kedua Jokowi dalam menggarap UU Cipta Kerja yang hanya dalam sekejap diamini DPR, bisa menjadi contoh “keampuhan” suara mayoritas mutlak di DPR, dan kemauan Presiden.
*WARISAN KASUS KELUARGA JOKOWI*
Tahun ini masih akan diwarnai oleh perseteruan PDIP dengan Jokowi sekeluarga. Kasus Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menjadi tersangka KPK terkait kasus suap Harun Masiku kepada komisioner KPU, dipersepsikan Hasto dan PDIP sebagai agenda Jokowi dalam mengerdilkan PDIP. Karena itu, Hasto akan mengumbar kasus-kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan pejabat negara.
Selain itu, di sebagian kalangan publik sejak akhir tahun lalu sudah gencar menyuarakan desakan, supaya penegak hukum memproses secara adil laporan-laporan dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan anak dan menantu Jokowi.
Kasus dugaan kepemilikan tambang nikel milik putri Jokowi, Kahiyang Ayu, dan suaminya Bobby Nasution. Kabar kepemilikan ini diungkapkan oleh mantan Gubernur Maluku Utara, Abdul Gani Kasuba (AGK), dalam persidangan di PN Ternate, Rabu, 31 Juli 2024. AGK saat itu sebagai terdakwa atas tuduhan menerima suap untuk pengurusan izin pertambangan. Dalam sidang tersebut AGK mengungkap, juga mengurus izin usaha pertambangan (IUP) nikel milik Kahiyang di Halmahera. Dia bahkan menceritakan kronologi proses perizinannya, termasuk bertemu dengan Bobby yang ketika itu menjabat sebagai wali kota Medan.
Kesaksian AGK tersebut tidak mendapat respons apapun dari pengadilan, kejaksaan ataupun kepolisian, seolah dianggap angin lalu. Padahal, pengurusan IUP Kahiyang itu diduga kuat karena faktor dia anak presiden, yang membuat prosesnya menjadi mulus. Kesaksian AGK itu juga tidak didalami lebih lanjut oleh aparat penegak hukum (KPK, Polri, Kejaksaan), karena besar kemungkinan mereka takut dengan ayah Kahiyang yang menjabat presiden. Kalangan pegiat gerakan sipil juga mengungkap dugaan keterlibatan anak Jokowi lainnya, Gibran Rakabuming Raka, yang kini menjabat wakil presiden RI; dan Kaesang Pangarep, yang kini ketua umum PSI, dalam sejumlah kegiatan bisnis pertambangan.
Isu lain yang juga kuat disuarakan adalah ketidakjujuran Gibran mengenai kepemilikan akun Fufufafa di media sosial Kaskus. Akun tersebut pada periode 2014-2019, berisi cacian dan hinaan terhadap Prabowo dan keluarganya, yang dinilai publik sudah kelewatan. Konten akun itu menjadi perhatian publik karena berdasarkan penelusuran para penggiat TI, akun itu milik Gibran. Namun, Gibran membantah. Sikap tidak jujur Gibran ini dinilai sebagai pelanggaran etik pejabat negara, yang bisa berimplikasi politis.
Kasus-kasus tersebut berpotensi mengemuka di tahun ini, mengingat publik ingin menguji komitmen Prabowo dalam pemberantasan korupsi.
*DEMI PENDAPATAN, BOCOR HARUS DISUMBAT*
Presiden Prabowo Subianto memberikan kejutan akhir tahun. Alih-alih resmi mengumumkan kenaikan PPN dari 11% menjadi 12%, ia menegaskan tarif PPN 12% hanya akan dikenakan pada barang dan jasa mewah yang kena Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Di luar barang dan jasa tersebut tetap terkena PPN 11%, serta barang dan jasa yang selama ini tak dikenai PPN, tetap bebas PPN.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, PPN 12% hanya berlaku bagi barang yang saat ini tergolong PPnBM. Ia memberi contoh kapal pesiar, balon udara, _private jet_, rumah mewah, apartemen/kondominium harga Rp 30 miliar atau lebih, dan senjata api kecuali untuk keperluan negara. Semula, pemerintah hanya mengecualikan tiga barang dari PPN 12%, yakni minyak goreng Minyakita, tepung terigu, dan gula industri.
Di sisi lain, keputusan itu juga membawa konsekuensi. Target penerimaan negara akan terdampak. Dengan skema sebelumnya, yakni semua barang dan jasa kena PPN 12% dengan beberapa pengecualian, diperkirakan penerimaan negara akan bertambah Rp 75 triliun. Namun, jumlah itu akan jauh berkurang dengan keputusan ini. Ketua Komisi XI DPR RI, Misbakhun, memperkirakan penerapan PPN 12% secara selektif hanya akan menambah penerimaan negara Rp 3,2 triliun dalam APBN 2025.
Ini berat bagi APBN. Sebab, dalam APBN 2025, pemerintah sudah telanjur menyandarkan penerimaan negara dari target perolehan PPN. Itu terlihat dari target penerimaan PPN dipatok Rp 917,78 triliun, naik Rp 141,55 triliun (18,2%) dari target 2024 yang sebesar Rp 776,23 triliun.
Dengan batalnya kenaikan tarif PPN menjadi 12%, pemerintah harus mencari sumber dana lain untuk meminimalkan defisit APBN. Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyarankan salah satu opsi yang bisa dilakukan adalah mulai merancang pajak kekayaan. Pasalnya, menurut dia, saat ini pemerintah hanya mengenakan pajak 2% dari total harta orang super kaya. Dengan pajak kekayaan – yang selama ini belum kita punyai – estimasi pendapatan yang bisa diterima pemerintah mencapai Rp 81,6 triliun.
Selain itu, ada peluang untuk mendapatkan sumber penerimaan pajak baru, sekaligus memenuhi rasa keadilan masyarakat. Yaitu menutup kebocoran pajak yang selama ini terjadi di sektor sumber daya alam, perkebunan, maupun pertambangan. Potensi kebocoran pajak dari sektor sawit dan digital saja, bisa mencapai Rp 300 triliun. Itu bisa menjadi salah satu opsi lain. Dan, masih banyak lagi jalan untuk menambah pendapatan negara tanpa membebani masyarakat miskin dan menengah dengan beban lebih berat lagi.
Sejumlah masalah ekonomi lain masih mengadang di tahun 2025 ini. Penerapan PPN 12% bukan satu-satunya masalah yang harus dihadapi. Tapi juga kondisi global yang masih penuh ketidakpastian. Termasuk kemungkinan makin memuncaknya perang dagang AS-China, seiring naiknya Donald Trump. Presiden Trump berpotensi menaikkan tarif impor dari China, yang bisa memaksa China mencari pasar lain. Sebagai mitra dagang utama, bukan tidak mungkin China memanfaatkan Indonesia sebagai pasar pengganti AS. Ini bisa memukul manufaktur dalam negeri yang saat ini belum sepenuhnya pulih. Jika itu terjadi, bukan tidak mungkin gelombang PHK masih akan berlanjut tahun ini.
*KETIDAKPERCAYAAN TERHADAP APARAT HUKUM*
Tahun 2025 masih dibayangi isu krisis kepercayaan terhadap penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, hakim, hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sejumlah kasus hukum tahun 2024 yang mencederai rasa keadilan, menjadi faktor belum pulihnya kepercayaan masyarakat.
Salah satu yang menonjol adalah vonis bebas Ronald Tanur di Pengadilan Negeri Surabaya pada 24 Juli 2024. Putusan ini kemudian dianulir Mahkamah Agung pada 22 Oktober 2024, sekaligus menjatuhkan vonis 5 tahun penjara. Toh begitu, vonis MA tetap menjadi pertanyaan publik karena dianggap terlalu ringan. Sehari setelah putusan MA, tiga hakim PN Surabaya ditangkap dengan sangkaan menerima suap.
Vonis yang mencederai rasa keadilan lagi-lagi muncul di akhir 2024, ketika terdakwa korupsi timah yang merugikan negara Rp 300 triliun, Harvey Moeis, divonis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan hukuman 6,5 tahun penjara dan denda Rp 2 miliar. Hakim berpendapat, tuntutan jaksa 12 tahun terlalu berat.
Masih banyak kasus-kasus peradilan yang tidak memenuhi rasa keadilan publik. Di antara penegak hukum yang paling disorot tahun 2024 adalah kepolisian dan KPK, karena banyaknya kasus pelanggaran yang dilakukan kedua institusi tersebut. Kedua institusi disorot, terutama karena dinilai menjadi alat kepanjangan tangan penguasa.
Aparat Polri dicurigai menjadi alat pemenangan pemilihan umum, baik pilpres maupun pilkada, sehingga memunculkan istilah “parcok” atau partai cokelat. Aparat kepolisian diduga turun aktif memenangkan salah satu kontestan di berbagai daerah. Mereka memobilisasi rakyat untuk memilih salah satu calon dengan bantuan kepala desa yang diintimidasi dengan sandera kasus hukum.
Itu masih ditambah dengan pelanggaran lain, seperti penggunaan kekerasan berlebihan, bahkan _extra-judicial killings_, hingga membekingi pelanggaran hukum dan tindakan-tindakan pemerasan.
Aksi kekerasan oleh aparat Polri tercatat sangat tinggi. Berdasarkan data Amnesty International Indonesia, setidaknya ada 116 kasus kekerasan yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian di seluruh wilayah Indonesia sepanjang Januari-November 2024. Dengan tingginya kasus kekerasan itu, sulit dibilang ini adalah tindakan oknum. Kasus terakhir yang memperoleh perhatian masyarakat adalah penembakan pelajar berprestasi di Semarang, Gamma Oktafandi oleh anggota Poltabes Semarang, Aipda Robig Zaenudin.
Kasus terakhir yang mencoreng citra Polri, tidak hanya di mata publik tapi juga masyarakat internasional, adalah pemerasan 45 penonton konser Djakarta Warehouse Project asal Malaysia hingga mencapai Rp 2,5 miliar.
Begitu pula KPK, lebih menonjol perannya sebagai alat kekuasaan dibanding pencegahan dan pemberantasan korupsi. Sejak akhir 2023 hingga 2024, terutama menjelang Pilpres 2024, ada kesan KPK digunakan kekuasaan untuk menekan dan mengintimidasi tokoh-tokoh politik yang tersandung kasus korupsi. Sejumlah tokoh, baik menteri maupun kepala daerah yang sempat dipanggil KPK, kasusnya kemudian tak berlanjut tanpa alasan jelas setelah mendukung salah satu kontestan pilpres.
Catatan buruk lain adalah kegagalan KPK memenuhi tuntutan publik atas dugaan gratifikasi putra Presiden Jokowi, Kaesang, dan dugaan korupsi anak dan menantunya. Belum lagi pelanggaran etik para pimpinan KPK. Sedikitnya, dua orang pimpinan KPK menghadapi sidang pelanggaran etik oleh Dewan Pengawas, yakni Nurul Ghufron dan Alexander Marwata.
Kini, pimpinan KPK sudah berganti. Namun, prosesnya yang dianggap tidak biasa, yakni diseleksi dan diserahkan presiden terdahulu, meninggalkan kecurigaan bahwa mereka adalah orang-orangnya presiden terdahulu. Ketidakpercayaan publik juga disebabkan fakta, bahwa pimpinan KPK saat ini sama sekali tidak ada yang berasal dari masyarakat sipil dan pegiat antikorupsi.
Tanpa reformasi, mustahil kepercayaan terhadap penegak hukum bisa dipulihkan. Dan, ini berimbas pada persepsi tiadanya kepastian hukum di Indonesia. Maka, jangan heran kalau Indonesia dihindari banyak investor asing karena tiadanya kepastian hukum itu. Jangan heran pula, jika kinerja investasi kita kalah dengan negara tetangga paling dekat sekalipun.
*TRENDING MEDSOS*
1. Mulyono dan OCCRP _trending_ di X, setelah organisasi jurnalisme investigasi internasional, Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP), memasukkan nama Presiden ke-7 RI Jokowi, ke dalam daftar tokoh finalis “Person of the Year” kategori kejahatan terorganisasi dan korupsi 2024.
2. Polri _trending_ di X, setelah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyampaikan permohonan maaf atas kinerja Polri sepanjang 2024 yang belum memenuhi harapan masyarakat, dalam acara rilis akhir tahun di Gedung Rupatama Mabes Polri, Jakarta Selatan. Sigit mengungkapkan, kinerja Polri sepanjang 2024 didominasi sentimen negatif dari masyarakat di media sosial yang dimulai sejak Maret hingga Desember 2024.
3. PPN 12% _trending_ di X, setelah beredar foto tangkapan layar _platform_ belanja _online,_ yang menunjukkan adanya tambahan PPN 12% terhadap pembelian barang yang seharga Rp 200.000. Foto tersebut ramai mendapat tanggapan negatif dan membuat kebingungan warganet, sebab pemerintah menerapkan kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% hanya untuk barang dan jasa mewah.
Benediktus Danang Setianto
*Ex.Ketum Partai Cokelat*
Dirilis ulang oleh POINT Consultant