Pancasila Dan Islam
Pancasila dan Islam memiliki banyak nilai yang sejalan, sehingga Pancasila dapat dikatakan Islami. Pancasila tidak bertentangan dengan ajaran Islam, melainkan merupakan refleksi dari nilai-nilai universal yang diajarkan oleh Al-Qur'an.
Berikut beberapa contoh nilai-nilai Pancasila yang sejalan dengan ajaran Islam :
1. Persatuan
Sila ketiga Pancasila mengajarkan pentingnya persatuan bangsa, yang juga dianjurkan dalam Islam.
2. Musyawarah
Sila keempat Pancasila menekankan pentingnya musyawarah, yang juga merupakan nilai luhur dalam ajaran Islam.
3. Kebaikan
Islam mengajarkan bahwa umat manusia, khususnya umat Islam, harus bersatu dalam kebaikan dan tidak terpecah belah.
Umat Islam wajib menjaga ideologi Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.
Pancasila yang telah menjadi falsafah bangsa dan sumber bagi nilai-nilai yang terkandung di dalam konstitusi, sejatinya merupakan ijtihad dari para tokoh muslim ketika perjuangan kemerdekaan. Bahkan, banyak tokoh dan cendikiawan yang menyatakan Pancasila merupakan hadiah terbesar dari umat Islam dan tokoh Islam bagi Republik ini. Kita tentu masih ingat akan sejarah pembentukan Pancasila, yang semula bernama Piagam Jakarta. Ketika itu pada sila pertama berbunyi, “Ketuhanan yang maha esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Membuat kategori antara Islam dan Pancasila sebagaimana dalam judul tulisan ini sebenarnya kurang tepat. Ketika membuat kategori dengan menyebut Islam, maka yang seharusnya disebut pula adalah jenis agama lain, misalnya Hindu, Budha, Kristen, Katholik, dan seterusnya. Sementara itu, ketika menyebut pancasila, maka yang disebut lainnya, agar kategori itu sekufu, adalah sosialis, komunis, liberalis, dan lain-lain.
Islam adalah sebuah agama, sementara itu Pancasila adalah merupakan filsafat hidup dalam berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, dalam negara Pancasila, Islam bisa hidup dan berkembang, bahkan sangat diperlukan. Demikian pula, konsep Pancasila akan menjadi semakin jelas ketika masyarakatnya menjalankan agamanya masing-masing.
Mendasarkan pada konsep Pancasila, negara berkepentingan menjadikan rakyatnya beragama. Itulah sebabnya sekalipun negara ini bukan berdasarkan agama, tetapi menghendaki agar rakyatnya menjalankan agamanya masing-masing. Kualitas kebangsaan ini akan diukur di antaranya dari seberapa tinggi kualitas keberagamaannya. Sebagai bangsa yang menyatakan diri menganut Pancasila, maka seharusnya selalu berusaha menjalankan agama sebaik-baiknya.
Atas dasar pandangan tersebut maka antara Pancasila dan Islam tidak perlu dihadap-hadapkan, dan apalagi diposisikan sebagai dua hal yang kontras atau antagonistik. Justru yang seharusnya dibangun adalah Pancasila memerlukan Islam, dan demikian pula agama-agama lainnya seperti Hindu, Budha, Kristen, Katholik dan lainnya. Berbagai jenis agama tersebut itu, dengan menganut falsafah Pancasila dalam berbangsa dan bernegara, maka memiliki keleluasaan untuk tumbuh dan berkembang. Berbagai jenis agama diakui dan dipersialahkan kepada umatnya menjalankan ajarannya masing-masing sebaik-baiknya.
Ketika negara memberikan peluang kepada semua agama untuk hidup dan berkembang maka sebenarnya juga tidak berseberangan dengan keyakinan Islam. Agama yang diturunkan di jazirah Arab dan atau yang dibawa oleh Nabi Muhammad menyatakan tidak ada paksaan di dalam beragama. Maka artinya, seseorang menjadi penganut Yahudi, Nasrani, Budha, Hindu, dan atau lainnya adalah dipersilahkan oleh Islam. Dalam al Qur'an disebutkan secara jelas dengan kalimat bahwa : 'la ikraha fiddien" dan juga 'lakum diinukum waliyadien'.
Namun demikian, Islam memang merupakan agama dakwah. Umatnya diperintahkan untuk menyeru atau mengajak kepada Islam. Akan tetapi, ajakan itu tidak boleh dilakukan dengan cara memaksa. Seruan, berdakwah, atau ajakan, hendaknya dilakukan dengan cara terbaik, bil hikmah, atau dengan cara lembut dan bijak. Keyakinan tentang sebuah kebaikan atau kebenaran, maka harus dsampaikan dengan cara yang terbaik, benar, dan bijak pula.
Bahkan dalam berdakwah atau menyeru kepada orang lain, selain agar disampaikan dengan cara lembut, bijak atau arif itu, maka juga dianjurkan supaya dijalankan melalui contoh atau uswah hasanah. Islam dipandang sebagai jalan menuju kebaikan, kemuliaan, keselamatan, dan kebahagiaan. Mengajak ke jalan yang demikian itu seharusnya dilakukan dengan pendekatan ketauladanan atau melalui contoh. Seseorang yang menyeru kepada kebaikan, sementara dirinya sendiri tidak menjalankannya, maka juga mendapatkan teguran keras.
Selain tidak ada paksaan dalam beragama, Islam mengenalkan konsep yang disebut dengan hidayah, atau petunjuk. Hidayah itu hanya datang dari Tuhan. Sesama manusia, bahkan seorang nabi sekalipun, hanya berperan sebagai pembawa atau pemberi peringatan. Bahwa seseorang menjadi muslim atau menolaknya, sebenarnya bukan menjadi urusan atau wewenang sesama manusia. Tugas seorang muslim atau bahkan mubaligh hanyalah sekedar menyampaikan atau memmberi peringatan belaka.
Pemahaman yang demikian itu, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang menganut falsafah Pancasila, adalah amat tepat. Pancasila memberikan peluang seluas-luasnya kepada rakyatnya menentukan keyakinannya masing-masing. Semuanya dihormati dan dihargai serta diberi peluang untuk menjalankan keyakinan atau agamanya itu. Namun hal yang sama sekali tidak diperbolehkan adalah memaksa, dan apalagi, satu sama lain saling merendahkan dan bermusuhan. Hal lainnya lagi yang tidak dibolehkan di negeri ini,
Rumusan sila pertama Pancasila tersebut, pada akhirnya menghilangkan tujuh kata, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Hal ini demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, serta menghargai dan menghormati warga negara Indonesia lainnya dari kelompok yang beragama non-muslim. Jiwa besar umat Islam inilah yang dinilai banyak kalangan, memiliki nilai kebangsaan yang sangat tinggi. Bahkan, perumusan nilai Pancasila yang menjadi dasar-dasar norma konstitusi tersebut, oleh para cendikiawan muslim, memiliki kemiripan dengan Perjanjian Hudaibiyah di masa Nabi Muhammad SAW.
Perjanjian Hudaibiyah dibuat pada 628 Masehi bermula ketika kaum muslimin yang tinggal di Madinah, ingin menunaikan ibadah haji di Baitullah Makkah. Kaum Quraisy Mekah saat itu belum menganut agama Islam, sehingga mereka beranggapan bahwa kedatangan umat muslim dari Madinah ke kota Mekah, bertujuan untuk melakukan penyerangan terhadap kaum Quraisy.
Pertemuan kaum muslim dari Madinah dan kaum Quraisy di Mekah inilah yang akhirnya berujung kepada dibuatnya perjanjian Hudaibiyah tersebut. Kaum muslim dari Madinah yang diwakili oleh Nabi Muhammad SAW dan kaum Quraisy di Mekah yang diwakili oleh Suhail bin Amr, melakukan perundingan yang sangat alot. Nabi Muhammad SAW di dalam melakukan perundingan, sangat lembut dan bijaksana. Bahkan kelembutan Nabi Muhammad SAW oleh beberapa sahabat, dinilai terlalu longgar dan mengalah. Padahal ketika itu, dengan jumlah kaum muslimin yang begitu banyak dan pasukan perang yang terlatih, tidak sulit bagi umat muslim Madinah untuk menundukkan kaum Quraisy dalam waktu yang singkat dengan cara kekerasan. Namun, Nabi Muhammad SAW., lebih memilih bersikap lembut, bersabar dan mengalah di dalam melakukan perundingan.
Ketika perjanjian hendak dimulai dengan kalimat, “Bismillahirrahmanirrahim” (dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang), kalimat ini tidak disetujui oleh Suhail dengan alasan bahwa, nama “rahman dan rahim” bukanlah nama yang dikenal oleh kaumnya dari bangsa Quraisy, sehingga kalimat tersebut berubah menjadi, “bismikallahumma” (dengan nama-Mu ya Allah). Begitu pula ketika perjanjian hendak disetujui oleh keduanya, Suhail menolak kalimat “Muhammad Rasulullah” karena kaum Quraisy saat itu tidak mengakui bahwa Muhammad adalah Rasulullah, sehingga kalimatnya diubah menjadi “Muhammad bin Abdullah”.
Kelembutan sikap dan kesabaran Nabi Muhammad SAW., ini pada akhirnya membawa hikmah yang sangat besar. Salah satu hikmah besar tersebut adalah, dakwah Islam ke seluruh pelosok negara Arab menjadi mudah menyebar. Jika saat itu penggunaan kekuatan dan kekerasan dilakukan saat dilakukannya perundingan, tentu akan berakibat buruk pada syiar dan penyebaran agama Islam.
Begitu pula halnya dengan perundingan Pancasila yang dilakukan oleh para tokoh muslim ketika itu. Meski jumlah umat adalah mayoritas, namun karena semangat persatuan dan kebangsaan, maka umat muslim tidak segan untuk mengalah demi terwujudnya rasa kebersamaan sebagai sesama anak bangsa.
Jika Pancasila ditinjau dari sudut atau pandangan agama Islam, maka sesungguhnya nilai-nilai yang terkandung di dalam setiap sila-sila Pancasila tersebut, sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam ajaran agama Islam. Sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sejalan dengan ajaran Tauhid sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al-Qur’an Surat Al-Ikhlas. Sila kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, sejalan dengan firman Allah SWT di dalam Al-Qur’an Surat An Nisa ayat 135.
Sila ketiga, “Persatuan Indonesia”, sejalan dengan firman Allah SWT di dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 13. Sila keempat, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”, sejalan dengan firman Allah SWT di dalam Al-Qur’an Surat Asy Syuro ayat 38. Sila kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, sejalan dengan firman Allah SWT di dalam Al-Qur’an Surat An Nahl ayat 90 yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah menyuruhmu berlaku adil dan berbuat kebajikan”.
Sumber referensi :
- Cuplikan tulisan artikel online https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=17481&menu=2
- Cuplikan tulisan artikel Islam Dan Pancasila Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, https://uin-malang.ac.id/
Penulis : POINT Consultant