HIKMATOLOGI : MELANJUTKAN PEMIKIRAN FILOSOF
Oleh : Indarwanto, BA.,Drs.,S.H.,M.Si, Phd
Malang, 11 November 2019
PENDAHULUAN
Artikel sederhana ini berawal dari dialog imajiner, dialog hati nurani (qolbu) tentang Filsafat. Berusaha memahami Filsafat sejak Sekolah Menengah Atas melalui karya R.F. Beerling yang berjudul Filsafat Dewasa Ini. Buku Filsafat Dewasa Ini pertama yang kami coba geluti tanpa guru klasikal konvensional membawa perubahan dari minat baca biasa-biasa saja menjadi lebih rajin baca. Kemudian dalam pembelajaran yang sama berlanjut dengan karya monumental di bidang olah spiritual dari Buya HAMKA, Tasauf Modern dan Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya. Kedua karya HAMKA tersebut disamping sarat pandangan Tasauf juga terdapat sentuhan Filsafat. Selanjutnya berusaha mempelajari karya klasik Imam Al-Ghazali yang monumental yaitu Ihya’ Ulumudin. Menginjak mahasiswa dilanjut dengan karya Imam Al-Ghazali atas kritik tajamnya pada Filsafat dengan judul Tahafut Al-Falasifah.
Sembari mempelajari referensi tersebut juga berusaha mencermati Kitab; Taurat, Zabur, Injil dan Al-Qur’an. Disaat mengarungi samudera Kitab-Kitab Suci tersebut sampai pada kisah pendidikan dan pengajaran yang dilakukan sendiri oleh Allah Tuhan dan atau melalui para Malaikat untuk para Nabi dan Rasul Nya. Ketika terus mencoba mendalami Kitab Suci yang dikerucutkan pada Al-Qur’an dan Al-Kitab yang diyakini oleh masing-masing pemeluk agama samawi tersebut sampai pada kesimpulan sederhana bagi hamba - bahwa Allah Tuhan mendidik dan mengajari para hamba Nya yang terkasih, yakni Nabi dan Rasul dengan menganugerahi Hikmah atau Hikmat. Pengerucutan pada Al-Qur’an dan Al-Kitab tentu beralasan karena Rasulullah Muhammad saw., bersabda bahwa; yang terdekat dengan ajaran Islam adalah Nasrani atau Kristiani.
Kontemplasi dalam sepi dan ramai yang didasari beragam Tafsir Al-Qur’an dan mencermati juga Al-Kitab dalam beragam versi tentang anugerah tertinggi para Nabi dan Rasul akhirnya semakin yakin bahwa Hikmah atau Hikmat sebagai anugerah istimewa dan tertinggi untuk umat manusia. Pada gilirannya perbincangan radikal, sangat mendalam dengan hati nurani disempatkan untuk mempersoalkan kedudukan Filsafat di tengah pergumulan ilmu pengetahuan hasil pemikiran manusia. Usaha ini semakin dikuatkan oleh saudara-saudara akademisi yang belajar dari luar negeri yang pada umumnya sepi dari nilai-nilai keagamaan (yang basis keilmuannya umum) – sunyi dari makna hikmah.
Hikmah atau Hikmat adalah samudera ilmu pengetahuan yang tak bertepi bagaikan butir-butir pasir di tepi pantai – dalam ilustrasi Al-Kitab, bagai air samudera yang tak mungkin habis direguk manusia – dalam lukisan Hadis. Puncak Ilmu Pengetahuan di dalam bahasa Kitab Wahyu bukan Filsafat yang sekedar hasil renungan dan penelitian Filosof namun lebih dari itu yakni anugerah Allah Tuhan Pemilik Ilmu Yang Maha Mengetahui. Hikmah sebagai puncak anugerah tertinggi untuk ilmu pengetahuan juga diberikan kepada orang-orang yang terus melakukan pembelajaran tak kenal henti mengkaji Kitab Suci dan petunjuk pada Nabi dan Rasul.
Hikmah adalah bentang ilmu pengetahuan yang tak bertepi dan beraneka ragam. Begitu luasnya Hikmah yang dianugerahkan Allah Tuhan pada hamba Nya maka seseorang yang diberikan Hikmah nyaris tak mempunyai spesialisasi keilmuan namun nyaris semua di dalam penguasaannya secara wajar dalam keterbatasan anugerah bidanya. Hikmah di dunia Islam lebih dikenal dengan bagian dari Karomah atau setidaknya Maunah dan pada ajaran Kritiani disebut Talenta atau Mukjizat. Sedangkan Hikmah (Bahasa Al-Qur’an) ditambah dengan Logos (Bahasa Yunani) yang kemudian disesuaikan dengan kelaziman keilmuan dijadikan Hikmatologi. Hikmatologi (Ilmu Hikmah) dalam tulisan ini - yakni sumber segala sumber Ilmu Pengetahuan yang darinya berasal dan niscaya dapat dipulangkan secara adil dan bijak.
Hikmatologi berbeda dengan Ilmu Laduni (Talenta) sebagai ilmu pengetahuan yang dianugerahkan oleh Allah tanpa pembelajaran umum sebagaimana ilmu Kasbi (Klasikal atau Konvensional) - ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan proses pendidikan dan pengajaran umum. Hikmatologi adalah proses berpikir yang mendalam, sistematis, terstruktur, logis, menggunakan metode lintas disiplin ilmu pengetahuan berdasarkan makna hakiki Kitab Suci Agama Samawi. Hikmatologi merupakan proses berpikir sebagai tindak lanjut dari Filsafat yang dianggap belum selesai dalam memberikan dasar atau payung keilmuan. Hikmatologi dianggap sebagai dasar ilmu pengetahuan ketika wahyu difungsikan – khususnya hikmah – dipakai untuk mendasari cara berpikir. Hikmatologi sebagai payung atau mahkota ilmu pengetahuan disaat memakai wahyu (hikmah) untuk menghiasi ilmu pengetahuan agar selalu tampil cantik sebagai piranti manusia untuk memperoleh dan menerapkan kebenaran serta kebajikan.
A. Antara Filsafat dan Hikmatologi
Filsafat sudah sangat lama diakui sebagai induk dari seluruh bidang ilmu pengetahuan. Filosof berpikir lintas disiplin ilmu yang dikaji seluruh bidang kehidupan. Begitu amat luas cakupan ilmu sehingga tak ada ilmu kecuali dari Filsafat dipercayai berasal. Sebagaimana diketahui bahwa berpikir filosofis bermula dari perenungan mendalam, radikal, sistematis, dengan metode dan obyek tertentu atau ragam obyek. Filsafat didahului dengan cara pandang atau berpikir manusia yang mendalam di dalam angan-angannya – dihubungkan atau tidak dengan alam semesta. Di samping itu boleh jadi juga berpikir tentang alam raya, jiwa dan Tuhan tanpa dasar wahyu yang secara umum telah disepakati manusia normal ketika mempercayai agama.
Dasar utama filsafat dari renungan tanpa dibimbing wahyu dari Allah Tuhan maka tak salah jika pertanyaan yang diajukan menurut kemauan bebas-sebebasnya Filosof atau manusia tanpa batasan. Bertanya tentang apakah ada Tuhan yang menciptakan alam raya adalah satu dari sekian banyak pertanyaan yang bebas tersebut. Di dalam pandangan Filosof semua pertanyaan dan pendapat apapun – apalagi Filosof generasi awal – sah-sah saja apalagi ketika itu Filosof tidak mendasarkan pandangan filsafatnya pada Suhuf (firman Allah swt., yang diterima para Nabi dan Rasul).
Bertalian dengan pertanyaan atau mempersoalkan segala sesuatu bagi orang yang beriman pada Kitab Suci dari Allah Tuhan wajib melalui beragam pertimbangan. Pertanyaaan apalagi mempersoalkan tentang; Apakah benar ada Allah Tuhan adalah pertanyaan pintar bukan pertanyaan cerdas. Pertanyaan yang keluar dari koridor iman pada Kitab Suci. Jika seseorang mempercayai Kitab Suci maka informasi di dalamnya akan menuntun tentang keimanan kepada Allah Tuhan. Pertanyaan ini semakin terlihat lebih pintar ketika yang mengajukan kaum intelektual atau generasi milenial yang identik dengan sarat hasil teknologi yang tinggi – khususnya dibidang informasi berbasis teknologi. Intelektual yang hidup di era kesejagatan dan generasi gadjet android memiliki kelimpah-mewahan informasi. Jika masih mempersoalkan tentang adanya Allah Tuhan maka berarti tak meyakini keberadaan Kitab Suci. Kita Suci bagi orang beriman sebagai petunjuk dasar untuk mengimani Allah Tuhan. Oleh sebab itu mempermasalahkan keberadaan Allah Tuhan salah satu bentuk kepintaran intelektual di luar koridor iman.
Mempermasalahkan Allah Tuhan bermakna masih tersisipnya keraguan atau ketidak-percayaan pada informasi yang ada di dalam Kitab Suci. Setiap manusia yang mengaku beriman maka dasar utama bersikap dan berpikirnya adalah Kitab Suci yang diyakini sebagai wahyu dari Allah Tuhan. Keraguan tak dapat dijawab sendiri atas keterbatasan namun niscaya didiskusikan dengan orang yang memiliki kepiawaian dalam mempertautkan keimanan dengan proses kehidupan. Harus diakui bahwa ada seseorang yang percaya pada Allah Tuhan kemudian mengkaji Kitab Suci dengan serius namun ada yang berangkat dari Kitab Suci meyakini Allah Tuhan itu ada. Berangkat dari Allah Tuhan atau Kitab Suci yang diyakini oleh seseorang, menjadi niscaya meyakini ajarannya tanpa ragu sekecil apapun – yakin seyakin-yakinnya (haqul yaqin tentang isi kandungannya), karena itu mendalaminya niscaya.
Beragama tanpa meyakini Kitab Suci adalah kemustahilan yang sangat tak bijak ditampilkan ke kancah pergaulan sosial dan ilmiah. Bagian pokok dari sebuah keyakinan pada Allah Tuhan yakni sangat meyakini Kitab Suci (Al-Qur’an atau Al-Kitab) dan atau apapun sebutannya sebagai pedoman dasar keimanan dan kehidupan di dunia menuju akhirat. Jika seseorang memang harus bertanya tentang Allah Tuhan maka pertanyaan yang layak diajukan adalah; Apakah sudah benar Allah atau Tuhan yang saya yakini dengan segenap konsistensinya? Mungkin juga dapat mengajukan pertanyaan; bagaimanakah cara yang terbaik mengimani Allah Tuhan yang saya yakini?
Berangkat dari pertayaan ini maka seseorang seyogjanya melakukan kajian mendalam tentang Kitab Suci yang diyakini dengan menggunakan pendekatan yang beragam ilmu pengetahuan ataupun diskusi dengan ahlinya – bahkan jika dibutuhkan dengan berkhalwat atau semedi dalam suasana ramai atau sepi mempertanyakan kebenaran Kitab Suci dan kebenaran keberadaan Allah Tuhan yang diperkenalkan atau dikenal orang lain. Diusia dewasa – di dalam keraguan tentang Allah - sungguh tak akan mudah seseorang memutuskan untuk memeluk agama atau pindah agama tanpa mengkaji seksama sejumlah agama dengan perangkatnya. Jangan mudah meyakini agama sekedar berdasarkan pada pengamatan pada perilaku orang yang dianggap beragama. Agama tak selalu tercermin pada pemeluknya, kecuali yang ditampilkan Nabi atau Rasul Allah Tuhan.
Manusia boleh menggugat Allah Tuhan yang sudah terlanjur diyakini dan tak haram menggugat Al-Qur’an atau Al-Kitab yang sudah terlanjur diyakini pula. Manusia memiliki kebebasan atau kemerdekaan untuk menggugat Allah Tuhan dan Kitab Suci Nya namun dengan syarat harus memiliki ilmu pengetahuan yang memadai. Berlambar dari imannya yang masih dipenuhi keraguan filosofis dan keraguan ilmiah berlandas empiris kemerdekaan berpikir manusia justru ditantang Kitab Suci dan Allah Tuhan sendiri (QS.2. A-Baqarah: 23). Pantang sekedar bertanya dan mempersoalkan Allah Tuhan hanya bersyahwat duniawi karena seseorang tak mau menerima perintah yang diturunkan karena dirasa memberatkan dan akalnya belum mampu menerima.
Diskusi panjang atau bahkan berdebat tak berujung pangkal tentang ada tidaknya Allah Tuhan telah menguras tenaga dan pikiran manusia yang belajar Filasafat. Diskusi tetap bijak berlanjut ketika Allah Tuhan dipertanyakan keberadaannya melalui Maha Karya Allah Tuhan sendiri lewat Kitab Suci Nya. Melalui Kitab Suci terbuka pintu hikmah menuju kebenaran yang sejati bukan didasarkan pada angan-angan, renungan ataupun usaha apapun meski hal tersebut dianggap radikal, sistematis dan bermetode ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu memasuki Hikmatologi adalah keniscayaan jika ingin mendekati kebenaran dalam berilmu pengetahuan. Ini beramakna seseorang memasuki Kemaha-agungan Ilmu Allah Tuhan yang mampu dikaji di dalam Kitab Suci Nya.
Dari pemikiran tersebut berarti tulisan ini mermpersoalkan Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan. Jelas Hikmatologi tidak bermaksud jumawah atau sombong namun justru kerendah-hatian kita untuk melanjutkan metode berpikir yang telah dirintis dengan baik oleh para Filosof, seperti; Plato, Aristoteles dan lain-lain. Kita berhutang budi kepada para Filosof karena jasanya yang berabad-abad mendidik dan mengajarkan cara berpikir untuk mencapai kebenaran yang dianggap hakiki. Koreksi radikal pada cara berpikir Filosof adalah keniscayaan sebagai bentuk penghargaan kita pada kehebatan Filosof yang telah mewarnai dunia ilmu pengetahuan berabad-abad lamanya. Untuk saat ini jika memang harus mempertahankan Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan maka menjadikan manusia bagai Keledai yang membawa setumpuk kitab atau buku, kecuali bagi mereka yang rasionalisme tak ber-Tuhan mungkin kewajibannya.
Mengingat semua manusia dilahirkan memiliki kecerdasan yang “sama” dalam hal memperoleh kesempatan, tentu bagi manusia abad kini berpikir radikal untuk mengkritisi Fisafat adalah keniscayaan yang wajar dan tak boleh ditunda. Disamping itu mengkritisi Filsafat bukan barang baru bagi dunia ilmu pengetahuan. Setidaknya Imam Al-Ghazali dari dunia Islam telah mengawali dengan sangat baik ketika menunjukkan kelemahan metode berpikir filosofis dengan karyanya Tahafut Al-Falasifah – meski dikritisi karya ini oleh Ibnu Rusyid dengan karyanya Tahafut at Tahafut.
Dari sudut pandang keimanan baik pada ajaran agama Islam maupun Kristiani manusia niscaya kehidupannya didasarkan pada Kitab Suci. Meyakini informasi dari Kitab Suci dalam kehidupan bagian terpenting bagi insan. Sengaja gerbang pintu tidak harus dilewatkan pada Filsafat karena sudah terlalu lama Filsafat tidak mendapatkan sentuhan kehangatan lagi. Jika ada sentuhan justru untuk mengkayakan Filsafat itu sendiri bukan berusaha untuk mencermati lebih seksama keberadaan Filsafat yang sudah terlanjur dianggap sebagai induk Ilmu Pengetahuan. Pada gilirannya anak Filsafat yang sudah lepas dari susuannya justru lari tunggang-langgang meninggalkan esensi tugas Filsafat yang mengembangkan cinta kasih secara cerdas penuh kebijakan.
Hikmatologi mencoba meneruskan perjalanan pemikiran Filosof yang telah berabad-abad menapakkan kakinya di bumi ilmu pengetahuan. Pembaca budiman diajak memasuki alam ilmu pengetahuan yang tertinggi dari Allah Tuhan. Ilmu yang pernah diberikan kepada para Nabi dan Rasul utusan Allah Tuhan dan sebagian diberikan juga kepada cendekiawan yang beriman.
Di dalam Hikmatologi, Ilmu Pengetahuan dibagi peringkatnya didasarkan pada Kitab Suci Al-Qur’an dan Al-Kitab atau Injil baik Perjanjian Lama maupun Injil Perjanjian Baru. Pembagian ini dimaksudkan agar mudah ditangkap pesan awal dari sikap dan pola pikir di jalan Hikmatologi yang berbeda dengan Filsafat pada umumnya. Tingkatan Ilmu Pengetahuan yang dirangkum di dalam sebait Syair di bawah ini yang menunjukkan bahwa Hikmah – yang kemudian dalam kajian ini dijadikan Hikmatologi, merupakan catatan perjalan cara berpikir umat manusia dari Allah Tuhan sebagai bentuk karunia tertinggi dalam tataran berpikir manusia. Jadi peringkat ini sebenarnya hanya sekedar menggali dari Al-Kitab dan Al-Qur’an. Hikmah berdasar wahyu dianugerahkan kepada Nabi dan Rasul Allah, sedangkan yang diberikan kepada manusia pada umumnya kecerdasan dan kebijaksanaan berpikir yang didasarkan pada tauhid atau teologi bagian dari hikmah itu sendiri. Tidak ada kebaruan (inovasi) kecuali kebaruan pada Hikmatologi sebagai cara berpikir, yang dibarukan sebagai penerus dari perjalanan Filsafat.
Sebelum kajian lebih mendalam ada baiknya diperkenalkan tingkatan berpikir yang dianugerahkan Allah Tuhan pada umat manusia didasarkan pada Al-Kitab dan Al-Qur’an.. Pembaca bisa mencermati tingkatan ilmu pengetahuan dalam Syair Sapdana berikut ini :
TINGKATAN ILMU PENGETAHUAN (2107)
Puncaknya Hikmatologi karunia dari Yang Maha Suci.
Filsafat renungan rahsa dan rasa semata insani.
Ilmu proses sistematis terstruktur umum akal inderawi.
Sains Teknologi pemikiran inderawi dalam kerumitan tinggi.
Pengetahuan sebagai hasil pemikiran didasarkan pengalaman inderawi.
Ilmu sains teknologi setingkat dalam pemikiran insani.
Induk dari segala Ilmu Pengetahuan adalah Hikmatologi.
Pola pikir Hikmatologi bila disusun berdasar peringkat namun masing-masing komponen sub sistem saling kait-berkelindan niscaya tak boleh diisahkan kecuali sekedar untuk kebutuhan analisis. Penomoran berikut ini tidak dimaksudkan setelah nomor satu (1) mesti ke nomor dua (2) dan seterusnya. Seseorang sangat leluasa memulai dari cari berfikirnya dari Imanial (1) kemudian pada sub sistem lainnya bergantung pada tingkat kebutuhan. Meski demikian di dalam kaidah Hikmatologi masing-masing niscaya terhubunga membentuk suatu konsistensi berpikir. Adapaun unsur-unsur atau sub sistem di dalam Hikmatologi itu sebagai berikut :
1. Imanial,
2. Spiritual,
3. Intelektual,
4. Moral,
5. Fisikal,
6. Sosial, dan
7. Environmental.
Hikmatologi jika digambarkan dalam bentuk sistem sederhana yang kait-berkelindan akan tampak seperti berikut ini :
Hikmatologi yang dipakai untuk mengoreksi keberadaan dasar dan piranti filsafat agak berbeda dibandingkan dengan Ilmu Hikmah yang dikembangkan di dunia Islam secara spiritual. Ilmu Hikmah di dunia Islam yang selama ini berkembang diarahkan pada rumpun Tasauf dan bahkan ada yang mengisinya dengan Ilmu Kekebalan Tubuh. Sedangkan Hikmatologi dihadirkan untuk melengkapi tiga (3) piranti utama di dalam Filsafat, yaitu: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi ditambah dengan Hakekatologi, Thariqatologi serta Makrifatologi.
Hikmatologi ditampilkan ke kancah pergulatan dunia sebagai cara berpikir berdasar kepercayaan yang diyakini setiap manusia, mendalam, sistematis dengan metode lintas disiplin ilmu pengetahuan sesuai obyek. Dasar berpikir yang bermula dari informasi akurat wahyu Allah Tuhan yang ada di dalam Al-Kitab (1 Raja-Raja 3: 4 dan Mazmur: 19: 7-8; 37: 30) dan Al-Qur’an (Al-Qur’an Surah Al-Baqarah Ayat: 129 dan 269). Selanjutnya dikembangkan prinsip dasar kehidupan ini (Iman) dikembangkan menjadi apapun yang diyakini oleh seseorang. Kepercayaan atau keyakinan seseorang dalam bentuk apapun disebut dalam tulisan ini dengan Imanial. Jadi di dalam konteks Hikmatologi seseorang mengawali cara bersikap dan berpikirnya dengan kepercayaan atau keyakinannya. Seorang yang beriman dalam tuntunan Syariat Islam tentu berbeda dengan yang beriman dengan cara; Kristiani, Hindu, Budha, Yahudi, Sabiin, hingga; Rasionalisme, Agnotisme dan Atheisme. Dari cara berpikir ini setiap orang niscaya konsisten dengan kepercayaan, keyakinan atau agama yang dipeluknya. Pada gilirannya pembaca dapat mementaskan ilmu pengetahuan sesuai dengan kepercayaan atau agama yang dipeluknya. Bergayutan dengan hal tersebut setiap orang dapat langsung memahami siapa penulis yang sebenarnya dan di poros mana berpijak.
Berangkat dari cara berpikir Hikmatologis seseorang diharapkan konsisten dengan iman yang melekat di dadanya. Hanya saja yang membedakan Imanial dengan keimanan yang selama ini dikenal yakni – Imanial menghargai dan menempatkan keimanan seseorang pada posisi poros. Posisi poros maknanya bahwa setiap pemikir – apalagi ditulis dalam bentuk buku, jurnal dan lain-lainnya beranjak dari keimanannya pada segala sesuatu. Jika pemikir beragama maka otomatis berangkat dari Kitab Suci yang diyakini namun jika tak beragama maka serta merta berangkat dari ketidak-percayaannya pada Allah Tuhan Maha Pencipta. Jadi Imanial dimaknai sebagai keyakinan hakiki seseorang pada Tuhan ataukah tak percaya adanya Tuhan sama sekali. Sekali lagi; Imanial menempatkan pemikir sesuai dengan keyakinan yang dimiliki termasuk God Without Religion (Samkara Saranam, 1998) dan bahkan tanpa percaya Tuhan sekalipun (atheisme).
Imanial di dalam pemahaman Syariat Islam hanya mengenal satu kebenaran, yakni kebenaran dari Allah swt., yang disuguhkan melalui wahyu yang disebut Al-Qur’an yang dijelaskan oleh Rasulullah Muhammad saw., lewat hadis atau sunnah. Kedua dasar ini kemudian dilengkapi perkembangannya dengan pendapat para ulama yang terangkum di dalam; Tauhid, Fiqih dan Tasauf. Allah swt., dalam segala sebutan manusia diyakini sebagai Maha Pencipta, Maha Benar. Allah swt., sebagai Maha Guru Tunggal yang menciptakan kebenaran dan kebaikan karena itulah diyakini yang meletakkan nilai kebenaran dan kebaikan pada hati nurani manusia sejak ditiupkannya ruh pada janin dan tidak berubah kecuali oleh Allah semata. Sedangkan bagi pemeluk agama Nasrani: Kristen, Katolik, Protestan dan lainnya berpedoman pada Al-Kitab dan pemeluk agama lain seperti; Budha, Hindu, Konghucu serta Aliran Kepercayaan tentu berdasar pada ajaran yang diyakini sesuai Kitab Sucinya.
Dialog Allah swt., dengan Malaikat ketika akan menciptakan manusia - dunia dengan segenap isinya sudah diciptakan terlebih dahulu sebelum 50.000 tahun. Dari air segala sesuatu diciptakan oleh Allah swt., kecuali Malaikat dan Jin, sedangkan dari tanah bahan dasar utama penciptaan Adam. Proses penciptaan Adam yang berlanjut diberikan pembelajaran mengenali dan memahami keberadaan alam semesta menjadikan Adam tak saja manusia pertama yang mengenal Allah swt., namun juga niscaya dihormati oleh Malaikat atas perintah-Nya juga karena ilmu pengetahuannya.
Dialog Allah swt., dengan janin manusia tentang keberadaan-Nya. Pengakuan bayi di dalam perut tentang Rob Allah Tuhan Maha Pencipta. Prinsip paling dasar agama yakni menyadari kesaksian transendental (spiritual, supra rasional) di alam rahim. Memang keilmuan dan teknologi belum mampu membuktikan akan hal tersebut secara rasional dan empirik namun pada diri keberadaan manusia tak semua hingga kini mampu dibuktikan rasional dan empirik.
Di dalam kasus penciptaan manusia dalam perspektif Hikmatologi dapat dilukiskan secara singkat dalam Syair sebagai berikut:
BEKAL KEHIDUPAN (8226)
Manusia pada awal dicipta, Allah perkenalkan diri.
Tak ada pencarian mengenal Allah dikehidupan ini.
Di setiap sudut bumi ada utusan Ilahi.
Utusan yang mendidik mengajari tentang Maha Suci.
Manusia pada umumnya tinggal mencari utusan Ilahi.
Mencari di sekitar kehidupan di dunia ini.
Ilmu pengetahuan dasarpun manusia telah cukup dibekali.
(03.11-17/12-11-19)
Secara Imanial bekal kehidupan yang niscya diyakini di dalam Islam adalah adanya dialog antara janin dengan Allah. Terlepas dari keberadaan ayat-ayat lain di dalam Kitab Suci yang diyakini seseorang berbeda maka tulisan ini jelas mengambil latar belakang Syariat Islam. Makna yang dapat diambil yakni setiap pemeluk agama yang meyakini Kitab Sucinya adalah orang yang sangat amat yakin pada sesembahannya dengan nama yang dikenal atau dikenalkannya. Meski berlatar demikian tidak berarti tulisan ini karya tentang agama Islam namun berpikir Hikmatologi tentang dibutuhkannya meluruskan jalannya Filsafat.
Ruh atau juga jiwa – bahkan sel hingga kini tak mampu ditampilkan sebagai ajang riset ilmiah yang serta-merta empirik terukur pasti. Peristiwa yang paling biologis – seperti mengapa setetes air mani dengan ovum dapat membentuk sel yang berbeda dari asal kejadiannya – adalah peristiwa yang belum mampu disibak dunia ilmu secara gamblang. Segumpal darah mengapa dapat membentuk sel dan daging yang akhirnya membentuk tulang dan ragam bentuk lainnya, adalah ketakterjangkauan otak manusia. Hal yang paling sosial, perubahan sikap dan perilaku manusia adalah empirik namun tak dapat diduga dengan pasti perubahan-perubahannya diketahui dengan pasti.
Manusia dengan keberadaan dan perubahannya selalu istimewa dan senantiasa unik dan menarik untuk dikaji. Mengkaji hasil pemikiran manusia yang paling tinggi – sementara ini diakui di dunia ilmu pengetahuan teknologi – filsafat sebagai keniscayaan. Filsafat selalu menarik dikaji – terutama dalam kedudukannya yang tertinggi di area lingkaran pemikiran manusia sejak zaman Yunani Kuno hingga kini. Sejak duduk di bangku perguruan tinggi mahasiswa dikenalkan tentang Induk Ilmu Pengetahuan yakni Filsafat.
Filsafat disepakati sebagai hasil pemikiran yang paling radikal, sistematis, terencana, berdasar perenungan mendalam, universal dan bermetode kontemplasi. Hasil pemikirannya yang general dan meliputi beragam bidang kehidupan maka dengan mudah Filsafat – sekali lagi - disebut sebagai induk Ilmu Pengetahuan. Filsafat dalam kedudukannya yang seperti ini tidak pernah diusik oleh para pemikir bidang ilmu pengetahuan di era kesejagatan. Filsafat sosoknya menjadi berubah, dari proses berfikir alamiah menjadi sesembahan ilmiah. Filsafat disadari atau tidak menjadi Tuhan-Tuhan rasionalisme bagi pemujanya.
Disebut Filsafat menjadi Tuhan karena Filsafat jika dikoreksi atau dikritik masih sebatas pendekatannya yang sangat rasional dan mengabaikan nilai ke-Tuhanan. Meski demikian keras kritik Hujatul Islam Imam Al-Ghazali tak menggeser kedudukan Filsafat sebagai Induk Ilmu Pengetahuan. Hingga kini meski Imam Al-Ghazali berhasil menampilkan kelemahan berpikir filsafati belum ada yang melanjutkan untuk menggeser kedudukan Filsafat yang dianggap tertinggi untuk ukuran proses dan hasil pergulatan pemikiran manusia. Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan masih menjadi kepercayaan yanga niscaya.
Keengganan cendekiawan meneruskan Proyek Besar Imam Al-Ghazali untuk meruntuhkan superioritas Filsafat mengalami kemandegan karena berpikir filosofis tak banyak menarik minat cendekiawan. Justru atas kritik dari Imam Al-Ghazali itulah yang menyebabkan dia dituduh menjadi penyebab utama kemandegan dan kemunduran pemikiran ilmu pengetahuan di dunia Islam. Sebagaian intelektual pemikiran Islam yang pernah menjadi mercusuar dunia kini justru mengalami kemunduran disebabkan pemikiran Imam Al-Ghazali mengkritik Filsafat.
Apakah benar semata-mata karena hasil pemikiran Imam Al-Ghazali sehingga dunia keilmuan Islam mengalami kemunduran atau kemandegan? Bukankah karya mandiri Imam Al-Ghazali yang dianggap Ensiklopedia Pertama di Dunia yang ditulis secara mandiri – Ihya’ Ulumuddin (Menghidupkan Kembali Agama) – justru sarat dengan pemikiran yang berspirit Filsafat Islami? Di masanya belum ada pemikiran di dunia Islam – apalagi Barat - sekalipun yang mengawali tulisan dengan tajuk perkasa dan istimewanya Ilmu Pengetahuan yang tunduk pada keagungan Allah Tuhan. Imam Al-Ghazali justru tampil sendirian dengan – Ihya’ Ulumuddin – yang fenomenal dan monumental tersebut dengan gagah di tengah pembelaan terhadap Filsafat yang menjadi Falsafaisme. Segala hasil pemikiran manusia yang diberi imbuhan akhir “isme” – adalah hasil pemikiran yang dipertuhankan.
“Isme” yang pertama meski secara ilmiah belum pernah dibuktikan lewat penelitian yang spektakuler namun di dalam tataran empirik “isme” benar-benar menjadi sesembahan manusia sejak pada tahap peradaban yang paling sederhana. Jika animisme dan dinamisme dianggap cara manusia mencari Tuhan sesembahannya yang pertama kali maka justru inilah awal rasionalisme dalam peradaban anak manusia. Lebih tepatnya animisme dan dinamisme merupakan hasil dari proses rasionalisme.
B. Permasalahan Teologi Ilmu
Awal pertumbuhan dan perkembangan manusia dalam berpikir dan membentuk masyarakat didadasari keyakinan yang bersifat supra rasional empirik. Manusia butuh hubungan sosial yang otomatis bersangkut-paut dengan makanan dan minuman. Pertumbuhan dan perkembangan ragam tumbuhan pendukung kebutuhan makanan juga minuman tak seimbang dengan pertumbuhan dan perkembangan manusia baik dalam kualitas maupun kuantitas di tempat yang sama dalam kurun yang singkat.
Bermula dari desakan untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya manusia hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya (nomaden). Rasionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup terjadi pergeseran nilai – dari penejlasan metafisik atau abstraksi tentang Tuhan yang diperkenalkan para Utusan Allah (Nabi dan Rasul) menjadi yang tak mampu diinderawi dialihkan pada kepercayaan yang inderawi. Tuhan yang supra ideal dan transendental diempirikkan menjadi yang terwujud dan dapat disaksikan oleh siapapun.
Pada gilirannya rasionalitas berkembang menjadi rasionalisme. Rasionalisme mengawali segala permasalahan yang terus mengemuka di dunia. Rasionalisme yang memperkenalkan justru bukan orang yang terdidik di institusi pendidikan tinggi dan modern namun justru diawali oleh orang bodoh dan sombong yang mencari, ingin membuktikan dan mendialogkan keberadaan kasat mata Tuhan. Bodoh karena tidak mau menerima pendapat orang lain dan sombong karena dirinya merasa paling hebat dan merasa paling benar.
Di tengah keterpisahan manusia dari komunitas yang memiliki pemimpin yang diturunkan atau dipilih sendiri oleh Allah Tuhan – Nabi atau Rasul, di dalam terminologi agama-agama langit (samawi) manusia mengembangkan pemikiran berdasar panca inderanya. Bermula dari manusia berpindah-pindah dalam mencari makanan maka rasionalisme semakin menggelinding bagai Bola Api permainan di pesantren. Di samping itu komunitas kecil manusia-manusia purba – orang-orang modern menyebutnya, sudah membutuhkan pemimpin yang paling dekat dengan diri masing-masing.
Dunia filsafat dan dunia ilmu pengetahuan menambah marak pergulatan akal bebas manusia yang menumbuh-kembangkan rasionalisme. Rasionalisme semakin memantapkan diri ketika filosof mulai kontemplasinya dengan sandaran utama panca indera. Apapun yang mampu diindera itulah segalanya, sedangkan yang di luar panca indera dianggapnya tidak ada (absurditas). Paradoks pemikiran manusia makin jelas ketika manusia tak mampu membuktikan keberadaan jati dirinya. Manusia yang hidup tak mampu diinderawi unsur apa yang menyebabkan manusia hidup. Manusia tumbuh kembang karena makanan, minuman dan udara sehingga mengembangkan sel awalnya juga tidak diketahui sejatinya sel itu seperti apa cara bekerjanya.
Perkembangan biologi molekuler dan kecanggihan piranti elektronika yang membuka tabir bentuk sel yang sesungguhnya. Meski bentuk sel dapat diketahui namun sampai saat ini belum ada satupun filosof dan atau ilmuwan rasionalisme yang mampu menjelaskan asal-usul sel saraf manusia. Di tengah kecanggihan teknologi tetap masih belum tersibak dengan jelas asal-usul sel manusia. Jika teka-teki asal-usul sel manusia dapat dijelaskan melalui Biologi Molekuler, ilmuwan di bidang ini juga kesulitan untuk menjelaskan sebelum ada manusia di dunia ini, dari mana asal usul sel itu sendiri.
Filosof yang lazimnya melakukan kontemplasi juga tak memiliki pengetahuan tentang asal-usul sel saraf manusia yang super kecil dengan ukuran nano meter. Filosof dan ilmuwan Biologi Molekuler hingga kini belum mampu menyibak inti sel sesungguhnya – darimana asal dan kehidupan sel sejatinya. Pada tingkat yang empiris keberadaan manusia, para Filosof dan Ilmuwan belum mampu atau tidak mampu bicara banyak tentang jiwa. Jiwa-jiwa manusia keberadaannya lebih urusan Allah Maha Kuasa. Tentang jiwa manusia diberikan amat sangat sedikit ilmu pengetahuan tentangnya (Al-Qur’an).
Dari serba amat sangat sedikit ilmu pengetahuan tentang jiwa di dalam pemahaman grounded reaserch bermakna manusia memang meyakini adanya Allah Tuhan adalah niscaya. Implikasi meyakini Allah itu memang wajib ada dengan sendiri-Nya adalah keimanan dalam peradaban ber-Tuhan – tentu manusia yang sadar tentang keberadaan dirinya sendiri. Bergayutan dengan ini tentu meyakini dengan kuat Kitab Suci yang diwahyukan kepada Nabi atau Rasul-Nya sebagai kewajiban berikutnya.
Di dalam konteks Hikmatologi bagi yang tidak mempercayai adanya Allah Tuhan sekaligus Kitab Suci-Nya juga tetap niscaya memulai jalan pemikirannya dari keyakinannya. Memulai bersikap dan berpikir tanpa Allah Tuhan dengan Kitab Suci dan Sabda Utusan-Nya. Mengkritik dengan keras bahkan tak beretika sekalipun jika negara dan bangsa membolehkan mestinya manusia tidak boleh marah – apalagi berkelahi memperebutkan kebenaran antara sesama manusia. Di dalam Hikmatologi setiap orang memiliki kemerdekaan dalam bersikap dan berpikir serta berkarya dalam batas tanggung jawab dan saling menghormati sepanjang peraturan perundang-undangan negara ada (lihat Surah Al-Baqarah: 256).
Mengapa jika memang Allah Maha Kuasa membiarkan manusia bersikap dan berpikir bebas menurut syahwatnya? Pada tataran inilah letak Kemahamurahan dan Kemahasayangan Allah kepada Umat Muhammad Rasulullah utusan akhir zaman dan Nabi dan Rasul terakhir. Rasulullah Muhammad saw., dihadirkan hanya untuk menjadi rahmat bagi alam semesta semata (Al-Qur’an Surah). Rahmat merupakan Sistem Terbesar dalam pengelolaan bangsa dan negara yang meliputi :
1. Kerahmatan,
2. Keimanan,
3. Keislaman,
4. Keihsanan,
5. Kesehatan,
6. Keilmuan,
7. Kesempatan.
Konstruksi pemikiran ini jika digambarkan sebagai sistem berpikir yang disebut Paradigma Rahmat akan tampak sebagai berikut :
Pertama, kerahmatan (rahmat) yang dimaksudkan adalah anugerah tertinggi kasih sayang Allah swt., berupa apapun di dunia dan akhirat yang dibutuhkan manusia dan makhluk sesuai dengan kapabilitas dan usaha optimalnya dan atau kepasrahannya. Rahmat dibidang ilmu pengetahuan meliputi seluruh keilmuan dan juga teknologi yang dimiliki atau dikembangkan oleh manusia. Rahmat tertinggi dalam pengelolaan sumber daya manusia adalah Ilmu Politik karena dengannya manusia memutuskan suatu perkara yang layak dan tak layak dilakukan oleh warga negara, termasuk unsur pimpinannya. Manusia menciptakan dan mengembangkan ilmu politik dari sifat atau nama Allah – Al-Malik (Maha Kuasa). Penciptaan manusia sesuai dengan gambar Allah (Al-Kitab) atau “wujud” Allah (Hadis Qudsi) dapat dimaknai kuasa manusia mengikuti atau manisfestasi dari Kemahakuasaan Allah.
Jadi Allah Maha Kuasa memberikan delegasi kewenangan pada manusia untuk menguasai sementara dan relatif atas keberadaan dunia atau alam semesta. Dari kekuasaannya manusia menciptakan ilmu politik sebagai pedoman dasar manusia berperilaku di dalam negara bangsa. Dari ilmu politik melahirkan perilaku dan budaya politik yang mengakar kuat dan dilaksanakan secara turun-temurun. Budaya politik bukan hal baru yang tiba-tiba ada dan terlaksana namun sebagai pengejawantahan sifat Allah Maha Kuasa berkaitan dengan kehendak tunggal-Nya dalam menuruti hasrat kuat manusia. Akumulasi dari gagasan dan perilaku dalam kuasa itulah yang menghasilkan budaya politik suatu bangsa.
Jadi perilaku politik suatu bangsa tidak akan serta merta dapat diwujudkan tanpa proses panjang dalam kehidupannya. Berbangsa bernegara apapun ideologi yang dianutnya selalu berproses tak kenal henti hingga dunia usianya berakhir (kiamat). Manusia niscaya menyadari ideologi sebagai gagasan tertinggi tak pernah akan dapat tercapai sempurna merata untuk seluruh warga atau anak bangsa. Kesempurnaan tercapainya ideologi suatu bangsa pasti sementara dan cenderung akan selalu disempurnakan untuk mencapai kesempurnaan yang lebih tinggi lagi. Proses yang demikian terus akan dilakukan anak bangsa sebagai bentuk dinamika jiwa manusia, jiwa anak bangsa. Idelogi dalam pengejawantahannya tak akan pernah mandeg atau berhenti sepanjang usia dunia.
Keingingan menggebu-gebu atas dunia atau bangsa akan diatur sesempurna mungkin tak ada kekuarangannya justru menyalahi kodrat penciptaan dari Allah Tuhan Yang Maha Esa. Kodrat dunia dan kodrat manusia di dalam keragaman yang di dalamnya ada hasrat hakiki kesamaan. Manusia berbeda dalam; wujud fisik, bahasa, budaya dan kecerdasan namun dalam kebutuhan relatif ada kesamaan dasar yakni; diperlakukan adil, dihargai, dihormati, disayangi, dan lain-lainnya.
Menjadi sungguh nista ketika Al-Qur’an dan As-Sunnah hanya dipahami dari satu sisi kekhalifahan saja, padahal Rasulullah Muhammad saw., bersabda diantara enam (6) tanda mukjizat kenabian beliau adalah “kata-kata yang tersempurna” – Al-Qur’an dan As-Sunnah (HR. Bukhari, Muslim dan lainnya) dan “keajaiban atau keistimewaan Al-Qur’an (dan As-Sunnah) selalu ada sepanjang masa” selama dikaji manusia (HR. Imam Baihaqi). Makna dari kedua sabda ini yakni tafsir tunggal tentang sistem politik atau sistem pemerintahan suatu bangsa justru mereduksi keistimewaan, keagungan, keluasan dari mukjizat Rasulullah Muhammad saw. Andai saja suatu saat bangsa-bangsa di dunia menganut ideologi Pancasila demi kekeluargaan, kedamaian dan kebahagiaan umat manusia maka perbedaan penerapan adalah niscaya karena kultur yang berbeda.
Ada ratusan bahkan mungkin ribuan definisi ilmu politik yang disampaikan oleh ahli ilmu politik. Hal ini menunjukkan betapa amat sangat luasnya turunan dari Al-Malik yang diterjemahkan dan ditafsirkan oleh manusia. Memang tidak seluruh ahli ilmu politik mengutip atau memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah terlebih dahulu ketika menulis ilmu politik namun sebagai hamba yang beriman niscaya dan serta merta ilmu yang ditulis dan diucapkan setiap hamba – tanpa melihat agama dan kepercayaannya - adalah anugerah ijin atau ridha dari Allah Al-Malik Maha Kuasa.
Klaim ijin atau ridha Allah dalam Ilmu Politik dari orang beriman versi Rasulullah Muhammad saw., tak harus menyakitkan hati orang di luar Islam. Orang lain yang mengklaim pendapatnya yang diilhami Kitab Suci yang diyakini tidak juga harus umat Islam merasa disakiti. Penganut atheisme dan materialismepun tak niscaya membuat orang yang beragama alergi karena semua dalam rahmat Allah Maha Kuasa Maha Suci. Jadi perbedaan keyakinan sampai sudut pandang semua adalah rahmat dari Allah Yang Maha Kuasa dan mengharuskan dinikmati bersama tanpa saling mengganggu.
Adapun rahmat tertinggi dan terbesar Indonesia dalam berbangsa dan bernegara adalah Ideologi Pancasila. Mengingat Pancasila sebagai ideologi dan sumber segala sumber hukum positif di Indonesia maka menjadi niscaya jika seluruh ilmu pengetahuan dan teknologi wajib berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Pancasila sebagai terjemah dan pemaknaan dari rahmat Allah Yang Maha Kuasa yang telah memerdekan bangsa dan negara Indonesia. Merdeka maknanya juga di dalam bersikap, berpikir dan berperilaku selaras dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
Di dalam ideologi Pancasila rahmat Allah Tuhan Yang Maha Esa memiliki implikasi pada seluruh tatanan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Secara aksiologis nilai-nilai dasar ke-Tuhanan Yang Maha Esa wajib diejawantahkan di dalam perilaku keseharian dalam bidang ilmu, teknologi, bermasyarakat dan berbudaya. Ideologi tanpa merasuk ke dalam seluruh tatanan kehidupan manusia menjadi angan kosong yang tak bermkana saja. Pancasila sebagai ideologi harus mampu menyinari seluruh bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Inilah Pancasila yang hidup, tumbuh dan berkembang bukan sekedar slogan belaka.
Sejenak untuk mengingat kembali kebijaksanaan tokoh-tokoh yang tergabung di dalam Badan Persiapan Usaha Panitia Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) khususnya yang memberikan pandangan tentang Indonesia Merdeka didasarkan pada apa? Tiga tokoh pra kemerdekaan masing-masing; Mr. Soepomo, Mr. Mochammad Jamin dan Ir. Soekarno serta anggota yang lainnya tidak ada satupun yang mengemukakan tentang idelogi; komunisme, nasionalisme, liberalisme, fasisme, khilafah dan lain-lainnya. Pada pemberian pandangan ketiga tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno yang dengan gamblang mengusulkan Indonesia Merdeka nanti berdasarkan pada Pancasila, yakni :
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasional atau Peri Kemanusiaan
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan Yang Maha Esa.
Semua tokoh Islam yang hadir dalam persidangan BPUPKI serta semua yang sangat faham Syariat Islam tidak ada satupun yang mengusulkan Dasar Negara Syariat Islam untuk diambil voting. Tokoh-tokoh bangsa ketika sangat paham; Syariat Islam, sangat faham Piagam Madinah dan sangat faham tentang Khilafah namun ketika Panitia Sembilan (9) meneruskan pekerjaan besar tokoh nasional yang kebanyakan tokoh Islam tersebut tidak pernah mengusulkan Khilafah sebagai ideologi dan sistem pemerintahan Indonesia Merdeka di bawah kepemimpinan Khalifah.
Rahmat Allah di dalam perjalanan anak Kerajaan Nusantara sudah dimulai sejak perjuangan melawan penjajah antara lain yang dipelopori oleh. Tuanku Imam Bondjol dan Tjut Njak Dien, Pangeran Diponegoro hingga Soekarno – untuk menyebut beberapa nama Pahlawan – semua berpikir - sebagai Tokoh Islam; berjuang untuk semua anak Nusantara, anak bangsa Indonesia. Di dalam hakekat sikap dan perilaku mengikuti gaya Rasulullah Muhammad saw., di dalam memimpin bangsa dan negara ketika berada di Madinah. Peradaban kebangsaan dan kenegaraan Madinah adalah awal peradaban modern yang ditandai dengan Konstitusi Modern Pertama di dunia yakni Piagam Madinah (Robert N. Bellah, Beyond Belief, 1998). Piagam Madinah telah menginspirasi Pancasila sebgai ideologi Bangsa Indonesia.
Mempermasalahkan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia sama dengan mempermasalahkan keberadaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia – apakah benar-benar pernah ada ? Anak bangsa yang tidak ikut berjuang di masa pra kemerdekaan atau di masa perumusan dan atau lahirnya Pancasila mestinya sadar diri berlandas Ilmu Sejarah Bangsa dan ragam disiplin ilmu pengetahuan lainnya. Dari keilmuan sejarah bangsa ini seseorang tidak sekedar berkutat pada tataran sah tidaknya Ideologi Pancasila yang hanya dimusyawarahkan oleh sembilan (9) tokoh saja (Panitia Sembilan) - padahal muslim Indonesia jumlahnya puluhan juta.
Berpikir tentang sah tidaknya Panitia Sembilan dilihat dari segi kuantitas umat Islam Indonesia adalah pola pikir tidak dewasa dan tidak bijaksana. Fihak-fihak yang mempersoalkan representasi Panitia Sembilan adalah orang yang sangat tidak tahu berterima kasih kepda Allah swt., dan tokoh bangsa. Orang-orang yang merasa hebat dan menganggap diri yang paling faham tentang Syariat Islam dibanding dengan tokoh-tokoh umat Islam seperti; KH. Hasyim Asy’ari, Ki Bagus Hadikusumo, KH. Agus Salim dan seterusnya adalah anak bangsa yang sempit nalarnya. Panitia Sembilan tidak saja faham tentang Syariat Islam namun lebih dari itu mereka adalah mujahid-mujahid Indonesia yang cinta sesama anak bangsa.
Bangsa Indonesia setelah merdeka sebelum usia tujuh puluhan tahun tidak pernah mempermasalahkan Pancasila. Ulama dan ustadz di era sebelum ada gadjet android tidak pernah menawarkan khilafah untuk menggantikan Pancasila. Semua ulama atau ustadz dan elemen anak bangsa hanya berusaha untuk mengisi Indonesia merdeka dengan pembangunan yang berperadaban. Membangun bangsa yang berperadaban Pancasila tidak seperti membalik tangan – langsung paripurna. Membangun umat untuk mengenal, memahami dan mengamalkan Syariat Islam di seluruh dunia juga pekerjaan yang tak pernah selesai tuntas.
Apakah manusia tidak menyadari bahwa ditangan kepemimpinan Insan Termulia, Terpercaya dan Terpuji Rasulullah Muhammad saw., penerapan nilai-nilai Syariat Islam terus butuh diperjuangkan? Bagaimana manusia sangat amat berambisi menerapkan khilafah agar dunia damai dan semua orang menganut Islam secara kafah? Mengapa manusia tidak belajar Ilmu Sejarah peradaban bangsa untuk dapat memahami proses perjuangan berbangsa dan bernegara yang tak pernaaah usai?
Rasulullah Muhammad saw., yang agung dan teladan termulia ditakdirkan tak berhak mengimankan manusia, bahkan keluarga dekatnya; Abu Sofyan dan Abu Lahab tokoh Suku Quraisy menentang dakwahnya. Islam tak pernah selesai dibumikan di dunia. Mimpi terlalu besar dengan Khilafah semua menjadi indah tertata, makmur sentosa, adil bijaksana, kemiskinan tak ada, pendidikan merata, kedengkian sirna, satu Khalifah di dunia – semua mimpi yang tak mungkin pernah terwujud nyata. Kekuatan Iman, kesempurnaan Islam dan kemantaban Ihsan – Rasulullah Muhammad saw., beserta Khulafaur Rasyidin tak akan ada taranya. Ingin melebihi perjuangan mereka dalam menerapkan Syariat Islam agama, terlalu percaya diri manusia.
Penerapan Kepemimpinan Kenabian dan Kekhalifahan hanya disempurnakan dalam batas negara Makah dan Madinah serta sekitarnya meski Islam di masa Raslullah Muhammad saw., sudah sampai ke penjuru dunia – termasuk Nusantara. Bukti-bukti sejarah tapak tilas umat Islam di masa Rasulullah Muhammad saw., dan Khulafaurrsayidin dapat dijumpai di daerah Tapanuli Utara. Adanya tapak tilas ajaran Islam tidak sekaligus ada bukti tentang upaya kuat umat Islam waktu itu mendirikan Kekhalifahan atas perintah Rasulullah Muhammad saw., dan atau Khulafaurrasyidin. Hal ini membuktikan bahwa Islam tak selalu harus hadir dengan wajah kekuasaan yang dipaksakan dengan sistem tertentu dalam pemerintahan.
Jangan biarkan energi terbuang sia-sia dengan Pan-Islamisme rintisan Hasan Al-Bana dengan Ikhwanul Muslimin yang lebih nyata beretorika. Jangan biarkan energi bangsa untuk meraih sesuatu yang tak mungkin bagi persaudaraan yang sudah tertata. Jangan biarkan Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua digerogoti dengan ambisisme yang tak kenal keragaman Indonesia. Jangan mengoyak Pancasila hasil ijtihad politik yang didasarkan pada mujahadah dan pemikiran tanpa syahwat kuasa. Jangan merusak suasana batin yang sudah lama dipelihara di Indonesia. Jangan sakiti hati ulama dan cendekiawan yang sudah menghasilkan Pancasila. Jangan biarkan syahwat politik tanpa Ilmu Sejarah menggerogoti persatuan dan kesatuan bangsa.
Jika memang berhasrat amat sangat kuat untuk mendirikan Khilafah sebagai pengganti Pancasila, mengganti Presiden atau Raja dengan Khalifah – masalah bangsa tetap tak akan selesai sempurna tanpa kekurangan sebagai upaya manusia. Di dalam tataran memakmurkan masjid saja umat Islam belum paripurna dan tak akan pernah sempurna tanpa kekurangan. Di dalam memakmurkan masjid di Indonesia yang istimewa sebgaimana manajemen Masjid Jogokaryan Daerah Istimewa Yogyakarta saja tak semua bisa. Mengapa harus merobohkan bangunan yang bernama Indonesia dengan landasan berpikir mayoritas minoritas semata-mata demi kekuasaan di tangan seseorang? Bukankah dengan pelajaran terbaik pada pelaksanaan Pemilihan Umum dengan jargon-jargon keagamaan yang cukup mengusung aroma radikalisme justru membuahkan seseorang dan partai yang diidolakan justru mengalami kekalahan?
Manusia lupa mempersoalkan secara radikal atas penerapakan Syariat Islam oleh kaum muslimin muslimat yang hingga kini sebatas memakmurkan masjid saja masih kedodoran? Betapa pembangunan masjid, mushalla, surau atau langgar di desa dan di kota mulai yang menelan biaya puluhan juta hingga milyardan rupiah sekedar memakmurkan dengan shalat fardhu berjama’ah saja masih belum bisa? Tak menafikan ibarat menyediakan sangkar untuk burung yang masih lepas di alam liar, demikian juga masjid, mushala, surau dan langgar di Indonesia. Sampai kapan sebagian kecil umat Islam terus berusaha menggerus Pancasila agar luluh-lantak sirna di bumi Indonesia? Pantaskah putra putri bangsa meninggalkan karya ulama-ulama besar dan cendekiawan Nusantara sebagai mujahid-mujahid bangsa yang meninggalkan karya Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa, ideologi bangsa, dasar negara, sumber hukum, sistem etika, dasar pengembangan keilmuan dan teknologi, falsafah bangsa dan staat fundamental norms terus mengusik ketenangannya yang sekarang istirahat di Alam Baqa? Meski bukan hadis Nabi Muhammad saw., jargon Soekarno; Jangan sampai melupakan sejarah (Jas Merah) patut direnungkan dan diaktualisasi nilai-nilai kalimat yang sarat etika ini. Nilai etika ini selaras dengan makna Al-Qur’an Surah Al-Fatihah ayat 6-7 yang intinya manusia wajib mutlak belajar Ilmu Sejarah tentang keburukan dan kebaikan.
Hanya orang-orang yang tak faham Ilmu Sejarah bangsa yang sangat ambisius untuk menerapkan suatu sistem yang tak berasal dari bangsa tersebut dalam mengatur kehidupan berasyarakat, berbangsa dan bernegara. Lebih dari itu jika semua sistem kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sangat amat ingin dikembalikan di zaman lampau maka jelas orang-orang yang demikian itu tidak mengenal dan mengingkari perkembangan peradaban bangsa yang sesungguhnya.
Di dalam sistem berbangsa dan bernegara Rasulullah Muhammad saw., telah meletakkan dasar-dasarnya dengan sangat baik dam sempurna melalui Piagam Madinah. Pada gilirannya founding father dan mothers bangsa Indonesia mengikuti pola sikap dan pemikiran yang diteladankan oleh Rasualullah Muhammad saw., dengan merumuskan Pancasila. Pantaskah generasi yang lahir di abad 20 ini mempersoalkan keberadaan Piagam Madinah dan Pancasila sebagai landasan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara? Masing-masing generasi ada masanya, masing-masing bangsa hidup sesuai dengan falsafahnya, jika merujuk pada kalimat bijak George Willington filosof abad 18.
Untuk mendapatkan ilustrasi yang lebih memadai, Piagam Madinah dibuat oleh Rasulullah Muhammad saw., bukan karena Al-Qur’an dan diri Rasulullah Muhammad saw., kurang dalam mengatur negara dan bangsa. Dibuatnya Piagam Madinah sebagai manisfestasi betapa agung kepribadian dan kepemimpinan Rasulullah Muhammad saw., insan teladan sedunia untuk mengatur yang bersifat agama itu agama dan yang bersifat duniawiah itu duniawiah. Agama Islam memang mengatur seluruh kehidupan namun membatasi ada sistem peribadatan yang langsung diatur oleh Allah swt., dan Rasulullah Muhammad saw., yang tidak boleh dilakukan perubahaan meski hanyat sedikit sekali. Di sisi lain ada sistem peribadatan yang memberikan kemerdekaan dan ruang gerak bagi umat Islam untuk mengembangkan daya nalarnya sepanjang tidak bertentangan dengan haakekat Syariat Islam.
Pancasila dimusyawarahkan, dirumuskan dan disepakati sama sekali tidak dimaksudkan untuk memperbandingkan secara simetris apalagi mengungguli Al-Qur’an dan Sunnah mulia Rasulullah Muhammad saw. Pancasila dihadirkan oleh ulama utama bangsa Indonesia saat itu untuk mempersatukan Keluarga Besar Bangsa Indonesia yang pluralitasnya sangat beragam. Suku bangsa, budaya, kepercayaan dan agama yang sangat beragam membutuhkan penafsiran Syariat Islam yang membumi tanpa harus kehilangan jati diri hakekat firman Allah dan sabda Nabi yang terpuji.
Keshalihan sosial politik dan kecerdasan hati nurani (qolbu) yang sangat amat istimewa sehingga Piagam Jakarta yang berhasil dirumuskan dengan sila pertama Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya – tujuh (7) kata terakhir dihilangkan demi mengakumulasi semua gagasan tokoh anak bangsa yang berhati sangat mulia dan istimewa. Sila pertama akhirnya menjadi: Ketuhanan Yang Maha Esa. Musyawarah dan hasil mufakat yang sangat amat istimewa yang pernah ada dan selalu ada di dunia – dimulai dari bangsa Indonesa melalui tokoh Islam yang utama dan istimewa tersebut. Tidak terbersit sedikitpun dan tak pernah muncul sekalipun kata mayoritas dan minoritas di dalam suasana batin dalam musyawarah yang mencapai mufakat tentang rumusan Pancasila seperti yang dituangkan di dalam Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Konstitusi yang sejak era kesejagatan dilengkapi sebutannya dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan Amandemen kesatu sampai keempat malah terus dipertanyakan atau dipersoalkannya.
Berdasarkan rentang sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang tak selalu mulus tersebut menjadi nista jika karya agung para ulama dan cendekiawan bangsa Indonesia tersebut bersyahwat diganti dengan ideologi lainnya. Jangankan mengganti ideologi Pancasila – membicarakan akan diganti saja sejak dari masyarakat umum hingga mahasiswa dan cendekiawan, meski beragama Islam tak menyetujuinya. Orang-orang yang sangat berhasrat ingin mengganti Pancasila dengan Khilafah hanya karena mereka belum pernah memahami sejarah bangsa Indonesia dan Pancasila. Berbekal bacaan Syariat dan membaca Sejarah umat Islam berpendekatan bahasa semata.
Karya modern yang menguatkan secara akademik tentang Negara Kesepakatan telah ditulis oleh Taufiq Asy-Syawi (intelektual Mesir) dengan lengkap dan indah. Karya yang patut dipahami oleh anak manusia di dunia dalam mengatur negara bangsa. Karya ilmiah Taufiq Asy-syawi, Syura Bukan Demokrasi benar-benar rinci membahas tentang dibutuhkannya musyawarah untuk mencapai mufakat oleh anak manusia, anak bangsa dalam mengatur negara bangsa. Sebuah Teori Sosial Politik yang sangat memadai untuk dijadikan rujukan dalam mengkaji, memahami, menghayati dan mengamalkan prinsip dasar Al-Qur’an dalam berbangsa bernegara tanpa harus diberi label Khilafah dengan Khalifah.
Syura Bukan Demokrasi menampilkan Teori Besar Musyawarah (Grand Theory), Teori Ilmu Politik yang didasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah Muhammad saw., yang tidak mengharuskan di alam modern ini dunia dengan istilah dan atau menerapkan Khilafah. Jika memang keharusan mengkaji secara mendalam dan sistematis tentang Khilafah tak berarti wajib diterapkan oleh semua bangsa di dunia. Khilafah yang diidolakan sekarang jika ingin otentik adalah seperti mimpi wanita yang terbuka matanya. Sungguh bijaksana jika pemikiran-pemikiran lintas disiplin ilmu dikembangkan kembali dengan kuat agar manusia lebih berperilaku adil dan bijaksana.
Syura Bukan Demokrasi yang pada intinya mengemukakan tentang Musyawarah sebagai Grand Theory dicoba serius dilacak pada institusi yang kecil dan bersifat lokal, Jaringan Irigasi Desa. Sebuah teori dapat dikatakan sebagai Grand Theory bilamana tak terbantahkan di dalam skala terkecil hingga terbesar kebenarannya. Musyawarah dalam varian sebutannya, seperti; dialog, negosiasi, rapat, sosialisasi, rembugan, meeting dan lain-lain – selalu ada di setiap level pergaulan sosial lokal hingga internasional. Bertalian dengan itu meski riset tentang institusi lokal untuk memenuhi tugas akhir (Tesis) telah membuktikan bahwa musyawarah adalah Grand Theory yang secara akademik sejajar dengan Demokrasi dan yang lainnya. Oleh sebab itu di dalam ajaran agama tidak ada yang mewajibkan harus bentuk tertentu yang pasti yang harus dipakai sebagai sistem pemerintahan suatu negara.
Allah Tuhan Yang Maha Kuasa dan Rasulullah Muhammad saw., teladan dalam memimpin dan kepemimpinan bangsa tidak memaksakan Sistem Khilafah dan Khalifah sebagai model kepemimpinan yang wajib ditegakkan oleh umat manusia. Para ulama tidak satu pendapat tentang sistem Khilafah dan kepemimpinan Khalifah. Mujtahid Politik Bangsa Indonesia yang diwakili Ki Bagoes Hadikoesoemo (Muhammadiyah) dan KH Hasjim Asj’ari (Nahdlatul Ulama) juga tak mewajibkannya. Semua ulama dan cendekiawan mukmin sepakat Negara Bangsa didasarkan pada Musyawarah Mufakat menjadi niscaya diterapkan di dunia. Jika mengakui keragaman adalah ciptaan Maha Pencipta Allah swt., pasti dengan ikhlas menerima sistem dan istilah yang membuat nyaman seluruh warga bangsa dengan tetap menjadikan agama sebagai dasarnya.
Adil dan bijak dalam memahami budaya politik suatu bangsa. Adil dan bijaksana dalam mengkaji ilmu dan tak semata-mata hanya ahli bahasa Arab yang paling berhak mutlak memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah yang termulia. Semua ilmuwan wajib berkolaborasi, bekerjasama, bergotong royong untuk menghasilkan pemikiran inovatif tentang mengatur negara bangsa yang lebih bijaksana dibanding sebelumnya. Merasa benar sendiri dan kelompoknya itulah egosentrisme, sedangkan merasa suku bangsanya saja yang paling benar itulah etnosentrisme. Egosentrisme dan etnosentrisme merupakan embrio radikalisme yang merusak kehidupan bangsa negara. Keduanya tidak dikenal di dalam Hikmatologi. Hikmatologi selalu berbagi ruang antara masing-masing keyakinan dan agama, masing-masing individu yang ilmunya berbeda. Lebih dari itu masing-masing perbedaan niscaya dicari persamaannya untuk mewujudkan kerjasama saling menguntungkan.
Hikmatologi sangat menghargai pemikiran ulama dan cendekiawan. Hikmatologi menempatkan Pancasila sebagai hasil ijtihat politik yang teristimewa dan tertinggi sebagai suatu keharusan bangsa dan bangsa-bangsa di dunia. Diabad kesejagatan ini sudah bukan waktunya bangsa berpikir tak sekedar tentang indahnya dahulu zaman keemasan. Ideologi yang sudah sempurna sebgaimana Pancasila tidak membutuhkan keabsahan tentang nilai dan makna idealitasnya karena legimasi tauhidnya sudah teruji sejak zaman Panitia Sembilan hingga ulama yang masih turut serta dalam zaman gelora proses pembangunan seperti; Buya HAMKA dan Mochammad Natsir. Bahkan ketika digulirkan isue kebijakan oleh Presiden Soeharto dengan Asas Tunggal Pancasila sebaga solusi seringnya bentrok antara organisasi massa dan atau partai politik, melalui proses yang alot akhirnya ulama kharismatik Nahdlatul Ulama KHR As’ad Syamsul Arifin (Sesepuh Nahlatul Ulama) secara resmi Nahdaltul Ulama menerima Pancasila sebagai Asas Tunggal organisasi massa dan partai politik Indonesia pada Muktamar Nahdlatul Ulama ke-27 tahun 1984 di Situbondo Jawa Timur. Sejak saat itulah kemudian berangsur-angsur seluruh organisasi massa dan partai politik menerima kebijakan pemerintah tentang Asas Tunggal Pancasila.
Sayangnya luap gembira (euforia) yang agak berlebihan ketika Presdien Soeharto ditumbangkan, memasuki era Reformasi seluruh hal strategis yang beraroma Soeharto dianggap semuanya buruk. Padahal Asas Tunggal Pancasila untuk seluruh organisasi massa ataupun partai politik dan seluruh organisasi atau badan usaha apapun, sangat tepat untuk ukuran berbangsa dan bernegara – tanpa bermaksud melangkahi agama. Asas Tunggal Pancasila tidak akan mengurangi makna beragama, apalagi menjadikan Pancasila berada di atasnya. Hal strategis utama yang niscaya diteruskan yakni Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dari GBHN strategi jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang dapat lebih ditatalaksana secara berkesinambungan (sustainable development). Sungguh sangat disayangkan pemerintah era reformasi hanya mau menerima kebijakan Pak Harto atau pemerintah Orde Baru sebatas hal-hal yang sangat teknik lapangan, seperti: Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), Keluarga Berencana (KB) dan sejenisnya.
Pak Harto tidak gagal mengejawantahkan Pancasila – apalagi tak berarti Pancasila harus diganti ketika Pak Harto dianggap tirani dan disangka terutama melalui keluarganya banyak melakukan korupsi. Sebagaimana Soekarno, Soeharto adalah bagian dari proses berbangsa dan bernegara menuju negara paripurna berdasarkan Pancasila. Mengingat Pancasila sebagai ideologi berbangsa dan bernegara maka hasil hari ini betapapun mungkin dianggap baik atau buruk adalah proses yang tak pernah berkesudahan. Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu dan Aliran Kepercayaan jika hari ini dianggap ada di puncak kebajikan maka kita yakin bahwa esok penganutnya akan berusaha lebih baik lagi. Jika di antara umat penganut agama dan kepercayaan hari ini dianggap masih belum baik melaksanakan ajaran agama dan kepercayaannya – penganut yang baik pasti akan berusaha optimal untuk mengamalkan ajaran agama dan kepercayannya dengan lebih baik lagi.
Memikirkan ideologi modern pertama di dunia hasil musyawarah mufakat sebaik dan seistimewa Piagam Madinah di masa Rasulullah Muhammad saw., tak pernah ada. Memikirkan ideologi modern kedua setelah Piagam Madinah sebaik dan seistimewa Pancasila di era kesejagatan kami tak sempat melihat dengan seksama. Nilai-nilai dan makna idealitas Pancasila sudah benar-benar diilhami dan didasarkan pada Kitab Suci Agama Langit dan diliputi makna terdalam hakiki; “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa - Tuhan Yang Maha Esa”. Bangsa negara Indonesia kini lebih membutuhkan pemimpin yang mampu memberikan contoh dan mengajak bersama-sama mengamalkan nilai-nilai Pancasila di dalam kehidupan yang nyata. Pancasila bukan sekedar bahasa retorika dan pemanis bibir saja namun harus mampu berproses diejawantah betahap dan berencana. Pengejawantahan terbaik dimulai dari mendidik mengajari generasi muda dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sesuai tuntutan peradaban manusia. Pancasila diaktualisasi pengejawantahannya sehingga mampu menjawab seluruh masalah dan tantangan perkembangan pemikiran manusia di Era Revolusi Industri ke-4 dan seterusnya. Pancasila niscaya hidup di hati sanubari anak bangsa Indonesia dengan ruh spiritualitas agama dan kepercayaan yang diyakininya.
Jangankan Pancasila, manusia harus sadar bahwa atas nama agama Langit ataupun agama dunia upaya dan hasil yang dicapai manusia tak pernah sempurna tuntas mengejawantahkan suatu rencana yang dipandu ajaran yang paling ideal. Seluruh ajaran agama dan juga ideologi yang kesemuanya memiliki pandangan ke depan (futuristik) yakni berupa cita-cita luhur tak pernah sampai digapai dengan tuntas sempurna tanpa berhasrat kuat untuk lebih menyempurnakan lagi. Setiap generasi yang beriman dan cerdas niscaya hadir untuk terus berusaha mewujudkan nilai dasar yang ada di dalam agama dan ideologi bangsanya. Syariat Islam dan ideologi yang selaras adalah idealitas hasrat kuat yang terbaik bagi manusia. Syariat mengatur hukum privat seseorang dengan harapan berdampak positif pada lingkungan, sedangkan ideologi sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara.
Manusia atau suatu generasi jika memang sampai pada kesempurnaan - lazim usahanya hanya sampai batas optimal terbaik yang dilakukannya saat itu. Usaha satu manusia dengan manusia lain, generasi satu dengan generasi lain berkesinambungan sebagai proses yang tak mengenal kesudahan, kecuali akhir zaman. Esensi usaha manusia untuk mewujudkan cita-cita yang dianggap terbaiknya akan terus bergulir sebagai perwujudan dari ketidak-puasan terhadap tahap yang telah dicapainya.
Bergayutan dengan cita-cita masing-masing penganut agama atau ideologi tidak saja Khilafah yang kini ditampilkan putra-putri Indonesia. Golongan nasionalisme yang belum tertarik melaksanakan; Syariat Islam, Ajaran Kristiani, Hindu, Budha, Khonghucu atau Kepercayaan dalam kehidupannya menjadi kelompok abu-abu yang tak pernah jelas pedoman agama dan kepercayaannya juga ingin mengembalikan peradaban tanpa agama dengan dinamisme seabgai andalannya. Mereka sibuk menata diri dan kelompoknya sembari promosi bahwa agama; Islam, Kristen, Hindu, Budha, Khonghucu – semuanya adalah penjajah. Agama-agama yang disebut ini adalah penjajah Nusantara, penjajah Agama Nusantara. Berdalih di nusantara telah memiliki agama asli sendiri, agama nenek-moyang. Tuhan ada pada diri manusia sendiri, dan saya sendiri adalah Tuhan. Di samping pernyataan yang sangat berani tersebut ketika memohon sesuatu langsung berdialog dengan nenek-moyang yang sudah meninggal dunia. Setelah dialog mereka yang dianggap pemuka Agama Nusantara melalui semedi di goa ataupun tempat-tempat sepi biasanya bicara pada pengikutnya telah mendapatkan wangsit (pesan khusus secara spiritual) yang harus dilaksanakan. Kelompok yang biasanya menamakan diri sebagai Penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa juga sangat ingin membangun kekuasaan. Dari kekuasaan mereka berharap agama-agama yang dianggap menjajah Nusantara harus dienyahkan dari Nusantara, dari Indonesia.
Menginovasi dan mengaktualisasi nilai-nilai sekundair Pancasila sebagai keharusan bagi generasi milenial penerus pemimpin bangsa namun mempermasalahkan kedudukan Panitia Sembilan sebagai wakil bangsa ketika itu apalagi Pancasila sungguh bukan cara berbangsa yang beretika.
Pada tataran ideologi bangsa, Panitia Sembilan tak berpikir hanya untuk umat Islam semata, meski delapan (8) tokoh di antaranya jelas tokoh Islam yang sangat representatif dalam keshalihan beragama dan ilmu pengetahuannya. Jika spirit Demokrasi Liberal atau Demokrasisme seperti abad ke-20 yang ada di dalam jiwa tokoh-tokoh pra kemerdekaan Indonesia – nyaris pasti Ideologi Islam dengan dasar Syariat dipilihnya. Tokoh-tokoh di dalam Panitia Sembilan berikut ini adalah putra-putra terbaik bangsa yang lebih menghargai sesama anak bangsa dan menjunjung tinggi Bhineka Tunggal Ika :
1. Ir. Soekarno (Ketua, yang lain Anggota)
2. Drs. Mohammad Hatta
3. Mr Achmad Soebardjo
4. Mr. Mohammad Jamin
5. H. Agus Salim
6. KH. Wahid Hasjim
7. Abdoel Kahar Moezakar
8. Abi Koesno Tjokrosoejoso
9. Alexander Andries Maramis
(Bersambung)
Konsep Buku : HIKMALOGI
DAFAR PUSTAKA
Kitab Suci :
- Al-Qur’an
- Al-Kitab
- Taurat, Zabur dan Injil
Buku :
- Anas, Mohammad, dkk., Buku Ajar Pendidikan Kewarganegaraan, Pusat Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian, Universitas Brawijaya, Malang, 2019.
--------, Buku Ajar: Pendidikan Pancasila, Pusat Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian, Universitas Brawijaya, Malang, 2019.
Beerling, RF., Filsafat Dewasa Ini, 1972
HAMKA, Tasauf Modern, 1976
--------, Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya, 1997
Ibnu Rusyid, Tahafut at Tahafut,
Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin,
--------, Tahafut al- Falasifah,
Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi, Paradigman Yogjakarta, 2016
--------, Pendidikan Pancasila, Paradigman Yogjakarta, 2016
Latif, Yudi, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011
Louis O, Kattsoff, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana Yogjakarta, 1992
Poespowarprojo, W., Logika Scientika: Pengantar Dialektika dan Ilmu, Pustaka Grafika, Bandung, 1999
Palmquis, Stephen, Pohon Filsafat; The Tree of Philosophy, Pustaka Pelajar, Yogjakarta, 2002
Yuyun Suryasumantri, Pengantar Filsafat, Sinar Harapan, Bandung, 1995
Diposting 5th December 2019 oleh Indarwanto Hikmatologi
Ditulis ulang oleh POINT Consultant