Yang Menggigil di Arus Sejarah (14)
PUISI YANG TAK BISA DIBUNGKAM
Oleh Denny JA
Yang Menggigil di Arus Sejarah (14)
PUISI YANG TAK BISA DIBUNGKAM
Oleh Denny JA
(Di tahun 1966-1976, Mao Zedong melancarkan Revolusi Kebudayaan, membungkam dan membunuh kaum terpelajar yang berbeda. Tetapi kata-kata selalu menemukan jalan untuk melawan.) (1)
-000-
Di atas istananya yang menjulang, Mao Zedong resah.
Revolusi pernah menjadi badai yang ia kendalikan.
Tapi kini tersisa hanya percik yang menunggu padam.
Sekali lagi,
Ia meniup bara, dengan cemas, membakar musuhnya, agar dirinya tetap terang.
Namun bisikan perlawanan tumbuh dari puisi yang tak bisa dibungkam. Ia mencium aroma pengkhianatan, yang mengubah tinta menjadi senjata.
Mao menyiapkan kuburan untuk yang melawan, memastikan hanya suaranya yang tersisa.
-000-
Di jalanan, poster-poster merah bertebaran. Wajah Mao tersenyum dari setiap dinding.
Di sudut kota, Konfusius dibuang. Buku-buku filsafat barat menjadi abu.
Puisi-puisi Dinasti Tang dan Song menjadi api yang tak menyisakan kenangan.
Namun di rumah teh yang sepi, seorang penyair, Liang Wen menulis.
Tentang sungai yang tetap mengalir, meski batu dilemparkan ke dalamnya.
Tentang burung yang tetap terbang, meski sarangnya dihancurkan.
Di sudut kamar kecilnya yang remang, Liang Wen termenung,
Jari-jarinya yang gemetar menyentuh kertas usang.
Ia teringat ibunya, yang memberi warisan kesadaran:
‘Anakku, kata-kata adalah nyawa. Jangann biarkan mereka mati.’
Namun kini, setiap huruf yang ia tulis adalah luka.
Setiap puisi adalah tangis yang tak terdengar.”
Malam itu, seorang lelaki tua berbisik: “Jangan percaya siapa pun.”
Tiga hari kemudian, pintunya digedor.
-000-
Di ruang bawah tanah yang pengap, seorang profesor berlutut, tangannya gemetar mencatat ulang sejarah.
Di sudut, seorang pelukis termangu, kuasnya tak lagi bebas melukis pegunungan.
Kini, hanya satu wajah yang boleh dilukis: Mao Zedong.
Seorang perwira muda membuka gulungan kertas. Ia membaca puisi Liang Wen dengan nada mengejek:
“Tirai merah menutupi langit. Di bawahnya tanah basah oleh air mata.”
Tamparan pertama membuat bibir Liang Wen berdarah.
Tamparan kedua membuat dunia berputar.
Di pagi yang dingin, ribuan orang berkumpul. Di panggung kayu, seorang guru tua berdiri.
Jubahnya lusuh, wajahnya penuh luka. Tentara Merah berteriak:
“Akui kesalahanmu!”
Ia diam. Lalu dipukul. Lalu dipukul lagi. Hingga tubuhnya jatuh, menjadi daun terakhir di musim gugur.
Guru tua itu guru Liang Wen,
guru yang sangat ia hormati.
Mereka menampar sang guru dengan dusta,
memaksanya mengulang sejarah yang dipalsukan.
Tapi mata guru menyala.
Ada api yang tak bisa dipadamkan.
Tangan mereka menghantam tubuh rapuh.
Tapi suaranya tak pernah retak.
Ia tersenyum, meski darah mengalir.
Ia tahu persis, kebohongan tak pernah abadi.
Mata guru tua itu tetap menantang langit.
Setiap pukulan hanya membuatnya lebih tegak.
Guru itu pohon tua yang menolak roboh.
Guru dijatuhkan.
Berkali - kali.
Tapi ia tidak kalah.
Melihat siksaan pada gurunya,
untuk pertama kalinya, Liang Wen menangis.
-000-
Di dinding sel yang lembap, dengan darah dari jarinya yang pecah, Liang Wen menulis:
“Jika dunia membungkam suaraku, biarkan bayang-bayang menyanyikannya.”
Suatu malam, seorang sipir tua datang. Ia meletakkan selembar kertas di lantai sel. “Jangan mati sia-sia.”
Kertas itu Liang Wen genggam erat. Mungkin tubuhnya akan musnah, tetapi kata-katanya akan selamat.
Di luar tembok penjara, seorang pedagang keliling membawa gulungan kecil. Diam-diam menyelundupkannya ke luar negeri.
Tahun berlalu. Namun ingatan tak bisa dikuburkan.
Di Hong Kong, seorang penyair membaca puisi Liang Wen diam-diam. Di Paris, seorang akademisi menerjemahkannya.
Di New York, seorang mahasiswa melantunkannya dengan suara bergetar.
Dan di Beijing, di antara reruntuhan patung Mao yang akhirnya tumbang, di antara buku-buku yang kembali diterbitkan, nama Liang Wen mungkin telah terhapus.
Tetapi puisinya tetap hidup.
Kata- katanya yang bernyawa, yang ditulis dengan darah, menjadi burung yang dilepas, terbang jauh, menembus zaman.
Jasad Liang Wen entah dimana.
Tap puisinya berkibar menjadi bendera.
Di lorong sunyi perpustakaan yang dulu dikosongkan,
seseorang membuka buku berdebu,
dan suara Liang Wen bergetar di antara halaman.
Tak ada makam untuknya di dunia,
tapi ia dikuburkan di ingatan yang tak bisa dilenyapkan.***
Jakarta, 23 Feb 2025
(1) Puisi esai ini dramatisasi nasib penyair dan kalangan terpelajar di era Revolusi Kebudayaan Mao Zedong di Cina (1966-1976).
Ditulis ulang POINT Consultant