PLAYING VICTIM & POLITIK
BACA DISINI :
PLAYING VICTIM
https://pointconsultant3.blogspot.com/2022/10/playing-victim.html
Dalam dunia politik, strategi memainkan peran penting dalam memengaruhi persepsi publik dan membangun dukungan. Salah satu taktik yang sering digunakan adalah playing victim, yaitu strategi di mana politisi secara sengaja memosisikan diri sebagai korban situasi tertentu. Strategi ini tidak hanya mencerminkan upaya untuk meraih simpati publik, tetapi juga memiliki konsekuensi terhadap pola komunikasi politik dan dinamika sosial.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di satu negara atau wilayah tertentu, tetapi juga dapat ditemukan di berbagai belahan dunia. Namun, mengapa politisi sering menggunakan strategi ini, dan bagaimana efeknya terhadap masyarakat dan sistem politik ?
Arti Dan Makna Playing Victim ?
Playing victim adalah kondisi yang terjadi saat seseorang merasa dirinya merupakan korban, dan menyalahkan orang lain atas masalah yang terjadi pada hidupnya.
Istilah playing victim adalah kondisi saat seseorang selalu merasa menjadi korban dalam situasi apa pun. Hal ini bisa terjadi karena mentalitasnya atau ada orang lain yang ingin ia salahkan.
Kata playing victim muncul ketika seseorang merasa terdesak dengan tekanan yang signifikan. Alhasil, pola pikir ‘seolah korban’ ini muncul untuk membantu membentengi diri dari kesalahan yang mungkin ia lakukan.
Playing victim ketika seseorang merasa menderita akan suatu hal, meskipun bukti menunjukkan sebaliknya. Mereka juga merasa tidak memiliki kendali atas apa yang terjadi pada dirinya.
Playing victim adalah masalah kesehatan mental yang berdampak pada hubungan, pekerjaan, dan kesehatan. Pola pikirnya berkembang sebagai mekanisme penanganan pengalaman traumatis sebelumnya.
Playing Victim Menurut Pakar.
1. Menurut Schlenker (1980), playing victim adalah perilaku yang bertujuan untuk menciptakan persepsi bahwa seseorang telah dirugikan oleh pihak lain. Dalam konteks politik, strategi ini sering digunakan untuk memperoleh keuntungan emosional, seperti simpati, dukungan, atau pembenaran atas tindakan tertentu.
Dari perspektif komunikasi politik, playing victim dapat didefinisikan sebagai "penggunaan narasi emosional untuk memosisikan diri sebagai pihak yang teraniaya dengan tujuan membentuk persepsi publik" (Jamieson & Cappella, 1997).
2. Menurut teori atribusi (Heider, 1958), individu cenderung mencari penyebab dari perilaku dan kejadian yang mereka alami. Dalam konteks politisi, playing victim digunakan untuk mengalihkan perhatian dari tanggung jawab pribadi dengan menempatkan penyebab masalah pada pihak lain. Hal ini bertujuan untuk mengurangi persepsi negatif publik terhadap diri mereka.
Dalam kajian politik, teori framing (Entman, 1993) menjelaskan bahwa cara sebuah isu disampaikan kepada publik dapat memengaruhi bagaimana isu tersebut dipahami. Playing victim adalah salah satu bentuk framing di mana politisi berusaha mengarahkan opini publik dengan membingkai diri mereka sebagai pihak yang dirugikan oleh keadaan atau lawan politik.
Strategi ini sering disertai dengan retorika emosional yang dirancang untuk membangun rasa solidaritas dengan kelompok pendukung, sekaligus menciptakan kesan bahwa pihak lawan adalah sumber dari ketidakadilan atau masalah.
3. Dr. Stephen Karpman.
Dr. Karpman, pencipta model Drama Triangle, menjelaskan bahwa bermain sebagai korban adalah salah satu dari tiga peran utama dalam pola interaksi yang tidak sehat, selain peran penyelamat dan peran pelaku. Dalam konteks ini, korban sering kali menarik perhatian penyelamat dan menyalahkan pelaku atas semua masalah mereka. Hal ini menciptakan siklus disfungsi yang sulit dipecahkan.
4. Dr. Tim Clinton dan Dr. Ron Hawkins.
Dalam buku mereka, "The Quick-Reference Guide to Biblical Counseling", Clinton dan Hawkins menyatakan bahwa orang yang bermain sebagai korban sering kali memiliki ketidakmampuan untuk melihat peran mereka sendiri dalam konflik. Mereka juga mungkin menggunakan peran korban untuk menghindari tanggung jawab atau untuk memanipulasi orang lain agar memenuhi kebutuhan emosional mereka.
5. Dr. Patricia Farrell.
Dr. Farrell, seorang psikolog klinis, menyebutkan bahwa orang yang sering bermain sebagai korban mungkin memiliki masalah harga diri dan kepercayaan diri yang rendah. Mereka mungkin merasa tidak berdaya dan menggunakan peran korban sebagai mekanisme pertahanan untuk mendapatkan perhatian dan dukungan dari orang lain.
6. Dr. Guy Winch.
Dr. Winch, seorang psikolog dan penulis, menekankan bahwa sifat playing victim dapat merusak hubungan jangka panjang. Orang yang terus-menerus memposisikan diri sebagai korban dapat menyebabkan frustrasi dan kelelahan emosional bagi pasangannya, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kehancuran hubungan.
Memahami sifat playing victim dan dampaknya dalam hubungan adalah penting untuk menciptakan interaksi yang lebih sehat dan seimbang. Terapi dan konseling dapat membantu individu untuk mengenali dan mengubah pola perilaku ini, serta membangun keterampilan yang diperlukan untuk mengambil tanggung jawab atas perasaan dan tindakan mereka sendiri.
Playing victim biasanya terjadi pada beberapa kondisi :
- Mengalami berbagai situasi di mana pengidap tidak memiliki kendali.
- Memiliki rasa sakit emosional berkelanjutan yang mengarah pada ketidakberdayaan diri.
- Mengalami pengkhianatan yang dilakukan oleh orang terdekat.
Ciri-ciri Orang Playing Victim.
Terdapat beberapa ciri-ciri orang yang memiliki karakteristik playing victim, antara lain :
1. Tanda-tanda perilaku.
- Sering menyalahkan orang lain ketika terjadi kesalahan.
- Mengalami kesulitan mengambil tanggung jawab pribadi karena takut salah atau disalahkan.
- Terlalu kritis terhadap diri sendiri atau orang lain.
- Hanya bergaul dengan orang-orang sepemikiran.
2. Tanda-tanda mental dan kognitif
- Melihat dunia tidak adil atau tidak aman bagi dirinya.
- Distorsi kognitif, yaitu cara pikir yang cenderung tidak akurat atau merubah informasi sesuai dengan pemahaman subjektif.
- Pola pikir yang merugikan atau pesimisme.
- Merenungkan kesalahan dan rasa sakit dari masa lalu.
- Pikiran untuk menyakiti diri sendiri atau bunuh diri.
3. Tanda-tanda hubungan
- Kesulitan dengan keintiman dan kepercayaan.
- Memiliki empati yang terbatas terhadap orang lain.
- Kesulitan menerima kritik yang membangun.
4. Tanda-tanda emosional
- Kecemasan.
- Depresi.
- Merasa tidak diperhatikan.
- Rendah diri.
- Merasakan kebencian orang lain.
- Isolasi sosial.
5. Sabotase diri sendiri
Orang yang hidup dengan mentalitas playing victim mungkin akan melakukan sabotase diri dengan pemikiran :
- Segala sesuatu yang buruk hanya terjadi padaku.
- Aku tidak bisa berbuat apapun, jadi, mengapa harus mencobanya ?
- Aku pantas menerima segala hal buruk yang menimpaku.
- Tidak ada satupun orang yang peduli padaku.
- Sabotase jadi salah satu penyebab orang melakukan agresi.
Dampak Playing Victim bagi Kesehatan.
Playing victim atau ‘mentalitas sebagai korban’ biasanya muncul pada pengidap gangguan penggunaan alkohol atau narkoba. Di sini, pengidap merasa terjerumus karena orang lain atau lingkungannya.
Playing victim pada sebagian orang memang bisa memberikan rasa kontrol atau validasi emosional sementara. Namun, dampak negatifnya adalah risiko masalah pada kesehatan mental dan fisik jangka panjang. Berikut adalah beberapa dampak yang perlu diwaspadai :
1. Peningkatan stres dan kecemasan.
Ketika seseorang merasa terus-menerus menjadi korban, individu tersebut bisa terjebak dalam situasi yang tidak dapat mereka kendalikan. Situasi ini bisa meningkatkan tingkat stres dan kecemasan yang dapat berujung pada masalah mental dan fisik.
2. Sistem imun tubuh yang melemah.
Stres kronis dapat memengaruhi sistem kekebalan tubuh dan menyebabkan berbagai masalah kesehatan fisik. Hal ini termasuk meningkatkan kerentanan tubuh terhadap infeksi dan penyakit.
3. Peningkatan risiko penyakit jantung.
Perasaan tidak berdaya karena playing victim bisa membuat korban mengalami peningkatan risiko gangguan jantung dan masalah kardiovaskular lainnya. Hal ini karena stres yang dialami korban memicu peningkatan tekanan darah dan detak jantung yang meningkatkan risiko hipertensi dan penyakit jantung.
4. Perasaan tidak berdaya dan depresi.
Individu yang bertindak “sebagai korban” cenderung merasa menjadi pribadi yang tidak berdaya, dan tidak memiliki kontrol atas hidup mereka. Hal ini dapat menjadi faktor utama dalam menyebabkan seseorang menjadi depresi.
5. Hubungan interpersonal terganggu.
Sering kali orang yang terus menerus merasa dirinya korban akan menyalahkan orang lain atas hal atau masalah yang mereka alami. Jika terjadi terus-menerus, situasi ini dapat merusak hubungan interpersonal dan menyebabkan isolasi sosial.
6. Karakter pribadi yang tidak bisa berkembang.
Pribadi yang menyukai playing victim akan terus melihat diri mereka sebagai korban, dan cenderung menghindari tanggung jawab atas kehidupan mereka. Hal ini kemudian menjadi penghalang bagi orang tersebut untuk berkembang merubah karakternya menjadi lebih baik.
7. Menurunkan kesejahteraan emosional.
Perasaan keputusasaan sering kali timbul dari orang-orang yang sering melakukan tindakan playing victim. Perasaan tersebut kemudian dapat memicu gangguan emosional. Contohnya seperti depresi dan kecemasan yang memperburuk kesejahteraan mental secara keseluruhan.
Berbagai Penyebab Playing Victim.
Ada beberapa penyebab yang menjadi pemicu karakteristik playing victim, antara lain :
1. Trauma masa lalu.
Mentalitas sebagai korban seringkali berkembang sebagai respons terhadap kondisi yang sebenarnya. Hal ini bisa saja muncul sebagai metode untuk mengatasi trauma yang pernah terjadi di masa lalu.
2. Pengkhianatan.
Pengkhianatan terhadap kepercayaan, terutama pengkhianatan yang berulang-ulang, juga dapat membuat orang merasa menjadi korban dan sulit mempercayai siapa pun.
3. Kodependensi.
Kodependensi adalah kondisi atau perilaku di mana seseorang sangat tergantung pada orang lain, pada tingkat yang tidak sehat. Pengidap cenderung fokus pada kebutuhan dan keinginan orang lain, serta mengabaikan diri sendiri dalam prosesnya.
4. Manipulasi.
Beberapa orang berkarakteristik playing victim tampak senang menyalahkan orang lain atas masalah yang mereka timbulkan. Mereka juga akan menyerang dan membuat orang lain merasa bersalah, atau memanipulasi orang lain untuk mendapatkan simpati dan perhatian.
Mengapa Politisi Menggunakan Strategi Playing Victim ?
1. Membangun Simpati Publik
Salah satu alasan utama politisi menggunakan strategi ini adalah untuk mendapatkan simpati dari masyarakat. Dengan memosisikan diri sebagai korban, mereka berharap publik akan merasa kasihan dan mendukung mereka. Simpati publik sering kali diterjemahkan menjadi dukungan politik, yang sangat berharga, terutama selama masa kampanye atau saat menghadapi kritik keras.
Menurut Manheim (2011), simpati publik adalah modal politik yang dapat meningkatkan elektabilitas dan membangun loyalitas pemilih. Ketika politisi menggambarkan diri mereka sebagai korban, mereka berusaha menciptakan hubungan emosional dengan masyarakat.
Sebagai contoh, dalam kampanye pemilu, narasi korban dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa politisi "berjuang melawan sistem" demi kepentingan rakyat. Hal ini sering kali berhasil membangun citra sebagai pemimpin yang berempati dan peduli.
2. Mengalihkan Perhatian dari Isu Utama.
Ketika politisi menghadapi skandal atau kritik tajam, playing victim sering kali digunakan sebagai alat distraksi. Dengan menciptakan narasi bahwa mereka sedang diserang secara tidak adil, perhatian publik dapat dialihkan dari isu utama yang sedang mereka hadapi.
Contoh nyata dari fenomena ini adalah ketika seorang pemimpin yang sedang terlibat dalam skandal korupsi memosisikan dirinya sebagai korban konspirasi politik. Narasi ini sering digunakan untuk mengurangi tekanan publik dan memperlemah pengaruh kritik.
3. Memperkuat Basis Pendukung.
Menurut Norris (2002), salah satu elemen penting dalam strategi politik adalah menjaga loyalitas basis pendukung. Dengan memainkan peran korban, politisi dapat memperkuat rasa solidaritas di antara pendukung mereka. Pendukung sering kali merasa bahwa serangan terhadap politisi favorit mereka adalah serangan terhadap identitas atau kelompok mereka.
4. Menyerang Lawan Politik Secara Tidak Langsung.
Playing victim juga dapat digunakan sebagai cara untuk menyerang lawan politik secara halus. Ketika politisi memosisikan diri sebagai korban, mereka secara implisit menggambarkan lawan mereka sebagai pihak yang kejam, tidak adil, atau manipulatif. Strategi ini memungkinkan politisi untuk menyerang tanpa terlihat agresif.
5. Memanfaatkan Media Sosial.
Di era digital, media sosial menjadi alat yang sangat efektif untuk menyebarkan narasi playing victim. Unggahan yang emosional, seperti video atau pernyataan yang menunjukkan bahwa politisi sedang "ditindas," dapat dengan cepat menjadi viral. Hal ini mempercepat penyebaran pesan mereka kepada khalayak luas dan meningkatkan dampak emosional narasi tersebut.
Dampak Strategi Playing Victim terhadap Politik dan Masyarakat.
1. Polarisasi Sosial.
Playing victim dapat memperburuk polarisasi sosial dengan menciptakan pembagian tajam antara "kami" dan "mereka." Pendukung politisi cenderung melihat pihak lain sebagai musuh, sementara pihak yang berlawanan mungkin merasa frustrasi dengan manipulasi tersebut.
Thompson (2000) berpendapat bahwa meskipun playing victim dapat menjadi alat politik yang efektif, strategi ini memiliki risiko etis. Penggunaan narasi korban secara berlebihan dapat merusak kepercayaan publik terhadap institusi politik dan menciptakan polarisasi yang berbahaya dalam masyarakat.
2. Penurunan Kepercayaan Publik.
Jamieson dan Cappella (1997) menyatakan bahwa playing victim adalah bentuk komunikasi politik yang dirancang untuk membangun narasi emosional. Strategi ini sering digunakan untuk menarik perhatian media dan menciptakan wacana publik yang menguntungkan politisi.
Namun meskipun demikian, Menurut survey dari Pew Research Center (2020), strategi manipulatif seperti playing victim dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap politisi dan institusi politik. Masyarakat mungkin merasa bahwa politisi lebih fokus pada drama dan narasi emosional daripada menyelesaikan masalah nyata.
3. Distraksi dari Isu Utama.
Menurut Baumeister et al. (1996), playing victim adalah salah satu bentuk self-presentation strategy di mana individu berusaha menciptakan citra positif dengan cara menyoroti penderitaan mereka. Dalam politik, strategi ini digunakan untuk menyeimbangkan citra negatif yang muncul akibat kritik atau skandal.
Ketika playing victim digunakan sebagai alat untuk mengalihkan perhatian, fokus masyarakat sering kali teralihkan dari isu-isu penting. Hal ini dapat memperlambat proses pengambilan keputusan dan menghambat penyelesaian masalah yang sebenarnya membutuhkan perhatian.
4. Peran Media dalam Memperkuat Narasi.
Media, terutama media sosial, sering kali menjadi katalis dalam memperkuat narasi playing victim. Menurut McCombs dan Shaw (1972), agenda-setting theory menjelaskan bahwa media memiliki kekuatan untuk membentuk apa yang dianggap penting oleh publik. Ketika media memberikan perhatian besar pada narasi korban, hal ini dapat memperkuat dampak strategi tersebut.
Bagaimana Masyarakat Dapat Merespons ?
Meningkatkan literasi politik merupakan langkah penting untuk memahami strategi manipulatif seperti playing victim. Dengan pengetahuan yang lebih baik, masyarakat dapat menganalisis narasi politik secara kritis dan membuat keputusan yang lebih rasional. Selain itu, masyarakat juga perlu menuntut akuntabilitas dari para politisi, terutama ketika strategi tersebut digunakan untuk menghindari tanggung jawab. Transparansi dan keterbukaan menjadi elemen penting dalam membangun kepercayaan publik dan memastikan politisi bertanggung jawab atas tindakan mereka.
Selain itu, masyarakat harus mengandalkan fakta dan data sebagai dasar dalam menilai situasi politik untuk melawan narasi yang bersifat emosional. Media independen dan sumber informasi yang kredibel memainkan peran penting dalam memberikan perspektif objektif. Di sisi lain, masyarakat juga dapat mendorong dialog yang terbuka dan konstruktif untuk menghindari polarisasi dan lebih fokus pada mencari solusi bersama dalam menghadapi berbagai permasalahan.
8 Ciri Seseorang yang Manipulatif dan Playing Victim.
Fenomena playing victim atau berpura-pura menjadi korban adalah salah satu perilaku yang sering kali muncul dalam interaksi sosial, terutama dalam hubungan yang dekat. Ketika seseorang melakukan playing victim, mereka cenderung menampilkan diri sebagai pihak yang selalu dirugikan atau disakiti, meskipun kenyataannya tidak selalu demikian.
Tindakan ini tidak hanya menciptakan ketidakadilan emosional bagi orang lain, tetapi juga bisa menjadi alat manipulasi yang kuat, di mana mereka berusaha mendapatkan simpati, perhatian, dan bahkan kontrol dari orang-orang di sekitar mereka. Memahami tanda-tanda seseorang yang suka melakukan playing victim sangat penting agar kamu dapat melindungi diri dari manipulasi emosional.
Berikut penjelasannya :
1. Selalu Mencari Simpati.
Orang yang sering memainkan peran korban biasanya mencari simpati dari orang lain. Mereka akan menceritakan betapa sulitnya hidup mereka, betapa sering mereka diperlakukan tidak adil, dan bagaimana orang lain selalu bersikap buruk kepada mereka.
Hal ini mereka lakukan untuk mendapatkan perhatian dan dukungan, serta untuk menghindari bertanggung jawab atas tindakan mereka sendiri. Ketika kita mendengar cerita mereka, mungkin kita akan merasa kasihan, tetapi perhatikan dengan lebih cermat, apakah cerita mereka seimbang atau hanya berpihak pada satu pihak saja ?
2. Memutarbaikkan Fakta.
Tanda kecerdasan emosional dapat dilihat melalui cara berkomunikasi seperti yang terlihat dalam foto ini.
Orang yang sering playing victim memiliki keahlian dalam memutarbalikkan fakta. Mereka mampu mengubah situasi di mana mereka sebenarnya yang bersalah menjadi terlihat seolah-olah mereka yang dirugikan. Sebagai contoh, ketika mereka terlambat datang ke suatu acara dan menimbulkan masalah, mereka akan mengklaim bahwa mereka terlambat karena orang lain tidak memberitahu jadwal yang tepat. Mereka tidak akan mengakui bahwa sebenarnya mereka sudah tahu jadwal tetapi tidak mempersiapkan diri dengan baik.
3. Suka Membuat Drama.
Drama sering kali menjadi teman baik bagi orang yang sering berperan sebagai korban. Mereka cenderung membesar-besarkan situasi. Setiap masalah kecil dianggap sebagai konspirasi dunia yang menentang mereka. Tujuannya adalah untuk mendapatkan perhatian dan simpati dari orang-orang di sekitar mereka. Mungkin kamu pernah mendengar seseorang yang selalu mengeluh, "Mengapa semua ini harus terjadi padaku?" padahal sebenarnya masalahnya tidak sebesar yang mereka ceritakan.
4. Menolak Mencari Solusi.
Wajar merasa iri dengan pencapaian orang lain, tetapi manfaatkan perasaan tersebut sebagai motivasi untuk diri sendiri.
Orang-orang yang suka berperan sebagai korban cenderung enggan mencari solusi atas masalah yang mereka hadapi. Mereka lebih memilih untuk terus berada dalam posisi korban dan mendapatkan simpati daripada mengambil tindakan untuk memperbaiki keadaan.
Sebagai contoh, jika mereka menghadapi masalah di tempat kerja, mereka mungkin akan terus mengeluh tanpa pernah mencoba mencari cara untuk menyelesaikan masalah tersebut. Bagi mereka, menjadi korban lebih nyaman daripada harus berusaha keluar dari situasi tersebut.
5. Selalu Merasa Dikhianati.
Orang yang suka berperan sebagai korban seringkali merasa bahwa mereka dikhianati oleh orang lain, meskipun tidak ada yang benar-benar mengkhianati mereka. Mereka mungkin merasa bahwa dukungan dari teman-teman mereka kurang, perhatian dari pasangan mereka tidak ada, atau usaha mereka tidak dihargai oleh rekan kerja mereka. Namun, perasaan ini muncul karena mereka selalu memposisikan diri sebagai korban dalam setiap situasi.
6. Menggunakan Emosi untuk Mengontrol Orang Lain.
Orang yang suka playing victim sering kali menggunakan emosi mereka untuk mengontrol orang lain. Mereka bisa menangis, marah, atau bersikap sangat sedih untuk membuat orang lain merasa bersalah dan akhirnya menuruti keinginan mereka. Ini adalah salah satu cara mereka untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan tanpa harus berusaha lebih keras.
7. Tidak Pernah Mengakui Kesalahan.
Ciri utama dari seseorang yang suka playing victim adalah ketidakmampuan mereka untuk mengakui kesalahan. Mereka selalu merasa diri mereka benar dan ketika ada masalah, orang lainlah yang selalu salah. Misalnya, saat terjadi konflik, mereka tidak akan pernah introspeksi diri dan mencari tahu apa yang mungkin mereka lakukan salah. Sebaliknya, mereka akan menyalahkan orang lain atau keadaan seolah-olah mereka tidak punya andil sama sekali.
8. Sering Meminta Perhatian dan Kasih Sayang.
Mereka yang gemar playing victim biasanya terus-menerus mencari perhatian dan dukungan dari orang lain. Dengan berperilaku sebagai korban, mereka berharap mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang mereka inginkan.
Mengenali tanda-tanda ini dapat membantu kita berinteraksi dengan lebih baik dan menjaga kesehatan mental kita. Jika kita menemukan perilaku playing victim dalam hubungan kita, penting untuk menetapkan batasan dan berusaha berkomunikasi secara jujur dan terbuka.
Kesimpulan :
- Fenomena playing victim adalah strategi yang sering digunakan oleh politisi untuk membangun simpati, mengalihkan perhatian, dan menyerang lawan politik. Meskipun strategi ini efektif dalam jangka pendek, dampaknya terhadap masyarakat dan sistem politik dapat bersifat merugikan.
- Dengan meningkatkan literasi politik, menuntut akuntabilitas, dan mengedepankan dialog konstruktif, masyarakat dapat mengurangi dampak negatif dari strategi ini. Pada akhirnya, politik yang sehat membutuhkan fokus pada solusi dan kepentingan bersama, bukan pada manipulasi emosional.
Referensi :
- European Journal of Social Psychology. Diakses pada 2024. Basic Human Values: An Overview.
- European Heart Journal. Diakses pada 2024. Psychological Stress and Coronary Risk: A Review.
- Healthline. Diakses pada 2024. How to Identify and Deal with a Victim Mentality.
- PsychCentral. Diakses pada 2024. What Are the Signs of a Victim Mentality?
- Psychology Today. Diakses pada 2024. The Role of Victimhood in Mental Health.
By, POINT Consultant

