ABOLISI & AMNESTI
Abolisi adalah salah satu bentuk pengampunan dalam hukum yang diberikan oleh negara kepada seseorang atau sekelompok orang yang terlibat dalam suatu tindak pidana.
Abolisi berbeda dengan bentuk pengampunan lainnya seperti amnesti dan grasi, meskipun ketiganya memiliki tujuan yang sama, yaitu memberikan keringanan hukuman.
Abolisi termasuk hak prerogratif atau hak istimewa Presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUD 1945.
Namun, dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa Presiden berhak memberikan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR RI. Selain itu, abolisi juga diatur dalam Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi
Pengertian Abolisi
Abolisi adalah salah satu bentuk pengampunan hukum yang diberikan oleh negara, khususnya Presiden, dalam sistem hukum Indonesia. Mekanisme ini berfungsi untuk menghapus proses hukum seseorang yang sedang berjalan atau baru akan berlangsung, menghentikan penuntutan pidana sebelum adanya putusan pengadilan.
Abolisi adalah keputusan hukum yang menghentikan proses penuntutan terhadap seseorang atau sekelompok orang yang diduga melakukan tindak pidana sebelum adanya putusan pengadilan. Dengan kata lain, abolisi menghapuskan tuntutan hukum sehingga proses peradilan tidak dilanjutkan.
Abolisi biasanya diberikan dalam kasus-kasus yang dianggap memiliki dampak politik atau sosial yang besar, atau ketika proses hukum dianggap tidak lagi relevan.
Abolisi Menurut Pakar
Abolisi, menurut ahli hukum dan definisi hukum, adalah tindakan penghentian atau penghapusan seluruh akibat dari putusan pengadilan pidana terhadap seseorang yang telah dijatuhi hukuman atau sedang dalam proses peradilan. Ini adalah hak prerogatif presiden, yang diberikan dengan pertimbangan DPR, dan bertujuan untuk menghentikan proses hukum sebelum atau setelah putusan pengadilan.
Siapa yang Memberikan Abolisi ?
Di Indonesia, abolisi diberikan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini diatur dalam Pasal 14 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa Presiden memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, serta memberikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Proses pemberian abolisi melibatkan pertimbangan politik dan hukum, karena keputusan ini dapat memengaruhi stabilitas nasional.
Siapa yang Berhak Menerima Abolisi ?
Abolisi diberikan kepada individu atau kelompok yang sedang menjalani proses hukum tetapi belum dijatuhi putusan pengadilan. Penerima abolisi biasanya adalah orang-orang yang terlibat dalam kasus yang memiliki implikasi politik, sosial, atau keamanan nasional.
Misalnya, abolisi dapat diberikan kepada anggota kelompok tertentu yang terlibat dalam konflik bersenjata jika dianggap bahwa penghentian proses hukum akan mendukung perdamaian dan rekonsiliasi.
Amnesti
Pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan oleh Kepala Negara kepada seseorang atau kelompok yang telah melakukan tindak pidana tertentu.
Amnesti (dari bahasa Yunani, amnestia) secara harfiah berarti melupakan, adalah tindakan menghapuskan hukuman pidana yang telah dijatuhkan maupun belum dijatuhkan kepada orang-orang. Hukum amnesti memiliki karakteristik khusus, yakni berlaku surut (retroactive), karena hanya berlaku untuk tindakan yang dilakukan sebelum ditetapkan. Amnesti merupakan hukum pengecualian atau hukum yang berdiri sendiri, sehingga harus digunakan secara terbatas. Amnesti diberikan oleh badan hukum tinggi negara semisal badan eksekutif, legislatif atau yudikatif. Praktik amnesti berawal ketika pemerintah Athena (Yunani) memberi pengampunan kepada "Tiga Puluh Tiran", yakni para pemimpin otoriter opresif yang berkuasa sebelumnya. Amnesti juga digunakan dalam konteks konflik antarnegara di Eropa. Di benua lain seperti Amerika dan Asia, amnesti digunakan untuk menyelesaikan konflik intranasional maupun antarnegara.
Di Indonesia, amnesti merupakan salah satu hak presiden di ranah yudikatif sebagai akibat penerapan sistem pembagian kekuasaan. Presiden dapat memberikan amnesti kepada orang-orang yang telah melakukan tindak pidana setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung (MA) atas permintaan Menteri Hukum dan HAM. Amnesti diatur dalam Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1954. Di Pasal 1 disebut, "Presiden, atas kepentingan Negara, dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana. Presiden memberi amnesti dan abolisi ini setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman". Sebelum amandemen Undang-Undang Dasar 1945, amnesti menjadi salah satu hak absolut Presiden di samping grasi, abolisi, dan rehabilitasi. Namun, setelah amandemen 1945, Presiden harus mendapatkan pertimbangan MA atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan tujuan untuk meningkatkan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan oleh Presiden. Praktik amnesti pernah diterapkan kepada para pemberontak atau tahanan politik Indonesia pada era Orde Lama dan Reformasi.
Akan tetapi tidak semua hukuman pidana dapat diberikan amnesti. Hukum internasional tentang hak asasi manusia dan humaniter melarang pemberian amnesti terhadap kasus kejahatan internasional, seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang. Selain itu kejahatan penyiksaan, eksekusi ekstra-yudisial atau di luar proses hukum, perkosaan, serta penghilangan paksa, juga tidak diperbolehkan mendapatkan amnesti.
Kesimpulan Abolisi Dan Amnesti
Abolisi adalah penghapusan proses hukum seseorang yang sedang berjalan/baru akan berlangsung. Abolisi diberikan kepada terpidana perorangan.
Sementara amnesti adalah pengampunan/penghapusan hukuman yang diberikan kepala negara kepada seseorang/sekelompok orang yang telah melakukan tindak pidana tertentu.
Amnesti dapat diberikan tanpa pengajuan permohonan terlebih dahulu. Pada Pasal 14 ayat 2 UUD 1945, disebutkan bahwa yang berhak memberikan amnesti dan abolisi adalah Presiden. Namun dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
Sementara dalam Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954, disebutkan bahwa Presiden, atas kepentingan Negara, dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana.
Pada pasal 4 dijelaskan dengan pemberian amnesti, semua akibat hukum pidana terhadap orang-orang yang diberi amnesti dihapuskan. Kemudian dengan pemberian abolisi maka penuntutan terhadap orang-orang yang diberi abolisi ditiadakan.
Perbedaan Abolisi, Amnesti, dan Grasi
- Abolisi : Menghentikan proses penuntutan sebelum adanya putusan pengadilan.
- Amnesti : Menghapuskan hukuman yang telah dijatuhkan oleh pengadilan, biasanya diberikan kepada sekelompok orang dalam konteks politik.
- Grasi : Mengurangi atau menghapuskan hukuman yang telah dijatuhkan oleh pengadilan, diberikan kepada individu berdasarkan permohonan.
Pemberian Abolisi di Indonesia.
1. Salah satu contoh kasus abolisi di Indonesia terjadi pada tahun 2005, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan abolisi kepada anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai bagian dari upaya perdamaian pasca-Perjanjian Helsinki.
Pemberian abolisi ini bertujuan untuk menghentikan proses hukum terhadap mantan anggota GAM dan mendukung proses reintegrasi mereka ke dalam masyarakat. Langkah ini dianggap penting untuk memastikan stabilitas dan perdamaian di Aceh.
2. Tentang Usul Abolisi Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah.
Keterangan : Opsi penyelesaian elegan berupa pemberian abolisi kepada Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah yang digulirkan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud M.D. menarik untuk dicermati. Menurut Mahfud, abolisi merupakan solusi kompromistis dalam penyelesaian kasus Bibit-Chandra dengan tetap menjaga kehormatan dan kewibawaan Polri serta Kejaksaan Agung. Dengan abolisi, kehormatan kepolisian tetap terjaga karena masih dapat melakukan penyidikan terhadap Bibit-Chandra. Hanya, pemeriksaan lebih lanjut atas kasus tersebut dengan segala akibat hukumnya dihentikan oleh presiden selaku kepala negara karena telah memberikan ''ampunan''.
Sebagai solusi kompromistis, tentu pemberian abolisi seharusnya tidak hanya mengakomodasi kepentingan Polri dan Kejaksaan Agung semata. Tetapi, juga kepentingan orang yang berkaitan secara langsung dengan kasus tersebut, yaitu Bibit-Chandra. Berkaitan dengan hal itu, pertanyaan yang relevan adalah untungkah Bibit-Chandra dengan pemberian abolisi sebagai upaya penyelesaian kasus mereka?
Rugikan Bibit-Chandra
Abolisi adalah suatu tindakan yang meniadakan atau menghapus. Bukan saja hal yang bertalian dengan pidana atau hukuman, tetapi juga yang menyangkut akibat-akibat hukum pidana yang ditiadakan seperti putusan hakim atau vonis. Abolisi berkaitan dengan semboyan Romawi ''Deletio, oblivio vel extinctio accusationis" yang berarti meniadakan, melupakan, dan menghapuskan soal tuduhan. Sehingga termasuk proses ante sententiam, yaitu sebelum putusan hakim dibacakan.
Berdasar Pasal 14 UUD 1945, pihak yang berhak memberikan abolisi adalah presiden RI dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Alasan yang menjadi pertimbangan utama adalah demi kepentingan umum mengingat perkara yang menyangkut para tersangka tersebut terkait dengan kepentingan negara yang tidak bisa dikorbankan oleh putusan pengadilan.
Sekalipun pemberian abolisi kepada Bibit-Chandra didasarkan kepada Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945, itu tidak berarti abolisi merupakan penyelesaian hukum. Abolisi merupakan penyelesaian politis dalam penyelesaian perkara yang dibenarkan oleh hukum (konstitusi) RI, selain grasi, amnesti, dan rehabilitasi. Penyelesaian suatu perkara dikatakan sebagai penyelesaian hukum bila perkara tersebut telah diperiksa dan diputus lembaga peradilan sebagai cermin organ yudisial.
Selintas, pemberian abolisi juga memberikan keuntungan bagi Bibit-Chandra. Tanpa adanya pemeriksaan dan putusan pengadilan, perkara yang dihadapi ditiadakan oleh presiden dengan segala akibat hukumnya. Bibit-Chandra tanpa bersusah-payah untuk membuktikan ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang yang disangkakan oleh penyidik (Polri) kepadanya, perkara sudah dianggap selesai.
Namun, kalau dicermati secara dalam, pemberian abolisi itu sebenarnya kurang menguntungkan bagi Bibit-Chandra, khususnya menyangkut citra diri. Stigma bahwa orang yang diberi abolisi oleh presiden RI (termasuk grasi dan amnesti) adalah orang yang memang telah melakukan perbuatan hukum yang disangkakan.
Keuntungan atas pemberian abolisi kepada Bibit-Chandra tersebut jelas sangat dirasakan oleh Polri dan Kejaksaan Agung yang memang selama ini getol memeriksa Bibit-Chandra. Kehormatan dan kewibawaan kedua lembaga itu akan tetap terjaga karena pemeriksaan atas perkara tersebut tetap dilanjutkan. Mereka terpaksa tidak meneruskan pemeriksaan karena perkara telah dianulir oleh presiden sebagai kepala negara melalui pemberian abolisi.
Penyelesaian Hukum
Sebagai negara yang ingin menegakkan supremasi hukum, penyelesaian kasus Bibit-Chandra hendaknya tetap dilakukan dalam koridor hukum (legal frame). Sekalipun tidak bertentangan dengan prosedur hukum yang berlaku, pemberian abolisi bukan merupakan penyelesaian hukum karena tidak diputus lembaga peradilan.
Opsi lain yang lebih rasional untuk dilakukan presiden adalah memberikan stimulasi kepada Polri dan Kejaksaan Agung untuk melaksanakan rekomendasi Tim 8. Kalau kenyataannya Tim 8 merekomendasikan bahwa kasus Bibit-Chandra tidak layak diteruskan karena tidak cukup bukti, maka kepolisian harus punya keberanian menghentikan pemeriksaan perkara melalui penerbitan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3).
Opsi penyelesaian hukum berikutnya adalah penerbitan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKP2). Merujuk Pasal 140 Ayat (2) huruf a KUHAP, jaksa agung berwenang menghentikan penuntutan terhadap seseorang yang disangka melakukan tindak pidana karena tidak cukup bukti. Prosedur itu pernah diterapkan Jaksa Agung Abdurrahman Saleh yang menghentikan penuntutan terhadap Soeharto, tapi dengan alasan faktor kesehatan.
Opsi tersebut, tampaknya, lebih memungkinkan untuk dilakukan daripada penerbitan SP3 oleh kepolisian. Dari proses komunikasi antara Polri dan Kejaksaan Agung selama ini, yang antara lain mengembalikan berkas BAP kepada penyidik untuk disempurnakan, menyiratkan bahwa Kejaksaan Agung tidak begitu saja menerima pemberkasan oleh penyidik. Ini berarti bahwa ganjalan psikologis institusional yang dihadapi Kejaksaan Agung untuk menghentikan pemeriksaan kasus Bibit-Chandra lebih ringan daripada Polri.
Selain penerbitan SKP2, Kejaksaan Agung sebenarnya masih punya kewenangan lain yang bisa ditempuh, yaitu mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Ketentuan yang tertuang dalam Pasal 35 huruf C UU No.2004 tentang Kejaksaan RI tersebut merupakan aktualisasi asas oportunitas.
Kalaupun kedua opsi penyelesaian hukum tersebut tidak ditempuh, baik oleh Polri maupun Kejaksaan Agung, maka opsi terakhir adalah pemeriksaan di pengadilan. Ada sisi baiknya kalau kasus Bibit-Chandra diperiksa di sidang pengadilan. Transparansi atas penyelesaian kasus itu lebih tampak. Masyarakat luas bisa mengikuti jalannya persidangan. Selain itu, kepastian hukum lebih dijamin daripada opsi lainnya, terlebih pemberian abolisi.
3. Surat Presiden R43/pres/ tentang permintaan pertimbangan DPR RI atas pemberian abolisi terhadap Tom Lembong & Surat Presiden Nomor R 42/Pers/VII/2025 tanggal 30 Juli 2025, pemberian amnesti ditujukan pada 1.116 terpidana, termasuk Hasto.
Keterangan : Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, membenarkan permohonan abolisi ini disampaikan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto melalui Surat Presiden nomor R43 tertanggal 30 Juli 2025.
"DPR RI telah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Surat Presiden Nomor R43/Pres tanggal 30 Juli 2025 tentang permintaan pertimbangan DPR RI tentang pemberian abolisi terhadap Saudara Tom Lembong.
Keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk memberikan abolisi kepada Tom Lembong ini tentu menjadi sorotan publik. Mengingat rekam jejak Tom Lembong yang pernah menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan dikenal sebagai sosok yang vokal di kancah politik, langkah ini bisa menimbulkan berbagai interpretasi.
Pemberian abolisi ini menunjukkan kekuasaan penuh Presiden Prabowo Subianto dalam menggunakan hak prerogatifnya. Ini juga membuka babak baru bagi Tom Lembong dalam melanjutkan kiprahnya di masyarakat, bebas dari bayang-bayang peristiwa pidana yang pernah menyertainya. Publik kini menanti, apa langkah selanjutnya dari Tom Lembong setelah mendapatkan abolisi dari Presiden Prabowo Subianto.
Sumber Referensi :
- Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 14 Ayat (2).
- Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. (n.d.). Pengertian dan Perbedaan Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi. Diakses dari (https://www.kemenkumham.go.id)
- Perjanjian Helsinki. (2005). Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. Diakses dari sumber resmi pemerintah.
- Modul Literatur Komnas HAM
- Dr Taufiqurrahman SH , MHum, Pjs Rektor Universitas Wijaya Putra Surabaya - Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 18 November 2009
Artikel by POINT Consultant

