KEKEBALAN HUKUM (HAK IMUNITAS)
Kekebalan hukum atau Hak Imunitas adalah status hukum yang membuat seseorang atau suatu entitas tidak dapat ditindak secara hukum. Kekebalan ini dapat berupa kekebalan dari dakwaan pidana atau dari tanggung jawab perdata, atau keduanya. Contohnya adalah kekebalan diplomatik dan kekebalan saksi.
Hak Imunitas adalah hak anggota lembaga perwakilan rakyat yang dalam menjalankan fungsi, wewenang dan tugasnya yang tanpa boleh dituntut dimuka pengadilan, didalam menyampaikan pernyataan, pertanyaan serta pendapatnya baik secara lisan maupun tertulis dalam rapar bersama pemerintah daerah. Indonesia sebagai Negara Hukum seperti yang di torehkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Yang bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial yang berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Adapun kaitanya dengan Hak Imunitas Anggota DPRD perlu di bekali perangkat dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, maka perlu diberikanya sosialisasi terhadap seluruh rakyat bahwa memang hak imunitas itu dijamin oleh Undang-Undang Dasar dan peruntukkanya sebagai suatu instrumen kepada politikus yang sedang melaksanakan tugas dan wewenanganya didalam forum rapat sidang, sehingga rakyat bisa memahami arti hak imunitas tersebut khususnya di Anggota Dewan perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Oleh karna itu sosialisasi tersebut bisa dapat diwujudkan melalui seminar-seminar dan acara-acara yang bersifat kajian ilmiah. Indonesia adalah negara hukum yang menganut paham demokrasi yang didalamnya terdapat penjamin, kepada warganya untuk kebebasan berbicara. Tetapi kepada yang bersangkutan juga dibebankan tanggung jawab kalau kebablasan terhadap kebebasan berbicara, jadi kebebasan berbicara tidaklah bersifat absolut melainkan ada batas-batasnya, Tetapi pembatasan tersebut harus cukup, tidak boleh berlebihan, sebab bagaimanapun juga di alam demokrasi yang sudah maju seperti yang terjadi di kebanyakan negara demokrasi saat ini, maka berbagai bentuk tindakan yang menjurus kepada pembatasan terhadap kebebasan berbicara dianggap tidak demokratis karenanya tidak populer bagi masyarakat.
Menurut UU yang mendapat hak kekebalan / imunitas adalah :
1. Pertama Anggota DPRD perlu mendapapat Hak Imunitas Hak Imunitas adalah hak anggota lembaga perwakilan rakyat dan juga para menteri untuk membicarakan atau menyatakan pendapatnya secara lisan dan tertulis di dalam lembaga tersebut guna menjalankan fungsi, kewenangan serta tugas DPRD, Hak Imunitas pada prinsipnya juga sama dengan hak kekebalan hukum, Sebagaimana disebutkan di atas hak imunitas adalah hak kekebalan atas yuridiksi hukum yang diberikan pada pihak-pihak tertentu, bahwa hak imunitas dalam sistim hukum Indonesia tidaklah dianut, hal ini tercemin dalam Undang-Undang Dasar 1945, kita menganut asas equality before the law atau adanya persamaan kedudukan setiap warga negara di hadapan hukum, hal ini didasarkan pada pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
2. Kedua Batasan Hak Imunitas Anggota DPRD Anggota DPRD mendapat hak imunitas secara konstitusional tidak lain hak tersebut diberikan hanya dalam menjalankan fungsi tugas serta kewenangannya pada pemerintahan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah yang di ubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015, kemudian di ubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Hak Imunitas sama dengan kekebalan hukum, Hak Imunitas adalah hak anggota perwakilan rakyat dan para mentri untuk membicarakan atau menyatakan secara tertulis, segala hal didalam lembaga tersebut tanpa boleh dituntut dimuka pengadilan, juga sebaliknya kekebalan hukum lebih sering dikenal dengan istilah Hak Imunitas Kesimpulan dari tulisan ini adalah Anggota DPRD dalam menjalankan tugas dan wewenangnya perlu dibekali suatu instrumen atau perangkat yang menjamin pelaksanaan tugas dan wewenangnya dapat berjalan dengan baik sesuai dengan kepentingan masyarakat, menjamin Anggota DPRD untuk bebas berbicara dan berpendapat dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenangnya.sehingga Anggota DPRD tidak dapat dituntut didepan pengadilan karena pernyataan,pertanyaan dan atau pendapat yang dikemukakanya baik secara lisan maupun tertulis, didalam rapat maupun diluar rapat DPRD bersama Eksekutif, yang semata-mata karena berkaitan dengan hak, fungsi serta wewenang dan tugas DPRD.
3. Hak imunitas diartikan sebagai hak anggota lembaga perwakilan rakyat dan para menteri untuk membicarakan atau menyatakan secara tertulis segala hal di dalam lembaga tersebut tanpa boleh dituntut di muka pengadilan. Dalam pengertian lainnya, hak imunitas adalah hak para kepala negara, anggota perwakilan diplomatik untuk tidak tunduk pada hukum pidana, hukum perdata, dan hukum administrasi negara yang dilalui atau negara tempat mereka bekerja.
Hak imunitas Anggota DPR secara konstitusional telah diatur dalam Pasal 20A ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Pasal itu berbunyi "Selain hak yang diatur dalam Pasal-Pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas".
UU MD3 menyatakan bahwa anggota DPR tidak dapat dituntut di hadapan pengadilan karena pernyataan atau pendapat yang dikemukakan, baik secara lisan maupun tertulis dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR, yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugasnya,
Untuk melaporkan anggota DPR RI, khususnya yang terkait akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai anggota DPR itu ke MKD yaitu Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI.
Itu yang bisa dilakukan masyarakat atau pun pelapor yang merasa dirugikan
SEJARAH
1. Sejak zaman dahulu, seorang utusan kerajaan atau Diplomat dilindungi oleh berbagai keistimewaan dan hak selama penugasanya, terutama hak perlindungan dan keamanan, melecehkan atau bahkan membunuh mereka bisa memicu pecahnya perang seperti penaklukan Kekaisaran Khwarezmia oleh bangsa Mongol yang dipimpin oleh Genghis Khan. Pada Abad ke-13, Genghis Khan pernah mengirim kafilah ke Kekaisaran Khwarezmia untuk membangun hubungan perdagangan dengan damai. Sesampainya di Khwarezmia, kafilah tersebut justru ditangkap dan semua orang di kafilah tersebut di eksekusi karena dianggap sebagai mata-mata, dan semua barang bawaanya dijual oleh Kekaisaran Khwarezmia. Mengetahui hal ini, Genghis Khan kemudian mengirim tiga diplomat untuk menghadap kepada kaisar dan bernegosiasi agar kafilahnya dibebaskan dan menuntut keadilan atas pembunuhan kafilahnya yang tidak bersalah, namun Kaisar Khwarezmia Ala ad-Din Muhammad II justru membotaki dan mengeksekusi ketiga diplomat tersebut dan mengirim kepalanya ke Genghis Khan sebagai tanda kehinaan, karena Genghis Khan sangat menghormati dan menganggap para diplomatnya adalah utusan suci, ia langsung memerintahkan pasukanya untuk menyerbu, menginvasi dan menghancurkan Kekaisaran Khwarezmia setelah tiga diplomatnya dianiaya. Invasi Kekaisaran Khwarezmia oleh bangsa Mongol tersebut dinyatakan sebagai salah satu pembantaian dan perang paling sadis dalam sejarah kemanusiaan.
Mencegah kejadian-kejadian historis seperti itu terjadi kembali, maka dibuatlah status Kekebalan diplomatik pada Konverensi Wina tahun 1961 sebagai Hukum internasional untuk melindungi para diplomat yang bertugas yang disetujui oleh mayoritas negara di dunia, termasuk Indonesia.
2. Kekebalan hukum (Immunitas) yang dinikmati para pejabat negara merupakan bagian dari kebebasan untuk bertindak yang diberikan oleh pemerintah negara. Perkembangan mengenai hak imunitas dan penyimpangannya semakin menarik minat pemerhati hukum internasional terutama dalam kasus terbaru yang menimpa Presiden Sudan Omar Al-Bashir. Sebagai presiden yang sedang berkuasa di Sudan, Omar Al-Bashir dituduh oleh Jaksa ICC (International Criminal Court) Luis Moreno-Ocampo telah melakukan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang di Sudan. Tuduhan ini kemudian berkembang dengan dikeluarkannya surat penangkapan terhadap Omar Al-Bashir oleh ICC. Adapun permasalahannya adalah : Bagaimana penerapan hak immunitas kepala negara dalam pengadilan pidana internasional ditinjau dari segi hukum internasional ?
Apakah Surat Penangkapan ICC terhadap Omar Al- Bashir selaku kepala negara sah menurut hukum internasional ?
Dalam upaya mengetahui dan menganalisa permasalahan di atas, penulis menggunakan metode pendekatan penelitian yuridis normatif yaitu melihat isi suatu peraturan dalam hukum internasional yang menyangkut hak kekebalan (immunitas) kepala negara dihapanan Mahkamah Pidana Internasional. Dengan menggunakan bahan-bahan hukum yang ada penulis menggunakan teknik analisa bahan hukum deskriftif analisis. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh jawaban atas permasalahan yang ada, bahwa Hak imunitas bagi kepala negara yang dituduh telah melakukan kejahatan internasional tidak akan mempengaruhi pelaksanaan yurisdiksi International Criminal Court (ICC). Hal ini dikarenakan kejahatan internasional yang diatur di dalam ICC menegaskan adanya keharusan mekanisme pertanggungjawaban individu. Statuta Roma, sebagai landasan utama dari ICC, mengatur adanya mekanisme pertanggungjawaban individu terhadap kejahatan internasional. Oleh karena itu hak imunitas, baik bagi pejabat negara maupun kepala negara, tidak dapat mempengaruhi pelaksanaan yurisdiksi ICC. Kewenangan tersebut diatur dalam pasal-pasal statuta. Terutama dalam hal kejahatan-kejahatan internasional yang diatur, yaitu genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Proses penahanan terhadap Omar Al-Bashir sudah memenuhi ketentuan yang diatur oleh Statuta Roma 1998. Pengajuan kasus oleh DK PBB yang berlandaskan pasal 13(b), memungkinkan ICC menerapkan yuriskdiksinya, dalam hal ini di Sudan. Penahanan itu sendiri dilakukan demi kelancaran proses peradilan dengan memperhatikan pasal 58 Statuta Roma.
3. Pertimbangan atas permintaan penanggalan hak kekebalan diplomatik diteliti berdasarkan faktor tertentu, berdasarkan kasus di Korea Selatan dan kasus di Amerika Serikat. Permasalahan yang diteliti mengenai bagaimana pengaturan nasional di Selandia Baru, Korea Selatan, Vatikan dan Amerika Serikat terhadap penanggalan hak kekebalan diplomatik dan bagaimana komparasi atas penanggalan hak kekebalan pejabat diplomatik dalam kasus pelanggaran hukum oleh pejabat diplomatik Selandia Baru di Korea Selatan dan kasus pelanggaran hukum oleh pejabat diplomatik Vatikan di Amerika Serikat.
Dalam kronologi menunjukkan Selandia Baru, Korea Selatan, Vatikan dan Amerika Serikat telah membuat pengaturan nasional di negaranya terhadap penanggalan hak kekebalan. Komparasi atas penanggalan hak kekebalan diplomatik yaitu jenis jabatan diplomat Selandia Baru adalah staf diplomatik Kedutaan Selandia Baru dan diplomat Vatikan adalah high-ranking bishop yang ditugaskan menjadi diplomat di Kedutaan Vatikan.
Jenis hak kekebalan yang dimiliki sama namun diplomat Vatikan tidak dapat menggunakan hak kekebalan bagi anggota keluarganya.
Tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan diplomat Selandia Baru adalah menganiaya dan menghalangi penyelidikan kepolisian dan diplomat Vatikan memiliki konten pornografi anak.
Inisiasi permintaan penanggalan hak kekebalan diplomatik untuk kasus di Korea Selatan dimintakan oleh Selandia Baru selaku Sending State dan kasus di Amerika Serikat dimintakan oleh Amerika Serikat selaku Receiving State.
Akibat hukum yang terjadi, Selandia Baru dan Amerika Serikat tidak dapat menerapkan jurisdiksi nasional negaranya, Vatikan dan Korea Selatan dapat menerapkan jurisdiksi nasional negaranya.
KEKEBALAN ANGGOTA DPR
Hak imunitas adalah hak yang dimiliki anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan DPR.
Jadi, anggota DPR dilindungi dalam mengemukakan pernyataan dalam rapat maupun di luar rapat DPR dari tuntutan hukum, sepanjang pernyataan yang dikemukakan berkaitan dengan tugas dan kewenangan DPR.
Namun demikian apabila dalam penyampaian pernyataan, atau pendapat yang dikemukakan itu tidak benar, mencemarkan nama baik seseorang, maka mekanismenya dilaporkan ke Badan Kehormatan DPR.
KEKEBALAN DIPLOMATIK
Kekebalan diplomatik (Diplomatic immunity) adalah jenis kekebalan hukum yang memastikan bahwa seorang diplomat dapat bertugas dengan aman dan tidak dapat dituntut atau ditangkap oleh aparat negara di tempat ia bertugas. Kekebalan diplomatik modern telah dikodifikasi sebagai hukum internasional di dalam Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik (1961) yang telah diratifikasi oleh hampir semua negara, walaupun konsep dan kebiasaan yang memberikan kekebalan diplomatik sudah ada selama ribuan tahun. Banyak asas kekebalan diplomatik yang kini dianggap sebagai kebiasaan internasional. Kekebalan diplomatik memungkinkan pembentukan hubungan antar pemerintahan, termasuk pada masa-masa sulit seperti perang.
Paspor Diplomatik adalah dokumen yang memberi kewenangan lebih kepada seorang Diplomat untuk menjalankan tugas negaranya secara internasional.
Apabila suatu negara ingin menangkap seorang diplomat yang dianggap telah melakukan kejahatan serius, mereka dapat meminta negara asal diplomat tersebut untuk mencabut kekebalan mereka. Contohnya, pada tahun 2002, seorang diplomat Kolombia di London didakwa melakukan pembunuhan tidak berencana setelah kekebalan diplomatiknya dicabut oleh pemerintah Kolombia. Alternatif lain adalah dengan mengadili orang tersebut di negara asalnya.
Apabila suatu negara tidak menginginkan kehadiran seorang diplomat, maka diplomat tersebut dapat dinyatakan sebagai persona non grata atau orang yang tidak diinginkan. Pasal 9 Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik menyatakan bahwa negara penerima dapat menyatakan status persona non grata kapan saja tanpa harus menjelaskan alasan keputusannya.
KONVERSI WINA TAHUN 1961
TENTANG HUBUNGAN DIPLOMATIK
Konvensi Wina 1961 mengenai hubungan diplomatik. Setelah berdirinya PBB pada tahun 1945, untuk pertama kalinya pengembangan kodifikasi hukum internasional termasuk hukum diplomatik telah dimulai pada tahun 1949 secara intensif oleh Komisi Hukum Internasional khususnya mengenai ketentuan-ketentuan yang menyangkut kekebalan dan pergaulan diplomatik yang telah digariskan secara rinci.Konvensi Wina 1961 ini terdiri dari 53 pasal yang meliputi hampir semua aspek penting dari hubungan diplomatik secara permanen antar negara. Di samping itu, juga terdapat 2 protokol pilihan mengenai masalah kewarganegaraan dan keharusan untuk menyelesaikan sengketa yang masing-masing terdiri dari 8-10 pasal. Konvensi Wina 1961 itu beserta dengan dua protokolnya telah diberlakukan sejak tanggal 24 April 1964 hingga 31 Desember 1987. Ada total 151 negara yang menjadi para pihak dalam Konvensi tersebut dimana 42 di antaranya adalah pihak dalam protokol pilihan mengenai perolehan kewarganegaraan dan 52 negara telah menjadi pihak dalam protokol pilihan tentang keharusan untuk menyelesaikan sengketa.Pasal 1-19 Konvensi Wina 1961 menyangkut pembentukan misi-misi diplomatik, hak dan cara-cara untuk pengangkatan serta penyerahan surat-surat kepercayaan dari Kepala Perwakilan Diplomatik (Dubes); pasal 20-28 mengenai kekebalan dan keistimewaan bagi misi-misi diplomatik termasuk di dalamnya pembebasan atas berbagai pajak. Pasal 29-36 adalah mengenai kekebalan dan keistimewaan yang diberikan kepada para diplomat dan keistimewaan bagi anggota keluarganya serta staf pelayanan yang bekerja pada mereka dan pasal 48-53 berisi tentang berbagai ketentuan mengenai penandatanganan, aksesi, ratifikasi dan mulai berlakunya Konvensi itu.