WHISTLEBLOWER
Whistleblower dalam bahasa Inggris diartikan sebagai peniup peluit, disebut demikian karena sebagaimana halnya wasit dalam pertandingan sepak bola ataui olahraga lainnya yang meniupkan peluit sebagai pengungkapan fakta terjadinya pelanggaran. Dalam tulisan ini, istilah peluit peluit diartikan sebagai orang yang mengungkap fakta kepada public mengenai sebuah skandal, bahaya, malpraktik atau korupsi.
Adapun pengertian whistleblower menurut PP No.71 Tahun 2000 adalah orang yang memberi suatu informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor. Adapun istilah pengungkap fakta (whistleblower) dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pelindungan Saksi dan Korban tidak memberikan pengertian tentang pengungkap fakta, dan berkaitan dengan itu hanya memberikan pengertian tentang saksi. Adapun yang disebut dengan saksi menurut UU No. 13 Tahun 2006 adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan / atau ia alami sendiri.
Pelapor pelanggaran, atau disingkat sebagai pelapor, adalah istilah bagi orang atau pihak yang merupakan karyawan, mantan karyawan, pekerja, atau anggota dari suatu institusi atau organisasi yang melaporkan suatu tindakan yang dianggap melanggar ketentuan kepada pihak yang berwenang.
Pelapor (Whistleblower) merupakan salah satu pendukung penting dalam penegakan hukum pidana, khususnya dalam kasus-kasus kejahatan terorganisasi. Oleh karena itulah perlindungan terhadap mereka harus diberikan oleh Negara. Namun ternyata ancaman terhadap pelapor juga masih teytap terjadi, tidak hanya berupa ancaman fisik, ancaman hukum lewat pelaporan balik, namun juga psikologis dan administratif.
Menurut Institute for Criminal Justices Reform (ICJR) menilai saat ini masih lemahnya perlindungan terhadap whistleblower di Indonesia. ICJR masih saja menemukan beberapa pelapor kasus korupsi yang terancam serangan balik hukum pidana karena laporan mereka atas tindak pidana korupsi.
Saat ini ICJR masih memonitor sitruasi dua pelapor korupsi yang seharusnya berada dalam perlindungan lembaga Perlindungan saksi dan Korban (LPSK) namun bernasib naas, karena mereka terancam masuk ke dalam jeruji penjara.
Contoh kasus :
Kasus yang Pertama adalah Stanley Ering, ia di penjara karena mengadukan dugaan korupsi di kasus Universitas Negeri Manado (unima) ke kejaksan Tinggi Sulawesi Utara dan KPK pada tahun 2011. Ia membuka kasus dugaan korupsi yang dilakukan Philotus (Rektor Unima). Philotus kemudian melaporkan balik Stanley ke Polda Sulut pada 17 februari 2011 dan kemudian di dakwa dengan pasal 311 KUHP. Pada Tanggal 8 Maret 2012 ia di putus bersalah dan Pada Tanggal 23 Juli 2013 Hakim Kasasi tetap menghukum Stanley 5 Bulan penjara. Saat ini ia sedang menunggu perintah eksekusi penjara dan kembali di tuduh melakukan pencemaran nama baik berdasarkan Pasal 27 (3) UU ITE.
Kasus yang kedua adalah Daud Ndakularak seorang pelapor Korupsi asal Waingapu, NTT. Daud Ndakularak, sejak tahun 2010 berdasarkan keputusan LPSK No:R-182/I.4/LPSK/03/2010 merupakan terlindung dalam posisinya sebagai pelapor tindak pidana kasus Korupsi di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia. Ia adalah pelapor yang beritikad baik dalam perkara tindak pidana pengelolaan dana kas APBD Kabupaten Sumba Timur TA 2005-2006 yang proses penyidikannya telah ditangani oleh kepolisian Resor Sumba Timur dan telah di putus oleh Pengadilan Tipikor Kupang. Namun naas, karena statusnya sebagai pelapor Korupsi, saudara Daud Ndakularak mendapatkan serangan pembalasan. Tindak Pidana Korupsi yang dilaporkannya justru membuat ia dijadikan tersangka Saat ini Daud sudah ditahan di Kupang sejak 14 Agustus 2017.
ICJR mengingatkan secara serius kepada LPSK agar segera mengaktifkan kembali perlindungan dan pendampingan dalam statusnya sebagai whistleblower baik kepada Stanley Ering dan Daud Ndakularak. Tidak ada alasan bagi LPSK untuk menunda-nunda perlindungan bagi kedua pelapor korupsi ini, karena mereka sebelumnya pernah berada dalam perlindungan LPSK. ICJR meminta agar LPSK segara melakukan langkah-langkah perlindungan dan memonitor pengadilan terhadap mereka. Termasuk untuk melakukan pengkajian atas seluruh pelapor yang pernah di lindungi untuk melihat apakah mereka mendapat serangan balik atas laporan yang mereka ungkap kan.
ICJR mendorong agar aparat hukum menghentikan serangan balik kepada pelapor-pelapor korupsi yang beritikad baik seperti Stanley Ering dan Daud Ndakularak. ICJR juga meminta agar Jaksa Agung segera mencermati dan menghentikan proses penuntutan terhadap mereka. Situasi ini menunjukkan kepada publik bahwa menjadi whistleblower atau pelapor di Indonesia dapat merugikan pribadi dan keluarga, karena sangat rentan atas pembalasan dan minim perlindungan Negara. ICJR sangat khawatir kasus-kasus seperti ini akan menyurutkan langkah para calon whistleblower dan para pelapor, khususnya dalam kasus korupsi di Indonesia.
WHISTLEBLOWING SYSTEM
Whistleblowing System atau disingkat WBS, merupakan kebijakan untuk mengetahui persoalan serta masalah-masalah yang terjadi di dalam perusahaan.
Persoalan yang dimaksud adalah persoalan yang menyangkut modal perusahaan, konsumen, operasional, sampai dengan sumber daya manusia.
Selain itu, WBS juga digunakan sebagai wadah tempat pengaduan untuk menangkap perilaku curang yang dilakukan oleh oknum pekerja.
Whistleblowing System adalah aplikasi yang dapat melaporkan asumsi tindak pidana tertentu yang telah terjadi atau akan terjadi.
Sistem ini melibatkan pegawai dan orang lain dalam organisasi tempatnya bekerja, dimana pelapor bukan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya.
Dikutip dari PP No.71 Tahun 2000, whistleblower merupakan seseorang yang melakukan pengaduan dengan membocorkan informasi atas tindakan korupsi kepada penegak hukum atau komisi.
Pada dasarnya, sistem whistleblowing akan mempermudah perusahaan untuk menemukan pelanggaran atau kecurangan yang terjadi di dalam lingkungan internal sekaligus menghindari terjadinya pencemaran nama baik perusahaan akibat adanya karyawan yang melaporkan kejadian pelanggaran di internal perusahaan kepada pihak luar.
Manfaat dari WBS adalah adanya ketersediaan menyampaikan informasi penting kepada pihak bertanggung jawab, tersedianya mekanisme deteksi dini, memberi kesempatan untuk menangani masalah pelanggaran secara internal, dan meningkatnya reputasi perusahaan di mata stakeholders.
Sistem ini awalnya diterapkan seiring banyak terjadinya kasus korupsi dalam berbagai bidang, terutama pada sektor publik dan swasta.
Pada penerapannya, perusahaan akan memberikan wadah, baik berupa E-mail, nomor telepon, ataupun website yang dapat digunakan sebagai media untuk menyalurkan aduan.
Namun, perlu diingat bahwa ketika melakukan pelaporan, seorang whistleblower wajib memberikan indikasi awal yang dapat dipertanggungjawabkan terkait tindakan pelanggaran serinci mungkin dan disertai dengan bukti-bukti pendukung apabila tersedia.
Indikasi awal tersebut meliputi, siapa saja yang terlibat, lokasi serta waktu pelanggaran, sampai kronologi proses terjadinya pelanggaran tersebut.
Selanjutnya, laporan akan diterima oleh divisi pelaporan pelanggaran yang dibentuk perusahaan dan kemudian dipilah terlebih dahulu sebelum diputuskan jika akan lanjut ke tahap penyelidikan atau tidak.
Apabila terbukti, divisi ini akan melaporkan hasil temuannya kepada Direktur Utama, Direksi, maupun Komisaris tergantung seberapa tinggi jabatan pelaku dari kasus tersebut.
Seorang whistleblower sejatinya tidak akan perlu untuk merasa khawatir karena perusahaan akan menjamin perlindungan sepenuhnya.
Identitas dari pelapor akan dirahasiakan dan pelapor juga akan dilindungi dari segala bentuk intimidasi maupun gangguan dari pihak manapun.
Whistleblower juga biasanya akan mendapatkan apresiasi atas keberaniannya dalam melaporkan kecurangan yang terjadi.
Namun, apresiasi yang diberikan akan berbeda pada setiap perusahaan.
Umumnya, apresiasi yang diberikan dapat berupa bonus hingga promosi jabatan.
Di Indonesia, penerapan sistem Whistleblowing termasuk masih baru diterapkan.
WBS diterbitkan di Indonesia pada tanggal 10 November 2008 oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG).
Faktor yang mendorong diterbitkannya sistem ini adalah banyaknya kasus kecurangan yang mulai muncul pada perusahaan-perusahaan besar di Indonesia, salah satunya PT Telkom dan PT Kimia Farma yang mendapati terjadinya kecurangan oleh manajemen perusahaan tersebut.
Meskipun penerapan kebijakan ini masih baru di Indonesia, persepsi terhadap pentingnya sistem ini terus meningkat.
Hal ini dapat dilihat dari mulai diterapkannya sistem whistleblowing di perusahaan-perusahaan besar milik swasta atau BUMN seperti Pertamina, United Tractors, Sinar Mas, PT Matahari Department Store, Jasamarga dan beberapa perusahaan lainnya.
PT Pertamina (Persero) Sebagai Kiblat Penerapan Whistleblowing di Perusahaan
Mengambil kasus dari salah satu perusahaan di atas, PT Pertamina (Persero) merupakan contoh konkrit perusahaan BUMN yang sukses dalam melakukan pelaksanaan WBS.
Pada tahun 2010, tercatat ada 44 kasus hasil aduan WBS, 7 di antaranya berhasil dibuktikan, dan 30 kasus masih dalam investigasi.
Sistem WBS yang diawasi langsung oleh Komisaris Utama Pertamina, Basuki Tjahaja Purnama, berlangsung dengan baik.
PT Pertamina memberikan perlindungan kepada whistleblower dari segala bentuk bahaya, risiko, teror, maupun tindakan rawan dari segala pihak selama whistleblower merahasiakan kasus yang diadukan.
Ini merupakan salah satu alasan yang membuat banyak pihak tidak segan melakukan pelaporan dengan WBS.
Pertamina memfasilitasi pelaporan dilakukan dengan anonim. Pertamina juga akan menjaga kerahasiaan data pelapor. Laporan yang masuk nantinya akan dikelola oleh konsultan independen yang kemudian meneruskan laporan tersebut kepada tim WBS Pertamina untuk ditindaklanjuti, kata Fajriyah Usman, selaku Vice President Corporate Communication di PT Pertamina.
Kebijakan WBS di PT Pertamina (Persero) sendiri telah dilaksanakan sejak tahun 2008.
PT Pertamina ingin mewujudkan komitmennya untuk melakukan transparansi kepada masyarakat serta melakukan penegasan bahwa Pertamina merupakan BUMN yang bersih.
Selain itu, kebijakan ini juga menjadi salah satu parameter penerapan tata kelola perusahaan yang baik yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Mekanisme penanganan laporan WBS dilakukan berdasarkan Tata Kerja Organisasi Whistleblowing System No. B-001/M00000/2018-S0.
Masyarakat dapat mengadukan pelanggaran yang dilaksanakan di PT Pertamina melalui telepon ke nomor (021) 3815909/3815910/3815911, SMS atau WhatsApp (WA) ke nomor +628118615000, dan Fax ke (021) 3815912. Syarat dari kelanjutan laporan Whistleblowing, antara lain, harus berisi What (apa), Who (siapa), When (kapan), Where (dimana), Why (kenapa) dan How (bagaimana).
Dari contoh diatas, dapat disimpulkan bahwa WBS merupakan sarana efektif untuk mencegah, bukan hanya tindakan korupsi di perusahaan, namun juga semua hal-hal diluar norma atau peraturan yang dilanggar oleh karyawan maupun pejabat tinggi perusahaan.
Manfaat dari diimplementasikannya sistem ini juga dapat menjadi angin sejuk untuk perusahaan dalam menghindari tercemarnya nama baik perusahaan akibat oknum-oknum tidak bertanggung jawab.
Sistem ini dapat menjadi win-win solution untuk sang whistleblower dan perusahaan yang terlibat karena pihak-pihak tersebut saling terbantu dan membantu satu sama lain.
Pertamina sebagai salah satu perusahaan BUMN di Indonesia yang berhasil menerapkan sistem ini dapat menjadi contoh untuk perusahaan lain agar dapat menerapkan sistem ini lebih baik lagi dengan benchmark dari PT Pertamina.
PERLINDUNGAN HUKUM WHISTLEBLOWER
Bahwa Perlindungan hukum terhadap Pelapor Tindak Pidana Korupsi (whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (justice collaborator) di Indonesia terdiri atas 2 (dua) aspek, yaitu preventif dan perlindungan represif yang telah termuat dalam instrumen, yaitu: Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Juncto Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi whistleblower dan justice collaborator, dan Perlindungan hukum terhadap Pelapor Tindak Pidana Korupsi (whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (justice collaborator) Melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Adapun sebagai rekomendasi adalah Perlindungan hukum dalam aspek preventif maupun represif di Indonesia saat ini tidak mampu dimanfaatkan dengan optimal, perlindungan hukum masih didominasi oleh perlindungan yang bersifat represif, yaitu dilakukan setelah terjadi suatu pelanggaran. Perlindungan hukum secara komprehensif perlu pemahaman masyarakat luas yang menjadi bagian penting dalam sebuah sistem. Substansi hukum perlu membaca arah perkembangan masyarakat yang dinamis, sehingga pemaknaan hukum tidak dilakukan secara kaku. Pengaturan yang bersifat parsial juga perlu dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi, hal ini penting sebagai jaminan pencapaian keadilan, karena ketidakaturan norma, ketidakjelasan maupun pertentangan norma menimbulkan sikap dilematis aparat penegak hukum. Penguatan substansi hukum merupakan langkah pertama yang harus dilakukan oleh pembentuk undang-undang, hal ini sekaligus memberikan pemaknaan hukum guna perubahan sikap masyarakat yang masih phobia terhadap saksi.