POLARISASI POLITIK
Polarisasi adalah proses pembagian atas dua bagian kelompok orang yang berkepentingan yang berlawanan.
Polarisasi politik adalah sejauh mana pendapat tentang suatu masalah ditentang, dan proses di mana oposisi ini meningkat dari waktu ke waktu.
Polarisasi dalam ilmu politik mempertimbangkan polarisasi dalam konteks partai politik dan sistem pemerintahan yang demokratis. Dalam sistem banyak partai menganut pemahaman elektoral threshold, polarisasi politik biasanya mewujudkan ketegangan ideologi politik sara dan identitas. Namun, beberapa ilmuwan politik menyatakan bahwa polarisasi kontemporer kurang bergantung pada perbedaan kebijakan pada skala kiri dan kanan, tetapi semakin pada perpecahan lain seperti :
1. Agama melawan sekuler.
2. Nasionalis melawan globalis.
3. Tradisional melawan modern /pedesaan melawan perkotaan (perbedaan yang lain).
Para ahli membedakan antara polarisasi ideologis (perbedaan antara posisi kebijakan) dan polarisasi afektif (ketidaksukaan dan ketidakpercayaan terhadap kelompok luar politik).
Para pakar ilmuwan politik biasanya membedakan antara dua tingkat polarisasi yaitu :
1. Politik elit.
Polarisasi elit mengacu pada polarisasi antara partai dalam pemerintahan (eksekutif) dan partai dalam oposisi. Partai politik yang terpolarisasi secara internal kohesif, bersatu, terprogram, dan berbeda secara ideologis; mereka biasanya ditemukan dalam sistem pemerintahan demokrasi parlementer.
2. Politik massa.
Polarisasi massa, atau polarisasi populer, terjadi ketika sikap pemilih terhadap isu-isu politik, kebijakan, tokoh terkenal, atau bahkan tokoh besar warga negeri lain.
Pemilu 2024 yang akan datang kita harus berusaha untuk menghentikan polarisasi politik yang muncul seiring kontestasi yang terjadi. Idealnya ini dijadikan sebuah kesadaran yang digagas partai politik, KPU, Bawaslu dan pemerintah. Di sini peran masyarakat diharapkan sebagai pendorong proses kesadaran, bukan terus menerus menjadi korban dari polarisasi politik.
Banyak penelitian telah membuktikan bahwa sikap saling percaya antar warga adalah fondasi mikro yang akan mendorong anggota masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses politik. Lewat berbagai saluran sukarela, partisipasi politik itu pada akhirnya akan menyuburkan demokrasi.
Kualitas demokrasi memang perlu ditingkatkan guna menghindari terjadinya polarisasi politik yang telah menjadi beban berkepanjangan dalam kehidupan demokrasi.
Berkaca dari pengalaman pemilu yang berimbas terpolarisasinya masyarakat, maka dari awal semua pihak harus setuju menghilangkan dampak polarisasi melalui peningkatan kualitas demokrasi.
Polarisasi politik adalah fenomena baru dalam perpolitikan Indonesia. Setidaknya, sejak era orde baru menjalankan politik deideologisasi dan massa mengambang, di indoktrinasi wajib Pancasila, dan undang-undang yang mewajibkan organisasi masyarakat berasas tunggal Pancasila, perdebatan dan kontestasi ideologis atas sebuah kebijakan absen dalam politik kita. Jika relevansikan di saat ini asas Pancasila masih relevan dalam menangkis upaya kelompok tertentu perpecahan bangsa.
Polarisasi tidak hanya dibentuk oleh ideologi, tapi juga kepentingan, maka menurut ilmuwan politik James Q. Wilson (2012), komitmen kuat terhadap kontestan dalam pemilu dapat berpengaruh pada terbentuknya polarisasi di kalangan pemilih.
Pemilu 2024 memang terancam menjadi politik pasca-kebenaran (Post-Truth) hoaks, disinformation, berita bohong, dan misinformasi, politik identitas, pemanfaatan isu, sara, politik permusuhan (adversarial politics), hate speech, black campaign, politik uang, dan politik intimidasi.
Meski rawan akan hal itu, pemilu 2024 tetap memiliki aspek ideal dalam proses berdemokrasi, berawal dari aspek politis yang menjadi tolak ukur keberhasilan pemerintah dan penyelenggaraan pemilu dalam membangun kehidupan demokrasi, kemudian, aspek sosial budaya yakni sebagai ajang pendidikan politik, aspek Hankam yakni terciptanya situasi kondisi yang aman, tentram, dan tertib, serta aspek Hukum yakini pemilu merupakan landasan yuridis bagi jalannya roda pemerintahan yang dipilih secara langsung oleh masyarakat secara legitimate.
Dampak positif dari penyelenggaraan pemilu yang aman dan lancar adalah meningkatkan kepercayaan rakyat terhadap sistem politik pemerintahan yang berlaku. Untuk itu, partai politik perlu mempelajari sebaik-baiknya pesan yang disampaikan oleh rakyat dalam pemilu.
Meski konsolidasi demokrasi Indonesia sedang mengalami regresi demokrasi, ini bukan melainkan tanggungjawab kita sebagai demos, yakni rakyat. Tapi lebih pada akar masalah berupa kelemahan peraturan perundang-undangan yang multi interpretasi, menimbulkan celah praktik oligarki, sehingga menghasilkan kemunduran demokrasi.
Dalam kaitan ini praktek itu di antisipasi dengan tiga perubahan besar era reformasi, antara lain pembatasan kekuasaan, perubahan sistem dan peran rakyat. Kini, rakyat memiliki kemampuan untuk turut berperan aktif dalam demokrasi di Indonesia. Permasalahannya mulai dari vote buying hingga hal-hal yang berkenaan dengan illiterate demos termasuk terjadinya polarisasi.
Perspektif masyarakat mengenai demokrasi sebenarnya telah cukup bagus, bahwa beban demokrasi tidak hanya berada pada pundak KPU saja. Peran dan fungsi rakyat adalah sebagai orang yang menjalankan demokrasi.
Karena di zaman media sosial membuat masyarakat mengalami kutub-isasi. Akibatnya, di Indonesia hal ini terbagi menjadi dua poros yaitu poros kanan dan poros kiri. Orang-orang yang tergolong moderat dianggap tidak dapat memberi solusi, karena terdapat anggapan bahwa solusi hanya dimiliki oleh orang-orang yang berada dalam kutub tersebut. Kita harus dapat mencoba mencari jalan dengan berkoordinasi dan berkontribusi dalam memperbaiki demokrasi
Karena ada kekhawatiran besar bahwa menguatnya polarisasi politik akan merusak kepercayaan (trust) di masyarakat. Sikap saling percaya merupakan elemen dasar dari modal sosial bagi demokrasi.
Karena itu, terkikisnya sikap saling percaya warga dikhawatirkan akan berpengaruh pada keengganan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses politik. Rendahnya partisipasi politik, seperti rendahnya penggunaan hak pilih dan keterlibatan warga dalam kampanye maupun pengambilan kebijakan publik, berpengaruh pada rendahnya mutu demokrasi. Tentu kita semua tak ingin polarisasi menjadi beban demokrasi dan beban negara .
DAMPAK NEGATIF POLARISASI
Polarisasi politik di masyarakat, saat warga terbelah ke dalam dua kutub yang berseberangan atas sebuah isu, kebijakan, atau ideologi, telah membentuk wajah politik Indonesia belakangan ini.
Kecenderungan itu merupakan efek dari kampanye ketat dan brutal selama Pilpres, Pileg dan Pilkada Serentak beberapa tahun lalu.
Tren polarisasi itu berlanjut pada Pilpres, Pileg dan Pilkada serentak beberapa tahun kemarin, dan tampaknya akan berlanjut pada pilpres 2024 nanti jika koalisi partai politik yang bertarung azas kepentingan politik.
DEMOKRASI DAN POLARISASI POLITIK
Demokrasi yang bersendikan kekerasan berpotensi menyimpan pertentangan politik yang sulit diakhiri. Oleh karena itu, saat ini demokrasi Indonesia butuh ruang bersama melakukan dialog gagasan untuk membangun bangsa. Demokrasi Indonesia saat ini mengalami tantangan yang tidak ringan. Pengalaman dan sejarah Pilpres, Pileg, Pilkada Serentak beberapa tahun yang lalu telah menanam embrio polarisasi politik akibat kontestasi politik yang antagonis. Polarisasi politik, seperti juga konflik dalam masyarakat adalah sesuatu yang melekat (inhern) dalam proses demokrasi. Fenomena polarisasi politik akibat perbedaan pilihan politik justru tidak memudar tatkala pemilu sudah usai, sebaliknya tumbuh semakin subur dalam demokrasi di tingkat nasional dan daerah.
MENCEGAH POLARISASI POLITIK DI MASYARAKAT
Indonesia mengalami polarisasi politik dalam derajat yang cukup mengkhawatirkan setiap kali berlangsung pemilihan pimpinan eksekutif ditingkat nasional maupun di ibukota Jakarta. Polarisasi ini cenderung belum memperoleh perhatian yang memadai dalam kajian politik Indonesia.
Mengingat polarisasi politik itu kemungkinan besar akan tetap hadir dalam sejumlah peristiwa elektoral utama di Indonesia khususnya pemilihan presiden tahun beberapa tahun kemarin.
Pemilih yang rasional akan menjatukan keputusan berdasarkan visi, misi, dan program kerja calon.
Polarisasi atau terbelahnya masyarakat akan terus berulang jika perdebatan di seputar pemilihan presiden di Indonesia masih di seputar kandidat, bukan soal visi atau program kerja, kata pengamat.
Negara sesuai konstitusi harus mengubah perilaku pemilih menjadi rasional dan bermartabat, sehingga mereka memilih berdasarkan :
1. Apa misi kandidat ke depan.
2. Apa prestasi kandidat, dan.
3. Apa dilakukan kandidat sebelumnya.
Pemilih yang rasional akan menjatukan keputusan berdasarkan visi, misi, dan program kerja calon. Sedangkan pemilih yang tidak rasional akan menentukan pilihan berdasarkan basis-basis irasional, misalnya kesukuan, agama (golongan kesukaan seterusnya).
Realitanya isu-isu yang fundamental, seperti agama, adalah isu yang paling mudah dipicu untuk melahirkan sentimen-sentimen dasar dalam politik.
Dan ini ditunjang oleh politisasi SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), sehingga kemudian isu-isu SARA berkeliaran dengan isu-isu politik. Ini membuat sebagian besar masyarakat menjadi ada yang rasional dan irasional. Jadi ada pembelahan dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat akibatnya tidak menguntungkan bagi negara nantinya.