KEJAHATAN KORPORASI
Kejahatan korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh suatu perusahaan karena aktivitas-aktivitas yang dilakukan telah merugikan konsumen dan masyarakat. Pernyataan yang tepat menggambarkan kejahatan korporasi adalah penipuan travel haji kepada konsumennya karena hal tersebut merugikan pihak konsumen, sedangkan pihak konsumen tidak melakukan kesalahan apa-apa.
Berbagai bentuk tindakan sosial yang merugikan orang lain merupakan salah satu kategori tindakan kejahatan, dimana arti kejahatan ini dapat dilakukan secara terencana dan tidak terencana tetapi yang pasti untuk tindak kejahatan korporat atau korporasi dilakukan dengan memanfaatkan kesempatan yang ada berdasarkan pada jenis usaha yang dijalankannya. Oleh karena itulah kejahatan korporat yang dalam Bahasa Inggris dikenal corporate crime sebagai salah satu tindakan yang kejam di dunia bisnis. Dimana berbagai perusahaan penguasa bisa saja membuat rekayasa untuk mematikan perusahaan lain yang lebih kecil, sehingga perusahaan kecil tersebut akan mati dengan sendirinya ketika terus ditekan oleh perusahaan besar.
Kejahatan korporat adalah sebuah jenis kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan baik individu dan kelompok sebagai perwakilan dari perusahaan untuk melakukan negosiasi dengan perusahaan lain dengan tujuan menjatuhkan perusahaan lain menggunakan langkah-langkah yang merugikan.
Dalam kriminologi, kejahatan korporasi mengacu pada kejahatan yang dilakukan baik oleh perusahaan (yaitu, entitas bisnis yang memiliki kepribadian hukum terpisah dari orang perorangan yang mengelola aktivitasnya) maupun individu yang mewakili perusahaan atau entitas bisnis lainnya. Karena kejahatan korporasi yang parah, perusahaan mungkin dijatuhi pembubaran yudisial, kadang disebut sebagai "hukuman mati perusahaan", yang merupakan prosedur hukum yang mana perusahaan dipaksa untuk bubar atau tidak ada lagi.
Beberapa perilaku negatif perusahaan mungkin sebenarnya bukan tindakan kriminal; hukum berbeda-beda antaryurisdiksi. Misalnya, beberapa yurisdiksi mengizinkan perdagangan orang dalam.
Kejahatan korporasi bersangkutan dengan :
1. Kejahatan kerah putih; mayoritas individu yang dapat bertindak sebagai atau mewakili kepentingan korporasi adalah profesional kerah putih;
2. Kejahatan terorganisasi; pelaku dapat mendirikan perusahaan untuk tujuan kejahatan atau sebagai kendaraan untuk mencuci hasil kejahatan. Produk kriminal bruto dunia diperkirakan mencapai 20% dari perdagangan dunia. (de Brie 2000); dan
3. Kejahatan perusahaan negara; dalam banyak konteks, peluang untuk melakukan kejahatan muncul dari hubungan antara korporasi dan negara.
TINDAK PIDANA KORPORASI
Tindak pidana korporasi atau corporate crime menjadi salah satu musuh yang menyertai kemajuan ekonomi dan teknologi di setiap negara. Perlu diketahui, korporasi adalah suatu badan hukum atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melaksanakan perbuatan sebagaimana seperti manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat dan dapat mengajukan gugatan di depan hakim. Pidana korporasi adalah kejahatan yang dilakukan baik oleh perusahaan maupun individu yang mewakili perusahaan atau entitas bisnis lainnya. Apabila terjadi tindak pidana korporasi maka subjek hukum yang harus bertanggung jawab adalah manusia sebagai Pengurus Korporasi.
Korporasi ataupun pihak lain yang terbukti telah terlibat dalam tindak pidana korporasi
Korporasi juga termasuk sebagai badan hukum apabila memenuhi unsur-unsur ini :
1. Mempunyai harta sendiri yang terpisah
2. Memiliki suatu organisasi atau perkumpulan yang ditetapkan oleh suatu tujuan dimana kekayaan terpisah itu diperuntukkan
3. Memiliki pengurus yang memiliki kekuasaan dan kewenangan.
Bentuk-bentuk kejahatan korporasi ada beberapa macam, yaitu :
1. Bidang ekonomi.
Adalah suatu tindak pidana kejahatan melakukan penipuan terhadap pemegang saham, melakukan persekongkolan dalam penentuan harga, tidak mempedulikan keselamatan kerja para karyawan
2. Bidang sosial dan budaya.
Adalah suatu tindak pidana kejahatan yang dilakukan terhadap buruh, kejahatan HKI, kejahatan narkotika dan kejahatan terhadap konsumen.
Pidana korporasi didasarkan pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi maupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selanjutnya penerapan pertanggungjawaban korporasi dapat dijatuhkan sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. Sanksi pidana yang paling sering dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korporasi adalah pidana denda, sedangkan pidana tambahan diatur dalam peraturan perundang-undangan lain.
Beberapa faktor penyebab terjadinya kejahatan korporasi ada berbagai macam, antara lain :
1. Persaingan.
Hal ini disebabkan dalam persaingan bisnis, korporasi dituntut untuk dapat melakukan inovasi seperti penemuan teknologi baru, teknik pemasaran, atau memperluas pasar. Sehingga keadaan seperti ini dapat menghasilkan kejahatan korporasi seperti pemalsuan dan penyuapan.
2. Pemerintah.
Hal ini disebabkan demi mengamankan kebijaksanaan ekonominya, pemerintah menetapkan berbagai kebijakan peraturan yang mengatur kegiatan bisnis. Akan tetapi, hal ini menimbulkan pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi terhadap peraturan tersebut. Sebagai contoh, yaitu melakukan penyogokan kepada para penegak hukum atau politisi secara ilegal agar diberikan izin untuk korporasi melakukan proyek tertentu atau mengekspor perbuatan ilegal ke negara lain.
Pidana korporasi juga diatur dalam beberapa peraturan lainnya dengan berbagai rumusan yang berbeda-beda mengenai “korporasi” itu sendiri, yaitu korporasi disebut sebagai perseroan, perusahaan, yayasan, perserikatan, organisasi dan lain-lain. Dibawah ini beberapa peraturan lainnya yang mengatur mengenai pidana korporasi adalah sebagai berikut :
1. UU Nomor 31 Tahun 2004 Jo. UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.
2. UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
3. UU Nomor 8 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
KORPORASI SEBAGAI SUBJEK TINDAK PIDANA
Patut untuk diketahui bersama, bahwa membicarakan tentang korporasi pada hakikatnya tidak bisa melepaskan hal tersebut dari bidang hukum perdata. Sebab korporasi merupakan terminologi yang erat kaitannya dengan badan hukum (rechtpersoon), dan badan hukum itu sendiri merupakan terminologi yang erat kaitannya dengan bidang hukum perdata (Harahap, 2017: 40). Dengan merujuk kepada konsep korporasi dalam hukum perdata, maka patut dikemukakanlah pandangan Subekti dan Tjitrosudibio yang mendefinisikan corporatie atau korporasi adalah suatu perseroan yang merupakan badan hukum (Subekti dan Tjitrosudibio, 1979: 34).
Kendatipun demikian, menarik sekali untuk dikemukakan pandangan Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya “Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia” yang menyatakan bahwa :
Dengan adanya perkumpulan-perkumpulan dari orang-orang, yang sebagai badan hukum turut serta dalam pergaulan hidup kemasyarakatan, timbul gejala-gejala dari perkumpulan itu, yang apabila dilakukan oleh oknum, terang masuk perumusan berbagai tindak pidana. Dalam hal ini, sebagai perwakilan, yang kena hukuman pidana adalah oknum lagi, yaitu orang-orang yang berfungsi sebagai pengurus dari badan hukum, seperti misalnya seorang direktur dari suatu perseroan terbatas, yang dipertanggungjawabkan. Sedangkan mungkin sekali seorang direktur itu hanya melakukan saja putusan dari dewan direksi. Maka timbul dan kemudian merata gagasan, bahwa juga suatu perkumpulan sebagai badan tersendiri dapat dikenakan hukuman pidana sebagai subjek suatu tindak pidana (Prodjodikoro, 1989: 55).
Mencermati konsepsi intelektual dari Wirjono Prodjodikoro tersebut di atas, adalah menjadi semakin menarik ketika dianalisa lebih jauh bahwa suatu perkumpulan sebagai badan tersendiri dapat dikenakan pidana sebagai subjek suatu tindak pidana. Oleh karena itulah, tulisan ini fokus mengungkap eksistensi pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana berdasarkan ketentuan sistem pemidanaan (substantif) di Indonesia saat ini (Ius constitutum) dan bagaimanakah prospeknya di masa akan datang (ius constituendum).
Secara yuridis-formal bahwa pada awalnya dalam hukum pidana Indonesia, korporasi tidak dikenal sebagai subjek hukum pidana. Manusia alamiah (natural person) merupakan satu-satunya yang dikenal sebagai subjek hukum pidana pada saat itu. Hal tersebut dapat ditelusuri melalui ketentuan dalam KUHP (WvS) yang memandang suatu delik hanya dapat dilakukan oleh manusia, yakni khususnya dalam formulasi Pasal 59 KUHP (WvS) yang berbunyi :
Dalam hal-hal di mana pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus, atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana”.
Lebih jelas lagi, bahwa dalam Memorie van Toelichting (MvT) Pasal 51 Ned.WvS (Pasal 59 KUHP/WvS) dinyatakan : suatu strafbaarfeit hanya dapat diwujudkan oleh manusia dan fiksi tentang badan hukum (dibaca: korporasi, pen.) tidak berlaku di bidang hukum pidana (A.Z. Abidin dkk, 1962: 14).
Pemikiran tersebut di atas pada hakikatnya dilatar belakangi karena di Negeri Belanda pada saat KUHP (WvS) dirumuskan oleh para penyusunnya pada tahun 1886, adalah menerima asas societas/ universitas delinquere non potes bahwa badan hukum atau perkumpulan tidak dapat melakukan tindak pidana (Muladi, 2002: 157).
Kendatipun demikian, tak dapat dipungkiri bahwa pesatnya perkembangan zaman yang memberi peranan strategis kepada korporasi pada kegiatan sehari- hari dalam lapisan masyarakat mendorong untuk dilakukannya terobosan baru. Seperti dalam KUHP Belanda saat ini saja telah mengalami perubahan besar dari KUHP Belanda terdahulu, khususnya terkait korporasi. Dasar hukum mengenai korporasi sebagai subjek hukum pelaku tindak pidana ada dalam KUHP Belanda, yang ditetapkan pada tanggal 23 Juni 1976 khususnya dalam formulasi Pasal 51 KUHP Belanda yang isinya menyatakan antara lain :
a. Tindak pidana dapat dilakukan baik oleh perseorangan maupun oleh korporasi;
b. Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh korporasi, penuntutan pidana dapat dijalankan dan sanksi pidana maupun tindakan (maatregelen) yang disediakan dalam perundang- undangan sepanjang berkenaan dengan korporasi dapat dijatuhkan. Dalam hal ini, pengenaan sanksi dapat dilakukan terhadap :
1) Korporasi sendiri, atau
2) Mereka yang secara faktual memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana yang dimaksud, termasuk mereka yang secara faktual memimpin pelaksanaan tindak pidana dimaksud, atau.
3) Korporasi atau mereka yang dimaksud di atas bersama-sama secara tanggung-renteng.
c. Berkenaan dengan penerapan butir- butir sebelumnya yang disamakan dengan korporasi adalah persekutuan bukan badan hukum, maatschap (persekutuan perdata), redenj (persekutuan perkapalan) dan doelvermogen (harta kekayaan yang dipisahkan demi pencapaian tujuan tertentu, social fund (yayasan) (Remmelink, 2003: 98-103).
Adalah merupakan sebuah realita, bahwa dewasa ini korporasi semakin memegang peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat. Keraguan pada masa lalu untuk menempatkan korporasi sebagai subjek hukum pidana yang dapat melakukan tindak pidana sekaligus yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana sudah bergeser. Doktrin yang mewarnai WvS Belanda 1886 yakni, societas /universitas delinquere non potes sudah mengalami perubahan sehubungan dengan diterimanya konsep pelaku fungsional. Menurut Rolling pembuat delik memasukkan korporasi ke dalam functioneel daderschap, oleh karena korporasi dalam dunia modern mempunyai peranan penting dalam kehidupan ekonomi dan mempunyai banyak fungsi, yaitu sebagai pemberi kerja, produsen, penentu harga, pemakai devisa, dan lain-lain (Muladi dan Priyatno, 2008: 17).
Selanjutnya patut dikemukakan juga pandangan Pujiyono, bahwa pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana dilatarbelakangi oleh sejarah dan pengalaman yang berbeda di tiap negara, termasuk Indonesia. Namun pada akhirnya ada kesamaan pandangan, yaitu adanya perkembangan industrialisasi dan kemajuan yang terjadi dalam bidang ekonomi dan perdagangan telah mendorong pemikiran bahwa subjek hukum pidana tidak lagi hanya dibatasi pada manusia alamiah (natuurlijke persoon) tetapi meliputi pula korporasi, karena untuk tindak pidana tertentu dapat pula dilakukan oleh korporasi (Pujiyono, 2019: 7-8).
Di Indonesia, pergeseran manusia sebagai satu-satunya subjek tindak pidana mulai terlihat dalam UU Khusus di luar KUHP (Lex Specialis). Sebagaimana pernah diungkap oleh Sudarto berikut ini :
misalnya dalam Ordonansi Barang-Barang Yang Diawasi (S.1948 295) terdapat ketentuan yang mengatur apabila suatu badan (hukum) melakukan tindak pidana yang disebut dalam ordonansi-ordonansi itu. Kemudian juga terlihat dalam Ordonansi Obat Bius (S. 27–278 Jo. 33–368) Pasal 25 ayat (7). Serta dalam Pen. Pres. tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi (No.11/1963). (Sudarto, 2009: 102).
Lebih tegas lagi, adalah tampak dalam UU Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi yang secara tegas menyebutkan badan hukum sebagai subjek hukum, khususnya dalam formulasi Pasal 15 ayat (1) yang berbunyi:
Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya.
Beranjak ke uraian berikutnya, adalah menarik sekali untuk dicermati berbagai UU yang mengakui eksistensi korporasi sebagai subjek hukum pidana. Seperti dalam ketentuan formulasi Pasal
14 UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang berbunyi : Perusahaan negara dan swasta memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat dengan mempekerjakan penyandang cacat di perusahaannya sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan dan kemampuannya, yang jumlahnya sesuai dengan jumlah karyawan dan/atau kualifikasi perusahaan. Kemudian dalam Penjelasan Pasal 14 UU No. 4 Tahun 1997 tersebut dinyatakan bahwa: Perusahaan negara meliputi BUMN dan BUMD sedang perusahaan swasta termasuk di dalamnya koperasi. Dengan demikian, menurut UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat tersebut, jelas sudah mengenal subjek hukum berupa korporasi.
Sebagai bahan pembanding, maka dapat dilihat dalam ketentuan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, khususnya ketentuan formulasi Pasal 1 angka 9 yang menyebutkan bahwa : setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi. Selanjutnya, Pasal 1 angka 10 menyebutkan bahwa korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Dengan demikian, menurut UU TPPU subjek hukum pidana yang diakui dalam tindak pidana pencucian uang tidak hanya orang perseorangan tetapi juga korporasi.
Sementara itu, apabila kita cermati pada produk legislasi nasional lainnya, misal ketentuan UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, Pasal 1 ayat (14), dinyatakan bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan usaha di bidang Perdagangan.
Jadi dari formulasi beberapa UU di atas, tersusun analisis sebagai berikut :
a. Bahwa terdapat penyebutan istilah yang masih berbeda-beda/ belum seragam. UU Penyandang Cacat menggunakan istilah perusahaan negara dan swasta, sementara UU TPPU sudah secara eksplisit menggunakan istilah Korporasi, namun demikian UU Perdagangan tidak menyebutkan korporasi sebagai subjek tindak pidana secara tegas tetapi hanya dengan menggunakan istilah badan usaha.
b. Bahwa terhadap penempatan istilah dan pengertian korporasi juga masih beragam. UU TPPU dan UU Perdagangan telah menempatkan rumusan istilah dan pengertian korporasi ke dalam ketentuan umum (Pasal 1), sementara itu UU Penyandang Cacat menempatkan istilah korporasi ke dalam pasal tersendiri dan pengertian korporasi ke dalam penjelasan pasal yang bersangkutan.
c. Bahwa satu hal menarik yang juga patut dikemukakan, bahwa pemaknaan terhadap korporasi dalam UU Penyandang Cacat masih terbatas pada badan hukum saja. Sementara UU TPPU dan UU Perdagangan sudah mencakup korporasi, baik yang berupa badan hukum maupun non badan hukum Patut dikemukakan pandangan Barda Nawawi Arief dalam bukunya Kapita Selekta Hukum Pidana yang menyimpulkan bahwa pengertian korporasi di setiap Undang-Undang Khusus yang memuat istilah korporasi adalah sebagai berikut :
a. Pengertian korporasi sebagai subjek tindak pidana hanya untuk tindak pidana tertentu, yang diatur dalam UU khusus.
b. Pada awalnya tidak digunakan istilah korporasi, tapi digunakan istilah yang bermacam-macam (tidak seragam) dan tidak konsisten.
c. Istilah korporasi mulai terlihat pada tahun 1977 dalam UU Psikotropika dan dipengaruhi istilah dalam konsep KUHP 1993.
d. Umumnya istilah korporasi dimuat dalam ketentuan umum (Pasal 1), tetapi ada juga yang memasukkan dalam penjelasan pasal yang bersangkutan (Arief, 2013: 179).
Sementara itu, apabila melihat prospek ke depannya terkait pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana, maka kita bisa melihatnya ke dalam RUU KUHP Baru. Sebab pada hakikatnya penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional yang baru untuk menggantikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana peninggalan pemerintah kolonial Belanda dengan segala perubahannya merupakan salah satu usaha dalam rangka pembangunan (pembaharuan-pen.) hukum pidana nasional (Soponyono, 2017: 1).
Eksistensi korporasi sebagai subjek tindak pidana tersebut tampak dalam Ketentuan Formulasi Pasal 45 ayat (1) RUU KUHP 2019, ditegaskan bahwa Korporasi merupakan subjek tindak pidana. Lebih lanjut, dalam ketentuan formulasi Pasal 45 ayat (2) RUU KUHP 2019 dinyatakan bahwa : Korporasi sebagaimana dimaksud ayat (1) mencakup badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, yayasan, koperasi, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau yang disamakan dengan itu, serta perkumpulan baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum atau badan usaha yang berbentuk firma, persekutuan komanditer, atau yang disamakan dengan itu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Akhirnya, patut untuk diperhatikan pula penjelasan umum RUU KUHP 2019 Buku ke I, khususnya pada butir ke-5 yang menyatakan bahwa: Karena kemajuan yang terjadi dalam bidang keuangan, ekonomi dan perdagangan, terutama di era globalisasi serta berkembangnya tindak pidana yang terorganisasi baik yang bersifat domestik maupun transnasional, maka subjek hukum pidana tidak dapat dibatasi hanya pada manusia alamiah tetapi mencakup pula korporasi, yaitu kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Dalam hal ini korporasi dapat dijadikan sarana untuk melakukan tindak pidana dan dapat pula memperoleh keuntungan dari suatu tindak pidana. Dengan dianutnya paham bahwa korporasi adalah subjek tindak pidana, berarti korporasi baik sebagai badan hukum maupun bukan badan hukum dianggap mampu melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana.
PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI
Kejahatan Korporasi adalah kejahatan yang dilakukan oleh para karyawan atau pekerja terhadap korporasi, korporasi yang sengaja dibentuk dan dikendalikan untuk melakukan kejahatan.
Pada awalnya korporasi atau badan hukum (rechtpersoon) adalah subjek yang hanya dikenal di dalam hukum perdata. Apa yang dinamakan badan hukum itu sebenarnya adalah ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan yang diberi status sebagai subjek hukum, di samping subjek hukum yang berwujud manusia alamiah (natuurlijk persoon). Dengan berjalannya waktu, pesatnya pertumbuhan ekonomi dunia yang mengarah ke globalisasi di mana memberikan peluang yang besar akan tumbuhnya perusahaan-perusahaan transnasional, maka peran dari korporasi makin sering kita rasakan bahkan banyak memengaruhi sektor-sektor kehidupan manusia. Dampak yang kita rasakan menurut sifatnya ada dua yaitu dampak positif dan dampak negatif. Untuk yang berdampak positif, kita sependapat bahwa itu tidak menjadi masalah namun yang berdampak negatif inilah yang saat ini sering kita rasakan.
Tahun 1984, terjadi suatu tragedi yang menggemparkan dunia di mana terjadi bencana kimiawi akibat kebocoran gas pada pabrik milik Unicon Carbide India Limited, di Bhopal India. Tragedi tersebut kita kenal dengan Tragedi Bhopal, kejadian tersebut terjadi akibat buruknya sistem pengamanan dan tindakan penghematan biaya yang berlebihan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. Efek dari peristiwa tersebut dapat dirasakan hingga 20 tahun.
Tragedi Bhopal hanyalah sebagian kecil dari peristiwa yang diakibat oleh kegiatan korporasi di dunia ini. Masih banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan dampak negatif dari kegiatan korporasi. Di Indonesia mungkin peristiwa yang masih hangat yaitu peristiwa munculnya sumber lumpur di Sidoarjo yang diindikasikan disebabkan oleh kegiatan pengeboran yang tidak memenuhi standar dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas. Akibat peristiwa tersebut ribuan orang kehilangan tempat tinggal akibat terendam lumpur, belum lagi industri-industri di sekitar semburan lumpur yang harus tutup akibat tidak bisa berproduksi yang mengakibatkan ribuan orang kehilangan pekerjaannya.
KEJAHATAN KORPORASI (CORPORATE CRIME)
Akibat semakin dirasakannya dampat negatif yang disebabkan oleh kegiatan korporasi, maka negara-negara maju khususnya yang perekonomiannya baik mulai mencari cara untuk bisa meminimalisir atau mencegah dampak tersebut salah satunya dengan menggunakan instrumen hukum pidana (bagian dari hukum publik). Sebenarnya kejahatan korporasi (corporate crime) sudah dikenal lama dalam ilmu kriminologi. Di kriminologi sendiri corporate crime merupakan bagian dari kejahatan kerah putih (white collar crime). White collar crime sendiri diperkenalkan oleh pakar kriminologi terkenal yaitu E.H. Sutherland (1883-1950) dalam pidato bersejarahnya yang dipresentasikan "...at the thirty-fourth annual meeting of the American Sociological Society ini Philadelphia on 27 December 1939". semenjak itu banyak pakar hukum maupun kriminologi mengembangkan konsep tersebut.
Dalam perjalanannya pemikiran mengenai corporate crime, banyak menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum khususnya hukum pidana. Di hukum pidana ada doktrin yang berkembang yaitu doktrin ''universitas delinquere non potest'' (korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana), ini dipengaruhi pemikiran, bahwa keberadaan korporasi di dalam hukum pidana hanyalah fiksi hukum yang tidak mempunyai mind, sehingga tidak mempunyai suatu nilai moral yang disyaratkan untuk dapat dipersalahkan secara pidana (unsur kesalahan). Padahal dalam suatu delik/Tindak pidana mensyaratkan adanya kesalahan (mens rea) selain adanya perbuatan (actus reus) atau dikenal dengan ''actus non facit reum, nisi mens sit rea''.
Namun masalah ini sebenarnya tidak menjadi masalah oleh kalangan yang pro terhadap pemikiran corporate crime. Menurut Mardjono Reksodiputro ada dua hal yang harus diperhatikan dalam menentukan tindak pidana korporasi yaitu, pertama tentang perbuatan pengurus (atau orang lain) yang harus dikonstruksikan sebagai perbuatan korporasi dan kedua tentang kesalahan pada korporasi. Menurut pendapat dia, hal yang pertama untuk dapat dikonstruksikan suatu perbuatan pengurus adalah juga perbuatan korporasi maka digunakanlah asas identifikasi. Dengan asas tersebut maka perbuatan pengurus atau pegawai suatu korporasi, diidentifikasikan (dipersamakan) dengan perbuatan korporasi itu sendiri. Untuk hal yang kedua, memang selama ini dalam ilmu hukum pidana gambaran tentang pelaku tindak pidana masih sering dikaitkan dengan perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pembuat (fysieke dader) namun hal ini dapat diatasi dengan ajaran "pelaku fungsional" (functionele dader) . Dengan kita dapat membuktikan bahwa perbuatan pengurus atau pegawai korporasi itu dalam lalu lintas bermasyarakat berlaku sebagai perbuatan korporasi yang bersangkutan maka kesalahan (dolus atau culpa) mereka harus dianggap sebagai kesalahan korporasi.
Di negara-negara Common Law System seperti Amerika, Inggris, dan Kanada upaya untuk membebankan pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate criminal liability) sudah dilakukan pada saat Revolusi Industri. Menurut Remy Sjahdeini ada dua ajaran pokok yang menjadi bagi pembenaran dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Ajaran-ajaran tersebut adalah doctrine of strict liability dan ''doctrine of vicarious liability''. Berdasarkan ajaran strict liability pelaku tindak pidana dapat diminta pertanggungjawabannya tanpa disyaratkannya adanya kesalahan, sedangkan menurut ajaran vicarious liability dimungkinkan adanya pembebanan pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang dilakukan, misalnya oleh A kepada B.
CONTOH KEJAHATAN KORPORASI
Adapun untuk contoh tindakan kejahatan korporat antara lain :
1. Kejahatan kerah putih.
Kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang bekerja secara pofesional. Dimana kejahatan ini dilakukan dengan tujuan bisnis. Perusahaan yang saling mematikan antara perusahaan satu dengan yang lain dapat masuk jenis kejahatan ini.
Kejahatan yang melibatkan pihak-pihak profesional untuk merencanakan serta eksekusi. Pastinya menggunakan pihak-pihak yang memiliki kepentingan yang sama.
2. Kejahatan dengan menggunakan pejabat publik.
Keterlibatan dunia politik menjadi sesuatu yang berbeda dalam sebuah kejahatan korporat. Salah satu pihak yang biasa terlibat adalah pejabat publik. Pejabat publik yang memiliki kuasa pada sebuah daerah kadang menjadi salah satu perantara terjadinya kejahatan korporat.
Contoh kasus berkaitan dengan syarat dilakukannya sebuah usaha. Ada Amdal, izin usaha, pengolahan limbah, kerjasama dengan lingkungan, dan lain-lain. Kita tidak jarang menemui perusahaan apabila dilihat sekilas masih memberikan dampak buruk terhadap lingkungan, namun masih tetap beroperasi hingga saat ini, tentu saja ini peran pejabat publik yang memberikan izin.
3. Kejahatan perusahaan negara.
Badan usaha yang dikelola oleh pemerintah sangat beragam dan meliputi banyak sektor. Setiap sektor memiliki perannya masing-masing. Perusahaan milik negara biasanya memegang peran penting atau badan usaha yang penting.
Badan usaha yang saat ini yag hanya dimiliki Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah PLN, PT. KAI, TELKOM, dan lain-lain. Tiga perusahaan yang disebutkan merupakan contoh perusahaan yang melakukan monopoli pada masing-masing sektor.
4. Pengelapan dana.
Pengelapan dana sering terjadi di beberapa perusahaan yang pimpinannya kurang bertanggung jawab. Pengelapan dana biasa dilakukan oleh menejemen puncak entah dari manajer atau bahkan pemilik usaha itu sendiri. Modal yang dimiliki tidak digunakan untuk mengembangkan usaha melainkan untuk kepentingan pribadi.
5. Penipuan.
Banyak jenis usaha yang membuka bisnis dengan tujuan yang kurang baik. Banyak perusahaan yang melakukan penipuan kepada pelanggannya atas jasa atau usaha yang di jalankan. Motif yang dilakukan sangat beragam baik dalam pemberian modal atau bentuk investasi.
Investasi yang menipu disebut investasi badong, biasanya banyak korban yang tertipu dengan iming-iming keuntungan yang besar dalam waktu yang singkat.
7. Pelanggaran UU lingkungan hidup.
Salah satu aturan sebuah perusahaan didirikan ialah dengan memenuhi AMDAL yang telah ada. Kadang perusahaan bekerjasama dengan pihak tertentu untuk melancarkan usahanya ini. Hal ini tentu akan merugikan orang lain yang ada disekitar perusahaan.
Pelanggaran perusahaan kadang dibiarkan begitu saja oleh pemerintah walaupun sudah diprotes oleh masyarakat karena banyak menimbulkan kerugian. Kerugian paling besar yang harus ditanggung adalah kesehatan manusia. Kejadian ini biasanya banyak terjadi karena pengolahan limbah pabrik yang kurang tepat.
Berikut yang merupakan contoh kejahatan korporasi sering terjadi :
1. Maskapai menurunkan paksa penumpang yang membuat keributan di dalam pesawat.
2. Penipuan perusahaan travel haji yang menggunakan uang konsumen untuk keperluan pribadi.
3. Perusahaan melakukan PHK kepada sejumlah karyawannya untuk menghindari kebangkrutan.
4. PLN memutus aliran listrik rumah yang menunggak pembayaran lebih dari tiga bulan.
5. Perusahaan obat berhenti beroperasi karena tidak bisa lagi mendapatkan keuntungan.
Korporasi sebagai suatu entitas atau subjek hukum yang keberadaannya memberikan konteirbusi yang besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional, namun dalam kenyataannya korporasi ada kalanya juga melakukan pelbagai tindak pidana (corporate crime) yang membawa dampak kerugian terhadap negara dan masyarakat. Dalam kenyataannya korporasi dapat menjadi tempat untuk menyembunyikan harta kekayaan hasil tindak pidana yang tidak tersentuh proses hukum dalam pertanggungjawaban pidana.
Banyak undang-undang di Indonesia menempatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana yang dapat dimintai pertanggungjawaban, namun perkara dengan subjek hukum korporasi yang diajukan dalam proses pidana masih sangat terbatas, salah satu penyebabnya adalah prosedur dan tata cara pemeriksaan korporasi sebagai pelaku tindak pidana masih belum jelas, oleh karena itu dipandang perlu adanya pedoman bagi aparat penegak hukum dalam penanganan perkara pidana yang dilakukan oleh korporasi. Berdasarkan pertimbangan di atas, maka ditetapkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.
Peraturan Mahkama Agung No.13 Tahun 2016 tentang Kejahatan Korporasi ini diharapkan bisa mengatasi keragu-raguan aparat hukum untuk menjerat korporasi selama ini. Tetapi, tetap dibutuhkan keberanian dan pengetahuan dalam penanganan kejahatan korporasi.
Sudah cukup lama, kejahatan korporasi kerap menjadi sorotan publik terutama dalam kasus-kasus kebakaran hutan dan pencemaran lingkungan yang merugikan masyarakat sekitar. Namun, kini faktanya kejahatan korporasi mulai terjadi dalam kasus-kasus lain, seperti kasus korupsi, pencucian uang, penggelapan pajak yang diduga dilakukan pengurus korporasi sekaligus menguntungkan entitas korporasi yang bersangkutan.
Sayangnya, setiap kejahatan tertentu yang diduga dilakukan korporasi sulit dijerat hingga ke meja hijau. Sebab, penyidik dan penuntut umum enggan atau tidak berani melimpahkan perkara kejahatan korporasi ke pengadilan lantaran kesulitan merumuskan surat dakwaan dalam perkara kejahatan korporasi. Kalaupun ada beberapa kasus yang disidangkan, seringkali putusannya lepas dengan dalih entitas korporasi tidak turut didakwakan.
Setidaknya, ada lebih dari 70-an Undang-Undang (UU), di luar pengaturan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), telah mengatur pertanggungjawaban pidana bagi korporasi adalah :
1. Pengaturan entitas korporasi sebagai subjek hukum sudah dimulai sejak berlakunya UU Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi. Dalam perkembangannya, lahirnya UU lain yang menempatkan korporasi sebagai subjek hukum yang bisa dipidana.
2. Praktiknya, hanya beberapa UU yang kerap digunakan aparat penegak hukum menjerat dugaan tindak pidana tertentu yang dilakukan korporasi sekaligus bersama pengurusnya. Misalnya, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya Pasal 78 ayat (14); UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya Pasal 116 ayat (1) dan (2), Pasal 117, dan Pasal 119; UU No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
3. Selain itu, UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Dalam Pasal 83-103 UU P3H ini diatur ancaman pidana yang dilakukan oleh korporasi. Sedangkan, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi seperti diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3. Demikian pula, UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan (2), serta Pasal 7, 8 dan 9.
4. Mantan Ketua Tim Kelompok Kerja (Pokja) penyusunan Peraturan Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi (Peraturan Mahkama Agung Kejahatan Korporasi), ada beberapa UU dari sekian banyaknya UU yang kerap digunakan aparat penegak hukum menjerat korporasi. Diantaranya, UU Kehutanan, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Pemberantasan Tipikor, UU TPPU, UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
CONTOH KASUS NASIB KEJAHATAN KORPORASI
Perkembangan industri di Indonesia semakin hari semakin meningkat. Pada tahun 2013, pertumbuhan perindustrian di Indonesia mencapai 7% dikutip dari kemenperin. Bahkan yang mendapatkan data dari BPS, menyebutkan bahwa terdapat 3,98 juta perusahaan baru di Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Dengan cepatnya perkembangan tersebut, tentunya banyak sekali permasalahan-permasalahan yang muncul kepermukaan. Salah satu permasalahan korporasi yang paling vital adalah, tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, karena korban dan dampak yang ditimbulkannya cakupannya lebih luas dari pada kejahatan yang lain.
Black's law dictionary menyebutkan bahwa kejahatan korporasi adalah setiap tindak pidana yang dilakukan oleh perusahaan karena kegiatan petugas atau karyawannya (Herry Sampel Black, 1990: 339). Kejahatan korporasi menimbulkan korban dan akibat yang lebih luas cakupannya. Namun, hingga saat ini pun, belum ada undang-undang yang mengatur tentang pertanggung jawaban dari korporasi terhadap korban-korban yang ditimbulkan. Jimmy Tawalujan menyebutkan bahwa pertanggung jawaban korporasi belum diatur di Kitab Undang-undang Hukum Pidana karena belum diaturnya korporasi sebagai subjek tindak pidana. KUHP hingga saat ini masih menganut paham bahwa suatu delik hanya dapat dilakukan oleh manusia (Jimmy Tawalujan, 2012: 7).
Dengan belum adanya regulasi yang mengatur perihal pertanggung jawaban kejahatan yang dilakukan oleh korporasi, banyak kejahatan-kejahatan korporasi yang merajalela, seperti kejahatan terhadap kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia, PT. Newmont Minahasa dan laninnya. Padahal, kerugian yang diterima oleh para korban begitu besar, baik kerugian materiil maupun kerugian immateriil.
Sunardi, sebagaimana dikutip oleh Agus Sulaeman dan Umar Ma’arif mengatakan bahwa, “pengaturan terhadap korporasi sebagai subyek tindak pidana harus jelas dan tegas dengan mencantumkan secara autentik dalam ketentuan umum KUHP yang sekarang sedang diperbaharui sehingga ketentuan di luar KUHP harus mengikutinya (Agus Sulaeman dan Umar Ma’arif, 2017: 389).
Tidak diaturnya korporasi sebagai subjek hukum di dalam KUHP, merupakan salah satu hal yang patut kita kaji kembali dan Merupakan hal yang harus kita antisipasi bersama. Pasal 59 KUHP hanya menyebutkan bahwa : Dalam hal-hal di mana ditentukan pidana karena pelanggaran terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus, atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran, tidak dipidana.
Jika memahami pasal tersebut, jelas bahwa KUHP hanya sebatas mengatur tentang pertanggung jawaban terhadap individunya, bukan kepada korporasi. Pembatasan itulah yang dijadikan tameng oleh para pelaku, dengan mengatasnamakan namakan korporasi, mereka dapat bebas dari jeratan hukum dan mereka dapat lari dari segala pertanggung jawaban kepada para korban.
Memasukkan korporasi sebagai salah satu subjek hukum ke dalam rancangan KUHP merupakan suatu urgensi nyata saat ini. Hal tersebut sangat diperlukan, guna mencegah dan adanya kejahatan korporasi di masa mendatang dan memberikan kejelasan pertanggung jawaban korporasi kepada para korban.
Sahuri sebagaimana dikutip oleh Agus Sularman dan Umar Ma'ruf menyebutkan bahwa terdaat 4 permasalahan pertanggung jawaban korporasi yang perlu diatur, yaitu :
1), masalah rumusan perbuatan yang dilarang;
2), masalalah penentuan kesalahan korporasi;
3) masalah penetapan sanksi terhadap korporasi; dan
4) sifat pertanggungjawaban korporasi (Agus Sularman dan Umar Ma’arif, 2017: 388). Indonesia harus segera memiliki pengaturan jelas mengenai pertanggung jawaban korporasi kepada korban, agar tidak ada lagi korban yang menderita.