MORAL DAN KORUPSI
Moral/moralitas/akhlāq adalah merupakan ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan,
sikap, kewajiban, dan sebagainya. Moral merupakan standar perilaku yang
memungkinkan setiap orang untuk dapat hidup secara kooperatif dalam suatu
kelompok. Moral dapat mengacu pada sanksi-sanksi masyarakat terkait perilaku
yang benar dan dapat diterima.
Moral
adalah tata yang menyangkut budaya, keadilan, hingga sosial. Moral Adalah
prinsip yang memandu perilaku individu dalam masyarakat. Meski moral dapat berubah
seiring waktu, moral tetap menjadi standar perilaku yang digunakan untuk
menilai benar dan salah.
Moral
adalah standar perilaku yang berlaku yang memungkinkan orang untuk hidup secara
kooperatif dalam kelompok. Moral mengacu pada sanksi masyarakat apa yang benar
dan dapat diterima. Orang yang melanggar standar moral adalah orang yang
disebut dengan amoral.
Moral
adalah tata yang bisa berbeda dari satu daerah ke daerah lain. Wilayah
geografis, agama, keluarga, dan pengalaman hidup semuanya mempengaruhi moral.
Moral adalah konsep yang bisa berubah seiring perkembangan manusia.
Secara
Etimologi Moral berasal dari bahasa Latin mos/mores yang berarti
kebiasaan, adat. Kata mos/ mores dalam bahasa Latin sama artinya dengan etos
dalam bahasa Yunani. Di dalam bahasa Indonesia, kata moral diterjemahkan dengan aturan kesusilaan ataupun suatu istilah yang digunakan untuk menentukan
sebuah batas-batas dari sifat peran lain, kehendak, pendapat atau batasan
perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik maupun buruk.
kata moral sering disamakan dengan kata etika, karena kedua kata tersebut
sama-sama mempunyai arti kebiasaan, adat. Moral itu sendiri dapat diartikan
sebagai nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Di samping itu, terdapat kata yang
berhubungan dengan moral yang merupakan kata berimbuhan yang berasal dari kata moral, yaitu moralitas. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan
asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Jadi, Moralitas suatu
perbuatan artinya segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya perbuatan
tersebut.
Istilah
manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang memiliki
nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia
tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif dalam pandangan manusia
lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia.
Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi
individu. Tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral
dalam zaman sekarang memiliki nilai implisit karena banyak orang yang memiliki
moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar
yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus memiliki moral jika ia
ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai kemutlakan dalam kehidupan
bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan
masyarakat setempat. Moral adalah perbuatan, tingkah laku atau ucapan seseorang
dalam berinteraksi dengan manusia. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai
dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta
menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai memiliki moral
yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya dan agama.
Setiap budaya memiliki standar moral yang berbeda-beda sesuai dengan sistem
nilai yang berlaku dan telah terbangun sejak lama.
Kita senantiasa bersemangat mengatakan berantas korupsi,
tangkap koruptor, hukum gantung koruptor, dan banyak lagi eskpresi kemarahan
lain yang pada intinya mengecam bahwa korupsi itu sadis, tidak bermoral,
membunuh, dan lainya. Itu karena memang kita belum teruji apakah kita juga
memiliki mental korup. Karena kita belum ada kesempatan untuk diuji.
Memang, melihat fenomena korupsi yang berkembang selama
ini mengindikasikan betapa budaya korupsi di negara kita Indonesia tercinta ini
sangat mengkawatirkan dan meresahkah masyarakat. Entah itu karena memang
benar-benar terbukti korupsi atau faktor-faktor lainya. Sebut saja politis.
Korupsi adalah ada pada wilayah hukum dan moral. Namun,
kiranya bicara moral tidak lepas dari budaya dan agama. Untuk bisa memahami
budaya dan agama diperlukan pengetahuan dan cara yang baik tentang hal
tersebut. Terutama pendidikan yang berkaitan dengan akhlaq dan moral.
Jika korupsi di dalam masyarakat telah merajalela dan
menjadi makanan masyarakat setiap hari, maka akibatnya akan menjadikan
masyarakat tersebut menjadi kacau dan tidak ada sistem sosial yang dapat
berlaku dengan baik.
Selain itu, korupsi yang terjadi di Indonesia juga bisa
berbahaya terhadap generasi muda atau generasi yang akan datang. Korupsi yang
telah merajalela yang mengakibatkan semakin rusaknya moral bangsa Indonesia.
Ada empat hal penting yang menyebabkan seseorang
melakukan korupsi.
1.
Pertama, mereka
tidak merasa bersalah karena dikuasai keserakahan.
2.
Kedua, mereka sudah
tidak merasa malu karena semakin banyak orang yang melakukannya.
3.
Ketiga, mereka
sudah tidak merasa takut.
4.
Keempat, masyarakat
tidak memberikan sanksi sosial.
Lemahnya standar moral inilah yang menyebabkan korupsi di
Indonesia sulit untuk diberantas dan diselesaikan karena para pemilik kekuasaan
yang melakukan korupsi sudah tidak mempunyai malu dan lemahnya standar moral
dalam diri mereka.
Dalam hal ini memberantas korupsi lebih ditekankan pada
pengembangan moralitas yang dapat menentukan tingkah laku seseorang untuk
berlaku jujur, adil dan bertanggung jawab, serta meningkatkan pemahaman
terhadap nilai-nilai dasar agama dan pendidikan antikorupsi.
Faktor-faktor penyebab korupsi yaitu didasari oleh dua
hal yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu penyebab
yang datangnya dari diri sendiri. Ketika seseorang yang menduduki suatu
jabatan, dirinya berpikir secara materialistik dan konsumtif. Keadaan ini
digunakan untuk meraih suatu materi dengan permainan uang dan korupsi karena tingginya
gaya hidup yang konsumtif dan tidak mau bekerja keras.
Faktor eksternal yaitu pengaruh-pengaruh dari lingkungan
luar, di lingkungannya banyak orang yang melakukan tindakan korupsi, sehingga
mereka mengikuti hal yang salah karena lemahnya tingkat keimanan, kejujuran,
rasa malu, moral dan etika.
Masalah korupsi di Indonesia harus dikuatkan melalui
pendekatan pendidikan anti korupsi dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat akan haknya sebagai warga negara dan kesadaran akan dampak negatif
korupsi bagi kelangsungan dipembangunan, pendidikan anti korupsi sangat penting
karena upaya untuk mendorong generasi muda yang akan datang untuk mengembangkan
sikap terhadap tindakan setiap bentuk korupsi.
Agar tidak semakin melemahnya standar moral masyarakat,
dalam korupsi lebih ditekankan pada pengembangan moralitas yang dapat
menentukan tingkah laku seseorang untuk berlaku jujur, adil dan bertanggung
jawab.
Aspek itu harus tertanam di diri masing-masing individu.
Serta meningkatkan pemahaman terhadap nilai-nilai dasar agama dan pendidikan
anti korupsi dan juga memberikan sanksi yang sepadan dengan apa yang dilakukan
oleh para koruptor.
MORAL DAN PERILAKU KORUPSI
hukum, moral dan perilaku korupsi dlakukan dengan
menggunakan pemikiran H.L.A. Hart. Pemikiran Hart bertolak dari tesis tentang
kelangsungan hidup manusia yang bertolak dari fakta bahwa kebanyakan manusia
pada kebanyakan waktunya ingin hidup (Hart-Khozim, 2011: 296), Hal ini menarik
untuk dipergunakan dalam membahas hukum, moral dan perilaku korupsi oleh karena
adanya perilaku korupsi di Indonesia saat ini bila dijumlahkan akan mencapai
jumlah yang spektakuler, sehingga menghambat pembangunan bahkan dapat mengancam
kelangsungan hidup bangsa dan masyarakat Indonesia. Sebagai bandingan, saya menggunakan juga
pandangan Michael Sandel seorang ahli filsafat politik yang kini sangat
terkemuka di Amerika Serikat.
Sebaliknya dapat juga dipahami bahwa dalam lingkup masyarakat plural, seseorang atau sekelompok orang dapat mengedepankan pendapatnya berdasarkan keyakinan moralnya sendiri, akan tetapi di dalam kehidupan politik adalah tidak selayaknya menolak keyakinan moral yang berbeda tetapi diperlukan memperoleh nilai-nilai kebersamaan yang menjadi kepentingan nasional yang dipahami oleh seluruh bangsa dan masyarakat Indonesia, baik secara moral maupun tercapainya keadilan sosial. Resonansi retorika politik yang terwujud di dalam hukum, apapun bertolak juga dari moral yang muncul secara pribadi maupun dari dalam kelompok.
Dimana-mana, termasuk di Indonesia, tekanan terhadap
perilaku korupsi sangat dipengaruhi oleh moralitas yang berakar pada pandangan
tertentu, baik moral berdasar agama maupun moral sosial yang berakar pada
cita-cita dari banyak kelompok tertentu dalam masyarakat. Hal itu tampak pada
opini-opini, maupun kritik yang dikedepankan secara pribadi lewat media cetak
maupun elektronik. Disinilah tercermin kepentingan atau interes nasional. Walau
demikian dapat muncul pendapat bahwa moral maupun cita-cita yang ditampilkan,
hanya mengedepankan kewajiban samar-samar untuk dipatuhi. Dengan demikian,
acuan terhadap moralitas maupun cita-cita
sedemikian tidak menjadi ukuran bagi kesahihan hukum yang berhubungan dengan
korupsi. Hukum perlu memperoleh kesahihan bukan karena semata-mata dibuat oleh
lembaga yang berwenang namun juga dari moral.
Namun moralitas yang menolak perilaku korupsi berdasar
pada pandangan keagamaan atau kelompok tertentu saja, dapat saja menyeret
adanya ekspresi yang bertolak belakang dengan interes nasional ketika perilaku
korupsi teridentifikasi sebagai komponen dari kelompok. Oleh karena itu, kepentingan atau interes
nasional merupakan cita-cita netralitas dalam hukum dan moral. Moral yang
menolak perilaku korupsi ditransformasikan ke dalam hukum, menjadi netral
terhadap siapapun juga. Sekalipun di dalam bangsa dan masyarakat terdapat
perbedaan kekuatan kelompok, kemampuan intelektual maupun kecepatan bertindak,
namun semua memiliki kedudukan setara sehingga netralitas sangat diperlukan
menghadapi perilaku korup yang dilakukan oleh siapapun juga.
Berdasar pemikiran klasik Hukum Alam, bahwa ada
prinsip-prinsip perilaku yang menunggu untuk ditemukan oleh akal pikiran
manusia (Hart-Khozim, 2011:287, 288), maka prinsip perilaku menolak korupsi
merupakan prinsip yang ditemukan akal pikiran manusia. Penolakan terhadap
perilaku korupsi bukan sekedar sebuah mimpi, karena penolakan terhadap perilaku
korupsi adalah bagian dari konsepsi umum mengenai kehidupan alam semesta yang
materialistik, maupun kehidupan religius.
Dari kehidupan sehari-hari, keinginan berperilaku korup
dalam jumlah yang paling sederhana seperti melakukan mark-up harga pembelian
barang secara eceran ataupun pada penambahan harga foto-copy, sampai pada
jumlah yang sangat besar, didasarkan pada pandangan Jika dirasa menyenangkan,
lakukanlah, Ambillah sesuatu yang orang lain juga melakukannya, asal dapat
dibuat pertanggung-jawabannya, pada hakekatnya mencerminkan perbuatan pemuasan
diri sendiri, penyelamatan diri sendiri. Perbuatan memuaskan diri sendiri
maupun perbuatan menyelamatkan diri sendiri, adalah perbuatan tidak bermoral.
Perilaku korupsi sebagai perbuatan tidak bermoral mengungkapkan sebuah
kebenaran yang mendalam.
Disinilah letak dari arti perundang-undangan anti korupsi
sebagai hukum tentang perilaku yang benar yang ditemukan dalam akal pikiran
manusia. Perundang-undangan anti korupsi merupakan sebuah preskripsi yakni
pedoman atau rumusan yang menuntut agar manusia berperilaku menurut cara-cara
yang ditetapkan. Perbuatan menyelamatkan diri sendiri dan perbuatan memuaskan
diri sendiri dalam sekumpulan masyarakat, merupakan gejala yang tidak
dikehendaki. Sekalipun perbuatan tidak bermoral berupa pemuasan diri sendiri maupun
penyelamatan diri sendiri dapat terjadi dengan sanksi yang samar-samar, namun
sejak adanya hukum preskriptif yang mengatur tidak boleh dilakukannya perbuatan
korupsi, maka hukum preskriptif tersebut tetaplah merupakan hukum. Bagi Kant,
hukum preskriptif berada di bawah hukum umum sebagai prinsip tertinggi
moralitas. Prinsip tertinggi moralitas pada hakekatnya adalah prinsip formal
tertinggi dari kehendak (formal principle of the will). Sedangkan hukum
preskriptif merupakan prinsip marerial tindakan (formal principke of act) yang
tergantung pada tujuan-tujuan dan hasrat-hasrat empiris (Acton-Hardani, 2003:43, 44).
Hukum preskriptif sebagai pedoman atau rumusan yang
bergantung pada tujuan-tujuan dan hasrat-hasrat empiris atau nyata, menetapkan
bahwa perilaku korupsi adalah perilaku yang dapat mengganggu keberlangsungan
hidup bersama.
Diakui bahwa manusia sebagai mahluk yang dianugerahi
pikiran dan kehendak bebas bisa saja menemukan dan melanggar hukum preskriptif
tentang tidak boleh berperilaku korup, akan tetapi di dalam hukum preskriptif
tersebut terkandung kebenaran dasar tentang pemahaman atas moralitas dan hukum
(Hart-Khozim, 2011:291). Manusia sebagai mahluk hidup senantiasa memiliki arah.
Dilihat dari konsep tentang maksud (teleologis) dari gerak manusia, maka
manusia menghendaki adanya keunggulan keseluruhan masyarakat pada dirinya.
Keunggulan bagi keseluruhan masyarakat diwujudkan dalam berbagai langkah
khusus. Setiap perilaku yang diperlukan bagi tercapainya maksud tersebut,
diatur secara tetap dan khusus dan memperlihatkan karakteristik tindakan bagi
tercapainya perubahan atau keadaan yang diinginkan.
Berbeda dari Hart, hasrat dan kehendak untuk mencapai
keunggulan bagi keseluruhan masyarakat saja, menurut Kant (dalam Sandel, 2009:
107), dapat dilihat sebagai pure practical reason yang berfungsi sebagai dasar
dari moral (Kant dalam Sandel, 2009: 107, 108). Manusia merupakan mahluk
rasional (rational beings) memiliki kemampuan bertindak rasional, dan manusia
juga sebagai mahluk mandiri (autononus beings), memiliki kemampuan bertindak
dan bebas memilih. Kemampuan bertindak manusia dilakukan berdasar rasio. Rasio
manusia bertolak dari motif-motif tindakan yang bermoral, sebagai sebuah
kewajiban (Kant dalam Sandel, 2009: 111).Dalam pemikiran Kant sedemikian, maka
perilaku korup walau merupakan perilaku yang dapat dipilih untuk dilakukan,
namun perilaku sedemikian tidak dapat dipandang sebagai tindakan yang bermoral.
Sebaliknya, perilaku tidak korup justru merupakan sebuah kewajiban. Jadi, bagi
Kant perilaku korup atau tidak korup,
tidak dihubungkan dengan akibat yang ditimbulkannya, seperti yang dikemukakan
oleh Hart.
Dilihat dari pemahaman moralitas dan hukum
sedemikian,dilihat dari pemahaman Hart, masyarakat dan bangsa Indonesia
menghendaki keunggulan bagi dirinya. Artinya, sebagaimana masyarakat dan bangsa
Indonesia menghendaki kehidupan yang sejahtera dan bahagia yang dicapainya
secara bersama-sama, sebagai akibat tidak boleh dilakukannya perilaku korup.
Sebaliknya bagi Kant, perilaku tidak korup merupakan perilaku tidak bermoral
saja, tanpa perlu mempertimbangkan ada tidaknya konsekuensi dari perilaku.
Karena itu, bagi Hart selain melakukan langkah-langkah
yang dilakukan dengan sadar di bidang kesejahteraan sosial, ekonomi maupun
budaya maka langkah-langkah khusus yang secara sadar membatasi atau meniadakan
perilaku-perilaku seperti perilaku korupsi yang mengganggu ataupun mengurangi
tercapainya kesejahteraan dan kebahagiaan bersama. Peniadaan perilaku korupsi
melalui rumusan-rumusan perilaku tertentu secara khusus dalam
perundang-undangan anti korupsi merupakan kebutuhan manusia yang harus dipenuhi
dan diperbuat oleh manusia di Indonesia.
Selain itu, ada perilaku memuaskan diri sendiri dan
menyelamatkan diri sendiri dipandang sebagai suatu kebutuhan alamiah pula yang
selalu ada pada setiap manusia, yang tampak pada saat-saat tertentu. Pemuasan
diri dengan melakukan kerja keras untuk memperoleh penghasilan yang semestinya
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya secara wajar, penyelamatan diri di
masa depan melalui investasi keuangan yang diperoleh secara sehat saat ini yang
tidak merugikan atau membahayakan masyarakat atau bangsa, juga merupakan
kebutuhan alamiah yang perlu diberi pengakuan. Pengakuan kebutuhan alamiah
berrdasarkan moral memerlukan transformasi ke dalam hukum.
Sebaliknya bagi Kant (dalam Sandel, 2011: 117,118)),
motif moral berupa tidak melakukan korupsi merupakan merupakan prinsip moral
tertinggi (supreme principle of morality). Oleh karena itu, seseorang perlu
menempatkan hukum bagi dirinya sendiri, secara otonom, untuk tidak berperilaku
korup. Bertolak dari premise Kant, bahwa semua di dalam alam bekerja sesuai
dengan alam, namun karena manusia bukan benda fisik yang tunduk pada hukum alam
hukum fisika, hukum sebab-akibat, hukum kebutuhan alam, maka penundukan diri
pada hukum diadakan melalui adanya hukum yang dipaksakan oleh manusia sendiri,
yang berasal dari moral.
Jadi, adanya perilaku korup adalah tidak memenuhi moral
imperative yang berada di atas segalanya. Kebebasan untuk mengesampingkan
hasrat-hasrat naluriah, yakni hasrat mendapat manfaat sebesar-besarnya dari
perilaku korup, merupakan kewajiban moral. Karena itu hukum, dalam pengertian
undang-undang, perlu memaksa agar perilaku korup tidak dilakukan. Sumber dari
adanya undang-undang yang mewajibkan tidak boleh dilakukannya perilaku korup
(Acton-Hardani, 2003: 98) adalah pada moral imperative. Undang-undang berdasar
moral, atau undang-undang akal budi tentang tidak boleh dilakukannya perilaku
korupsi, adalah gagasan-gagasan yang diletakkan pada asas rasio yakni kebajikan
(Kant dalam Anthon F. Susanto, 2010: 284).
Sebaliknya, perbuatan memuaskan diri sendiri ataupun
menyelamatkan diri sendiri yang dapat mengakibatkan kerugian ataupun
membahayakan secara teratur kehidupan bangsa dan masyarakat secara keseluruhan,
maka diperlukan kesepakatan untuk menyusun rumusan atau ketentuan preskripsi
tentang perilaku yang meniadakan perilaku korupsi, sebagai fungsi-fungsi yang
mengarah bagi tercapainya tujuan bersama. Kegagalan terpenuhinya fungsi-fungsi
berarti kegagalan mencapai sasaran, dan hal itu berarti pula kehilangan
kesanggupan yang disediakan bagi manusia. Kegagalan pihak yang yang diberi
wewenang mengawasi terpenuhinya fungsi-fungsi, berarti kegagalan mencapai
tujuan yang tepat dari kegiatan yang bertujuan menjamin kebersamaan
kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Jadi, fungsi-fungsi penegakan hukum yang
meniadakan perilaku korupsi, yang berasal dari konsep demi tercapainya kebaikan
manusia yaitu berupa kesejahteraan dan kebaikan bersama, dikembangkan dalam
akal dan pikiran manusia. Pengembangan ini mengarah pada pernyataan Hobbes dan
Hume yang disitir Hart-Khozim (2011:
296) bahwa manusia pada hakekatnya tidak dapat bertahan hidup dengan cara apa
pun tanpa bersekutu dengan sesama individu dan persekutuan itu tidak pernah
akan berlangsung tanpa ada penghargaan terhadap hukum kesetaraan dan keadilan.
Tanpa isi kelangsungan hidup, hukum dan moral tidak
memiliki makna. Artinya, manusia tidak akan memiliki alasan untuk mematuhi
secara sukarela peraturan apapun (Hart, 2011:299).
Dengan demikian, jika terjadi kegagalan Komisi
Pemberantasan Korupsi, maupun instansi-instansi kepolisian, kejaksaan maupun
pengadilan dalam upaya peniadaan perilaku korup, bahkan juga kegagalan
pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, maupun
lembaga pemasyarakatan dalam membatasi gerak perilaku narapidana korup, jika
dilihat dari pandangan Hart, maka hal itu merupakan bentuk dari kegagalan
tercapainya kesejahteraan dan kebaikan bersama bangsa dan masyarakat Indonesia,
sebagai wujud dari kelangsungan hidup. Dilihat dari pandangan Kant, kegagalan
yang terjadi adalah kegagalan memenuhi prinsip moral imperative yang menjadi
prinsip moral tertinggi dari manusia. Kegagalan sedemikian menyebabkan keadilan
tidak dapat tercapai, karena makna tindakan yang adil yang ada pada
undang-undang yakni undang-undang moral ada pada asas rasio pada maksim (Kant
dalam Anthon F. Susanto, 2010: 284).
Sebaliknya, kegagalan mentransformasikan moral yang
menolak perilaku korupsi di dalam hukum, juga merupakan kegagalan menempatkan
dan meraih tujuan kelangsungan hidup bersama. Rumusan-rumusan spesifik di dalam
hukum tertentu yang memungkinkan tidak tercapainya kelangsungan hidup bersama,
atau memungkinkan terjadinya penolakan pemeriksaan terhadap perilaku korup,
perlu diabaikan berdasarkan sumber moral yang tegas menolak perilaku korupsi.
Pengabaian sedemikian bukan meniadakan supremasi hukum, akan tetapi justru
menegakkan hukum dan moral bagi kelangsungan hidup bersama.
Kemampuan menahan diri memang dibutuhkan agar orang tidak
melakukan perbuatan korup. Akan tetapi keterbatasan kemampuan menahan diri,
membuat kecenderungan orang untuk bersifat agresif dalam melakukan korupsi.
Kepentingan-kepentingan kelompok yang bertujuan memperkuat kemampuan bertindak
dalam menguasai sumber-sumber kehidupan cenderung mendorong agresivitas satu
atau beberapa orang dalam melakukan korupsi, melalui jalinan kerjasama yang
rapi dan ruwet. Pemahaman, pengabdian dan loyalitas terhadap kepentingan
kelompok tidak dapat dan tidak akan berdiri terlepas dari penguatan kemampuan
satu atau beberapa orang di dalam kelompok untuk bertindak menguasai sumber-sumber kehidupan.
Tidak dapat dipikirkan bahwa mereka akan berada terlepas dari keyakinan
tertentu atau terlepas dari loyalitas terhadap kelompok atau konsepsi politik
perseorangan.
Kemampuan menahan diri agar tidak berperilaku korup, pada
hakekatnya perlu diarahkan pada adanya sikap toleran terhadap hukum dan moral
yang ditujukan bagi tercapainya kelangsungan hidup bersama yang adil dan benar.
Kemampuan menahan diri ini oleh Kant dipandang sebagai kewajiban sempurna
(Acton-Hardani, 2003, 45), yakni kewajiban yang tidak dapat ditolak.