Impostor Syndrome (sindrom penipu)
Istilah Sindrom Imposter pertama kali digunakan oleh
psikolog Suzanna Imes dan Pauline Rose Clance pada 1970-an. Sindrom Imposter
mengacu pada pengalaman internal yang percaya seseorang tidak kompeten seperti
orang lain. Meskipun biasanya diterapkan secara sempit pada kecerdasan dan
pencapaian, definisi ini memiliki kaitan dengan perfeksionisme dan konteks
sosial.
Sederhananya, sindrom penipu merupakan suatu keadaan
ketika orang merasa menjadi palsu. Orang-orang yang berjuang dengan sindrom
penipu percaya mereka tidak layak mendapatkan prestasi dan penghargaan tinggi
yang sebenarnya mereka pegang, menganggap pencapaian hanya karena keberuntungan
semata.
Sindrom Imposter dapat mempengaruhi siapa saja tanpa
memandang status sosial, latar belakang pekerjaan, tingkat keterampilan atau
keahlian. Namun, pengidap Sindrom Imposter sering kali berhasil dengan baik,
seperti halnya mereka mungkin memegang jabatan tinggi atau banyak gelar
akademis.
Diketahui ada sekitar 25-30 persen orang berprestasi
tinggi mungkin menderita Sindrom Imposter. Adapun, hal yang menyebabkan sindrom
tersebut termasuk ciri-ciri kepribadian yang sebagian besar mendorong Sindrom
Imposter. Mereka yang mengalami hal tersebut berjuang dengan efikasi diri,
perfeksionis, dan neurotisisme.
Penting bagi penderita untuk melawan keadaan tersebut
sebab Sindrom Imposter dapat menghambat potensi pertumbuhan dan makna dengan
mencegah orang mengejar peluang baru untuk pertumbuhan secara pribadi, baik
dalam kaitannya di tempat kerja, hubungan, atau hobi. Menghadapi Sindrom
Imposter dapat membantu orang terus tumbuh dan berkembang.
Menurut dua psikolog Amerika, Pauline Clance dan Suzanne
Imes, pada 1978 tentang istilah impostor syndrome. Diperkirakan 70% orang
mengidap sindrom ini.
Dikutip dari Hellosehat, Impostor Syndrome tidak masuk
dalam Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ), yang berarti
sindrom ini tidak tergolong penyakit mental. Kata Impostor Syndrome, Imposter
Syndrome, Fraud Syndrome atau dalam Bahasa Indonesia disebut sindrom penipu
pertama kali dikenal pada tahun 1970-an oleh Psikolog Pauline Clance dan
rekannya Suzanne Imes. Orang-orang dengan Impostor Syndrome terobsesi pada
pemikiran akan melakukan kesalahan, mendapat umpan balik negatif &
mengalami kegagalan, serta takut menjajal hal baru.
Selain itu, Impostor Syndrome tidak masuk dalam
klasifikasi gangguan jiwa. Kendati begitu, sindrom ini umum dijumpai dalam
kehidupan dan cukup mengganggu karena jika terus menerus terjadi dapat
menimbulkan kecemasan, stres, bahkan depresi. Dikutip dari ugm.ac.id, Kondisi
ini berbeda dengan istilah Impostor yang berasal dari Bahasa Inggris yang
artinya orang yang berpura-pura menjadi orang lain dengan tujuan untuk menipu
atau melakukan kecurangan. Hal itu dilakukan untuk mendapatkan keuntungan dari kepura-puraan.
Pada intinya, sindrom ini bisa menyerang siapa pun,
tetapi biasanya lebih rentan dialami oleh orang-orang yang berprestasi. Orang
yang mengalami impostor syndrome cenderung akan terus memotivasi dirinya untuk
terus bekerja keras, bahkan terkadang lebih dari yang diperlukan. Namun, hal
ini dilakukan semata-mata agar ia merasa aman dan tidak ada orang yang tahu
bahwa dirinya adalah seorang penipu.
Beberapa faktor penyebab yang membentuk Impostor Syndrome :
1.
Pola asuh keluarga,
Ketika anak tumbuh dengan dalam keluarga yang terlalu mengedepankan suatu
pencapaian intelektual dan tidak cukup mengajarkan pada anak tentang bagaimana
merespons kesuksesan maupun kegagalan maka akan menjadi lahan subur bagi
Impostor Syndrome untuk berkembang.
2.
Adanya tuntutan
dari masyarakat bahwa kesuksesan adalah hal yang sangat penting yang memicu
pemikiran yang keliru tentang seseorang akan berharga hanya jika ia berhasil
dan tidak berharga ketika gagal.
3.
Mendapatkan peran
baru di masyarakat. Misalnya ketika lulus dari kuliah dan menjadi fresh
graduate serta ketika menjadi pekerja untuk pertama kali.
4.
Serta sifat
perfeksionis yang mengakibatkan kekecewaan semakin parah jika ekspektasi dan
kenyataan tidak berjalan seiringan.
Tanda dari Impostor Syndrome :
1.
Sering meragukan
kemampuan diri sendiri.
2.
Sering mengaitkan
kesuksesan dan pencapaian dengan faktor eksternal.
3.
Tidak mampu menilai
kompetensi dan keterampilan diri secara objektif.
4.
Merasa takut akan
gagal suatu hari nanti.
5.
Merasa kecewa
hingga frustasi ketika tidak mampu memenuhi standar yang ditetapkan sendiri.
6.
Tidak mampu
mengambil tanggung jawab.
7.
Mudah Frustasi atau
depresi ketika gagal memenuhi standar yang ia terapkan sendiri, dan.
8.
Cenderung
perfeksionis yang mengakibatkan kekecewaan makin parah ketika yang diharapkan
tidak terjadi.
Tanda Seseorang Alami Imposter Syndrome
Gejala imposter syndrome tidak muncul setiap waktu. Misalnya, gejalanya hanya muncul ketika pengidapnya menjalani pekerjaan baru di minggu-minggu pertama.
Seseorang yang mengidap imposter umumnya selalu ragu-ragu atau khawatir terhadap persepsi orang tentang pencapaian dan kemampuannya. Pengidap imposter syndrome sangat menjaga citra dirinya di depan orang lain. Tanda lainnya adalah :
1. Khawatir dengan Performa Kerja. Pengidap imposter syndrome mungkin takut bahwa kolega dan bosnya mengharapkan usaha yang lebih dari dirinya dan mereka takut tidak berhasil menjalankannya. Rasa takut dan khawatir yang terlalu besar ini membuat pengidap imposter syndrome menahan diri untuk mengeluarkan potensinya demi menghindari kesalahan. Mereka takut bahwa kesalahan yang mereka lakukan bisa merusak kinerjanya.
2. Menghindari Tanggung Jawab. Seseorang yang punya imposter syndrome biasanya lebih fokus dengan tugas yang sudah ada dan enggan mengambil tugas tambahan yang sebenarnya bisa meningkatkan nilai kinerja mereka. Alasan mengapa mereka justru menghindari tugas tambahan karena takut mengganggu atau merusak kualitas tugas mereka yang lain.
3. Meragukan Diri Sendiri. Kesuksesan justru bisa menimbulkan keraguan pada diri pengidap imposter syndrome. Ketika pengidap meraih pencapaian yang bagus pun, mereka mungkin tidak dapat mengenali pencapaiannya. Alih-alih merayakan pencapaiannya, pengidap imposter syndrome justru khawatir tidak dapat mempertahankan pencapaiannya tersebut.
4. Menyangkal Potensinya. Pengidap imposter syndrome mungkin menyangkal kompetensi yang mereka miliki karena merasa bahwa kesuksesannya disebabkan oleh faktor atau peluang dari luar. Demikian pula ketika terjadi kesalahan karena alasan eksternal, pengidap mungkin menyalahkan dirinya sendiri.
5. Tidak Puas dengan Kinerja. Dalam beberapa kasus, pengidap imposter syndrome mungkin tidak merasa cukup tertantang dalam pekerjaannya. Namun, ketakutan akan kegagalan juga bisa menghentikan mereka untuk meraih prestasi lebih atau tanggung jawab tambahan. Melansir dari Healthline, hasil studi pada 2014 menunjukkan bahwa orang yang mengidap sindrom penipu cenderung tetap pada posisinya, karena mereka tidak percaya bahwa mereka bisa berbuat lebih baik.
6. Menghindari Promosi. Akibat terlalu meremehkan keterampilan dan kemampuan yang mereka miliki, pengidap sindrom penipu sering kali mencari jalan aman dengan menghindari promosi atau tanggung jawab lebih. Mereka melakukan ini karena merasa tidak percaya bahwa mereka pantas mendapatkannya.
Cara Menghadapi Impostor Syndrome
Walau bukan salah satu jenis gangguan mental, Impostor
Syndrome yang dibiarkan berlarut-larut bisa menyebabkan gangguan kecemasan
hingga depresi.Untuk menghindari hal tersebut, Dikutip dari Verywellhealth, ada
beberapa cara yang bisa dilakukan guna menghadapinya, antara lain :
1.
Akui perasaan.
2.
Lawan Pikiran
Negatif.
3.
Bicarakan perasaan.
4.
Kenali kekuatan dan
kelemahan sendiri.
5.
Akui dan nikmati
kesuksesan.
Apabila seseorang mencurigai dirinya mengalami Impostor
Syndrome, sebaiknya mengambil konsultasi dengan Psikolog atau Dokter Spesialis
Kejiwaan. Sebab, fenomena yang mempunyai istilah intellectual self-doubt ini
dapat meluas pada area fungsi mental lainnya dan dapat memunculkan gangguan
mental misalnya gangguan kecemasan dan
depresi.
Pernah dengar tentang imposter syndrome? Seseorang yang
mengidap imposter syndrome atau sindrom penipu selalu meragukan pencapaian dan
kemampuan dirinya sendiri. Sindrom ini memang bisa menyerang siapa pun, tetapi
biasanya lebih rentan dialami oleh orang-orang yang berprestasi.