Amicus Curiae & Contoh Amicus Curiae
Amicus curiae (secara harfiah, sahabat pengadilan; plural, amici curiae) adalah orang atau organisasi yang bukan pihak dalam suatu perkara hukum dan mungkin atau mungkin tidak diminta oleh suatu pihak dan yang membantu pengadilan dengan menawarkan informasi, keahlian, atau wawasan yang memiliki kaitan dengan isu-isu dalam kasus tersebut; dan biasanya disajikan dalam bentuk singkat. Pengadilan bebas memutuskan apakah mereka akan mempertimbangkan suatu amicus brief (laporan singkat dari amicus curiae) atau tidak.
Amicus curiae adalah seseorang atau organisasi yang tidak terlibat langsung sebagai pihak dalam suatu kasus hukum. Tetapi, memiliki kepentingan atau pandangan yang relevan dengan kasus tersebut. Mereka mengajukan permohonan untuk memberikan pendapat atau informasi kepada pengadilan mengenai masalah hukum yang sedang dipertimbangkan.
Tujuan
Tujuan utama dari intervensi amicus curiae adalah untuk memberikan perspektif tambahan, argumen, atau informasi hukum kepada pengadilan yang mungkin tidak diberikan oleh pihak-pihak yang terlibat langsung dalam kasus tersebut. Hal ini dapat membantu pengadilan dalam membuat keputusan yang lebih tepat dan adil.
Meskipun "amicus curiae" bukan pihak dalam kasus, pendapat atau argumen yang mereka sampaikan dapat memiliki pengaruh signifikan terhadap hasil akhir dari kasus tersebut. Oleh karena itu, kehadiran "amicus curiae" sering kali dianggap penting dalam proses hukum, terutama dalam kasus-kasus yang memiliki implikasi luas atau kontroversial.
Dasar hukum
Saat ini, konsep Amicus Curiae dalam sistem hukum Indonesia didasarkan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan, "Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat".
Dasar hukum penerimaan Amicus Curiae dapat dilihat pada Pasal 180 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan “Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat diminta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan”.
Ketentuan “dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan” secara tidak langsung menjadi rujukan konsep Amicus Curiae. Jika ditafsirkan dengan pasal tersebut, Amicus Curiae merupakan wujud keterlibatan masyarakat dalam peradilan pidana. Namun, tidak ada pengaturan lebih lanjut mengenai Amicus Curiae dalam hukum pidana.
Mengingat fungsi Amicus Curiae sebagai informasi untuk mengklarifikasi fakta maupun konsep hukum, praktik penggunaannya dalam hukum pidana bisa ditempatkan dalam pembuktian. Tahap pembuktian sangat penting dalam proses persidangan pidana karena merupakan proses pencarian kebenaran terkait benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan pidana yang didakwakan. Teori yang digunakan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia adalah pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (Negative Wettelijk). Pasal 183 KUHAP menegaskan bahwa hakim hanya dapat menjatuhkan pidana apabila telah tersedia setidaknya dua alat bukti berdasarkan undang-undang ditambah dengan keyakinan hakim.
Alat bukti yang digunakan dalam pembuktian sudah ditetapkan secara terbatas dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Meskipun memiliki karakteristik yang hampir mirip dengan alat bukti keterangan saksi dan ahli, Amicus Curiae tidak dapat dimasukkan ke dalam dua kategori alat bukti tersebut. Hal itu disebabkan dua alasan. Pertama, Pasal 1 angka (26) KUHAP, seorang saksi didefinisikan sebagai orang yang memberikan keterangan tentang suatu perkara pidana berdasarkan apa yang di dengar, lihat, dan alami secara langsung, sedangkan pada praktiknya tidak ada persyaratan bahwa Amicus Curiae haruslah orang yang melihat, mendengar, ataupun mengalami sendiri perihal yang berkaitan dengan perkara pidana tersebut. Kedua, Amicus Curiae juga tidak dapat dikategorikan sebagai alat bukti saksi ahli. Hal ini disebabkan ada syarat menjadi saksi ahli yaitu harus memiliki keahlian khusus terkait informasi yang diberikan. Padahal, Amicus Curiae tidak harus berasal dari orang yang mempunyai keahlian khusus seperti saksi ahli. Masyarakat biasa pun dapat menjadi Amicus Curiae asalkan orang tersebut mengikuti kasus yang terjadi.
Walaupun belum dapat diposisikan sebagai alat bukti yang sah, Amicus Curiae dalam pembuktian dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan hakim. Hal ini mengacu pada ketentuan dalam KUHAP dan teori Pembuktian Negatif yang dianut Indonesia bahwa dalam pembuktian diperlukan adanya keyakinan hakim dalam menjatuhkan pidana selain ketersediaan alat bukti. Keyakinan hakim haruslah didasarkan pada alasan-alasan yang rasional. Dalam konteks ini, Amicus Curiae digunakan untuk membantu hakim membuat pertimbangan-pertimbangan sebelum putusan pidana dijatuhkan. Maka, kekuatan pembuktian Amicus Curiae terletak pada keyakinan hakim itu sendiri dalam menilai kasus. Hakim menilainya secara faktual disertai tolok ukur relevansi dari Amicus Curiae yang diajukan terhadap perkara tersebut.
Contoh Amicus Curiae dalam Berbagai Kasus di Indonesia
Amicus curiae berarti sahabat pengadilan. Amicus curiae adalah pihak yang merasa berkepentingan terhadap sebuah perkara sehingga memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan. Keterlibatan pihak yang merasa berkepentingan ini hanya sebatas memberikan opini guna memperkuat analisa hukum dan menjadi bahan pertimbangan hakim.
Berikut beberapa contoh amicus curiae dalam kasus-kasus di Indonesia :
Amicus curiae dalam kasus Time vs Soeharto Kasus ini berawal ketika majalah Time edisi Asia Volume 153 Nomor 20 terbitan 24 Mei 1999 memuat pemberitaan dan gambar Presiden Soeharto dengan judul sampul “Soeharto Inc. How Indonesia’s longtime boss built a family fortune”. Majalah ini mengupas tentang bagaimana Soeharto membangun kekayaan keluarganya atau Soeharto Inc atau Perusahaan Soeharto dan tentang kekayaan Soeharto senilai Rp 9 miliar dolar AS yang ditransfer dari Swiss ke Austria. Pihak Soeharto menganggap pemberitaan yang dilakukan oleh majalah Time tersebut tendensius, insinuatif dan provokatif. Soeharto lalu menggugat majalah tersebut ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Dalam putusannya pada 9 November 1999, majelis hakim PN Jakarta Pusat menolak seluruh tuntutan dari Soeharto selaku penggugat dikarenakan pemberitaan Time tidak memenuhi unsur perbuatan melawan hukum.
Soeharto lalu mengajukan upaya hukum banding, namun, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta melalui putusannya pada 6 Juni 2000, menguatkan putusan PN Jakarta Pusat. Soeharto yang belum puas kembali melakukan upaya hukum dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Hasilnya, MA membatalkan putusan tingkat pertama dan banding pada 30 Agustus 2007. MA menghukum Time untuk membayar ganti rugi imateriil kepada Soeharto senilai Rp 1 triliun dan meminta maaf secara terbuka di media nasional maupun internasional. Tidak terima dengan keputusan ini, Time mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) kepada MA. Kelompok pegiat kemerdekaan pers kemudian mengajukan amicus curiae kepada MA terkait kasus ini. Majelis peninjauan kembali kemudian mengabulkan PK yang diajukan Time pada 16 April 2009 dan menyatakan majalah tersebut tidak melakukan perbuatan melawan hukum. Putusan ini sekaligus membatalkan putusan kasasi sebelumnya.
Amicus curiae dalam kasus Prita Mulyasari Lima lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang hukum mengajukan amicus curiae dalam kasus Prita Mulyasari pada Oktober 2009. Kelima LSM itu adalah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Indonesia Media Defense Litigation Network (IMDLN). Melalui amicus curiae tersebut, mereka memberikan pandangan tentang bagaimana tindak pidana penghinaan dapat dikategorikan sebagai pasal karet yang dapat menjerat siapa pun tanpa memerhatikan konteks pernyataan dan tidak sesuai dengan ketentuan hak asasi manusia yang telah diakui dan diratifikasi oleh negara Indonesia, Dalam kasus ini, seorang ibu rumah tangga bernama Prita Mulyasari dituduh melakukan pencemaran nama baik terhadap Rumah Sakit Omni International. Ibu tiga anak ini diperkarakan usai mengeluhkan pelayanan RS Omni International Serpong yang dialaminya, hingga kemudian tersebar di internet pada 2008. Dalam perkara perdata, Prita diputuskan bersalah dan diwajibkan membayar ganti rugi. Namun, pada 29 September 2010, MA mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan Prita sehingga ia dibebaskan dari seluruh ganti rugi yang nilainya Rp 204 juta. Sementara itu, dalam perkara pidana, kasus Prita kembali bergulir di PN Tangerang. Amicus curiae diajukan lima LSM di bidang hukum sebagai informasi pelengkap bagi majelis hakim yang memeriksa perkara Prita di PN Tangerang. Prita kemudian diputus bebas oleh PN Tangerang pada 25 Juni 2009. Akan tetapi, kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dikabulkan MA pada 30 Juni 2011 sehingga Prita dinyatakan bersalah secara pidana dan divonis enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun. Tidak tinggal diam, Prita kembali mengajukan PK. MA akhirnya mengabulkan permohonan PK Prita dan menganulir putusan pidana PN Tangerang dan kasasi MA pada 17 September 2012. Prita pun akhirnya bebas.
Amicus curiae dalam kasus Upi Asmaradana Dalam kasus ini, seorang jurnalis bernama Jupriadi Asmaradhana alias Upi Asmaradhana dituduh melakukan penghinaan terhadap mantan Kapolda Sulawesi Selatan dan Barat, Irjen Sisno Adiwinoto. Dalam sidang tuntutan di PN Makassar pada 23 Juli 2009, jaksa penuntut umum menuntut terdakwa satu tahun penjara karena dinilai bersalah dengan sengaja mengajukan atau membuat pemberitahuan palsu tentang seorang penguasa sehingga kehormatan atau nama baiknya diserang. ICJR kemudian mengajukan amicus curiae kepada majelis hakim di PN Makasar. Majelis hakim akhirnya memvonis bebas Upi dalam sidang yang digelar 14 September 2009. Hakim menilai Upi tidak terbukti bersalah. Ia dinyatakan tidak terbukti melakukan penghinaan terhadap penguasa sah. Baca juga: 5 Alasan Ratusan Guru Besar-Dosen Maju Jadi Amicus Curiae untuk Richard Eliezer Amicus curiae dalam kasus pembunuhan Brigadir J Contoh kasus dengan amicus curiae selanjutnya adalah kasus pembunuhan ajudan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo, Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J). Dalam kasus ini, amicus curiae diberikan kepada terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E. Eliezer adalah salah satu terdakwa kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J pada 8 Juli 2022. Dalam kasus ini, Eliezer menjadi terdakwa bersama Ferdy Sambo dan istrinya, Putri Candrawathi, serta ajudan Sambo selain Eliezer, yaitu Ricky Rizal atau Bripka RR. Selain itu, seorang asisten rumah tangga sekaligus sopir keluarga Sambo, Kuat Ma’ruf, juga turut menjadi terdakwa dalam kasus yang menyita perhatian publik ini. Pada sidang tuntutan yang digelar 18 Januari 2023, JPU menuntut Eliezer dengan hukuman 12 tahun penjara. Tuntutan ini lebih tinggi dibanding terdakwa Putri, Ricky dan Kuat. Amicus curiae kemudian diberikan oleh ratusan guru besar, dosen universitas terkemuka di Tanah Air yang tergabung dalam Aliansi Akademisi Indonesia terhadap Eliezer. Sebanyak 122 cendekiawan itu menyerahkan surat ke PN Jakarta Selatan pada 6 Februari 2023. Mereka menyatakan bahwa kasus pembunuhan yang melibatkan Eliezer harus ditangani dengan adil dan penuh pemahaman hukum yang tidak hanya bersifat tekstual, tapi juga kontekstual. Terlebih, dengan statusnya sebagai justice collaborator (JC), hukuman yang diterima Eliezer seharusnya tidak terlalu berat. Richard Eliezer mendapatakan status JC dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) lantaran telah membongkar skenario pembunuhan yang dibuat oleh Ferdy Sambo untuk menutupi peristiwa pembunuhan terhadap Brigadir J. Selain Aliansi Akademisi Indonesia, amicus curiae juga diberikan oleh ICJR, Public Interest Lawyer Network (Pilnet) dan ELSAM, serta sejumlah pihak lainnya untuk meringankan hukuman Eliezer.
POINT Consultant