Kisah Tan Khoen Swie Kediri
Pramoedya Ananta Toer kurang lebih pernah menulis begini di novelnya, "Kamu boleh pintar setinggi langit, tapi kalau kamu tidak menulis maka kamu akan hilang dari ingatan masyarakat dan sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian..."
Tetapi kalau menulis thok dan tidak pernah diterbitkan menjadi sebuah buku ya tulisan itu hanya akan menjadi konsumsi sendiri dan tidak begitu berdampak pada orang banyak. Masalahnya seberapa banyak sih ada orang yang mau menjadi penerbit buku? bisnis yang tidak terlalu jelas untungnya? apalagi menerbitkan buku di jaman kolonial Hindia Belanda dan bersaing keras dengan Penerbit Balai Pustaka yang dijadikan satu-satunya penerbitan resmi yang disubsidi oleh pemerintah kolonial?
Perkenalkan, inilah Tan Khoen Swie. Seorang Tionghoa yang punya nyali untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas? bukan dengan teriak-teriak sok nasionalis tetapi dengan tindakan nyata.
Lahir di Wonogiri tahun 1884 konon ia besar di kota kelahirannya dengan menjadi tukang rakit penyeberangan sungai Bengawan Solo. Lalu ia mengembara ke kota-kota lain sambil belajar menguasai bahasa Hakka sebagai bahasa pengantar dengan komunitas Tionghoa di mana pun dia tinggal. Dari pengembaraannya itulah ia kemudian menikahi seorang gadis dari Surabaya bernama Liem Gio Nio dan kelak memiliki 3 anak.
Pengembaraannya berhenti di Kediri. Di kota inilah Tan Khoen Swie semakin fasih berbahasa Jawa rendah maupun tinggi. Ia mampu membaca dan menulis aksara Jawa. Ia juga tertarik pada kebudayaan Jawa termasuk budaya wayang maupun ilmu kebatinan Kejawen.
Dia kemudian menghidupi kebudayaan Jawa tersebut dengan suka bermeditasi, puasa, berlaku vegetarian dan mempunyai minat tinggi pada hal-hal gaib dan ilmu Kejawen.
Minat kepada sastra dan kebatinan Jawa memberi ide baginya untuk mengembangkan bisnis penerbitan bernama Boekhandel Tan Khoen Swie, di rumah sekaligus tokonya (toko Soerabaia) di Jalan Dhaha Kediri. Bisnis itu ia didirikan tahun 1915, jadi 3 tahun sebelum Penerbit Balai Pustaka didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Melalui penerbitannya inilah Tan Khoen Swie benar-benar berkontribusi pada pengembangan kebudayaan Jawa. Fokus bisnisnya adalah buku berhuruf dan berbahasa Jawa, berhuruf latin dan berbahasa Jawa serta berhuruf latin dan berbahasa Melayu. Topik bukunya juga beragam dari buku masakan, pertanian, filsafat, pendidikan, sejarah, agama, sastra bahkan teknik berhubungan seksual suami isteri.
Tan Khoen Swie berjasa besar memasyarakatkan pengetahuan dan filsafat Jawa yang saat itu hanya terbatas dalam kepujanggaan kraton menjadi bentuk buku yang bisa dipelajari oleh semua kalangan masyarakat.
Semua buku-buku Jawa yang legendaris itu adalah terbitan dari Boekhandel Tan Khoen Swie:
- Primbon Jayabaya (Ronggowarsito)
- Serat Wedhatama (Mangkunegara IV)
- Serat Kalatidha (Ronggowarsito)
- Serat Gatholoco
- Serat Dharmogandul
- Serat Nitimani (ini buku kamasutra ala Jawa)
- Serat Babad Kediri
Selain aktif di dunia kebatinan, ia juga memimpin perkumpulan Kioe Kok Thwan, oranisasi Tionghoa Kediri yang melawan kolonial Belanda tahun 1935. Ia tidak pernah mau mengubah nama Tionghoa-nya untuk menunjukkan bahwa orang Tionghoa pun bisa menjadi orang Jawa dan Indonesia tanpa harus menanggalkan identitas aslinya.
Nasionalisme keindonesiaannya juga ditunjukkan dengan menerbitkan buku berbau anti kolonial berjudul "Atoeran dari Hal Melakoeken Hak Perkoempoelan dan Persidangan Dalem Hindia-Nederland" karangan R. Boediharjo (1932) serta buku "Tjinta Kebaktian Pada Tanah Air" tahun 1941.
Beberapa sastrawan dan pujangga seringkali bermeditasi di rumahnya untuk mendapat inspirasi dala penulisan karya tulisnya. Konon, Tan Khoen Swie juga menjadikan rumahnya sebagai tempat mampir para mantan pengikut Pangeran Diponegoro yang tercerai-berai.
Tan Khoen Swie sampai sekarang dihormati oleh para intelektual Jawa karena jasa dan kontribusinya pada Kasusastraan Jawa. Ia meninggal di Kediri tahun 1953. Anaknya, Tan Biang Liong, meneruskan usaha ayahnya bahkan sempat dipenjara 3 bulan karena menerbitkan buku Aji Asmorogomo, buku teknik berhubungan seksual untuk mendapatkan keturunan yang dilengkapi dengan ilustrasi. Kejadian ini menjadi salah satu penyebab anaknya menghentikan bisnis penerbitan di tahun 1963 untuk berkonsentrasi pada bisnis-bisnis lainnya.
Jadi sekarang ketahuilah, kawan. Kediri itu bukan hanya terkenal karena Gudang Garam-nya saja.
Ingatlah nama Tan Khoen Swie....ketika Anda sedang membaca buku.
Gara-gara dia orang lain jadi berpikir bahwa menjadi penerbit ternyata juga bisa menjadi penghidupan sekaligus mencerdaskan orang banyak.
Untuk jasa-jasanya itu pemerintah Republik Indonesia belum pernah memberikan penghargaan apa pun kepadanya.
Tan Khoen Swie
Tan Khoen Swie (Hanzi: 陳坤瑞; Pinyin: Chén Kūnruì; 1883/1894–1953) dulu adalah seorang Tionghoa Indonesia yang melalui perusahaannya, Boekhandel Tan Khoen Swie, menerbitkan sejumlah buku dalam bahasa Jawa dan bahasa Melayu.
Lahir di Wonogiri, Tan telah tertarik dengan budaya Jawa sejak kecil, dengan belajar kepada Mas Ngabehi Mangoenwidjaja dari Wonogiri dan belajar di Kasunanan Surakarta. Setelah sempat bekerja di sebuah penerbit Tionghoa di Surakarta, ia pindah ke Kediri dan mendirikan perusahaan penerbitannya sendiri. Hingga ia meninggal, perusahaan tersebut menerbitkan setidaknya 279 karya yang ditulis oleh sejumlah penulis dan membahas berbagai topik. Putranya kemudian mengambil alih Boekhandel Tan Khoen Swie, tetapi perusahaan tersebut tidak dapat bertahan lama.
Mengenal Penerbit Legenda Tan Khoen Swie (versi Agen Casino)
Bagi generasi muda sekarang tak banyak yang tahu, jika Kota Kediri, sebuah kota kecil yang hanya terdiri dari tiga kecamatan di Jawa Timur ini pernah memiliki orang hebat, bermodal dan memiliki idealisme untuk meningkatkan derajat bangsa Indonesia di awal abad ke-19.
Orang itu justru bukan asli pribumi. Dia keturunan Tionghoa bernama Tan Khoen Swie. Tak ada yang tahu persis kapan Tan Khoen Swie dilahirkan. Namun, dari berbagai keterangan keluarganya dalam suatu wawancara media, diperkirakan ia lahir di Wonogiri, Jawa Tengah, sekitar tahun 1833.
Gagah, rambutnya panjang dikuncir, berkumis itulah gambaran tokoh yang vegetarian hingga akhir hidupnya sekitar tahun 1953.
Keterangan Drg Jojo Sutjahjo Gani, cicit Tan Khoen Swie, kakek uyutnya adalah orang yang ulet dan berpendirian. Sebelum datang ke Kediri berbagai pekerjaan pernah ia lakukan salah satunya sebagai tukang rakit penyeberangan di Bengawan Solo.
Karena tekadnya yang luar biasa, selama merantau di Surakarta, Tan Khoen Swie sering mencuri dengar pelajaran di Sekolah Kesatrian milik Sri Sunan Pakubuwono di Kraton Surakarta.
“Usahanya mencuri dengar itu akhirnya ketahuan, kemudian oleh guru yang mengajar di sekolah kesatrian dipanggil dan disuruh ikut belajar,” terang Gani panggilan akrab Drg Jojo Sutjahjo Gani.
Tak banyak cerita bagaimana kisah selanjutnya, Tan menikah dengan gadis asal Surabaya bernama Liem Gien Nio. Setelah menikah inilah dia mencoba memulai usahanya di Kediri sebagai penerbit.
Namun, saat itu usahanya tak bisa diandalkan lantaran ketatnya aturan pemerintah kolonial tentang usaha penerbitan membuatnya memiliki usaha sampingan, salah satunya berdagang kerupuk, onderdil mobil hingga SPBU.
Penerbit TKS sendiri lahir sekitar tahun 1915, beberapa tahun sebelum Balai Pustaka penerbitan besar di Jakarta yang dipelopori pemerintah Belanda berdiri sekitar tahun 1918. Boekhandel TKS sendiri merupakan penerbitan yang memiliki tim yang handal. Tak tanggung-tanggung TKS banyak dibantu oleh penulis-penulis Tionghoa, seperti Tjoa Boe Sing, Tan Tik Sioe (Pangeran Penang,red), Sioe Lian, Tjoa Hien Tjioe, dan Tan Soe Djwan.
Agen Casino Terpercaya
Selain itu sebagai penerbitan bergengsi yang berada di jantung Ibukota Kediri tepatnya di Jalan Doho yang pernah sebagai pusat kerajaan Kediri, TKS tidak segan-segan mengundang para penulis dari berbagai daerah untuk bekerja sama sebagai mitra.
Pujangga-pujangga terkenal dari Kraton Surakarta seperti Ki Padmosusastro, R Tanoyo juga ikut merasakan manfaat TKS. Tak terbayangkan, tanpa TKS mungkin karya-karya besar mereka tak bakalan dikenal masyarakat luas.
Pada zamannya boekhandel TKS merupakan penerbit besar dan ternama, meskipun beroperasi dari kota kecil, Kota Kediri.
Kehadiran penerbitan TKS tentu saja ikut menandai era buku, menggantikan tradisi tutur yang sebelumnya banyak berkembang di Jawa. Sebuah era baru dalam penggandaan karya (tulis) yang sebelumnya hanya dikenal dalam bentuk tedhakan (turunan yang ditulis tangan).
Cikal Penerbitan Itu Bernama Boekhandel Tan Khoen Swie
TOKO Surabaya di Jalan Dhoho, salah satu kawasan bisnis tersibuk di Kota Kediri, kini banyak menjual aneka bahan makanan, seperti abon, dendeng, dan sebagainya. Sekilas toko yang berada tepat di depan Hotel Penataran itu benar-benar berbeda dengan sederet toko lain di sepanjang Jalan Dhoho. Kesan bangunan tua dan antik tersembul kuat. Benar saja. Pasalnya, di rumah toko itulah, di awal abad ke-19 dulu, beroperasi sebuah bisnis penerbitan yang tersohor di seantero Pulau Jawa. Bahkan, sejumlah pihak menyebutnya sebagai cikal bakal penerbitan di Indonesia.
Boekhandel Tan Khoen Swie, demikian nama penerbitan itu. Tak tanggung-tanggung, sejumlah gagasan milik pujangga dan pengarang kenamaan asal berbagai kota di Jawa, pernah diterbitkan oleh badan penerbitan milik Tan Khoen Swie itu.
Sebut saja pujangga asal Surakarta, Ronggowarsito dan Padmosusastro. Demikian pula dengan sejumlah penulis asal Bojonegoro, Surabaya, serta Yogyakarta. Total jenderal, jumlah buku yang diterbitkan oleh tokoh kelahiran Wonogiri, Jawa Tengah (Jateng), pada tahun 1883 itu mencapai 400 judul.
Dari penelusuran sementara oleh Panitia Pelestarian dan Pengembangan Budaya dan Wisata Kediri, judul-judul itu tergolong komplet dan multidisipliner. Karena, bidang yang diterbitkan beragam, mulai dari filsafat Jawa, pengetahuan olah rasa, pengetahuan tentang rahasia wanita, pengobatan tradisional, sejarah, dunia binatang, dan lain-lain. Bahasa yang ada di buku juga tak melulu bahasa Melayu dan berhuruf latin. Namun, ada juga buku berbahasa Jawa berhuruf latin, serta buku berbahasa Jawa berhuruf Jawa.
“Mencermati bagaimana kerja penerbitan di masa belum ada komputer dan manajemen transportasi belum secanggih sekarang, saya berpendapat, yang dikerjakan Tan Khoen Swie adalah sesuatu yang luar biasa,” kata Sardono W Kusumo, seniman tari asal Solo, yang banyak membantu penelusuran situs penerbitan ini.
TAN Khoen Swie, seperti dipaparkan Ketua Tim Pelestarian Kusharsono, dilahirkan di Wonogiri, sekitar tahun 1833. Dari berbagai referensi, kemudian diketahui bahwa Khoen Swie adalah pengurus Kioe Kok Thwan, organisasi masyarakat Tionghoa di Kediri.
Lantas, pada tahun 1935 di Kediri sudah terbit majalah bulanan Tionghoa berbahasa Melayu, bernama Soeara Saw Kauw Hwee. Sebagian besar isinya memuat faham kebatinan Tionghoa, yakni Tao, Khong Hu Cu, dan Buddha. Di majalah itu, Khoen Swie menjadi redaktur sekaligus pemimpin redaksi dan penulis.
“Sumber lain juga mengatakan, Tan Khoen Swie kala itu berambut panjang. Ini ada maksudnya, sebab saat itu ada gerakan bersama memanjangkan rambut yang bertujuan diam-diam menentang kekejaman Pemerintah Belanda dan Jepang,” kata Kusharsono.
Perjuangan itu, menurut dia, didasari faham ajaran yang dianut tokoh penerbit Kediri itu, yang umumnya mengajak berbuat baik dan melarang keburukan. Bahkan, pada masa penjajahan Jepang, ia juga, bersama Kiai Fatah dari Tulungagung, pernah ditahan dan disiksa tentara Dai Nippon.
Militansi Tan Khoen Swie dalam menentang penjajahan antara lain terlihat dari buku Tjinta Kebaktian pada Tanah Air, terbitan tahun 1941. Demikian pula dalam beberapa buku lain, seperti Bhagawad Gita, Dewa Rutji, dan Bima Boengkoes, yang mengurai rasa cinta kebenaran dan cinta Tanah Air.
Ratusan buku terbitan lain, seperti telah disinggung di muka, temanya beragam. Misalnya Nitimani karya pengarang terkenal R Tanojo, yang banyak mengulas rahasia bersuami-istri, termasuk membahas liku-liku bersenggama. Demikian pula buku Asmaragama, yang dalam bahasa kini berisi sex education.
Buku-buku kawruh kebatinan juga banyak diterbitkan dan digemari. Ini juga tak lepas dari strategi kontra penjajahan Belanda, yang akan langsung melarang pengedaran buku tertentu jika terlalu terang-terangan menentang rezim kolonial.
Buku kebatinan yang telah diterbitkan antara lain berjudul Poestoko Rantjang, Tjipto Goegah, Sasmita Rahardja, Niti Prana, Djampi Gaib, juga Wedotomo. Ada lagi buku-buku petunjuk praktis, misalnya buku tulisan Tan Tek Sui tentang cara meramal.
Pemerintah kota (Pemkot) Kediri kini sedang menelusuri kembali situs-situs kuno, seperti lingkungan penerbitan Tan Khoen Swie, makam ulama Syech Sulaiman al Wasil, dan tokoh kejawen tempo dulu Ponco Legowo.
Wali Kota dan penggiat sejarah berharap, keluarga ahli waris Tan Khoen Swie mengizinkan cetak ulang atas buku-buku terbitan Boekhandel tersebut. Jika sudah ada izin, pemerintah kota akan memasukkan buku-buku cetak ulang itu ke Museum Airlangga, sebagai bukti atas pengakuan bahwa karya Tan Khoen Swie merupakan bagian dari sejarah Kota Kediri.
Menurut Drs Sudarmono SU, dosen sejarah Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), ketertarikan Pemkot Kediri menelusuri kembali titik-titik sejarah tempo dulu tergolong ide yang menarik dan langka.
Sebab, biasanya pemerintah daerah saat ini lebih disibukkan oleh pembangunan proyek-proyek fisik berdana milyaran rupiah. “Dalam konteks Kediri, penelusuran sejarah menjadi makin penting karena kota ini menyimpan banyak kisah, ada banyak memori kolektif di sini,” kata Sudarmono, yang hadir dalam Sarasehan Pelestarian dan Pengembangan Situs Tan Khoen Swie, waktu itu.
Hanya saja, baik Sardono W Kusumo, Sudarmono, maupun drg Sutjahjo Gani (cucu buyutnya Tan Khoen Swie), sama-sama mengingatkan agar pelestarian situs penerbitan ini jangan menjebak kita pada pengutamaan hal-hal mistik belaka.
Sutjahjo Gani mengungkapkan, kakek buyutnya memang mempunyai kemampuan supranatural. Itu pulalah yang membuatnya dapat lolos dari sel tahanan Pemerintah Jepang. Namun, ia mengingatkan, olah batin yang didalami dan dimiliki Tan Khoen Swie sama sekali tidak digunakan dalam pengoperasian penerbitan.
“Ini dua hal yang berbeda. Untuk penerbitan, kakek saya 100 persen menggunakan pendekatan bisnis, dan tentu saja perjuangan penyebaran ide-ide. Sementara kemampuan supranatural tak berkait dengan gerak penerbitan. Itu ruang pribadi beliau,” katanya.
Sardono W Kusumo dan Sudarmono menambahkan, akan lebih baik jika buku-buku Khoen Swie dijadikan bahan diskusi rutin di rumah asli Jalan Dhoho. Tentu saja setelah ada izin dari Ny Yuriah Tanzil sebagai ahli waris.
Diskusi atau bedah buku akan lebih bermakna daripada sekadar mengeramatkan tempat-tempat wingit. Kegiatan semacam itu akan berfungsi ganda. Di satu sisi kepentingan pelestarian tercapai, di sisi lain kepentingan pencerdasan generasi mendatang juga teraih.
Sumber referensi :
- Wikipedia
- https://arsitekturindis.wordpress.com/2002/06/07/cikal-penerbitan-itu-bernama-boekhandel-tan-khoen-swie/
- https://1blogw5bola.wordpress.com/tag/tan-khoen-swie/