Yang Menggigil di Arus Sejarah (1)
(Menulis ulang drama kemanusiaan dalam sejarah: Perbudakan di AS, Revolusi Perancis, Perang Dunia 1, Revolusi Rusia, Holocaust, Perang Dunia II, hingga Revolusi Artificial Intelligence, dalam Puisi Esai)
MALAM NATAL DI PERANG DUNIA PERTAMA
Oleh Denny JA
Yang Menggigil di Arus Sejarah (1)
(Menulis ulang drama kemanusiaan dalam sejarah: Perbudakan di AS, Revolusi Perancis, Perang Dunia 1, Revolusi Rusia, Holocaust, Perang Dunia II, hingga Revolusi Artificial Intelligence, dalam Puisi Esai)
MALAM NATAL DI PERANG DUNIA PERTAMA
Oleh Denny JA
(Desember 1914, di tengah kecamuk Perang Dunia Pertama, ketika ratusan ribu nyawa terbunuh dan membusuk, di malam Natal, para tentara yang bertempur merayakannya bersama, dalam suasana persahabatan, semalam saja.)
-000-
Salju, Lumpur, dan Luka yang Tak Terhitung
Namaku Ernst Keller,
anak pembuat jam dari Berlin, Jerman.
Aku kini lebih mengenal bunyi ledakan bom,
daripada detak halus waktu yang berdenting di toko ayahku.
Bruges pernah kulihat di kartu pos,
dengan kanalnya yang bercahaya, dan pasar yang sibuk.
Kini ia menjadi bayangan yang memudar.
Di bawahnya, tanah Belgia telah kehilangan warna.
Hanya ada lumpur, kawat berduri, dan tubuh yang membeku.
Di Ypres, tak ada angin yang membawa bau roti,
hanya mesiu dan darah.
Lelaki muda tumbang di tanah,
sebelum sempat tahu, bagaimana rasanya mencinta.
Kami menggigil dalam parit,
menunggu malam yang tak berbeda.
Lima bulan sudah perang meletus.
Brutal.
Kejam.
Ratusan ribu mayat berceceran.
Bau darah,
bercampur bau bangkai.
25 Desember 1914.
Di tengah dingin yang menggigit,
di sela-sela bisikan perang yang tak pernah tidur,
aku mendengar suara itu.
“Stille Nacht, Heilige Nacht…”
Nyanyian dari parit kami,
mengalun pelan, rapuh,
tetapi cukup kuat, menembus tembok perang.
Dari seberang, terdengar suara lain menjawab,
bahasa yang berbeda, melodi yang sama:
“Silent night, holy night…”
Aku mengintip dari balik tanah yang retak,
dan melihat mereka:
tentara Inggris, tentara Prancis,
lawan yang selama ini kusebut musuh.
Mereka bukan bayangan,
yang harus ditembak;
mereka pria yang juga rindu rumah.
Sesuatu bergerak dalam diriku,
lebih berat dari ransel,
lebih dalam dari luka tembak.
-000-
Tanah di antara kami adalah kuburan terbuka,
tempat harapan lenyap,
lebih cepat daripada peluru.
Namun malam itu, seseorang melangkah.
Aku tidak tahu siapa yang pertama kali keluar.
Mungkin dia dari pihak kami, mungkin dari pihak mereka.
Tapi yang pasti, aku menyusul.
Tanpa helm, tanpa senjata,
hanya dengan hati yang berdebar,
dan tangan yang rindu menjabat tangan lain,
bukan untuk bertarung, tetapi untuk mengenal.
Kami berdiri, berhadapan,
tanpa tembok, tanpa parit.
Seorang pemuda Inggris menyodorkan rokok,
aku memberikan sepotong cokelat,
yang tersisa di saku.
Dan entah bagaimana, kami tertawa.
Sungguh-sungguh tertawa.
-000-
Entah dari mana, sebuah bola digulingkan.
Tak ada perintah, tak ada strategi.
Kami berlari, menendang,
bermain sepak bola,
tertawa bersama,
menjadi bocah-bocah kembali,
yang lupa perang.
Tidak ada pemenang.
Tidak ada skor.
Tidak ada perang.
Hanya ada kegembiraan.
Malam itu, tanah tak bertuan menjadi lapangan.
Mereka yang seharusnya saling membunuh
bermain dalam satu tim,
berteriak dalam bahasa yang berbeda.
Kami saling mengerti,
tanpa perlu terjemahan,
hanya melalui tatapan.
Di kejauhan, lilin-lilin menyala.
Natal telah tiba.
Bukan di gereja megah, bukan di rumah hangat,
tetapi di tempat doa yang kalah oleh senapan,
di area mayat- mayat terkubur salju.
-000-
Perdamaian ini tak diundang.
Jenderal kami tak suka.
Ketika pagi datang,
ketika langit masih menyisakan bekas cahaya lilin kami,
perintah turun dari Jenderal.
Kami harus kembali perang.
Kami harus melupakan.
Kami harus mengangkat senjata lagi,
mengarahkannya pada mereka yang semalam
memanggilku teman.
Aku kembali ke parit.
Di seberang, aku melihat pemuda Inggris itu.
Kami saling menatap.
Aku tahu dia juga mendapat perintah yang sama.
Jari kami bersiap di pelatuk.
Tetapi kami tak bisa menariknya.
Kami tak bisa membunuh seseorang yang sudah kita kenali.
Namun, orang lain bisa.
Dan ketika peluru pertama ditembakkan pagi itu,
aku tak tahu siapa yang jatuh lebih dulu.
Mungkin dari pihak kami, mungkin dari pihak mereka.
Yang pasti,
aku tahu ada sesuatu yang mati dalam diriku.
-000-
Bertahun-tahun setelah perang ini usai,
aku kembali ke Bruges,
ke kanal yang kini kembali tenang.
Di sana, aku melihat seorang pria tua,
duduk sendirian.
Mata kami bertemu.
Aku tahu siapa dia.
Ia tahu siapa aku.
Dia adalah pemuda Inggris itu.
Kami tidak butuh kata-kata.
Kami tahu malam itu bukan sekadar kenangan,
tetapi bukti manusia lebih besar daripada tembakan,
bom, granat.
Di luar, salju kembali turun,
seperti dulu, seperti 1914.
Tetapi kali ini,
tidak ada darah di atasnya.
Hanya keheningan,
dan nyanyian yang masih terdengar di dalam hati.
Kami bertatapan, tersenyum,
menyanyi pelan,
mengenang masa lalu:
“Silent Night, Holy Night.”
Sejak dulu, kami tahu.
Kami bukan musuh,
hanya anak-anak yang tersesat di dalam sejarah.
Angin yang dingin mengirimkan puisi,
tentang manusia
yang lebih perkasa daripada perang.***
Jakarta, Februari 2025
(1) Puisi esai ini dramatisasi kisah sebenarnya, malam Natal di tengah Perang Dunia Pertama, tahun 1914, semalam saja yang membuat tentara yang berperang jeda, merayakan Natal bersama, semalam saja, lalu bertempur kembali.
https://www.iwm.org.uk/history/the-real-story-of-the-christmas-truce
Ditulis ulang oleh POINT Consultant