Ajaran Sapta Darma
Ucapan Sujud Yang Revolusioner.
Ucapan Sujud adalah : “Hyang Mahasuci Sujud Hyang Maha Kuasa”,
“Kesalahan Hyang Maha Suci mohon ampun Hyang Maha Kuasa”,
“Hyang Maha Suci bertobat Hyang Maha Kuasa”.
Kala ditelaah ucapan tersebut, sepertinya yang ada hanya hubungan antara Hyang Maha Suci dengan Hyang Maha Kuasa. Dua-duanya mengandung kata “Hyang Maha”, berarti ter- atau yang paling-. Ada yang paling suci ada yang paling Kuasa. Kenapa sudah Maha Suci kok punya salah dan mesti harus bertobat ? Kesalahan siapakah yang dimohonkan ampun oleh Hyang Maha Suci, begitupula siapa yang ditobatkan oleh Hyang Maha Suci ?
Ucapan sujud menembah kepada Hyang Maha Kuasa secara Sapta Darma ini adalah mungkin satu-satunya. Revolusioner……itulah kata yang pernah disampaikan oleh Bopo Panuntun Agung Sri Gutomo. Bahwa kita mesti merevolusi diri mengenal jati diri yaitu pribadi yang asli. Kenapa ucapan sujud itu tidak Si Robet sujud Hyang Maha Kuasa…atau Si Anu… sujud Hyang Maha Kuasa atau Mayangkoro sujud Hyang Maha Kuasa dsb ?.
Manusia adalah salah satu ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Didalamnya terdapat piranti yg bekerja secara otomatis dan systimatis. Secara rohani bahwa ada saudara 12, Hyang Maha Suci sebagai komandan dari sebelas saudara yang lainnya, system ini akan bekerja dengan baik apabila Hyang Maha Suci dapat mengendalikan sebelas saudaranya. Namun dalam pemenuhan kebutuhan hidup manusia seringkali systemnya terganggu kebalikannya yaitu salah satu atau kolaborasi sebelas saudara mendominasinya, inilah yang menyebabkan tindakan manusia menjadi asor.
Sebelum Hyang Maha Suci bisa menghadap/sujud Hyang Maha Kuasa, seperti dalam sebuah upacara bendera komandan harus mempersiapkan pasukannya, bahwasannya pasukan telah siap mengikuti upacara bendera. Jangan sampai upacara sedang berjalan salah satu anak buahnya ada yang jalan-jalan atau bermain-main atau semuanya pada ngobrol dsb. Ketidak disiplinan anak buahnya itu adalah tanggung jawab sang komandan.
Kesalahan yang dilakukan oleh saudara sebelaslah yang dimohonkan ampun oleh Hyang Maha Suci yang kemudian bertobat untuk tidak mengulanginya lagi, ini adalah bentuk tanggung jawab Hyang Maha Suci membimbing saudaranya untuk bisa sujud kehadapan Hyang Maha Kuasa. Sehingga menjadi kukud saudara sebelas, berarti telah jejer satria utama yang kemudian masuk ketataran Racut ( sowannya Hyang Maha Suci kepada Hyang Maha Kuasa).
Sujud itu mengadung Peruwatan
Memahami atau meneliti dan mendalami pengetahuan tentang Tesing Dumadi adalah sebuah perenungan yang mendalam tentang hakekat manusia untuk selalu bisa bersikap andap asor, wani ngalah luhur wekasane dan sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti menuju manusia yang sempurna dapat memayu hayuning buana agung maupun alit (jagad pribadi).
Bahwasanya sebuah kelahiran adalah proses sang urip melanjutkan perjalanan hidupnya yang panjang akibat buah karma yg pernah dialaminya. Mulai saat menemukan orang tuanya menjadi benih yang tertanam di gua garba sang Ibu telah menimbulkan ulah sperti contoh Ibunya harus merasakan mual-mual (ngidam) kepingin makan yang aneh-aneh. Tiba-tiba dimalam hari kepingin makan buah duren padahal waktu itu tidak lagi musim duren, tentu membuat orang tuanya susah bahkan bisa menimbulkan pertengkaran kalau keinginan tsb tidak terpenuhi. Begitu pula orang tuanya harus memeriksakan kandungannya secara rutin untuk jaga-jaga agar sijabang bayi tetap sehat, bila ada kelainan tentu membuat kekhawatiran, begitu pula orang tuanya harus ekstra kerja keras mempersiapkan kelahirannya dsb.
Saat bayi tersebut lahir dengan tangisan yg begitu lantang berseru kepada umat manusia bahwa hidup itu adalah sebuah penderitaan, namun disisi lain diluaran sana orang tua dan keluarganya menyambut dengan suka cita bahwa hidup adalah sebuah anugrah Tuhan yg mesti disyukuri. Kelahiran telah memberi inspirasi baru, motivasi baru untuk tetap sabar dan tabah melanjutkan perjuangan hidup itu sendiri.
Anak yang lahir tersebut kini menjalani kehidupan bersama kedua orang tuannya, mengajarinya, memperkenalkannya dg lingkungan sekitarnya, menyekolahkannya, memberinya tuntunan moral dsb agar anak tsb berguna bagi sesamanya. Dsisi lain sianak bisa juga menjadi musibah bagi orang tuanya, karena telah menyusahkan sehingga ada anak-anak yg terlantar, jadi pengemis, dibunuh, dibuang, merugikan bagi sesamanya dsb.
Terlepas dari bagaimana perjalanan anak tersebut, kini anak manusia itu tersadar bahwa tujuan hidup sesungguhnya adalah kembali pada purwa duksina, kembali pada sankan paraning dumadi. Nah disinilah persoalannya setiap orang tidak sama pengalamannya. Ada warga yg begitu mudah memahami ajaran Kerohanian Sapta Darma, ada warga yang sudah puluhan tahun menjadi warga tapi sangat susah merasakan penelitiannya, bahkan untuk bisa yang namanya hening saja susah. Banyak warga yang tadinya tekun akhirnya putus asa karena tidak menemukan apa-apa lalu mundur menjadi warga. Tidak hanya ditingkat warga, yang sudah ditunjuk menjadi Tuntunanpun.
Kembali pada masalah Tesing Dumadi Manusia, bahwa sangat mempengaruhi bagaimana warga tersebut bisa sujud yang sempurna yang dapat merasakan rasa yg semulya-mulyanya.
Sujud itu sendiri sesungguhnya mengandung peruwatan didalamnya. Dan hampir semua telah membuktikannya, apalagi saat melakukan penelitian pada sujud penggalian. Rasa panas, sakit dikaki, kadang-kadang sapta rengganya diruwat seperti dijewer telinganya, dikucek-kucek mulutnya malah ada yng merasakan seperti matanya disikat dsb. Inti semua itu adalah pembersihan pribadi atas kesalahan-kesalahan yang kita lakukan sehar-hari.
Bagaimana kalau kesalahan/kekeliruan akibat prilaku sebelumnya yg belajar ilmu sesat, atau pernah berkolaborasi dengan setan atau jin, makluk halus dsb. Apakah semudah itu kita bisa melepaskannnya. Begitu pula tidak pernah belajar ilmu tetapi ditempeli oleh kekuatan leluhurnya yg dulunya sakti mandra guna ?. Dan untuk ini banyak kasus yg ada. Ada warga yang mewarisi banyak pusaka bertuah dari leluhurnya, sehingga mempunyai kemampuan metafisik meski merasa tak pernah berguru dg siapapun.
Keluhan warga yang susah saat sujud kehadapan Hyang Maha Kuasa menjadi PR bagi para Tuntunan untuk mencari tahu /mendeteksi warganya apa penyebabnya ?
TESING DUMADI MANUSIA
Asal mula manusia
Apakah asal mula manusia itu ?…. asal mula manusia adalah dari getaran tumbuh-tumbuhan dan getaran dari binatang yang kita makan, dan akhirnya berwujud air putih (air suci) dengan sinar cahaya (tri tunggal yaitu nur cahaya = sinar cahaya allah, nur rasa = sari-sarinya Bapak dan nur buat = sari-sarinya Ibu).
Misalkan di dalam ilmu pertanian, apabila menginginkan hasil yang baik maka tentulah dipilih bibit yang baik, bibit yang unggul, bibit yang sempurna. Karena dengan bibit yang baik tanaman yg kita tanam akan menghasilkan buah /hasil yg baik pula. Disamping itu perlu juga metode/cara bercocok tanam yang benar, pemeliharaan, pemupukan dan lingkungan alam yang baik pula.
Dalam kehidupan manusia, kita akan mencita-citakan mempunyai anak yang baik, anak yg cerdas, bagus, cantik, sehat, bijaksana dsb. Akan tetapi adakah kita perhatikan bibitnya ? Adakah dipelihara bibitnya ?……apalagi jaman sekarang biji manusia diecer-ecer dimana-mana, disebarkan pada tempat yang gelap, tempat yg tidak layak dsb. Sebab menanam biji yg sempurna terletak pada orang tuanya. Kenakalan, kebodohan dan kekurang sempurnanya anak-anak yg dilahirkan adalah karena orang tuanya. Adalah karena kekeliruan orang tua dalam memelihara bijinya. Seperti contoh sehabis menebar biji ditempat-tempat yang gelap baru pulang menanam disawahnya sendiri, sehabis main judi, melihat barang-barang yg jelek, terus sampai dirumah menebarkan biji. Tentu hasilnya akan jelek, kenapa ?….Sebab getaran-getaran yg buas yg jelek masih terkenang-kenang dikepala. Dan getaran tersebut akan turut tersaring dalam menurunkan biji-biji manusia dan turut pula tertanam didalamnya.
Disamping itu prilaku orang tua yang lainnya….misalnya dalam pembentukan biji manusia didapat dari hasil yang tidak baik… misalnya dengan mencuri, korupsi, menipu, merampok dsb. Tentu berpengaruh pada kualitas biji manusia tersebut karena mengandung virus setan /jin. Bila ditanam maka anak yg lahir telah terkontaminasi virus tersebut sehingga kelak anak tersebut juga berprilaku mirip orang tuanya.
Prilaku yang lain orang tuanya senang belajar ilmu sesat yg dilarang oleh Agama atau memakai pengasihan/pellet untuk mencari jodoh…..apakah tidak mungkin juga berpengaruh terhadap anak yg dilahirkan.
Pada kenyataan sering ditemui watak/tabiat anak yang dilahirkan tidak mirip dengan kedua orang tuanya tetapi mirip kakek/neneknya atau mbahnya yg sudah meninggal. Pada kasus ini apakah mungkin getaran/ilmu-ilmu Mbahnya menurun/tertetes pada cucunya ?
SUJUD YANG SEMPURNA
Sujud secara Kerohanian Sapta Darma adalah tata cara menembah kehadapan Hyang Maha Kuasa. Sujud yang sesungguhnya adalah bagaimana agar Hyang Maha Suci bisa sujud Hyang Maha Kuasa. Tentulah hal ini tidak mudah karena kita dituntut untuk mengenal siapa itu Hyang Maha Suci dan bagaimana sujudnya Hyang Maha Suci sujud Hyang Maha Kuasa.
Dalam sabda Panuntun Agung Sri Gutomo dikatakan ; “Percayalah kepada Pribadimu, kepada Tuntunanmu, sebab kalau tidak percaya kepada Hidupmu, bagaimana akan percaya kepada Hyang Maha Kuasa? Sebab Tuntunanmu adalah hidupmu yang dapat berhubungan dengan Hyang Maha Kuasa.” Itu berarti Pribadimu, Hidupmu dan Tuntunanmu adalah tiga kata yang berbeda tetapi maksudnya sama.
Dalam penelitian penyempurnaan sujud (sujud dasawarsa) yang disebut juga sujud asal mula manusia atau dikenal juga istilah sujud tesing dumadi manusia. Kita disuruh “ Galilah rasa yang meliputi seluruh tubuhmu (kepribadianmu yang asli)”.
Penelitian penyempurnaan sujud ini untuk mencapai sujud yang sempurna. Karena apabila sujud yang sempurna telah saudara jalankan/praktekkan dengan betul, maka berarti saudara telah melakukan penggalian yang sejati yaitu penggalian pribadi yang asli. Barulah sujud itu dikatakan berhasil karena akan terhindar dari jajahan-jajahan getaran-getaran yang kurang/tidak sempurna. Saudara akan menjadi manusia yang berbudi luhur.
Dari uraian tersebut diatas yang dimaksudkan dalam sabda Panuntun Agung Sri Gutomo bahwa, Pribadimu, hidupmu dan Tuntunanmu adalah Kepribadiannmu yang asli. Dan untuk mengetahui kepribadian yang asli kita disuruh meneliti atau menggali rasa yang meliputi seluruh tubuhmu. Karena ada istilah asli tentu ada yang tidak asli. Yang manakah rasa yang tidak asli tentu rasa-rasa yang muncul dari gejolak saudara 12 yang masing-masing mempunyai kepribadian yang berbeda-beda yang disimbolkan dengan warna hitam, merah, kuning dan putih.
Dan ini cukup jelas untuk mendeteksi para warga atau para tuntunan, bagaimanakah kepribadiannya apakah asli atau bukan asli karena akan terpancar lewat prilakunya sehari-hari.
Apa sajakah yang mempengaruhi sujud yang sempurna itu ?? Dalam buku dasawarsa dijelaskan bahwa sujud yang sempurna erat kaitannya /bergandengan erat dengan biji dan asal mula manusia. Nah inilah inti dari pembahasan selanjutnya bagaimanakah tesing dumadi manusia tersebut ? apakah tesing dumadi manusia bisa diruwat ???…………(bersambung).
SERAT KEKIYASANNING PANGRACUTAN
Serat Kekiyasanning Pangracutan salah satu buah karya sastra Sultan Agung raja atara ( 1613 – 1645 ) rupa-rupanya Serat Kekiyasaning Pangrautan juga menjadi narasumber dala penulisan Serat Wirid Hidayat Jati oleh R.Ng Ronggowarsito karena ada beberapa bab yang terdapat pada Serat kekiyasanning Pangrautan terdapat pula pada Serat Wirid Hidayat Jati. Pada manuskrip huruf Jawa Serat kekiyasanning Pangracutan tersebut telah ditulis kembali pada tahun shaka 1857 / 1935 masehi. Disyahkan oleh pujangga di Surakarta RONG no-GO ma-WAR ni SI ra TO = Ronggowarsito atau R.. Ng. Rongowarsito.
SARASEHAN ILMU KESAMPURNAAN (terjemahan)
Ini adalah keterangan Serat Suatu pelajaran tentang Pangracutan yang telah disusun oleh Baginda Sultan Agung Prabu Anyakrakusuma di Mataram atas berkenan beliau untuk membicarakan dan temu nalar dalam hal ilmu yang sangat rahasia, untuk mendapatkan kepastian dan kejelasan dengan harapan dapat dirembuk dengan para ahli ilmu kasampurnaan.
Adapun mereka yang diundang dalam temu nalar itu adalah :
1. Panembahan Purbaya
2. Panembahan Juminah
3. Panembahan Ratu Pekik di Surabaya
4. Panembahan Juru Kithing
5. Pangeran di Kadilangu
6. Pangeran di Kudus
7. Pangeran di Tembayat
8. Pangeran Kajuran
9. Pangeran Wangga
10. Kyai Pengulu Ahmad Kategan
1. Berbagai Kejadian Pada Jenazah
Adapun yang menjadi pembicaraan, beliau menanyakan apa yang telah terjadi setelah manusia itu meninggal dunia, ternyata mengalami bermacam-macam kejadian pada jenazahnya dari berbagai cerita umum, juga menjadi suatu kenyataan bagi mereka yang sering menyaksikan keadaan jenazah yang salah kejadian atau berbagai macam kejadian pada keadaan jenazah adalah berbagai diketengahkan dibawah ini :
1) Ada yang langsung membusuk
2) Ada pula yang jenazahnya utuh
3) Ada yang tidak berbentuk lagi, hilang bentuk jenazah
4) Ada pula yang meleleh menjadi cair
5) Ada yang menjadi mustika (permata)
6) Istimewanya ada yang menjadi hantu
7) Bahkan ada yang menjelma menjadi hewan.
Masih banyak pula kejadiaanya, lalu bagaimana hal itu dapat terjadi apa yang menjadi penyebabnya. Adapun menurut para pakar setelah mereka bersepakat disimpulkan suatui pendapat sebagai berikut :
Sepakat dengan pendapat Sultan Agung bahwa manusia itu setelah meninggal keadaan jenazahnya berbeda-beda itu suatu tanda bahwa disebabkan karena ada kelainan atau salah kejadian (tidak wajar), makanya demikian karena pada waktu masih hidup berbuat dosa setelah menjadi mayat pun akan mengalami sesuatu masuk kedalam alam penasaran. Karena pada waktu pada saat sedang memasuki proses sakaratul maut hatinya menjadi ragu, takut, kurang kuat tekadnya, tidak dapat memusatkan pikiran hanya untuk satu ialah menghadapi maut. Maka ada berbagai bab dalam mempelajari ilmu ma’rifat, seperti yang akan kami utarakan berikut ini :
1). Pada waktu masih hidupnya, siapapun yang senang tenggelam dalam kekayaan dan kemewahan, tidak mengenal tapa brata, setelah mencapai akhir hayatnya, maka jenazahnya akan menjadi busuk dan kemudian menjadi tanah liat sukmanya melayang gentayangan dapat diumpamakan bagaikan rama-rama tanpa mata sebaliknya, bila pada saat hidupnya gemar menyucikan diri lahir maupun batin. Hal tersebut sudah termasuk lampah maka kejadiannya tidak akan demikian.
2). Pada waktu masih hidup bagi mereka yang kuat pusaka tetapi tidak mengenal batas waktunya bila tiba saat kematiannya maka mayatnya akan terongok menjadi batu dan membuat tanah perkuburannya itu menjadi sangar adapun rohnya akan menjadi danyang semoro bumi walaupun begitu bila masa hidupnya mempunyai sifat nrima atau sabar artinya makan tidur tidak bermewah-mewah cukup seadanya dengan perasaan tulus lahir batin kemungkinan tidaklah seperti diatas kejadiannya pada akhir hidupnya.
3). Pada masa hidupnya seseorang yang menjalani lampah tidak tidur tetapi tidak ada batas waktu tertentu pada umumnya disaat kematiannya kelak maka jenaahnya akan keluar dari liang lahatnya karena terkena pengaruh dari berbagai hantu yang menakutkan. Adapun sukmanya menitis pada hewan. Walaupun begitu bila pada masa hidupnya disertai sifat rela bila meninggal tidak akan keliru jalannya.
4). Siapapun yang melantur dalam mencegah syahwat atau hubungan seks tanpa mengenal waktu pada saat kematiannya kelak jenazahnya akan lenyap melayang masuk kedalam alamnya jin, setan, dan roh halus lainnya sukmanya sering menjelma menjadi semacam benalu atau menempel pada orang seperti menjadi gondaruwo dan sebagainya yang masih senang mengganggu wanita kalau berada pada pohon yang besar kalau pohon itu di potong maka benalu tadi akan ikut mati walaupun begitu bila mada masa hidupnya disertakan sifat jujur tidak berbuat mesum, tidak berzinah, bermain seks dengan wanita yang bukan haknya, semuanya itu jika tidak dilanggar tidak akan begitu kejadiannya kelak.
5). Pada waktu masih hidup selalu sabar dan tawakal dapat menahan hawa nafsu berani dalam lampah dan menjalani mati didalamnya hidup, misalnya mengharapkan janganlah sampai berbudi rendah, rona muka manis, dengan tutur kata sopan, sabar dan sederhana semuanya itu janganlah sampai belebihan dan haruslah tahu tempatnya situasi dan kondisi dan demikian itu pada umumnya bila tiba akhir hayatnya maka keadaan jenazahnya akan mendapatkan kemuliaan sempurna dalam keadaannya yang hakiki. Kembali menyatu dengan zat yang Maha Agung, yang dapat mneghukum dapat menciptakan apa saja ada bila menghendaki datang menurut kemauannya apalagi bila disertakan sifat welas asih, akan abadilah menyatunya Kawulo Gusti.
Oleh karenanya bagi orang yang ingin mempelajari ilmu ma’arifat haruslah dapat menjalani : Iman, Tauhid dan Ma’rifat.
2. Berbagai Jenis Kematian
Pada ketika itu Baginda Sultan Agung Prabu Hanyangkra Kusuma merasa senang atas segala pembicaraan dan pendapat yang telah disampaikan tadi. Kemudian beliau melanjutkan pembicaraan lagi tentang berbagai jenis kematian misalnya
- Mati Kisas
- Mati kias
- Mati sahid
- Mati salih Mati tewas
- Mati apes
Semuanya itu beliau berharap agar dijelaskan apa maksudnya maka yang hadir memberikan jawaban sebagai berikut :
Mati Kisas, adalah suatu jenis kematian karena hukuman mati. Akibat dari perbuatan orang itu karena membunuh, kemudian dijatuhi hukuman karena keputusan pengadilan atas wewenang raja.
Mati Kias, adalah suatu jenis kematian akibatkan oleh suatu perbuatan misalnya: nafas atau mati melahirkan.
Mati Syahid, adalah suatu jenis kematian karena gugur dalam perang, dibajak, dirampok, disamun.
Mati Salih, adalah suatu jenis kematian karena kelaparan, bunuh diri karena mendapat aib atau sangat bersedih.
Mati Tiwas, adalah suatu jenis kematian karena tenggelam, disambar petir, tertimpa pohon , jatuh memanjat pohon, dan sebagainya.
Mati Apes, suatu jenis kematian karena ambah-ambahan, epidemi karena santet atau tenung dari orang lain yang demikian itu benar-benar tidak dapat sampai pada kematian yang sempurna atau kesedanjati bahkan dekat sekali pada alam penasaran.
Berkatalah beliau : “Sebab-sebab kematian tadi yang mengakibatkan kejadiannya lalu apakah tidak ada perbedaannya antara yang berilmu dengan yang bodoh ? Andaikan yang menerima akibat dari kematian seornag pakarnya ilmu mistik, mengapa tidak dapat mencabut seketika itu juga ?”
Dijawab oleh yang menghadap : “Yang begitu itu mungkin disebabkan karena terkejut menghadapi hal-hal yang tiba-tiba. Maka tidak teringat lagi dengan ilmu yang diyakininya dalam batin yang dirasakan hanyalah penderitaan dan rasa sakit saja. Andaikan dia mengingat keyakinan ilmunya mungkin akan kacau didalam melaksanakannya tetapi kalau selalu ingat petunjuk-petunjuk dari gurunya maka kemungkinan besar dapat mencabut seketika itu juga.
Setelah mendengar jawaban itu beliau merasa masih kurang puas menurut pendaat beliau bahwa sebelum seseorang terkena bencana apakah tidak ada suatu firasat dalam batin dan pikiran, kok tidak terasa kalau hanya begitu saja beliau kurang sependapat oleh karenanya beliau mengharapkan untuk dimusyawarahkan sampai tuntas dan mendapatkan suatu pendapat yang lebih masuk akal.
Kyai Ahmad Katengan menghaturkan sembah: “Sabda paduka adalah benar, karena sebenarnya semua itu masih belum tentu , hanyalah Kangjeng Susuhunan Kalijogo sendiri yang dapat melaksanakan ngracut jasad seketika , tidak terduga siapa yang dapat menyamainya.
3. Wedaran Angracut Jasad
Adapun Pangracutan Jasad yang dipergunakan oleh Kangjeng Susuhunan Kalijogo, penjelasannya yang telah diwasiatkan kepada anak cucu seperti ini caranya:
“Badan jasmaniku telah suci, kubawa dalam keadaan nyata, tidak diakibatkan kematian, dapat mulai sempurna hidup abadi selamanya, didunia aku hidup, sampai di alam nyata (akherat) aku juga hidup, dari kodrat iradatku, jadi apa yang kuciptakan, yang kuinginkan ada, dan datang yang kukehendaki”.
4. Wedaran Menghancurkan Jasad
Adapun pesan beliau Kangjeng Susuhunan di Kalijogo sebagai berikut : “Siapapun yang menginginkan dapat menghancurkan tubuh seketika atau terjadinya mukjijat seperti para Nabi, mendatangkan keramat seperti para Wali, mendatangkan ma’unah seperti para Mukmin Khas, dengan cara menjalani tapa brata seperti pesan dari Kangjeng Susuhunan di Ampel Denta :
- Menahan Hawa Nafsu, selama seribu hari siang dan malamnya sekalian.
- Menahan syahwat (seks), selama seratus hari siang dan malam
- Tidak berbicara, artinya membisu, dalam empat puluh hari siang dan malam
- Puasa padam api, tujuh hari tujuh malam
- Jaga, lamanya tiga hari tiga malam
- Mati raga, tidak bergerak lamanya sehari semalam.
Adapun pembagian waktunya dalam lampah seribu hari seribu malam itu beginilah caranya :
1. Manahan hawa nafsu, bila telah mendapat 900 hari lalu teruskan dengan
2. Menahan syahwat, bila telah mencapai 60 hari, lalu dirangkap juga dengan
3. Membisu tanpa berpuasa selama 40 hari, lalu lanjutkan dengan
4. Puasa pati selama 7 hari tujuh malam, lalu dilanjutkan dengan
5. Jaga, selama tiga hari tiga malam, lanjutkan dengan
6. Pati raga selama sehari semalam.
Adapun caranya Pati Raga adalah : tangan bersidakep kaki membujur dan menutup sembilan lobang ditubuh, tidak bergerak-gerak, menahan tidak berdehem, batuk, tidak meludah, tidak berak, tidak kencing selama sehari semalam tersebut. Yang bergerak tinggallah kedipnya mata, tarikan nafas, anapas, tanapas nupus, artinya tinggal keluar masuknya nafas, yang tenang jangan sampai bersengal-sengal campur baur.
Perlunya Pati Raga
Baginda Sultan Agung bertanya : “Apakah manfaatnya Pati Raga itu ?”
Kyai Penghulu Ahmad Kategan menjawab : “Adapun perlunya pati raga itu, sebagai sarana melatih kenyataan, supaya dapat mengetahui pisah dan kumpulnya Kawula Gusti, bagi para pakar ilmu kebatinan pada jaman kuno dulu dinamakan dapat Meraga Sukma, artinya berbadan sukma, oleh karenanya dapat mendakatkan yang jauh, apa yang dicipta jadi, mengadakan apapun yang dikehendaki, mendatangkan sekehendaknya, semuanya itu dapat dijadikan suatu sarana pada awal akhir. Bila dipergunakan ketika masih hidup di Dunia ada manfaatnya, begitu juga dipergunakan kelak bila telah sampai pada sakaratul maut.
Pembahasan dari sudut pandang pendapat
Pada umumnya orang salah mengartikan antara ngracut sukma dan ngraga sukma adalah sama, memang hampir sama tapi beda, ngraga sukma lebih bersifat jalan-jalan ke dunia astral, pergi ketempat jauh dengan badan halus kita dengan kata lain “wisata” dengan badan halus kita, tetapi ngracut sukma lebih bersifat melepaskan ruhani kita dari keterkaitan atau ketergantugan pada hal-hal yang bersifat duniawi. pada hal teknis roh yang kita lepas pada ngraga sukma pada lapisan terluar, sedangkan pada ngracut sukma ruh yang kita “racut” pada level yang lebih halus atau pada lapisan lebih dalam, perlu diketahui bahwa ruh itu urusan Allah, manusia tiada mengetahui kecuali sangat sedikit, yang sangat sedikit itu pada hakekatnya sangat bermanfaat apabila kita mensyukuri dan tidak menyia-nyiakan walaupun sangat sedikit.
Hakekat terdalam manusia adalah Tuhan, tapi ini jangan disalah artikan bahwa manusia itu Tuhan, ini pendapat keliru!, hamba itu beda dengan Khalik, hamba itu bersifat serba terbatas, sedangkan sang Khalik bersifat maha dan tak terbatas, tetapi antara hamba dan sang Khalik ada titik temunya yaitu “roso” atau rahasiaNya yang berpusat di sanubari hamba paling dalam. Apabila hamba sudah sampai pada taraf sembah roso maka akan mempermudah hamba tersebut untuk manunggal dengan Gustinya.
Dalam kaitan dengan Serat kekiyasanning Pangracutan, laku-laku yang terkandung didalamnya bersifat teknis untuk mencapai mati sajroning urip atau dalam terminologi islam disebut mukhlis atau ahli ikhlas. nah, inilah titik temu antara islam dan kejawen, sungguh ironis apabila ada orang mempertentangkan antara islam dengan kejawen, karena islam adalah Dien sedangkan kejawen adalah budaya, keduanya mempunyai dimensi yg berbeda, tapi banyak titik temunya.
SERAT SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU
Rahasia Serat Sastrajendrahayuningrat Pangruwa Ting Diyu.
Dalam lakon wayang Purwa, kisah Ramayana bagian awal diceritakan asal muasal keberadaan Dasamuka atau Rahwana tokoh raksasa yang dikenal angkara murka, berwatak candala dan gemar menumpahkan darah. Dasamuka lahir dari ayah seorang Begawan sepuh sakti linuwih gentur tapanya serta luas pengetahuannya yang bernama Wisrawa dan ibu Dewi Sukesi yang berparas jelita tiada bandingannya dan cerdas haus ilmu kesejatian hidup. Bagaimana mungkin dua manusia sempurna melahirkan raksasa buruk rupa dan angkara murka ? Bagaimana mungkin kelahiran “ sang angkara murka “ justru berangkat dari niat tulus mempelajari ilmu kebajikan yang disebut Serat Sastrajendra.
Ilmu untuk Meraih Sifat Luhur Manusia.
Salah satu ilmu rahasia para dewata mengenai kehidupan di dunia adalah Serat Sastrajendra. Secara lengkap disebut Serat Sastrajendrahayuningrat Pangruwatingdiyu.
Serat = ajaran, Sastrajendra = Ilmu mengenai raja. Hayuningrat = Kedamaian.
Pangruwating = Memuliakan atau merubah menjadi baik.
Diyu = raksasa atau keburukan. Raja disini bukan harfiah raja melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia mampu menguasai hawa nafsu dan pancainderanya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau merubah keburukan menjadi kebaikan.
Pengertiannya bahwa Serat Sastrajendra adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan dunia akhirat. Ilmu Sastrajendra adalah ilmu makrifat yang menekankan sifat amar ma’ruf nahi munkar, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan rakyat.
Gambaran ilmu ini adalah mampu merubah raksasa menjadi manusia. Dalam pewayangan, raksasa digambarkan sebagai mahluk yang tidak sesempurna manusia. Misal kisah prabu Salya yang malu karena memiliki ayah mertua seorang raksasa. Raden Sumantri atau dikenal dengan nama Patih Suwanda memiliki adik raksasa bajang bernama Sukrasana. Dewi Arimbi, istri Werkudara harus dirias sedemikian rupa oleh Dewi Kunti agar Werkudara mau menerima menjadi isterinya. Betari Uma disumpah menjadi raksesi oleh Betara Guru saat menolak melakukan perbuatan kurang sopan dengan Dewi Uma pada waktu yang tidak tepat. Anak hasil hubungan Betari Uma dengan Betara Guru lahir sebagai raksasa sakti mandra guna dengan nama “ Betara Kala “ (kala berarti keburukan atau kejahatan). Sedangkan Betari Uma kemudian bergelar Betari Durga menjadi pengayom kejahatan dan kenistaan di muka bumi memiliki tempat tersendiri yang disebut “ Kayangan Setragandamayit “. Wujud Betari Durga adalah raseksi yang memiliki taring dan gemar membantu terwujudnya kejahatan.
Melalui ilmu Sastrajendra maka simbol sifat sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki manusia akan menjadi dirubah menjadi sifat sifat manusia yang berbudi luhur. Karena melalui sifat manusia ini kesempurnaan akal budi dan daya keruhanian mahluk ciptaan Tuhan diwujudkan. Dalam kitab suci disebutkan bahwa manusia adalah ciptaan paling sempurna. Bahkan ada disebutkan, Tuhan menciptakan manusia berdasar gambaran dzat-Nya. Filosof Timur Tengah Al Ghazali menyebutkan bahwa manusia seperti Tuhan kecil sehingga Tuhan sendiri memerintahkan para malaikat untuk bersujud. Sekalipun manusia terbuat dari dzat hara berbeda dengan jin atau malaikat yang diciptakan dari unsur api dan cahaya. Namun manusia memiliki sifat sifat yang mampu menjadi “ khalifah “ (wakil Tuhan di dunia).
Namun ilmu ini oleh para dewata hanya dipercayakan kepada Wisrawa seorang satria berwatak wiku yang tergolong kaum cerdik pandai dan sakti mandraguna untuk mendapat anugerah rahasia Serat Sastrajendrahayuningrat Diyu.
Ketekunan, ketulusan dan kesabaran Begawan Wisrawa menarik perhatian dewata sehingga memberikan amanah untuk menyebarkan manfaat ajaran tersebut. Sifat ketekunan Wisrawa, keihlasan, kemampuan membaca makna di balik sesuatu yang lahir dan kegemaran berbagi ilmu. Sebelum “ madeg pandita “ ( menjadi wiku ) Wisrawa telah lengser keprabon menyerahkan tahta kerajaaan kepada sang putra Prabu Danaraja. Sejak itu sang wiku gemar bertapa mengurai kebijaksanaan dan memperbanyak ibadah menahan nafsu duniawi untuk memperoleh kelezatan ukhrawi nantinya. Kebiasaan ini membuat sang wiku tidak saja dicintai sesama namun juga para dewata.
Sifat Manusia Terpilih.
Sebelum memutuskan siapa manusia yang berhak menerima anugerah Sastra Jendra, para dewata bertanya pada sang Betara Guru. “ Duh, sang Betara agung, siapa yang akan menerima Sastra Jendra, kalau boleh kami mengetahuinya. “
Bethara guru menjawab “ Pilihanku adalah anak kita Wisrawa “. Serentak para dewata bertanya “ Apakah paduka tidak mengetahui akan terjadi bencana bila diserahkan pada manusia yang tidak mampu mengendalikannya. Bukankah sudah banyak kejadian yang bisa menjadi pelajaran bagi kita semua”
Kemudian sebagian dewata berkata “ Kenapa tidak diturunkan kepada kita saja yang lebih mulia dibanding manusia “.
Seolah menegur para dewata sang Betara Guru menjawab “Hee para dewata, akupun mengetahui hal itu, namun sudah menjadi takdir Tuhan Yang Maha Kuasa bahwa ilmu rahasia hidup justru diserahkan pada manusia. Bukankah tertulis dalam kitab suci, bahwa malaikat mempertanyakan pada Tuhan mengapa manusia yang dijadikan khalifah padahal mereka ini suka menumpahkan darah“. Serentak para dewata menunduk malu “ Paduka lebih mengetahui apa yang tidak kami ketahui”
Kemudian, Betara Guru turun ke mayapada didampingi Betara Narada memberikan Serat Sastra Jendra kepada Begawan Wisrawa.
“ Duh anak Begawan Wisrawa, ketahuilah bahwa para dewata memutuskan memberi amanah Serat Sastra Jendra kepadamu untuk diajarkan kepada umat manusia”
Mendengar hal itu, menangislah Sang Begawan “ Ampun, sang Betara agung, bagaimana mungkin saya yang hina dan lemah ini mampu menerima anugerah ini “.
Betara Narada mengatakan “ Anak Begawan Wisrawa, sifat ilmu ada 2 (dua). Pertama, harus diamalkan dengan niat tulus. Kedua, ilmu memiliki sifat menjaga dan menjunjung martabat manusia. Ketiga, jangan melihat baik buruk penampilan semata karena terkadang yang baik nampak buruk dan yang buruk kelihatan sebagai sesuatu yang baik. “ Selesai menurunkan ilmu tersebut, kedua dewata kembali ke kayangan.
Setelah menerima anugerah Sastrajendra maka sejak saat itu berbondong bondong seluruh satria, pendeta, cerdik pandai mendatangi beliau untuk minta diberi wejangan ajaran tersebut. Mereka berebut mendatangi pertapaan Begawan Wisrawa melamar menjadi cantrik untuk mendapat sedikit ilmu Sastra Jendra. Tidak sedikit yang pulang dengan kecewa karena tidak mampu memperoleh ajaran yang tidak sembarang orang mampu menerimanya. Para wiku, sarjana, satria harus menerima kenyataan bahwa hanya orang orang yang siap dan terpilih mampu menerima ajarannya.
Nun jauh, negeri Ngalengka yang separuh rakyatnya terdiri manusia dan separuh lainnya berwujud raksasa. Negeri ini dipimpin Prabu Sumali yang berwujud raksasa dibantu iparnya seorang raksasa yang bernama Jambumangli. Sang Prabu yang beranjak sepuh, bermuram durja karena belum mendapatkan calon pendamping bagi anaknya, Dewi Sukesi. Sang Dewi hanya mau menikah dengan orang yang mampu menguraikan teka-teki kehidupan yang diajukan kepada siapa saja yang mau melamarnya. Sebelumnya harus mampu mengalahkan pamannya yaitu Jambumangli. Beribu ribu raja, wiku dan satria menuju Ngalengka untuk mengadu nasib melamar sang jelita namun mereka pulang tanpa hasil. Tidak satupun mampu menjawab pertanyaan sang dewi. Berita inipun sampailah ke negeri Lokapala, sang Prabu Danaraja sedang masgul hatinya karena hingga kini belum menemukan pendamping hati. Hingga akhirnya sang Ayahanda, Begawan Wisrawa berkenan menjadi jago untuk memenuhi tantangan puteri Ngalengka.
Pertemuan Dua Anak Manusia.
Berangkatlah Begawan Wisrawa ke Ngalengka, hingga kemudian bertemu dengan dewi Suksesi. Senapati Jambumangli bukan lawan sebanding Begawan Wisrawa, dalam beberapa waktu raksasa yang menjadi jago Ngalengka dapat dikalahkan. Tapi hal ini tidak berarti kemenanmgan berada di tangan. Kemudian tibalah sang Begawan harus menjawab pertanyaan sang Dewi. Dengan mudah sang Begawan menjawab pertanyaan demi pertanyaan hingga akhirnya, sampailah sang dewi menanyakan rahasia Serat Sastrajendra. Sang Begawan pada mulanya tidak bersedia karena ilmu ini harus dengan laku tanpa “ perbuatan “ sia sialah pemahaman yang ada. Namun sang Dewi tetap bersikeras untuk mempelajari ilmu tersebut, toh nantinya akan menjadi menantunya.
Luluh hati sang Begawan, beliau mensyaratkan bahwa ilmu ini harus dijiwai dengan niat luhur. Keduanya kemudian menjadi guru dan murid, antara yangf mengajar dan yang diajar. Hari demi hari berlalu keduanya saling berinteraksi memahamkan hakikat ilmu. Sementara di kayangan, para dewata melihat peristiwa di mayapada. “ Hee, para dewata, bukankah Wisrawa sudah pernah diberitahu untuk tidak mengajarkan ilmu tersebut pada sembarang orang “.
Para dewata melaporkan hal tersebut kepada sang Betara Guru. “ Bila apa yang dilakukan Wisrawa, bisa nanti kayangan akan terbalik, manusia akan menguasai kita, karena telah sempurna ilmunya, sedangkan kita belum sempat dan mampu mempelajarinya “.
Sang Betara Guru merenungkan kebenaran peringatan para dewata tersebut. “ tidak cukup untuk mempelajari ilmu tanpa laku, Serat Sastrajendra dipagari sifat sifat kemanusiaan, kalau mampu mengatasi sifat sifat kemanusiaan baru dapat mencapai derajat para dewa. “ Tidak lama sang Betara menitahkan untuk memanggil Dewi Uma.untuk bersama menguji ketangguhan sang Begawan dan muridnya.
Hingga sesuatu ketika, sang Dewi merasakan bahwa pria yang dihadapannya adalah calon pendamping yang ditunggu tunggu. Biar beda usia namun cinta telah merasuk dalam jiwa sang Dewi hingga kemudian terjadi peristiwa yang biasa terjadi layaknya pertemuan pria dengan wanita. Keduanya bersatu dalam lautan asmara dimabukkan rasa sejiwa melupakan hakikat ilmu, guru, murid dan adab susila. Hamillah sang Dewi dari hasil perbuatan asmara dengan sang Begawan. Mengetahui Dewi Sukesi hamil, murkalah sang Prabu Sumali namun tiada daya. Takdir telah terjadi, tidak dapat dirubah maka jadilah sang Prabu menerima menantu yang tidak jauh berbeda usianya.
Tergelincir Dalam Kesesatan.
Musibah pertama, terjadi ketika sang senapati Jambumangli yang malu akan kejadian tersebut mengamuk menantang sang Begawan. Raksasa jambumangli tidak rela tahta Ngalengka harus diteruskan oleh keturunan sang Begawan dengan cara yang nista. Bukan raksasa dimuliakan atau diruwat menjadi manusia. Namun Senapati Jambumangli bukan tandingan, akhirnya tewas ditangan Wisrawa. Sebelum meninggal, sang senapati sempat berujar bahwa besok anaknya akan ada yang mengalami nasib sepertinya ditewaskan seorang kesatria.
Musibah kedua, Prabu Danaraja menggelar pasukan ke Ngalengka untuk menghukum perbuatan nista ayahnya. Perang besar terjadi, empat puluh hari empat puluh malam berlangsung sebelum keduanya berhadapan. Keduanya berurai air mata, harus bertarung menegakkan harga diri masing masing. Namun kemudian Betara Narada turun melerai dan menasehati sang Danaraja. Kelak Danaraja yang tidak dapat menahan diri, harus menerima akibatnya ketika Dasamuka saudara tirinya menyerang Lokapala.
Musibah ketiga, sang Dewi Sukesi melahirkan darah segunung keluar dari rahimnya kemudian dinamakan Rahwana (darah segunung). Menyertai kelahiran pertama maka keluarlah wujud kuku yang menjadi raksasi yang dikenal dengan nama Sarpakenaka. Sarpakenaka adalah lambang wanita yang tidak puas dan berjiwa angkara, mampu berubah wujud menjadi wanita rupawan tapi sebenarnya raksesi yang bertaring. Kedua pasangan ini terus bermuram durja menghadapi musibah yang tiada henti, sehingga setiap hari keduanya melakukan tapa brata dengan menebus kesalahan. Kemudian sang Dewi hamil kembali melahirkan raksasa kembali. Sekalipun masih berwujud raksasa namun berbudi luhur yaitu Kumbakarna.
Akhir Yang Tercerahkan.
Musibah demi musibah terus berlalu, keduanya tidak putus putus memanjatkan puaj dan puji ke hadlirat Tuhan yang Maha Kuasa. Kesabaran dan ketulusan telah menjiwa dalam hati kedua insan ini. Serat Sastrajendra sedikit demi sedikit mulai terkuak dalam hati hati yang telah disinari kebenaran ilahi. Hingga kemudian sang Dewi melahirkan terkahir kalinya bayi berwujud manusia yang kemudian diberi nama Gunawan Wibisana. Satria inilah yang akhirnya mampu menegakkan kebenaran di bumi Ngalengka sekalipun harus disingkirkan oleh saudaranya sendiri, dicela sebagai penghianat negeri, tetapi sesungguhnya sang Gunawan Wibisana yang sesungguhnya yang menyelamatkan negeri Ngalengka. Gunawan Wibisana menjadi simbol kebenaran mutiara yang tersimpan dalam Lumpur namun tetap bersinar kemuliaannya. Tanda kebenaran yang tidak larut dalam lautan keangkaramurkaan serta mampu mengalahkan keragu raguan seperti terjadi pada Kumbakarna.
Dalam cerita pewayangan, Kumbakarna dianggap tidak bisa langsung masuk suargaloka karena dianggap ragu ragu membela kebenaran.
Melalui Gunawan Wibisana, bumi Ngalengka tersinari cahaya ilahi yang dibawa Ramawijaya dengan balatentara jelatanya yaitu pasukan wanara (kera). Peperangan dalam Ramayana bukan perebutan wanita berwujud cinta namun pertempuran demi pertempuran menegakkan kesetiaan pada kebenaran yang sejati.
PANCASILA ALLAH
Maksud Pancasila Allah dalam wewarah Sapta Darma adalah merupakan sifat keluhuran dan sikap perwujudan kehendak Allah Hyang Maha Kuasa seperti berikut :
Allah Hyang Maha Agung, Allah Hyang Maha Rokhim, Allah Hyang Maha Adil, Allah Hyang Maha Wasesa dan Allah Hyang Maha Langgeng. Dan sifat keluhuran ini tercermin dalam sifat dan sikap hidup manusia seperti berikut :
- Mau atau suka memaafkan kesalahan orang lain, mau menerima dan mau member, sifat berbudi bawa laksana serta daya cipta yang dimiliki.
- Rasa cinta dan kasih.
- Rasa keadilan.
- Rasa tanggung jawab dan mampu melaksanakan tugas yang diembannya, terutama dalam menguasai dan mengendalikan nafsu pada diri pribadi.
- Kesadaran bahwa hidup manusia tiada mati tapi abadi/langgeng dan akan kembali keasalnya/Allah Hyang Maha Langgeng untuk mempertanggungjawabkan tugasnya selama hidup di dunia bersama jasmaninya.
Manusia sebagai mahluk social tidak dapat lepas dari manusia lainnya, oleh karenanya pada diri manusia itu terdapat sifat tolong menolong, sifat toleransi, sifat cinta kasih dan lain-lainnya. Manusia selalu ingin berhubungan antara sesame manusia. Sifat-sifat semacam ini kita rasakan bersama pada diri kita masing-masing. Terus darimanakah sumber sifat-sifat tersebut ?
Tiada lain tentu dari Zat Mutlak yang tunggal yang disebut Hyang Maha Kuasa. Sifat inilah yang disebut Hyang Maha Rokhim.
Manusia juga mempunyai sifat tidak membeda-bedakan kepada sesame. Sifat ini tidak hanya terdapat pada orang-orang tua atau orang dewasa saja tetapi juga terdapat pada anak-anak. Dan sifat inipun ada sumbernya yaitu Hyang maha Kuasa, sehingga Hyang Maha Kuasa mempunyai sifat Hyang Maha Adil. Mengenai sifat adil ini dapat dijelaskan bahwa untuk mengatur kekuasaan yang ada didalam dunia ini harus ada peraturan-peraturan yang baik. Jadi segala keadaan ditata diatur dengan kejadian-kejadian yang menumbuhkan suatu keadaan pada keseimbangan yang berarti terjaminnya keadaan sebelumnya.
Misalnya untuk mencari keadilan kita lari ke pengadilan, disini kita temukan seorang hakim, jaksa, pembela dan disini kita melihat keadilan yang harus dijatuhkan oleh hakim tersebut untuk memberikan suatu keseimbangan dari orang yang bersalah / berdosa tersebut. Hasil dari pertimbangan hakim tersebut telah ditimbang-timbang dengan adanya tuntutan dari seorang jaksa dengan didampingi dengan pembelaan-pembelaan atau pledoi daripada pembela. Disitu akan memberikan suatu keseimbangan keselarasan hukum, supaya tetap keadilan dapat tercapai. Dilain pihak pelanggaran tidak hanya diantara manusia tetapi juga terjadi disegala aspek kehidupan. Baik di alam langgeng maupun dialam wajar. Di alam wajar kita melihat adanya banjir, petir, gempa bumi, tsunami, gunung meletus dan lainnya. Dan hal-hal inipun juga pelanggaran yang mengakibatkan tidak adanya keseimbangan. Hal ini yang bisa memberi keadilan tidak lain adalah Hyang Maha Adil. Jadi Hyang Maha Kuasa yang bersifat Hyang Maha Adil.
Manusia juga mempunyai sifat memberikan ampun atas kesalahan orang lain atau bersifat “berbudi bawa laksana”. Dengan daya cipta pikiran manusia mampu membuat segala macam materi atau benda-benda yang dalam abad nuklir ini seperti mulai dari sepeda, motor, mobil, pesawat, senjata kimia, biologi, satlit, televise, computer, robot, senjata nuklir dsb. Apabila kita renungkan tidak heran manusia dapat mencapai hal yang sedemikian tingginya, sebab sifat kemampuan yang agung semacam itu sumbernya adalah Hyang Maha Kuasa. Oleh karena itu Hyang Maha Kuasa bersifat Hyang Maha Agung.
Disinilah keagungan yang diberikan kepada manusia dan manusia sekarang ini telah lupa dengan sumbernya, dengan kemampuan membuat senjata seenaknya menghancurkan sesama bahkan alam semesta tempat perlindungannya. Keagungan yang diberikan kepada manusia melalui rohaninya itu hingga manusia itu mencapai sedemikian tingginya dan manusia lupa akan tujuan hidup yang sesungguhnya yaitu memayu hayuning bawana dalam arti dunia ini tidak boleh dirusak, harus dipayungi. Tapi manusia lupa akan causaprimanya yang seharusnya menjaga ketentraman dan perdamaian dunia tapi sebaliknya alat yang diciptakannya itu malah untuk merusak sesame maupun dunia ini. Contohnya adalah perang irak, afganistan,libanon, rela menjadi teroris dsb.
Sifat yang lain yang dimiliki oleh manusia ialah manusia selalu mempunyai sifat mudah mengingat-ingat akan sesuatu hal yang selamanya akan terkenang, lebih-lebih perbuatan yang baik yang diamalkan kepada sesame umat akan memunculkan nama yang baik, nama yang langgeng, yang selalu dikenang oleh masyarakat. Misalnya perbuatan amal para nabi, para wali, pahlawan bangsa, yang namanya sampai sekarang tetap dikenang/langgeng. Jadi dengan demikian manusia juga mempunyai sifat-sifat langgeng yang sebetulnya bersumber pada jiwa atau rohaninya dan sifat ini bersumber dari Hyang Maha Kuasa, sehingga Hyang Maha Kuasa bersifat Hyang Maha Langgeng.
Masih ada sifat lain yang tersembunyi pada diri manusia yang kita rasakan bersama yaitu sifat purba dan wasesa atau purba-wasesa. Hal ini sebetulnya dipunyai oleh rohani manusia yang berupa rasa. Misalnya rasa sedih, rasa sakit, rasa gembira, rasa senang,rasa bahagia dsb. Dan rasa inipun ada sumbernya yaitu Hyang Maha Kuasa, sehingga Hyang Maha Kuasa mempunyai sifat Hyang Maha Wasesa.
Sifat-sifat yang lain yang dimiliki oleh manusia masih banyak yang dapat kita rasakan sehari-hari, namun dari sekian sifat-sifat tersebut yang terpenting asalnya dari repleksi sinar-sinar Hyang Maha Kuasa. Sifat terpenting yang mutlak pada Hyang Maha Kuasa adalah Panca Sila Allah yang kami sebutkan diatas, sedangkan sifat lainnya apabila kita pecah sampai tidak terbatas.

