GOLONGAN PUTIH
Sejarah awal mula GOLPUT di Indonesia.
Sejarah awal mula GOLPUT di Indonesia.
Golongan putih atau yang disingkat
golput adalah istilah politik di Indonesia yang berawal dari gerakan protes
dari para mahasiswa dan pemuda untuk memprotes pelaksanaan Pemilu 1971 yang
merupakan Pemilu pertama di era Orde Baru. Pesertanya 10 partai politik, jauh
lebih sedikit daripada Pemilu 1955 yang diikuti 172 partai politik. Pencetus istilah
“Golput” ini sendiri adalah Imam Waluyo. Dipakai istilah “putih” karena gerakan
ini menganjurkan agar mencoblos bagian putih di kertas atau surat suara di luar
gambar parpol peserta Pemilu bagi yang datang ke bilik suara. Namun, kala itu,
jarang ada yang berani tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) karena akan
ditandai. Golongan putih kemudian juga digunakan sebagai istilah lawan bagi
Golongan Karya, partai politik dominan pada masa Orde Baru.
Pemilu pertama yang berlangsung pada
1955 mencatat tingkat partisipasi publik hingga 91,1% dan angka golput sebanyak
8,6%. Angka Golput terendah terjadi pada pemilu berikutnya yaitu 1971, yang
turun hingga angka 3,4%.
Angka golput terbesar malah terjadi pada
era reformasi pasca Orde Baru, yaitu pada pilpres 2009, yang mencetak angka
golput sebanyak 29,3%. Pilpres 2009 merupakan pemilihan umum pertama di mana
masyarakat Indonesia bisa memilih presiden dan wakil presidennya secara
langsung.
Sementara dalam lingkup daerah, pilkada
serentak yang pertama kali diadakan pada 2015 hanya diikuti oleh 70% pemilih
dari daerah yang mengadakan pemilihan. Artinya, tingkat golput dalam Pilkada
serentak 2015 mencapai 30%.
Tingginya tingkat golput bisa disebabkan
oleh berbagai faktor, termasuk regulasi, konflik dalam partai politik, serta
para kandidat kepala daerah yang tidak memiliki nilai jual di mata masyarakat.
Memilih dalam pemilu adalah hak bagi
seluruh Warga Negara Indonesia yang telah memiliki KTP. Namun bagi mereka yang
memutuskan untuk tidak memilih, apapun alasannya alias menjadi golput,
sebenarnya tidak menyalahi aturan perundang-undangan manapun, sehingga tidak
dapat dipidana.
Meskipun begitu, Pasal 308 UU No.8 Tahun
2012 tentang Pemilu memberikan ruang bagi penegak hukum .
Golongan putih (golput) pada dasarnya
adalah sebuah gerakan moral yang dicetuskan pada 3 Juni 1971 di Balai Budaya Jakarta,
sebulan sebelum hari pemungutan suara pada pemilu pertama di era Orde Baru
dilaksanakan.Arief Budiman sebagai salah seorang eksponen Golput berpendapat
bahwa gerakan tersebut bukan untuk mencapai kemenangan politik, tetapi lebih
untuk melahirkan tradisi di mana ada jaminan perbedaan pendapat dengan penguasa
dalam situasi apa pun. Menurut kelompok ini, dengan atau tanpa pemilu, kekuatan
efektif yang banyak menentukan nasib negara ke depan adalah ABRI. Kebanyakan
tokoh pencetus Golput adalah “Angkatan ‘66”, walaupun sebagian tokoh “Angkatan
‘66” diakomodasi Orba dalam sistem. Mereka ada yang menjadi anggota DPR-GR,
bahkan Menteri. Namun, ada pula yang tetap kritis melawan rezim baru yang
dianggap mengingkari janji itu. Pencetusan gerakan itu disambung dengan
penempelan pamflet kampanye yang menyatakan tidak akan turut dalam pemilu.
Tanda gambarnya segi lima dengan dasar warna putih, kampanye tersebut langsung
mendapat respons dari aparat penguasa.
Sejak Pemilu 1955 angka Golput cenderung
terus naik. Bila dihitung dari pemilih tidak datang dan suara tidak sah,golput
pada pemilu 1955 sebesar 12,34%. Pada pemilu 1971, ketika Golput dicetuskan dan
dikampanyekan, justru mengalami penurunan hanya 6,67%. Pemilu 1977 Golput
sebesar 8,40%, 9,61% (1982), 8,39% (1987), 9,05% (1992), 10,07% (1997), 10.40%
(1999), 23,34% (Pileg 2004), 23,47% (Pilpres 2004 putaran I), 24,95% (Pilpres
2004 putaran II). Pada Pilpres putaran II setara dengan 37.985.424 pemilih.
Pemilu legislatif 2009 partisipasi pemilih sebesar 71%. Artinya jumlah golput
(dalam arti longgar) terdapat 29%. Sedangkan menurut perkiraan berbagai sumber
jumlah golput pada pemilu Presiden 2009 sebesar 40%. Angka-angka golput ini
cukup tinggi.
Dalil pembenaran logika golput dalam
Pemilu di Indonesia yaitu UU No 39/1999 tentang HAM Pasal 43. Selanjutnya, UU
No 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil Politik yaitu di Pasal 25 dan
dalam UU No 10/2008 tentang Pemilu disebutkan di Pasal 19 ayat 1 yang berbunyi:
"WNI yang pada hari pemungutan suara telah berumur 17 tahun atau lebih
atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih. Dalam klausul tersebut kata yang
tercantum adalah "hak" bukan "kewajiban".Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945 yang diamendemen pada 1999-2002, tercantum dalam Pasal 28 E: "Pemilu
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima
tahun sekali". Hak memilih di sini termaktub dalam kata "bebas".
Artinya bebas digunakan atau tidak.
SUDUT HUKUM
1.
Pemilu
disajikan untuk mengetahui keinginan dan kehendak masyarakat tentang apa dan
siapa dalam ukuran logika rakyat yang layak untuk memimpin, memberikan
perubahan ataupun perbaikan nasib bagi seluruh rakyat dalam suatu negara. Partisipasi menjadi penting guna menentukan
dan menilai penguasa. Pada masa orde baru, penguasa bercorak militeristik
begitu kuat, kelompok civil society tak berdaya membendung berbagai kebijakan
tak populis. Kondisi demikian mendorong sekelompok intelektual untuk menentang
ketidak adilan struktural lewat gerakan moral.
2.
Gerakan
moral ini kemudian dikenal dengan golongan putih (golput) yang dicetuskan pada
3 Juni 1971, sebulan menjelang pemilu. Pada awalnya golput merupakan gerakan
untuk melahirkan tradisi di mana ada jaminan perbedaan pendapat dengan penguasa
dalam situasi apapun. Gerakan itu lahir didorong oleh kenyataan bahwa dengan
atau tanpa pemilu, sistem politik waktu itu tetaplah bertopang kepada Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada waktu itu. Lebih-lebih dengan
berbagai cara, penguasa melindungi dan mendorong kemenangan salah satu partai
pada waktu itu, sehingga meminggirkan partai politik lain yang berjumlah 10
kontestan untuk dapat bertanding merebut suara secara fair. Jadi, dalam konteks
ini, cikal bakal golput merupakan gerakan moral yang ditujukan sebagai “mosi
tidak percaya” kepada struktur politik yang coba dibangun oleh penguasa waktu
itu. Gerakan moral ini memberikan kesan pada publik bahwa putih disebandingkan
dengan lawannya, yakni hitam, kotor.Pada perkembangan berikutnya, golput
dimaknai sebagai protes dalam bentuk ketidakhadiran masyarakat ke tempat
pemungutan suara atau keengganan menggunakan hak suaranya secara baik, atau
dengan sengaja menusuk tepat dibagian putih kertas suara dengan maksud agar
surat suara menjadi tidak sah, dan dengan tujuan agar kertas suara tidak
disalah gunakan oleh pihak tertentu untuk kepentingan tertentu pula.
3.
Golput
juga dimaknai sebagai prilaku apatisme (jenuh) dengan tematema pemilihan.
Kejenuhan tersebut disebabkan oleh suatu kondisi psikologis masyarakat yang
hampir tiap tahun mengalami pemilu, pilgub, pilkada dan bahkan pilkades. Disisi
lain, penyelenggaraan pemilu yang berulang-ulang tak juga memberikan banyak hal
terkait perbaikan nasib bagi masyarakat. Pada titik tertentu rasa jenuh
tersebut sampai pada rasa tak peduli apakah dirinya masuk dalam daftar pemilih
tetap atau tidak sama sekali. Dengan kata lain, golput merupakan akumulasi
sikap jenuh masyarakat terhadap seputar pemilu baik janji politik, money
politik dan kekerasan politik dan kondisi-kondisi pasca reformasi yang tak
kunjung membaik.
Mengapa Golput
Indonesia menyediakan ruang gerak
seluas-luasnya bagi publik untuk bersuara dan berpendapat dengan tidak
melepaskan diri dari aturan yang berlaku (konteks pasal 28E ayat 3 UUD 1945).
Pun dengan Pemilihan umum (pemilu). Sebagai salah satu pilar negara demokrasi,
pemilu sudah sejak lama berjalan di negara kita. Di setiap momen pemilihan
calon kepala daerah (pilkada) atau pemilihan presiden (pilpres), pemilu
dijalankan oleh masyarakat penuh antusias. Masa kampanye menandai dimulainya
pesta demokrasi terbesar di seluruh pelosok negeri.
Namun didalam pemilu tidak luput dari
masalah golput. Golonganputih atau golput adalah istilah yang populer
dikampanyekan pada saat pemerintahan Orde Baru. Semakin tahun, golput menjadi
pilihan beberapa kalangan. Presentase golput pun semakin meningkat setiap
tahunnya. Angka golput di Indonesia justru bertambah dua kali lipat dalam
pemilu legislatif dan pemilu presiden pada tahun 2004, yaitu 23% dan 21%. Angka
ini terus naik di dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden pada 2009, yaitu
29% dan 29,1%. Bahkan hal ini terjadi juga dalam pilkada.Angka golput juga
tidak menurun dalam beberapa pemilihan umum kepala daerah yang terjadi di dalam
tiga tahun terakhir. Banyak pihak yang menyatakan peningkatan angka golput dari
tahun ke tahun disebabkan kualitas partai dan calon legislator atau calon
presiden yang tidak baik.
Disini dapat dicontohkan pemilu
sebelumnya,
banyak alasan yang terungkap dibalik banyaknya kalangan yang lebih memilih
golput. Tidak adanya kepercayaan rakyat kepada elite politik dan para pemimpin,
baik di eksekutif maupun legislatif, akan mendorong masyarakat apriori,
termasuk dalam menghadapi Pemilu dan Pilpres 2014 yang lalu. Rakyat diprediksi
banyak yang tidak akan menggunakan hak pilihnya alias golput, bahkan bisa jadi
golput akan menang. Jika dibandingkan dengan pemilu legislatif 2009, maka
tingkat partisipasi masyarakat terhadap gelaran politik 5 tahunan ini
meningkat. Tercatat bahwa angka golput pada Pileg 2009 mencapai 29,01 persen
dengan tingkat partisipasi 70,99 persen.
Namun, angka itu jauh dari partisipasi
masyarakat pada waktu Pemilu 1999 dan 2004. Dari penelusuran detikcom, tercatat
angka partisipasi masyarakat sebesar 93,30 persen dengan angka golput 6,70
persen pada Pemilu 1999. Sementara itu, pada Pemilu 2004 tingkat partisipasi
sebesar 84,07 persen dengan angka golput mencapai 15,93 persen.
Selain itu alasan lain mengapa terjadi
golput adalah terhadap masalah-masalah elite politik. “Kepercayaan rakyat
terhadap elite politik hampir mencapai titik nadir. Ini karena para pemimpin
tidak lagi berpihak kepada rakyat. Akibatnya, rakyat apriori. Golput akan
meningkat, bahkan bisa jadi menjadi pemenang pada 2014, baik dalam pemilu
legislatif maupun pemilu presiden,” ungkap pengamat politik dari Universitas
Indonesia (UI), Jakarta, Arbi Sanit. Selain itu, bicara mengenai golput menurut
andrinof, bisa dibilang merupakan cerminan masyarakat yang masih cuek dalam hal
partisipasi demokrasi. Kesadaran politik masih belum mendalam sehingga politik
dianggap lebih pada sebuah acara ramai-ramai belaka. "Belum sampai pada
kesadaran bahwa pemilu adalah kesempatan di mana masyarakat sama-sama
menentukan arah kebijakan," kata dia.Dinegara demokrasi seperti ini hak
suara masyarakat memang sangat dibutuhkan. Karena segala sesuatunya akan sangat
berpengaruh untuk kemajuan negara ini untuk kedepannya. Namun memang masih
banyak yang tidak memperdulikan hal tersebut dikarenakan harapan yang mereka
tekankan pada para calon pemimpin tidak terealisasikan dengan baik. Masyarakat
merasa pilihan mereka selama ini tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap
kehidupan mereka.
Alasan lain mengapa orang lebih memilih
golput diungkapkan bahwa mereka lebih memilih untuk golput karena kekecewaan
mereka terhadap janji-janji palsu yang dijanjikan oleh para pemimpin pada saat
kampanye. Mereka merasa dibodohi karena pilihannya selama ini hanya sebuah
formalitas saja. Hak suara masyarakat tidak benar-benar dihargai. Karena itu
banyak kalangan lebih memilih golput karena memilih atau tidak tidak berpengaruh
bagi mereka” ungkapnya. Alasan lain pun diungkapkan oleh utut wulandari
mahasiswi administrasi negara “ Alasan masyarakat golput karena mereka sendiri
tidak benar-benar mengenali calonnya, mereka kurang pengetahuan tentang
bagaimana sistem dan profil para calon pemimpinnya. Mereka juga sudah tidak
percaya lagi karena banyaknya kebohongan didalam kampanye yang mereka lakukan.
Mereka hanya seolah melakukan pencitraan saja tidak benar-benar bertindak untuk
memajukan bangsa ini.
Banyak yang melakukan golput juga karena
masyarakat merasa bahwa ini adalah negara demokrasi yang bebas memilih. Mungkin
banyak padangan terhadap pemilu. Sebagian masih peduli untuk memilih karena
masih punya harapan besar terhadap calon pemimpin namun sebagian kalangan lebih
memilih golput karena merasa pilihan mereka memang tidak memberikan pengaruh
yang besar terhadap bangsa ini. Untuk para calon pemimpin, mungkin mereka harus
lebih berusaha meyakinkan masyarakat dengan mewujudkan segala janji-janji
mereka yang dilakukan saat kampanye untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat
kembali. Karena sesungguhnya hak suara rakyat bangsa ini sangat menentukan
bagaimana negara ini akan terbentuk kedepannya.
faktor penyebab Golput
Tidak menggunakan hak suaranya alias
golongan putih (Golput) dinilai tidak melulu karena keinginan pribadi. Ada
banyak faktor yang dinilai menyebabkan seseorang tidak memilih ketika pemilu.
1.
Karena
tidak terdaftar atau tidak mendapat kartu pemilih atau kartu undangan pemilih
belum sampai," ujar Pengamat politik dari Indonesia Public Institute
(IPI), Karyono Wibowo saat dihubungi Sindonews.
2.
Orang
yang terdaftar dan memiliki kartu undangan pemilih tetapi tidak datang ke TPS
karena ada urusan lain yang mendesak atau lebih memilih kerja mencari uang.
"Atau karena faktor sakit, dan lain sebagainya.
3.
Ada
orang yang dengan sadar atau dengan sengaja tidak menggunakan hak pilihnya
karena menilai partai peserta pemilu, caleg atau pasangan capres yang ada tidak
ada yang sesuai dengan pilihan mereka.
4.
Masyarakat
yang dengan sadar tidak menggunakan hak pilihnya karena menilai pemilu tidak
ada gunanya. Karena menganggap tidak linier dengan kesejahteraan yang mereka
idam-idamkan.
SOLUSI GOLPUT
Pemilihan umum serentak pilpres dan
pileg 2019 (17 April 2019). Berbagai cara dilakukan oleh penyelenggara
pemilihan umum untuk mendongkrak angka partisipasi pemilih. KPU sebagai penyelenggara
pemilu dan melaksanakan UU bersama jajarannya
bersama pemerintah, instansi
swasta, semua tokoh masyarakat,kelompok masyarakat berbagai lini gencar
menggelar sosialisasi, terutama bagi pemilih pemula.
Tetap saja kalau seseorang mengajak atau memengaruhi orang lain agar
Golput tergolong pelanggaran. Meskipun sesungguhnya tidak memilih itu merupakan
hak juga.