Pertemuan, Dialog Sabdo Palon & Syekh Subakir di Gunung Tidar
(Versi Sultan al-Gabah dari negeri Rum usaha mengislamkan Jawa)
Sebelum adanya dakwah yang dilakukan Sunan Gunung Jati dan Walisongo, sudah ada utusan Raja Persia Sultan Al-Gabah ke Tanah Jawa. Pendakwah itu bernama Syekh Subakir. Kedatangan Syekh Subakir di Tanah Jawa sebelum Sunan Gunung Jati maupun Walisongo pada umumnya, juga tercatat dalam Atlas Walisongo karya Agus Sunyoto.
Tanah Jawa yang dulu dikenal angker ditaklukkan Syekh Subakir, wali dari Persia yang memiliki keramat luar biasa. Sehingga ketika Sunan Gunung Jati dan Walisongo dakwah Islam pada abad berikutnya tanah Jawa sudah aman dari bangsa siluman.
Konon menurut cerita rakyat yang beredar di Gunung Tidar inilah tempat terjadinya pertarungan antara Syekh Subakir dengan Ki Semar atau Sabdo Palon Noyo Genggong hingga berhari-hari.
Gunung Tidar terletak di Kota Magelang. Gunung ini berada pada ketinggian 5.003 meter di atas permukaan laut. Kawasan yang berada di tengah kota Magelang ini sebenarnya adalah sebuah bukit. Tetapi masyarakat menyebutnya sebagai Gunung Tidar.
Asal muasal nama Tidar sendiri banyak versi yang berbeda. Salah satu versinya menyebutkan asal usul kata Tidar ini dari ungkapan "Ora Mati ya Modar", yang berarti tidak mati ya tewas. Karena angkernya Gunung Tidar waktu dulu, jika ada orang mendatangi gunung tersebut kalau tidak mati yang tewas. Modar dari bahasa Jawa yang berarti mati juga. Cerita yang berkembang di masyarakat konon Pulau Jawa yang terbentuk seperti perahu bergejolak dan akan terbawa arus laut.
Tancapan paku di tanah Jawa tersebut membentuk sebuah gunung yang diyakini sebagai Gunung Tidar. Terlepas dari cerita yang diyakini masyarakat, secara geografis letak Gunung tidar ini memang berada di tengah-tengah Pulau Jawa. Baca Juga: Kematian Jemaah Haji 15 Tahun Terakhir Tinggi, Kemenkes Perkuat Pendampingan Untuk bisa ke sana harus melalui jalanan setapak. Awal pendakian akan bertemu dengan makam Syekh Subakir. Meski tidak ada bukti yang meyakinkan akan cerita legenda ini, konon Syekh Subakir adalah penakluk Gunung Tidar. Syekh Subakir berhasil mengalahkan para jin penunggu Gunung Tidar tersebut. Menurut legenda atau hikayat Gunung Tidar Syekh Subakir berasal dari Turki.
Ternyata Hal Ini yang Menjadi Penyebab Konon beliau berhasil menaklukkan para jin penghuni Gunung Tidar. Kemudian juga terdapat makam Tombak Kyai Sepanjang, Pusaka Syekh Subakir saat berperang melawan para jin. Bentuk makam Tombak Kyai Sepanjang tidak lazim. Satu makam yang sangat panjang. Bahkan panjangnya makam ini mencapai tujuh meter dan dengan lebar 1 meter. Sementara di puncak Gunung Tidar terdapat lapangan yang cukup luas. Pada lapangan ini berdiri kokoh monumen akademi militer yang menjulang tinggi. Baca Juga: Relawan Keberatan Jika Anies Baswedan Dijadikan Cawapres Ganjar Lapangan Ini juga digunakan sebagai tempat para Taruna melaksanakan salah satu proses pendidikannya. Di puncak gunung ini pula tepat berada di tengah lapangan terdapat sebuah kotak kecil berwarna putih dikelilingi pagar besi dengan simbol huruf h dalam tulisan Jawa. Di sisi Timur lapangan puncak Gunung Tidar terdapat sebuah pohon beringin besar. Di bawah pohon ini terdapat sebuah Nissan marmer kecil bertuliskan petilasan Pangeran Purbaya.
Dipercaya tempat ini pernah digunakan sebagai tempat bertapa Pangeran Purbaya. Situs makam yang lain berada di puncak Gunung Tidar sisi tenggara adalah cungkup makam berbentuk kerucut berwarna kuning mirip raksasa. Ada yang meyakini di sinilah makam Sanghyang Wismoyo atau Kyai Semar Badranaya atau Sanghyang Sabdo Palon. Demikianlah cerita tentang Gunung Tidar misteri Paku Tanah Jawa.
Pertarungan dahsyat Syekh Subakir dengan Sabdo Palon Noyo Genggong (40 malam 40 hari)
Sejarah dakwah Islam di Tanah Jawa yang dilakukan Sunan Gunung Jati dan Walisongo selalu terselip mitologi. Sunan Gunung Jati dan Walisongo memiliki keramat dan kesaktian yang luar biasa dalam melakukan dakwah Islam di tanah Jawa. Keramat dan kesaktian Sunan Gunung Jati dan Walisongo dalam menyebarkan agama Islam, tidak terlepas dari sejarah jika pulau Jawa dikenal pulau paling angker yang dihuni para siluman.
Dakwah Pra Walisongo Sunan Gunung Jati Sejarah panjang tentang penyebaran agama Islam di tanah Jawa dituliskan Agus Sunyoto dalam bukunya Atlas Walisongo. Dikenal dengan istilah dakwah Islam sebelum Walisongo, Islam sudah masuk ke Indonesia sejak pertengahan abad ke-7 Masehi. Seorang raja dari Negeri Rum Sultan Al-Gabah pernah mencoba melakukan dakwah Islam ke Tanah Jawa. Dituliskan dalam sejarah, Sultan Al-Gabah mengirim 20.000 keluarga muslim ke Pulau Jawa. Hal ini dilakukan agar penduduk Islam Persia bisa mempengaruhi penduduk pribumi agar masuk agama Islam.
Sebelum Sunan Gunung Jati dan Wali Songo Namun dari sekian banyak keluarga yang dikirimkan Sultan Al-Gabah sebagian besar meninggal secara misterius. Hanya 200 keluarga saja yang selamat, dan sisanya meninggal secara misterius oleh bangsa dedemit jin dan bangsa siluman penunggu tanah Jawa. Sultan Al-Gabah kemudian mengirim ulama, syuhada, dan orang sakti ke Jawa untuk membinasakan para jin dan siluman penghuni Jawa. Satu di antara ulama sakti itu adalah Syekh Subakir. Dia dikenal sebagai seorang wali keramat dari Persia. Syekh Subakir yang dipercaya telah menanam “tumbal” di sejumlah tempat di pulau Jawa agar kelak pulau tersebut dapat dihuni umat Islam. Baca Juga: Mengungkap Misteri Makam Panjang, Dakwah Islam Pra Walisongo dan Sunan Gunung Jati Syekh Subakir menanam tumbal di sejumlah tempat di pantai utara Jawa yang dikenal sebagai Makam Panjang. Makam Panjang berada di sejumlah tempat seperti di Gresik, Lamongan, Tuban, Rembang, dan Jepara yang diyakini sebagai petilasan Syekh Subakir. Istilah memasang “tumbal” dalam kisah Syekh Subakir, berkaitan dengan usaha rohani menyucikan suatu tempat dengan cara menanam “tanah” di tempat yang dianggap angker. Masyhur cerita tentang Syekh Subakir yang bertarung dahsyat dengan Sabdo Palon Noyo Genggong. Pertarungan dahsyat yang terjadi di puncak Gunung Tidar konon katanya menghabiskan waktu hingga 40 hari 40 malam.
Pertarungan dahsyat antara Syekh Subakir dengan Sabdo Palon Noyo Genggong berakhir dengan tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang. Hingga antara Syekh Subakir dengan Sabdo Palon Noyo Genggong akhirnya membuat kesepakatan meliputi :
1. Syekh Subakir dan para pendakwah lainnya boleh menyebarkan Islam namun tidak boleh dengan cara memaksa.
2. Para raja boleh memeluk Islam namun tidak boleh mengganggu adat istiadat dan budaya yang ada di tanah Jawa.
Dengan keberhasilan Syekh Subakir menaklukan tanah Jawa, kelak Sunan Gunung Jati dan Walisongo bisa leluasa menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa.
Keramat Syekh Subakir Usir Jin Lelembut Pulau Jawa
Jauh sebelum dakwah Walisongo dan Sunan Gunung Jati, terdapat Syekh Subakir yang masuk ke Nusantara. Syekh Subakir masuk pulau Jawa yang saat itu dihuni jin dan lelembut sehingga susah dimasuki. Ulama sakti Syekh Subakir berasal dari Persia dan membawa misi khusus ke Jawa, Nusantara yang juga dalam rangka dakwah.
Dakwah Islam Sebelum Sunan Gunung Jati dan Walisongo Yang kemudian dilanjutkan dengan pendatang ulama selanjutnya yang juga dikenal dengan sebutan Walisongo. Para Walisongo sendiri tersebar di pulau Jawa, menyampaikan Islam salah satunya dilakukan dengan pendekatan kebudayaan. Salah satu anggota Walisongo adalah Sunan Gunung Jati yang bertugas menyebarkan Islam di tanah Sunda, Banten dan Batavia.
Kisah Syekh Subakir Mendakwahkan Islam sebelum Masa Sunan Gunung Jati Kisah penyebaran Islam pra Walisongo ini dikutip dari Buku Atlas Walisongo karya Agus Sunyoto halaman 51-52. Historiografi Jawa, yang ditulis R.Tanoyo mengungkapkan bahwa terdapat usaha mengislamkan Jawa yang dilakukan sebelum adanya Walisongo. Sultan al-Gabah dari negeri Rum mengirim 20 ribu keluarga muslim ke Pulau Jawa.
Kekuasaan Prabu Siliwangi dan Sunan Gunung Jati, Sampai Sekarang Masih Ada Namun, banyak di antara mereka yang tewas terbunuh, dan yang tersisa hanya sekitar 200 keluarga. Sultan al-Gabah dikisahkan marah kemudian mengirim ulama, syuhada, dan orang sakti ke Jawa. Mereka dikirim untuk membinasakan para "jin, siluman, dan brekasakan" penghuni Jawa. Salah satu di antara ulama sakti itu adalah Syaikh Subakir. Dia dikenal sebagai seorang wali keramat dari Persia yang dipercaya telah menanam "tumbal di sejumlah tempat di Pulau Jawa. Tujuannya agar kelak pulau tersebut dapat dihuni umat Islam. Di sejumlah tempat di pantai utara Jawa yang dikenal sebagai "Makam Panjang" Baik yang terdapat di Gresik Lamongan, Tuban, Rembang, dan Jepara diyakini sebagai kuburan atau bekas petilasan Syaikh Subakir. Istilah memasang "tumbal" dalam kisah Syaikh Subakir, berkaitan dengan usaha rohani menyucikan suatu tempat, dengan cara menanam "tanah" di tempat yang dianggap angker. Kisah-kisah legendaris tentang kedatangan orang-orang Lor asal Persia dan tokoh Syaikh Subakir, tidak saja meninggalkan jejak pada historiografi dan catatan-catatan. Melainkan menjadi cerita lisan (folk-tale) yang dikaitkan dengan keberadaan makam-makam tua yang dikeramatkan masyarakat.
Siluman Penunggu Pulau Jawa Bikin Sultan Al-Gabah Marah
Sebelum masa Sunan Gunung Jati dan Walisongo menyiarkan Islam di tanah Jawa, ternyata sudah ada yang pernah melakukannya. Sunan Gunung Jati dan Walisongo menjadi generasi berikutnya dalam mendakwahkan Islam di tanah Jawa. Meski sudah ada pendahulu, namun Sunan Gunung Jati serta Walisongo dinilai sukses dalam penyebaran ajaran agama Islam di tanah Jawa. Dakwah secara masif dan sistematis dilakukan ketika masa Sunan Gunung Jati bersama Walisongo lainnya.
Sejarah panjang tentang penyebaran agama Islam di tanah Jawa dituliskan Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo. Agus Sunyoto menuliskan pada abad ketujuh Masehi, tentang seorang Sultan yang mencoba melakukan dakwah Islam ke Tanah Jawa. Sultan dari Negeri Rum, Sultan Al-Gabah melakukan dakwah Islam ke Tanah Jawa karena mendapatkan petunjuk dari mimpinya untuk dakwah Islam ke Jawa. Sultan Al-Gabah kemudian mengirimkan 20.000 keluarga muslim ke tanah Jawa. Baca Juga: TANAH JAWA Paling Angker, Kisah Syekh Subakir Mendakwahkan Islam sebelum Masa Sunan Gunung Jati Hal ini dilakukan agar penduduk Islam Persia bisa mempengaruhi penduduk pribumi masuk agama Islam. Namun, dari sekian banyaknya keluarga yang dikirimkan Sultan Al-Gabah, semuanya meninggal secara misterius. Hanya menyisakan 200 keluarga saja yang selamat, dan sisanya meninggal secara misterius oleh bangsa jin dan siluman penunggu tanah Jawa. Sultan Al-Gabah yang mendapatkan laporan banyaknya utusan yang meninggal dunia marah besar.
Kematian para utusan Sultan Al-Gabah diakibatkan angkernya pulau Jawa yang banyak dihuni para jin dan juga siluman. Sultan Al-Gabah kemudian mengirim ulama, syuhada, dan orang sakti ke Jawa untuk membinasakan para jin dan siluman penghuni Jawa. Satu di antara ulama sakti itu yang dikirim Sultan Al-Gabah adalah Syekh Subakir. Dia dikenal sebagai seorang wali keramat dari Persia. Syekh Subakir yang dipercaya telah menanam “tumbal” di sejumlah tempat di Pulau Jawa agar kelak pulau tersebut dapat dihuni umat Islam. Syekh Subakir menanam tumbal di sejumlah tempat di pantai utara Jawa yang dikenal sebagai Makam Panjang.
Korelasi Tembang Sunan Kalijaga dan Dakwah Walisongo Makam Panjang berada di sejumlah tempat seperti yang terdapat di Gresik, Lamongan, Tuban, Rembang, dan Jepara. Kelima tempat tersebut diyakini sebagai Kuburan Panjang atau bekas petilasan Syekh Subakir. Istilah memasang “tumbal” dalam kisah Syaikh Subakir, berkaitan dengan usaha rohani menyucikan suatu tempatbdengan cara menanam “tanah” di tempat yang dianggap angker. Kisah-kisah legendaris tentang tokoh Syaikh Subakir, banyak kita temukan baik dalam tulisan maupun tutur masyarakat sekarang.
Dialog Sabdopalon dengan Syeh Subakir
Konon ada semacam perjanjian antara Sabdopalon sebagai Pamomong (Danyang Gaib) Tanah Jawa dengan Syeh Subakir sebagai penyebar Agama Islam generasi awal di Jawa ini. Tersebutlah kisah tersebut dalam tulisan lontar kuno. Lontar tersebut diperkirakan ditulis oleh Kanjeng Sunan Drajad atau setidak–tidaknya oleh murid atau pengikut beliau.
Cerita tentang kisah ini pernah dipentaskan sebagai lakon wayang kulit bergenre wayang songsong (wayang kulit yang berisi cerita hikayat dan legenda Jawa) yang digelar di Desa Drajad, Paciran, Lamongan (sebuah desa tempat situs Sunan Drajad).
Kisah diawali dengan adanya persidangan di Istana Kesultanan Turki Utsmania di Istambul yang dipimpin langsung oleh Sultan Muhammad I. Persidangan kali ini membahas mimpi Sang Sultan. Menurut Sultan Muhammad, beliu bermimpi mendapat perintah untuk menyebarkan dakwah islamiah ke Tanah Jawa. Adapun mubalighnya haruslah berjumlah sembilan orang. Jika ada yang pulang atau wafat maka akan digantikan oleh ulama lain asal tetap berjumlah sembilan.
Maka dikumpulkanlah beberapa ulama terkemuka dari seluruh dunia Islam waktu itu. Para ulama yang dikumpulkan tersebut mempunyai spesifikasi keahlian masing-masing. Ada yang ahli tata negara, ahli perubatan, ahli tumbal, dll. Titah dari Baginda Sultan Muhammad kepada mereka adalah perintah untuk mendatangi Tanah Jawa dengan tugas khusus yaitu penyebaran Agama Islam.
Dibawah ini adalah dialog antara Sabdopalon dengan Syeh Subakir yang terjadi di atas Gunung Tidar. Syeh Subakir adalah salah satu ulama yang diutus Sultan Muhammad untuk menyebarkan Islam di Tanah Jawa ini. Adapun keahlian Syeh Subakir adalah dalam bidang membuat danmemasang tumbal. Dialog yang penulis turunkan ini adalah dialog versi imaginer yang penulis olah dari hikayat tersebut dengan bahasa penulis sendiri.
Syeh Subakir : Kisanak, siapakah kisanak ini, tolong jelaskan.
Sabdopalon : Aku ini Sabdopalon, pamomong (penggembala) Tanah Jawa sejak jaman dahulu kala. Bahkan sejak jaman kadewatan (para dewa) akulah pamomong para kesatria leluhur. Dulu aku dikenali sebagai Sang Hyang Ismoyo Jati, lalu dikenal sebagai Ki Lurah Semar Bodronoyo dan sekarang jaman Majapahit ini namaku dikenal sebagai Sabdopalon.
Syeh Subakir : Oh, berarti Kisanak ini adalah Danyang (Penguasa) Tanah Jawa ini. Perkenalkan Kisanak, namaku adalah Syeh Subakir berasal dari Tanah Syam Persia.
Sabdopalon : Ada hajad apa gerangan Jengandiko (Anda) rawuh (datang) di Tanah Jawa ini ?
Syeh Subakir : Saya diutus oleh Sultan Muhammad yang bertahta di Negeri Istambul untuk datang ke Tanah Jawa ini. Saya tiadalah datang sendiri. Kami datang dengan beberapa kawan yang sama-sama diutus oleh Baginda Sultan.
Sabdopalon : Ceritakanlah selengkapnya Kisanak. Supaya aku tahu duduk permasalahannya.
Syeh Subakir : Baiklah. Pada suatu malam Baginda Sultan Muhammad bermimpi menerima wisik (ilham). Wisik dari Hyang Akaryo Jagad, Gusti Allah Dzat Yang Maha Suci lagi Maha Luhur. Diperintahkan untuk mengutus beberapa orang ‘alim ke Tanah Jawa ini. Yang dimaksud orang ‘alim ini adalah sebangsa pendita, brahmana dan resi di Tanah Hindu. Pada bahasa kami disebut ‘Ulama.
Sabdopalon : Jadi Jengandiko ini termasuk ngulama itu tadi ?
Syeh Subakir : Ya, saya salah satu dari utusan yang dikirim Baginda Sultan. Adapun tujuan kami dikirim kemari adalah untuk menyebarkan wewarah suci (ajaran suci), amedar agama suci. Yaitu Islam.
Sabdopalon : Bukankah Kisanak tahu bahwa di Tanah Jawa ini sudah ada agama yang berkembang yaitu Hindu dan BudHa yang berasal dari Tanah Hindu ? Buat apa lagi Kisanak menambah dengan agama yang baru lagi ?
Syeh Subakir : Biarkan kawulo dasih (rakyat) yang memilih keyakinannya sendiri. Bukankah Kisanak sendiri sebagai Danyangnya Tanah Jawa lebih paham bahwa sebelum agama Hindu dan Budha masuk ke Jawa ini, disinipun sudah ada kapitayan (kepercayaan) ? Kapitayan atau ‘ajaran’ asli Tanah Jawa yang berupa ajaran Budhi ?
Sabdopalon : Ya, rupanya Kisanak sudah menyelidiki kawulo Jowo disini. Memang disini sejak jaman sebelum ada agama Hindu dan Budha, sudah ada ‘kapitayan’ asli. Kapitayan adalah kepercayaan yang hidup dan berkembang pada anak cucu di Nusantara ini.
Syeh Subakir : Jika berkenan, tolong ceritakan bagaimana kapitayan yang ada di Tanah Jawa ini.
Sabdopalon : Secara ringkas Kepercayaan Jawa begini. Manusia Jawa sejak dari jaman para leluhur dahulu kala meyakini ada Sang Maha Kuasa yang bersifat ‘tan keno kinoyo ngopo’, tidak bisa digambarkan bagaimana keadaannya. Dialah pencipta segala-galanya. Bawono Agung dan Bawono Alit. Jagad besar dan jagad kecil. Alam semesta dan ‘alam manusia’. Wong Jowo meyakini bahwa Dia Yang Maha Kuasa ini dekat. Juga dekat dengan manusia. Dia juga diyakini berperilaku sangat welas asih.
Dia juga diyakini meliputi segala sesuatu yang ada. Karena itu masyarakat Jawa sangat menghormati alam sekelilingnya. Karena bagi mereka semuanya mempunyai sukma. Sukma ini adalah sebagai ‘wakil’ dari Dia Yang Maha Kuasa itu.
Jika masyarakat Jawa melakukan pemujaan kepada Sang Pencipta, mereka lambangkan dengan tempat yang suwung. Suwung itu kosong namun sejatinya bukan kosong namun berisi SANG MAHA ADA. Karena itu tempat pemujaan orang Jawa disebut Sanggar Pamujan. Di salah satu bagiannya dibuatlah sentong kosong (tempat atau kamar kosong) untuk arah pemujaan. Karena diyakini bahwa dimana ada tempat suwung disitu ada Yang Maha Berkuasa.
Syeh Subakir : Nah itulah juga yang menjadi ajaran agama yang kami bawa. Untuk memberi ageman (pegangan atau pakaian) yang menegaskan itu semua. Bahwa sejatinya dibalik semua yang maujud ini ada Sang Wujud Tunggal yang menjadi Pencipta, Pengatur dan Pengayom alam semesta. Wujud tunggal ini dalam bahasa Arab disebut Al Ahad. Dia maha dekat kepada manusia, bahkan lebih dekat Dia daripada urat leher manusianya sendiri. Ajaran agama kami menekankan budi pekerti yang agung yaitu menebarkan welas asih kepada alam gumebyar, kepada sesama sesama titah atau makhluk.
Lihatlah Sang Danyang, betapa sudah rusaknya tatanan masyarakat Majapahit sekarang. Bekas-bekas perang saudara masih membara. Rakyat kelaparan. Perampokan dan penindasan ada dimana-mana. Ini harus diperbaharui budi pekertinya.
Sabdopalon : Aku juga sedih sebenarnya memikirkan rakyatku. Tatanan sudah bubrah. Para pejabat negara sudah lupa akan dharmanya. Mereka salin sikut untuk merebutkan jabatan dan kemewahan duniawi. Para pandito juga sudah tak mampu berbuat banyak. Orang kecil salang tunjang (bersusah payah) mencari pegangan. Jaman benar-benar jaman edan.
Syeh Subakir : Karena itulah mungkin Sang Maha Jawata Agung menyuruh Sultan Muhammad Turki untuk mengutus kami ke sini. Jadi, wahai Sang Danyang Tanah Jawa, ijinkanlah kami menebarkan wewarah suci ini di wewengkon (wilayah) kekuasaanmu ini.
Sabdopalon : Baiklah jika begitu. Tapi dengan syarat -syarat yang harus kalian patuhi.
Syeh Subakir : Apa syaratnya itu wahai Sang Danyang Tanah Jawa ?
Sabdopalon : Pertama, Jangan ada pemaksaan agama, dharma atau kepercayaan. Kedua, Jika hendak membuat bangunan tempat pemujaan atau ngibadah, buatlah yang wangun (bangunan) luarnya nampak cakrak (gaya) Hindu Jawa walau isi dalamannya Islam. Ketiga, jika mendirikan kerajaan Islam maka Ratu yang pertama harus dari anak campuran. Maksud campuran adalah jika bapaknya Hindu maka ibunya Islam. Jika bapaknya Islam maka ibunya harus Hindu. Keempat, jangan jadikan Wong Jowo berubah menjadi orang Arab atau Parsi. Biarkan mereka tetap menjadi orang Jawa dengan kebudayaan Jawa walau agamanya Islam. Karena agama setahu saya adalah dharma, yaitu lelaku hidup atau budi pekerti. Hati-hati jika sampai Orang Jawa hilang Jawanya, hilang kepribadiannya, hilang budi pekertinya yang adiluhung maka aku akan datang lagi. Ingat itu. Lima ratus tahun lagi jika syarat – syarat ini kau abaikan aku akan muncul membuat goro-goro.
Syeh Subakir : Baiklah. Syarat pertama sampai keempat aku setujui. Namun khusus syarat keempat, betapapun aku dengan kawan-kawan akan tetap menghormati dan melestarikan budaya Jawa yang adiluhung ini. Namun jika suatu saat kelak karena perkembangan jaman dan ada perubahan maka tentu itu bukan dalam kuasaku lagi. Biarlah Gusti Kang Akaryo Jagad yang menentukannya.
Memang susah untuk mengetahui keadaan, asal usul atau gambaran kondisi sebuah masyarakat nun jauh ke masa lalu. Semakin jauh masa itu, semakin gelap gambarannya. Namun, upaya-upaya ahli sejarah dan lainnya untuk menguaknya patut dihargai. Paling tidak ada sedikit gambaran yang mungkin bisa kita lihat, meski tidak sepenuhnya benar seratus persen.
Beberapa naskah yang beredar mencoba menggambarkan hal itu. Seperti dalam Serat Jangka Syeh Subakir.
“Sampun sangang ewu warsa, inggih wonten pulo ngriki, dedukuh ing hardi Tidar, saweg antuk sewu warsi, langkung taun puniki, Syech Bakir gawok angrungu, dika niku wong napa, napa ta ayekti janmi, umur dika dene ta kaliwat-liwat”
Yang artinya antara lain :
“Sudah 9000 tahun, ya (saya Semar) sudah ada di pulau ini (Jawa), di pedusunan di Gunung Tidar, tapi baru 1000 tahun berjalan, di sini, Syech Subakir heran mendengarnya, engkau ini makhluk apa, apa benar manusia? Kok usianya luar biasa?”
Demikian perkenalan Semar dengan Syech Subakir. Selama ribuan tahun itu Semar bertapa di Gunung Merbabu dan tidak mengetahui keadaan manusia di Jawa. Gambaran tentang kondisi Pulau Jawa juga digambarkan dalam Serat tersebut penuh dihuni oleh demit, jin, gendruwo bekasaan dan sejenisnya. Bahkan beberapa utusan dari negeri Rum sebelum Syeh Subakir dimakan demit (Binadog demit). Dari serat ini, ditegaskan bahwa Raja Rum mendapat petunjuk untuk mengisi pulau Jawa : “jeng Sultan Rum kang winarni, angsal sasmitaning Sukma, dinawuhan angiseni, manungsa pilo Jawi,…”
Syeh subakir mengambil orang-orang Keling (?) untuk dibawa mengisi pulau Jawa, sebanyak 2 laksa (20000) keluarga. Dari serat ini, maka yang mengisi (menjadi penghuni P. Jawa) adalah dari bangsa Keling yang dibawa oleh Syeh Subakir. Padahal dalam naskah itu pula, Semar adalah manusia.
“Sang Hyang Semar lon wuwusnya, gih sumangga karsa Aji, sajatine gih kawula, lan kiraka tiyang Jawi, ing kina prapteng mangkin, kawak daplak inggih ulun, wong Jawa kuna mula, saderenga dika prapti, kula manggen Marbabu pucak haldaka”.
Namun, selama bertapa ribuan tahun itu pula pulau Jawa sudah berubah isinya, bukan manusia seperti Semar, tetapi sudah dikuasai oleh para demit.
Dalam SERAT JANGKA TANAH JAWI gambarannya tidak beda jauh dengan serat Jangak Syeh Subakir, yaitu pertemuan antara Semar dengan Syeh Subakir ketika memberi tumbal (mengusir) para dedemit yang menguasai tanah Jawa. Dalam serat ini ada dialog yang sebenarnya adalah bantahan anggapan bahwa tanah Jawa belum dihuni oleh manusia, hanya oleh bangsa jin dan demit.
“Syekh Bakir lon angandika, sayrkti ing tanah Jawi, pan durung ana manungsa, pan isih rupa wanadri, Hyang Semar matur aris, kawula sajatosipun, ing kina makina, saderenging tuwan prapti, hamba kalih dhedhukuh Rebabu arga”
Artinya :
Syeh Subakir berkata, sebenarnya di tanah Jawa, belum ada manusia, masih berupa hutan. Hyang Semar menjawab dengan lembut, hamba ini sebenarnya, di masa lalu, sebelum kedatangan tuan, hamba berdua (Semar dan Togog) ini penghuni Jawa yang bertempat di gunung Merbabu”.
Namun, dalam serat ini Semar sendiri menjelaskan bahwa dia bukan manusia, tetapi keturunan dewa, Sang Yang Tunggal atau Manikmaya. Agak sedikit berbeda memang dengan serat Jangka Syeh Subakir. Namun pada intinya bahwa Semar dan Togog di masa lalu adalah penghuni pulau Jawa. Apakah hanya mereka berdua? Tentu ini bisa disinkronkan dengan sumber-sumber lain misalnya Babad Demak Pesisiran yang menerangkan silsilah orang tua Syang Hyang Tunggal adalah Sang Yang Wenang, putra dari Sang Yang Wening, putra dari Sang Yang Nurasa, putra dari Sang Yang Nurcahyo atau Sayid Anwar, putra dari Nabi Sis. (dalam versi lain, Sang Yang Wening dan Wenang adalah satu pribadi). Dalam Serat Jangka Tanah Jawi, Semar adalah keturunan dari Nabi Sis (jika digabungkan Babad Demak Pesisiran, karena anak dari Sang Yang Tunggal). Namun, dalam Babad Demak Pesisiran, nama Semar tidak muncul sebagai anak Sang Yang Tunggal. Di sinilah letak gelapnya lagi, Semar di satu sisi mengaku anak Sang Yang Tunggal, namun dalam babad Demak Pesisiran, tidak masuk. Demikian pula dalam Babad Tanah Jawa, Semar dan Togog itu menjadi “penderek” Raden Palasara yang merupakan keturunan dari Sayid Anwar. Dalam babad Tanah Jawa, Palasara merupakan cikal bakal leluhur Jawa, dimana kemudian, Kurawa, Pandawa adalah bagian dari keturunannya (ini menjadi terbalik, bahwa kisah mahabarata itu mulanya dari Jawa).
Dalam serat Babad Demak Pesisiran, Nabi Ibrahim itu berbeda dengan Bathara Brhama. Nabi Ibrahim berada pada garis silsilah Sayid Anwas (saudara Sayid Anwar). Batara Brahma adalah keturunan dari Sayid Anwar.
Masa-masa gelap ini memang memunculkan banyak versi mengenai leluhur Jawa. Buku lain, yaitu SEJARAH KAWITANE WONG JAWA LAN WONG KANUNG menggambarkan : pertama jaman jamajuja (puluhan ribu- buku ini ditulis pada tahun 1931) sudah ada manusia, tetapi masih bertelanjang, seperti kera, hidupnya di gua-gua. Masih dalam masa jamajuja periode 5000 tahun (sebelumnya) manusianya sudah mengalami kemajuan, sudah memakai cawet dari dedaunan, sudah menempati di luar gua. Mereka sudah berkumpul dalam sebuah komunitas. Masyarakat ini disebut dengan masyarakat Lingga (Suku Lingga). Masa kuna (sebelum masehi), orang-orang Sampit berhijrah ke Nusa Kendheng yang kemudian disebut sebagai orang Jawa. Kata Jawa sendiri dirujukkan pada sebutan Bantheng yang “gemati” penuh perhatian terhadap anaknya. Sebab bantheng perempuan disebut Jawi, yang “gemati” kemudian disebut Jawa. Orang-orang Sampit yang mengungsi ke Jawa ini kemudian membuat pertanda awal sebagai orang Jawa, yaitu 230 tahun sebelum masehi (bukan saka). Tahun itu disebut tahun Hwuning (pengingat). Tokoh pimpinan rombongan eksodus ini namanya Khi Seng Dhang, yang kelak kemudian disebut Dhang Hyang (Danyang). Mereka berasal dari Sampit yang keturunan dari suku Hainan. Dari catatan ini, maka orang Jawa (dalam pengertian) pendatang baru yang “gemati”, mau menghormati orang Lingga adalah 230 SM. Namun penduduk Jawa asli, Suku Lingga kemudian bercampur dan kelak memenuhi Jawa.
Dengan demikian, mulainya peradaban Jawa itu 230SM, karena adanya kebudayaan Hainan yang dibawa, sementara suku Lingga yang masih tertinggal, hidup di gua, hutan dan bergantung pada alam, belum disebut sebagai orang Jawa. Ini tentu berbeda dengan versi Serat Jangka Syeh Subakir dan Serat Jangka Tanah Jawi. Jika kita lihat kedatangan Syeh Subakir di tanah Jawa dari sumber lain, sekitar tahun 1404. Jika berasumsi bahwa sebelum tahun itu tanah Jawa tak ada manusianya, maka akan muncul banyak persoalan, bagaimana dengan kerajaan Singasari, Kediri dan lainnya yang sebelumnya ada? Tentu membaca SERAT JANGKA SYEH SUBAKIR dan SERAT JANGKA TANAH JAWI ini tidak bisa seleterlek ini. Mungkin butuh analisis simbol, semiotik, hermeneutik dan lain sebagainya agar mendapat pemahaman yang lebih luas. Sebab SERAT JANGKA itu pesan besarnya adalah mengenai “prediksi” masa depan Jawa dalam periodisasi tertentu, bukan membahas asal usul bangsa Jawa.
Masih terbuka lebar untuk penelitian yang lebih jauh dan mendalam siapa sebenarnya leluhur orang Jawa di masa lampau sekali. Tentu tidak akan ditemukan jawaban tunggal, sebab sebuah masyarakat terdiri dari berbagai unsur, keluarga dan sebagainya, maka akan dimungkinkan banyak versi.
Kembali lagi, bahwa kata Jawa itu bisa diartikan “gemati”, perhatian, menghargai, menyayangi. Jadi siapapun mereka bisa melakukan itu semua di pulau Jawa ini, akan menjadi leluhur Jawa, entah dia dari belahan dunia manapun.
Kisah Dialog Versi Lain
Sayid Abdul Jalil (Sunan Jepara) atau lebih dikenal Syeh SITI JENAR, adalah anggota majlis wali pada abad 16/1463 M.
Beliau mendapat tugas menyebarkan agama Islam di bumi Majapahit, tapi perjalanannya sangat berat karna masyarakat bahkan tidak perduli dengan dakwahnya.
Iapun mendengar SABDOPALON yang jadi panutannya mereka, karena merasa tertantang Siti jenar pun mencari keberadaan sang resi.
Setelah bertemu dengan resi Siti Jenar minta ijin untuk menyebarkan agama Islam.
Siti jenar : maaf resi, saya minta izin untuk memperkenalkan ajaran Islam
Sabdopalon : monggo, saya juga ingin belajar agama Islam tapi sebelumnya tapi sebenarnya apa sampian sudah bertemu Tuhan ?
Siti Jenar : belum, karena merasa penasaran dg tuhan sabdopalon iapun bertanya
Siti Jenar : bagaimna cara saya bertemu dengan ya
Sabdopalon : kalau biasanya anda sujud ya dg sujud!
Siti Jenar : berapa lama saya harus sujud
Sabdopalon : sehari semalam saja
Kemudian Siti Jenar melakukan sujud dengan kusyuk, karena terlena sehingga ia tidak sadar bahwa ia bahwa ia sudah sujud selama tujuh hari-tujuh malam, kemudian sabdopalon membangunkannya.
Sabdopalon : kanjeng Sunan bangunlah, sampean sujud berapa lama ?
Siti Jenar : sehari semalam
Sabdopalon : sampean sujud sudah tujuh hari-tujuh malam, kalau gak percaya lihatlah bulan
Siti Jenar : sampean benar
Sabdopalon : bagaimna, apa sampean sudah bertemu Tuhan ?
Siti Jenar : tidak resi
Sabdopalon : sampean sujud selama tujuh hari-tujuh malam masih belum bisa bertemu Tuhan, apalagi sujudnya cuma sebentar
Siti Jenar : lantas apa yang baru saya lakukan ?
Sabdopalon : kalau begitu pakai cara saya
Kemudian diajaklah Syeh Siti Jenar bermeditasi dan akhirnya syeh Siti Jenar. Berhasil bertemu Tuhan, suasana hati syeh Siti Jenar menjadi kacau, sedih, bahagia, senang, kecewa bercampur menjadi satu, lalu syeh Siti Jenar-pun memutuskan untuk meninggalkan agama Islam dan ingin belajar ajaran Sabdopalon
"Sabdopalon" : jangan begitu ngger kasian gurumu yang telah mengajarkan agama padamu, karna Islam juga benar hanya saja untuk umat Islam
POINT Consultant

