TENTANG KELALAIAN
Peristiwa
pidana atau yang dikenal dengan strafbaarfeit merupakan kelakuan yang diancam
dengan pidana, bersifat melawan hukum, dan yang dapat berhubungan dengan
kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Kesalahan
yang dimaksud meliputi dolus (sengaja) dan culpa (alpa atau lalai). Pengertian
Kelalaian adalah kealpaan, kelalaian, atau culpa adalah macam kesalahan dalam
hukum pidana sebagai akibat dari kurang berhati-hati, sehingga secara tidak
sengaja sesuatu itu terjadi. Undang-undang sendiri tidak mendefinisikan
pengertian dari culpa, namun terkait dengan culpa, di Indonesia terdapat pasal
kelalaian yang mengakibatkan kematian orang lain diatur dalam Pasal 359 KUHP : Barang
siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama
satu tahun.
Berdasarkan
bunyi pasal kelalaian tersebut, R. Soesilo berpendapat bahwa kematian dalam
konteks Pasal 359 KUHP tidak dimaksudkan sama sekali oleh pelaku. Sebab,
kematian tersebut hanya merupakan akibat kurang hati-hati atau lalainya pelaku.
Sementara itu, jika kematian ternyata dikehendaki pelaku, maka pasal yang dapat
diberlakukan adalah Pasal 338 atau 340 KUHP. Kelalaian adalah salah satu bentuk
kesalahan yang timbul karena pelaku tidak memenuhi standar perilaku yang telah
ditentukan oleh undang-undang, serta kelalaian tersebut terjadi dikarenakan
perilaku orang itu sendiri. Contoh kelalaian dapat terjadi pada kasus pelayanan
kesehatan, misalnya karena kurangnya pengetahuan, kurangnya pengalaman dan atau
kurangnya kehati-hatian yang dilakukan dokter. Tak hanya mengakibatkan kematian
orang lain, kelalaian menurut hukum pidana dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu :
1. - Kealpaan
perbuatan, jika hanya dengan melakukan perbuatannya sudah merupakan suatu
peristiwa pidana, maka tidak perlu melihat akibat yang timbul dari perbuatan
tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 205 KUHP.
2. - Kealpaan
akibat, merupakan suatu peristiwa pidana jika akibat dari kealpaan itu sudah
menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum pidana, misalnya kematian orang
lain sebagaimana yang diatur dalam Pasal 359 KUHP. Selain itu, pasal kelalaian
merugikan orang lain juga diatur dalam Pasal 360 dan 361 KUHP, yakni culpa yang
menyebabkan luka-luka berat hingga timbul penyakit atau halangan tertentu.
UNSUR-UNSUR
CULPA
Kealpaan
atau culpa memiliki 3 (tiga) unsur, sebagai berikut :
1. Pelaku
berbuat lain dari apa yang seharusnya diperbuat menurut hukum tertulis maupun
tidak tertulis, sehingga sebenarnya ia telah melakukan suatu perbuatan
(termasuk tidak berbuat) yang melawan hukum.
2. Pelaku
telah berlaku kurang hati-hati, ceroboh dan kurang berpikir panjang; serta.
3. Perbuatan
pelaku itu dapat dicela, oleh karenanya pelaku harus bertanggung jawab atas
akibat dari perbuatannya tersebut.
Kemudian,
berdasarkan doktrin D. Schaffmeister, N. Keijzer, dan E. PH. Sutorius terdapat
skema dari culpa, yaitu :
Culpa
lata yang disadari (alpa) atau conscious
Artinya,
kelalaian yang disadari, yakni seseorang sadar akan risiko, tetapi berharap
akibat buruk tidak akan terjadi.
Contoh:
1. Sembrono
(roekeloos).
2. Lalai
(onachttzaam).
3. Tidak
acuh.
Culpa lata yang tidak disadari (lalai) unconscious
Artinya,
kelalaian yang tidak disadari, yakni seseorang seyogianya harus sadar dengan
risiko, tetapi tidak demikian.
Contoh
:
1. Kurang
berpikir (onnadentkend).
2. Lengah
(onoplettend).
Contoh
Kasus Culpa
Berikut
adalah beberapa contoh kasus culpa atau kasus kelalaian yang terjadi :
Kasus
Operasi Cito Seccio Sesaria (2010).
Ketiga
terdakwa yang bekerja sebagai dokter telah melakukan kelalaian pada saat
melakukan operasi Cito Seccio Sesaria yang berakibat pada terjadinya
penyumbatan pembuluh darah pada bilik kanan jantung korban, dan berujung pada
gagalnya fungsi paru dan jantung sehingga korban meninggal dunia. Ketiga
terdakwa didakwa telah melakukan praktik kedokteran tanpa surat izin praktik
dan didakwa memalsukan surat, yaitu persetujuan tindakan medis milik korban.
Tindak pidana tersebut dilihat sebagai bagian dari pelaksanaan tindak pidana
utama, yaitu kelalaian yang mengakibatkan matinya seseorang.
Kebakaran
Lapas Tangerang (2021).
Pada
8 September 2021, terjadi kebakaran di Lapas Tangerang yang menyebabkan puluhan
napi meninggal dunia. Polisi menyebutkan bahwa terhadap kejadian tersebut
terdapat indikasi dugaan kelalaian yang dilakukan 4 (empat) terdakwa. Kebakaran Lapas tersebut disebabkan oleh masalah kelistrikan yakni adanya kabel
yang tidak memenuhi syarat dalam pengoperasian. Sebagaimana diketahui, 3 (tiga)
terdakwa didakwa dengan Pasal 359 KUHP, dan 1 (satu) orang terdakwa didakwa
Pasal 188 KUHP.
Putusan
MA Nomor 902 K/Pid/2019.
Terdakwa
melakukan perbuatan yang memenuhi unsur delik Pasal 359 KUHP. Terdakwa kerena
kealpaannya menyebabkan 2 (dua) korban meninggal dunia. Perbuatan tersebut
berawal ketika korban mengikuti pembelajaran praktek renang, untuk pengamb okilan
nilai berenang. Sebagaimana diketahui, terdakwa selaku guru telah melakukan
kegiatan renang pada danau bekas galian tambang yang kedalamannya tidak dapat
diperkirakan dan tidak diperuntukkan untuk kegiatan renang. Selain itu,
terdakwa tidak mengawasi secara ketat siswa-siswi yang berenang. Siswa dan
siswi yang mengikuti pembelajaran praktek renang tak dihitung jumlahnya oleh
terdakwa yaitu sekitar berjumlah 60 (enam puluh). Kemudian tiba-tiba 2 (dua)
korban ditemukan telah meninggal dunia.
Putusan
MA Nomor 1293 K/Pid/2009.
Terdakwa
dinyatakan secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana karena
kelalaiannya menyebabkan matinya orang sebagaimana diatur dalam Pasal 359
KUHP. Perbuatan tersebut diawali ketika mobil terdakwa berhenti di pinggir
jalan menunggu penumpang. Tiba-tiba terdakwa membuka pintu mobilnya, namun
seharusnya terdakwa sewaktu membuka pintu mobil memperhatikan arus lalu lintas.
Hal demikian tidak dilakukan terdakwa, apalagi jalan tersebut sempit dan bukan
tempat pemberhentian angkutan umum. Tanpa disadari terdakwa, ternyata ada
sepeda motor yang datang dari arah yang sama dengan mobil terdakwa. Sepeda
motor yang dikendarai korban tersenggol pintu mobil dan korban jatuh ke aspal serta
yang diboncengi terpental ke bawah ban belakang truk yang saat itu sedang
berpapasan. Akibatnya, korban yang diboncengi meninggal dunia.
Kesimpulannya,
kealpaan, kelalaian, atau culpa adalah bentuk kesalahan dalam hukum pidana
sebagai akibat dari tindakan seseorang yang kurang berhati-hati. Dari tindakan
tersebut dapat berakibat berupa kematian atau menimbulkan luka-luka berat orang
lain. Sehingga, dapat dikatakan salah satu pasal kelalaian merugikan orang lain
diatur dalam Pasal 359 KUHP.
Pasal Kelalaian yang Mengakibatkan Kematian
Menjawab
pertanyaan Anda, kami berasumsi bahwa si pegawai kedai memang mempunyai
tanggung jawab/kewajiban untuk memeriksa gas, tapi ia melalaikan kewajibannya
tersebut sehingga terjadi kebakaran yang mengakibatkan orang lain meninggal.
Adapun
pasal kelalaian yang mengakibatkan kematian terdapat dalam Pasal 359 KUHP
berbunyi sebagai berikut :
1. Barang
siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama
satu tahun.
2. Terkait
pasal kelalaian yang menyebabkan kematian dalam Pasal 359 KUHP yang berbunyi
sebagaimana di atas, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal,
menjelaskan bahwa mati orang di sini tidak dimaksud sama sekali oleh terdakwa,
akan tetapi kematian tersebut hanya merupakan akibat dari kurang hati-hati atau
lalainya terdakwa (delik culpa).
3. Soesilo
mencontohkan misalnya, seorang sopir menjalankan kendaraan mobilnya terlalu
kencang, sehingga menubruk orang sampai mati, atau seorang berburu melihat sosok
hitam-hitam dalam tumbuh-tumbuhan, dikira babi rusa terus ditembak mati, tetapi
ternyata sosok yang dikira babi itu adalah manusia, atau orang main-main dengan
senjata api, karena kurang hati-hati meletus dan mengenai orang lain sehingga
mati dan sebagainya. Sedangkan, yang dimaksud dengan karena kesalahannya adalah kurang hati-hati, lalai lupa, amat kurang perhatian.
4. Selain
Pasal 359 KUHP yang berbunyi sebagaimana di atas, dalam hal kelalaian seseorang
mengakibatkan kebakaran atau banjir, dapat dilakukan penuntutan berdasarkan
Pasal 188 KUHP :
a.
Barang siapa karena kesalahan (kealpaan) menyebabkan
kebakaran, ledakan atau banjir, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah, jika karena perbuatan itu timbul bahaya umum bagi
barang, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain, atau
jika karena perbuatan itu mengakibatkan orang mati.
b.
Terkait pidana denda dalam Pasal 188 KUHP berdasarkan
Perma 2/2012, maka jumlah maksimum denda dilipatgandakan menjadi 1000 kali, yang
berarti menjadi Rp4,5 juta.
Contoh Kasus
Setelah
memahami bagaimana bunyi pasal kelalaian yang mengakibatkan kematian, berikut
ini kami ambilkan contoh kasus kelalaian yang mengakibatkan orang mati dalam
Putusan MA No. 902 K/Pid/2019.
Dalam
putusan ini, terdakwa selaku guru melakukan kegiatan renang pada danau bekas
galian tambang yang kedalamannya tidak dapat diperkirakan dan tempat tersebut
bukan diperuntukkan untuk kegiatan renang dan terdakwa tidak mengawasi secara
ketat siswa-siswi yang bisa berenang dan yang tidak bisa berenang (hal. 5).
Terdapat
fakta bahwa karena kelalaian terdakwa tanpa menghitung jumlah siswa yang pada
saat itu terdapat sekitar 60 siswa dan siswi yang seharusnya didampingi 3 orang
guru pendamping sesuai dengan perbandingan tersebut, sehingga mengakibatkan 2
anak meninggal dunia akibat tenggelam di danau bekas galian C (hal. 5).
Di
tingkat kasasi, MA berpendapat bahwa perbuatan terdakwa tersebut telah memenuhi
unsur delik Pasal 359 KUHP, sehingga putusan judex facti/Pengadilan Negeri
Mempawah yang diubah putusannya di tingkat Pengadilan Tinggi Pontianak adalah
sudah benar dan tepat menurut hukum (hal. 5).
Kemudian
contoh lain pasal kelalaian yang mengakibatkan kebakaran terjadi dalam Putusan
MA No. 992 K/PID/2017 (hal. 7).
Terdakwa
membakar daun-daun kering di dekat pohon bambu dalam kondisi kering dengan
menggunakan macis lalu meninggalkannya, mengakibatkan api merambat menyulut
pohon bambu. Seharusnya terdakwa dapat menduga api dari tumpukan daun kering
yang dibakar tersebut dapat merambat ke pohon bambu yang sudah kering (hal. 7).
Di
tingkat kasasi, MA berpendapat bahwa putusan judex facti Pengadilan Tinggi yang
menguatkan putusan judex facti Pengadilan Negeri yang menyatakan terdakwa
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana karena
kealpaannya/kelalaiannya menyebabkan kebakaran yang menimbulkan bahaya umum
bagi barang, tidak salah menerapkan hukum (hal. 6-7).
Dengan
demikian, perbuatan terdakwa tersebut telah memenuhi unsur delik dalam Pasal
188 KUHP (hal. 7).
Dasar Hukum :
1. Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana;
2. Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana
Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.
Putusan
:
1. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 992 K/PID/2017;
2. Putusan
Mahkamah Agung Nomor 902 K/Pid/2019.
Referensi
:
Soesilo.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap
Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991.
Pasal
3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan
Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.
Mengetahui Pasal Kelalaian yang Mengakibatkan Kerugian
Dalam
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), pasal kelalaian yang mengakibatkan
kerugian diatur secara umum dalam pasal 359. Namun, secara khusus ada beberapa
aturan turunan yang dijadikan pedoman dalam beberapa kasus.
Dalam
hukum pidana, kesalahan bisa diartikan sebagai culpa. Menurut Prof. Dr. Wirjono
Prodjodikoro, S.H., culpa diartikan sebagai kesalahan secara umum. Artinya,
tidak ada unsur kesengajaan di dalam kesalahan tersebut.
Kelalaian
juga memiliki arti yang sangat luas. Hukum pidana mengatur beberapa hal tentang
kesalahan pada umumnya. Salah satu aturan dalam ruang lingkup kesalahan adalah
tentang memelihara hewan.
Hal-hal
Tentang Pasal Kelalaian yang Mengakibatkan Kerugian (Kasus Memelihara Hewan)
Hewan
peliharaan merupakan salah satu makhluk hidup yang membutuhkan perlakuan
khusus. Ada beberapa hal yang mesti Anda pahami jika ingin memelihara hewan,
terutama jika tidak ingin melanggar peraturan.
Aturan Dalam Memelihara Hewan di Perumahan
Di
Indonesia, setidaknya ada 3 aturan memelihara hewan di perumahan. Pertama
adalah Pasal 302 ayat 2 KUHP, UU No. 18 tahun 2012, dan terakhir adalah PP No.
95 tahun 2021.
Jika
melihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), maka disebutkan bahwa
memelihara hewan telah memiliki aturan khusus. Sebagai hewan peliharaan, maka
pemilik harus memberikan perhatian yang lebih baik.
Sebagai
pedoman, pemilik diharapkan memberikan tempat tinggal (kandang) yang memadai.
Di sisi lain, pemberian makanan juga harus selalu diperhatikan dengan baik.
Tindakan membiarkan kelaparan sengaja atau tidak bisa dikenakan pidana.
Hal
paling penting dalam memelihara hewan di kawasan perumahan adalah memberikan
pengajaran. Umumnya, hewan peliharaan adalah anjing dan kucing. Keduanya perlu
diberikan pengetahuan serta didikan untuk selalu mengikuti perintah pemilik.
Salah
satu pengetahuan yang wajib Anda ajarkan adalah mengenai kotoran. Mengajarkan
untuk tidak membuang kotoran sembarangan adalah prioritas utama. Apalagi,
kawasan perumahan didominasi jalanan keras yang tidak bisa mengubur kotoran.
Pasal
1365 dan 1368 KUH Perdata menyebutkan bahwa pemilik bisa dikenakan hukum jika
hewan peliharaannya menyebabkan kerugian bagi orang lain. Hukuman bisa berupa
denda atau bahkan kurungan penjara.
Ketentuan Hukum Dan Pasal Kelalaian Yang Mengakibatkan
Kerugian Bagi Pemilik Hewan
Aturan
tentang memelihara hewan telah ditentukan melalui beberapa aturan, baik melalui
UU atau PP. Dalam ketentuan hukum kelalaian pemilik hewan tersebut, ada 2 ketentuan
hukum bagi pemilik yang lali yaitu pidana dan perdata.
Ketentuan pidana
Secara
umum, pemilik yang lalai dalam memperhatikan dan mengawasi hewan peliharaannya
diatur dalam Pasal 490 KUHP. Pasal tersebut mengatur tentang kerugian orang
lain yang disebabkan oleh hewan peliharaan.
Meskipun
begitu, pasal tersebut secara eksplisit menjelaskan bahwa pidana hanya bisa
diberikan jika kerugian orang lain dalam bentuk serangan. Sedangkan untuk
kotoran hewan, tidak dijelaskan secara pasti.
Ketentuan perdata
Jika
kaitannya tentang kerugian orang lain akibat peliharaan, maka ketentuannya
diatur dalam Pasal 1365 dan 1368 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Secara
umum, hukuman yang berlaku berupa denda atau kurungan.
Dalam
Pasal 1368 KUH Perdata dijelaskan bahwa pemilik bertanggung jawab penuh
terhadap hewan peliharaan miliknya. Kesalahan yang disebabkan oleh hewan
peliharaan juga berarti kesalahan pemiliknya.
Langkah Hukum Jika Peliharaan Mengotori Halaman
Pasal
kelalaian yang mengakibatkan kerugian, terutama untuk pemilik hewan peliharaan
diatur dalam beberapa regulasi. Salah satunya adalah Pasal 490 KUHP yang isinya
tentang ancaman dan hukuman bagi pelanggarnya.
Tidak
ada satupun pasal yang menjelaskan tentang ketentuan kotoran binatang milik
tetangga. Namun, Anda bisa melaporkannya jika Anda merasa hal tersebut
merugikan, terutama dari sisi materi.
Aturan
paling mendekati dengan kasus tersebut adalah Pasal 1368 KUH Perdata. Dalam
aturan tersebut dijelaskan bahwa pemilik memiliki tanggung jawab penuh terhadap
segala bentuk aktivitas dari hewan peliharaan tersebut.
Selain
itu, Pasal 1365 KUH Perdata juga menjelaskan tentang status kelalaian terhadap
aktivitas peliharaannya. Ada beberapa poin yang dijelaskan pada pasal tersebut
mulai dari kewajiban hukum hingga masalah kehati-hatian.
Jika
merasa tetangga telah memenuhi unsur-unsur pada Pasal 1365, maka Anda bisa
menempuh langkah hukum jika peliharaan tetangga mengotori halaman. Pengadilan
akan memutuskan hal tersebut apakah pelaku memang bersalah atau bisa dibebaskan
dari segala tuntutan.
Secara
hukum, KUHP telah mengatur tentang memelihara hewan. Pemilik akan bertanggung
jawab secara penuh terhadap peliharaannya. Oleh sebab itulah pemilik bisa
dikenakan pasal kelalaian yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain.
PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KARENA KELALAIANNYA MENYEBABKAN ORANG LAIN
MENINGGAL DUNIA PADA KECELAKAAN LALU-LINTAS
Salah satu unsur tindak pidana (strafbaarfeit) yaitu “dilakukan dengan
kesalahan (met schuld in verband staand) / adanya kesalahan (dolus atau
culpa)”
Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan
dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu
dilakukan (Sudarto, 1990:41).
KUHP mengatur tentang tindak pidana yang berhubungan dengan
kesalahan, yaitu tindak pidana “karena salahnya menyebabkan matinya orang”
yang
dinyatakan dalam Pasal 359 KUHP yang selengkapnya berbunyi : “Barangsiapa
karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya
lima
tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun”.
Tindak pidana tersebut matinya orang tidak dikehendaki sama sekali oleh
terdakwa, akan tetapi kematian tersebut hanya merupakan akibat dari kurang
hati-hatinya atau lalainya terdakwa (delik culpa), misalnya seorang sopir
menjalankan kendaraan mobil terlalu kencang sehingga menabrak orang
sampai mati atau orang main-main dengan senjata api, karena kurang
hati-hati
meletus dan mengenai orang lain sehingga mati dan sebagainya (Soesilo,
1994:248).
Tindak pidana karena kelalaiannya yang mengakibatkan orang lain
meninggal dunia sering terjadi pada kecelakaan lalu-lintas. Menurut ilmu
hukum
pidana, kecelakaan merupakan salah satu bentuk tindak pidana, apabila
korbannya
mengalami luka-luka, terlebih lagi sampai meninggal dunia dan di dalamnya
terdapat unsur kelalaian. Kecelakaan yang mengakibatkan luka atau matinya
orang
yang di dalamnya terdapat kelalaian merupakan suatu tindak pidana yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 359 dan Pasal 360.
Pasal 359 KUHP menyatakan bahwa “Barangsiapa karena kealpaannya
menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama
lima
tahun atau kurungan paling lama satu tahun”. Sedangkan dalam Pasal 360 KUHP
menyatakan bahwa :
(1) “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat
lukaluka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
kurungan paling lama satu tahun”.
(2) “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka
sedemikian rupa sehingga timbul penyakit penyakit atau halangan
menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu,
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan
paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah”.
Berdasar hal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pelaku
kecelakan lalu lintas jalan bisa diajukan ke pengadilan untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya jika perbuatannya terdapat unsur
kealpaan
atau kelalaian atau tidak ada unsur kesengajaan atas perbuatannya, meskipun
dalam
kronologis kejadian kecelakaan lalu-lintas, perbuatan yang mengakibatkan
luka atau
matinya orang diakibatkan oleh kesalahan korban dalam berkendaraan di jalan
raya,
pelaku yang mengakibatkan luka atau matinya orang tetap masuk dalam
kategori
tindak pidana sesuai dengan pengaturan dalam kedua pasal tersebut di atas
jika perbuatannya terdapat unsur kealpaan yang menyebabkan orang lain menderita
lukaluka, luka berat atau meninggal dunia. Meskipun tidak ada kesengajaan dari pelakunya,
tetap saja dapat dikualifikasikan Pasal 359 atau Pasal 360 KUHP jika perbuatan
pelaku mengandung unsur kealpaan atau kelalaian.
Kelalaian yang mengakibatkan matinya orang sering tidak disadari oleh pelaku,
sehingga menyebabkan dirinya mendapat ancaman pidana. Hakim harus memeriksa
perkara tindak pidana tersebut dengan hati-hati dan teliti untuk membuktikan
kesalahan terdakwa serta memberikan pemidanaan yang setimpal apabila terbukti kesalahan
terdakwa. Penyelesaian tindak pidana “karena salahnya menyebabkan matinya
orang” menarik perhatian penulis untuk mengangkat pokok bahasan tersebut
terutama dalam praktek pemeriksaan perkara pidana di Pengadilan Negeri.
Menurut hukum pidana seseorang yang karena kelalaiannya menyebabkan orang
lain meninggal dunia dapat dikenakan Pasal 359 KUHP dengan ancaman pidana
penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
Khusus untuk kecelakaan lalu-lintas, kelalaian yang menyebabkan orang lain meninggal
dunia dapat dikenakan Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan yang menyatakan bahwa setiap orang yang mengemudikan
Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu
Lintas dengan korban luka berat yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Penyelesaian perkara pidana dilaksanakan melalui tahap penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Pada tahap penyelesaian perkara pidana di
pengadilan, hakimlah yang memegang peranan dalam menentukan bersalah tidaknya
terdakwa. Penentuan bersalah tidaknya terdakwa didasarkan pada fakta-fakta di
persidangan dengan berdasarkan pada keterangan saksi, dan keterangan terdakwa
sendiri dikaitkan dengan barang bukti yang ada.
Berdasarkan hal tersebut di atas tulisan ini akan membahas penyelesaian tindak
pidana karena kelalaiannya menyebabkan orang lain meninggal dunia pada kecelakaan
lalu-lintas di Pengadilan. Adapun pokok bahasan yang menjadi fokus tulisan ini
yaitu tindak pidana “karena kelalaiannya menyebabkan orang lain meninggal
dunia” dalam hukum positif Indonesia, penyelesaian tindak pidana “karena
kelalaiannya menyebabkan orang lain meninggal dunia” pada kecelakaan lalu-lintas
di Pengadilan dan kendala-kendala yang dihadapi penyelesaian tindak pidana
“karena kelalaiannya menyebabkan orang lain meninggal dunia” pada kecelakaan
lalu-lintas di Pengadilan dan upaya penanggulangannya.
1. Tindak Pidana “Karena Kelalaiannya Menyebabkan Orang Lain Meninggal
Dunia” dalam Hukum Positif Indonesia Sebagai induk ketentuan-ketentuan
Hukum Pidana Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), di
samping itu juga diatur dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP, dengan
ketentuan
perbuatan tersebut memenuhi syarat-syarat untuk dipidananya seseorang yaitu
memenuhi rumusan delik yang terdapat dalam KUHP dan peraturan
perundangundangan di luar KUHP. Tindak pidana “karena kelalaiannya menyebabkan matinya
orang” secara tegas diatur dalam Pasal 359 KUHP yang selengkapnya berbunyi
“Barang siapa karena kelalaiannya menyebabkan matinya orang dihukum penjara
selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.”
Matinya orang akibat dari perbuatan terdakwa di sini tidak dimaksud sama
sekali oleh terdakwa, atau bukan tujuan yang dikehendaki terdakwa akan tetapi
kematian tersebut hanya merupakan akibat daripada kurang hati-hatinya atau
lalainya terdakwa (delik culpa). Lalainya terdakwa di sini misalnya seorang sopir
menjalankan kendaraan mobil terlalu kencang sehingga menabrak orang sampai
mati, atau seseorang berburu melihat sosok hitam-hitam dalam semaksemak dikira
babi atau rusa terus ditembak mati, tetapi sosok yang dikira babi itu adalah
manusia, atau orang main-main dengan senjata api, karena kurang hati-hati
meletus dan mengenai orang lain sehingga mati dan sebagainya.
Tindak pidana “karena kelalaiannya menyebabkan matinya orang” sebagaimana
dimaksud dalam BAB XXI tentang “mengakibatkan orang mati atau luka karena
kelalaiannya” Pasal 359 KUHP hukumannya diperberat jika tindak pidana tersebut
dilakukan dalam sesuatu jabatan atau pekerjaan. Hal ini dinyatakan dalam Pasal
361 yang menyatakan bahwa jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini
dilakukan dalam melakukan sesuatu jabatan atau pekerjaan, maka hukumannya dapat
ditambah dengan sepertiganya dan si tersalah dapat dipecat dari pekerjaannya,
dalam waktu mana pekerjaan itu dilakukan dan Hakim dapat memerintahkan supaya
keputusannya itu
diumumkan.
Menurut Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, ketentuan pasal ini dikenakan
terhadap dokter, bidan, ahli obat, sopir, kusir dokar, masinis yang sebagai
orang ahli dalam pekerjaan mereka masing-masing dianggap harus lebih
berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya. Apabila mereka itu mengabaikan
(melalaikan), sehingga menyebabkan mati (Pasal 359 KUHP) atau luka (Pasal 360
KUHP), maka akan dihukum lebih berat. Apabila matinya orang itu dimaksud oleh
terdakwa, maka ia dikenakan Pasal 338 KUHP atau 340 KUHP. Dalam Pasal 338 KUHP
dinyatakan bahwa barang siapa
dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena pembunuhan
dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Soesilo menyebut kejahatan ini sebagai “makar mati” atau “pembunuhan”
(doodslag). Di sini diperlukan perbuatan yang mengakibatkan kematian orang
lain, sedangkan kematian itu disengaja, artinya dimaksud, termasuk dalam
niatnya. Apabila kematiannya itu tidak dimaksud, tidak masuk dalam pasal ini
mungkin masuk Pasal 359 KUHP, yaitu karena kelalaiannya menyebabkan matinya
orang lain, atau Pasal 351 sub 3 KUHP, yaitu penganiayaan biasa berakibat
matinya orang, atau Pasal 353 sub 3 KUHP, yaitu penganiayaan terlebih dahulu
berakibat mati, atau Pasal 354 sub 2 KUHP, yaitu penganiayaan berat berakibat
mati, atau Pasal 355 sub 2 KUHP, yaitu penganiayaan berat dengan direncanakan
lebih dahulu berakibat mati.
Selanjutnya dalam Pasal 340 KUHP dinyatakan bahwa barang siapa dengan
sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain,
dihukum karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau
penjara seumur hidup atau penjara sementara selamalamanya dua puluh tahun.
Kejahatan dalam Pasal 340 KUHP menurut Soesilo dinamakan “pembunuhan berencana”
(moord). Boleh dikatakan ini adalah suatu pembunuhan biasa (doodslag) tersebut
dalam Pasal 338 KUHP akan tetapi dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu.
“Direncanakan lebih dahulu” (voorbedachte rade) yaitu antara timbulnya maksud
untuk membunuh dengan
pelaksanaannya itu masih ada tempo bagi si pembuat untuk dengan tenang
memikirkan misalnya dengan cara bagaimanakah pembunuhan itu akan
dilakukan. Tempo ini tidak boleh terlalu sempit, akan tetapi sebaliknya
juga
tidak perlu terlalu lama, yang penting ialah apakah di dalam tempo itu si
pembuat dengan tenang masih dapat berpikir-pikir, yang sebenarnya ia masih
ada kesempatan itu membatalkan niatnya akan membunuh itu, akan tetapi tidak
ia pergunakan.
Selain Pasal 359 KUHP, di dalam Buku ke II KUHP terdapat beberapa
pasal yang memuat unsur kelalaian / kealpaan, antara lain (Prasetyo,
2005:65):
a. Pasal 188 KUHP, yaitu karena kelalaiannya menyebabkan peletusan kebakaran
dan seterusnya.
Pasal 188 KUHP berbunyi : “Barang siapa menyebabkan karena
kelalaiannya kebakaran, peletusan atau banjir, dihukum dengan hukuman
penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selamalamanya satu
tahun atau hukuman denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-
jika terjadi bahaya umum untuk barang karena hal itu, jika terjadi bahaya
kepada maut orang lain, atau jika hal itu berakibat matinya seseorang.
Menurut Soesilo isi pasal ini adalah sama dengan isi Pasal 187
KUHP, bedanya bahwa Pasal ini dilakukan tidak dengan sengaja (delik
culpa), sedang Pasal 187 KUHP dilakukan dengan sengaja (delik dolus).
Sudah barang tentu hukumannya lebih rendah daripada Pasal 187 KUHP.
Pasal 187 menyatakan bahwa barang siapa dengan sengaja
membakar, menjadikan letusan atau mengakibatkan kebanjiran, dihukum :
(1) Penjara selama-lamanya dua belas tahun, jika perbuatan itu dapat
mendatangkan bahaya umum bagi barang;
(2) Penjara selama-lamanya lima belas tahun jika perbuatannya itu dapat
mendatangkan bahaya maut bagi orang lain;
(3) Penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua
pulih tahun, jika perbuatannya itu dapat mendatangkan bahaya maut
bagi orang lain dan orang mati akibat perbuatan itu.
Kejahatana ini adalah suatu delik dolus artinya harus dilakukan
dengan sengaja jika tidak dilakukan dengan sengaja (karena kelalaiannya),
maka orang itu dihukum menurut Pasal 188 KUHP, yaitu delik culpa.
b. Pasal 231 ayat 4 KUHP, yaitu karena kelalaiannya si penyimpan
menyebabkan hilangnya barang yang disita.
Pasal 231 ayat 4 KUHP menyebutkan bahwa barang siapa karena
kelalaiannya melepaskan barang yang telah disita menurut peraturan
undang-undang atau melepaskan dari simpanan atau perintah hukum, atau
menyembunyikan barang itu, sedangka diketahuinya bahwa barang itu
dilepaskan dari sitaan atau simpanan itu, dihukum kurungan setinggi-tinggi
satu bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.800,-
c. Pasal 360 KUHP, yaitu karena kelalaiannya menyebabkan orang lain luka
berat.
Pasal 360 KUHP berbunyi sebagai berikut :
(1) Barang siapa karena kelalaiannya menyebabkan orang luka berat dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman
kurungan selama-lamanya satu tahun.
(2) Barangsiapa karena kelalaiannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa
sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak menjalankan
jabatannya atau pekerjaannya sementara, dihukum dengan hukuman
penjara selama-lamanya sembilan bulan atau hukuman kurungan selamalamanya
enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 4.500,-
Isi pasal ini hampir sama dengan Pasal 359 KUHP, bedanya bahwa
akibat dari Pasal 359 adalah “matinya orang”, sedangkan akibat dalam Pasal
360 KUHP adalah luka berat atau luka yang menyebabkan jatuh sakit atau
terhalang pekerjaan sehari-hari.
d. Pasal 409 KUHP, yaitu karena kelalaiannya menyebabkan alat-alat perlengkapan
(jalan kereta api, dan seterusnya) hancur.
Pasal 409 KUHP disebutkan bahwa barang siapa karena kelalaiannya
menyebabkan sesuatu pekerjaan yang tersebut dalam Pasal di atas (Pasal 408
KUHP) sampai binasa, rusak atau tidak dapat dipakai lagi, dihukum kurungan
selama-lamanya satu bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 1.500,-
Pekerjaan yang disebut dalam Pasal 408 KUHP, yaitu dengan
melawan hak membinasakan, merusakkan atau membuat sehingga tidak dapat
digunakan lagi, pekerjaan jalan kereta api, trem, kawat telegram, telepon
atau
listrik, atau pekerjaan untuk menahan air, pembagian air atau pembuangan
air,
pipa gas atau air, atau selokan (jalan membuang kotoran) jika buatan,
saluran
atau seloka itu dipergunakan untuk keperluan umum. “Karena kelalaiannya”
dalam Pasal 409 yaitu tidak sengaja, tetapi kerusakan itu disebabkan karena
kurang hati-hati, lalai (alpa), kurang perhatian (culpa) (Budiyanto,
2009:1).
Di luar KUHP tindak pidana “karena kelalaiannya menyebabkan
matinya orang” dapat dilihat dalam Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang menyatakan :
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena
kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas yang mengakibatkan
orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta
rupiah).
Memperhatikan pasal tersebut, maka dalam hal tindak pidana “karena
kelalaiannya menyebabkan orang mati” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 359
KUHP dengan menggunakan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud Pasal
Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan selain dikenakan ancaman pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 359 KUHP yaitu selama-lamanya 5 (lima) tahun atau kurungan
selama-lamanya 1 (satu) tahun juga dapat dikenakan pidana penjara paling
lama
6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 12.000.000,00 (dua belas juta
rupiah).
2. Penyelesaian Tindak Pidana “Karena Kelalaiannya Menyebabkan Orang Lain
Meninggal Dunia” pada Kecelakaan Lalu-Lintas di Pengadilan
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Pernyataan tersebut
merupakan pengertian kekuasaan kehakiman yang tercantum pula dalam Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pengadilan merupakan tempat bagi warga negara mencari dan
menyelesaikan masalah secara adil. Untuk meweujudkan keadilan tersebut
ditangan hakimlah ditentukan putusan masalah yang dibawa ke pengadilan.
Begitu berat tugas yang diemban seorang hakim karena keputusan yang dibuat
dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Proses pemeriksaan perkara oleh Pengadilan diawali setelah Pengadilan
Negeri menerima surat pelimpahan perkara dan berpendapat bahwa perkara itu
termasuk wewenangnya, Ketua Pengadilan menunjuk Hakim yang akan
menyidangkan perkara tersebut dan Hakim yang ditunjuk itu menetapkan hari
sidang. Hakim dalam menetapkan hari sidang memerintahkan kepada Penuntut
Umum supaya memanggil terdakwa dan saksi untuk datang di Sidang Pengadilan.
Ketentuan tersebut dinyatakan dalam Pasal 152 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana.
Menurut Pasal 155 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, bahwa
pada permulaan sidang, hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa
tentang
nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan,
tempat tinggal, agama dan pekerjaannya serta mengingatkan terdakwa supaya
memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya di sidang. Kemudian
hakim meminta kepada Penuntut Umumuntuk membacakan surat dakwaan.
Selanjutnya Hakim Ketua sidang menanyakan kepada terdakwa apakah ia sudah benar-benar
mengerti, apabila ternyata terdakwa tidak mengerati, Penuntut Umum
atas pemintaan Hakim Ketua wajib memberi penjeleasan yang diperlukan.
Selanjutnya apabila dalam perkara tersebut ada barang buktinya, maka
Hakim Ketua Sidang memperlihatkan barang bukti itu kepada terdakwa dan
menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda itu dan jika perlu benda itu
diperlihatkan oleh Hakim Ketua sidang kepada Saksi. Di samping itu, apabila
dianggap perlu untuk pembuktian, Hakim Ketua sidang membacakan atau
memperlihatkan surat atau berita acara kepada terdakwa atau saksi dan
selanjutnya
minta keterangan seperlunya tentang hal itu. Hal ini diatur dalam Pasal 181
ayat 1,2
dan 3 KUHAP.
Setelah dianggap selesai, Hakim Ketua sidang menyatakan bahwa
pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan dapat membukanya sekali
lagi,
baik atas kewenangan Hakim Ketua sidang karena jabatannya maupun atas
permintaan Penuntut Umum atau terdakwa atau Penasehat Hukum dengan
memberikan alasannya. Setelah itu Hakim mengadakan musyawarah terakhir
untuk
mengambil keputusan (vonnis) dan apabila perlu musyawarah itu diadakan
setelah
terdakwa, saksi, Penuntut Umum dan hadirin meninggalkan ruangan sidang.
Adapun musyawarah harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu
yang
terbukti dalam pemeriksaan di sidang. (Pasal 182 ayat 2, 3 dan 4 Kitab
UndangUndang Hukum Acara Pidana).
Pasal 1 butir 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan putusan pengadilan adalah penyataan hakim yang
diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan
atau
bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara
yang
diatur dalam undang-undang ini.
Putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim, jika hakim berpendapat
bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya,
maka hakim menjatuhkan pidana, hal ini dinyatakan dalam Pasal 193 ayat 1
Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana. Putusan yang akan dijatuhkan oleh Hakim
tergantung dari hasil musyawarah dan hasil mufakat para Hakim dengan
berdasar pada penilaian yang diperoleh dari isi Surat Dakwaan dengan disertai
segala
sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan sidang.
Memeriksa suatu perkara pidana di Sidang Pengadilan seorang Hakim
harus berdasarkan isi Surat Dakwaan. Berdasarkan pada landasan inilah Hakim
Ketua Sidang memimpin dan mengarahkan jalannya seluruh pemeriksaan, baik
yang menyangkut pemeriksaan alat-alat bukti atau berkenaan dengan barang
bukti.
Berdasarkan suatu Dakwaan, Hakim memeriksa suatu perkara pidana,
pemeriksaan
tersebut harus berada dalam batas-batas yang termasuk dalam Surat Dakwaan.
Proses pemeriksaan di Sidang Pengadilan adalah merupakan bagian yang
terpenting dari Hukum Acara Pidana karena pemeriksaan tersebut menjadi
dasar
musyawarah Majelis Hakim dalam mengambil keputusannya.
Pasal 182 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
disebutkan :
Sesudah itu Hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil
keputusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah Terdakwa,
Saksi,
Penasehat Hukum, Penuntut Umum dan hadirin meninggalkan ruangan sidang.
Sedangkan dalam Pasal 182 ayat 4, dinyatakan bahwa :
Musyawarah tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas Surat Dakwaan dan
segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.
Mengenai Surat Dakwaan yang dibuat oleh Penuntut Umum diatur dalam
Pasal 143 ayat 2 dan ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang
menyebutkan :
Penuntut Umum membuat Surat Dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani
serta berisi :
a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan,
tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;
b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang
didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
Surat Dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan tersebut batal demi hukum.
Jika melihat Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan :
Tiada seorangpun yang dapat dijatuhi pidana kecuali apa bila pengadilan
karena
alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan bahwa
seseorang yang dianggap bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan
yang didakwakan atas dirinya.
Dari isi Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut nyatalah
bahwa Surat Dakwaan sangat perlu dicantumkan dalam proses Peradilan Pidana.
Sejak zaman Hindia Belanda dahulu hingga sekarang, Hukum Acara
Pidana kita secara konsisten memakai sistem pembuktian menurut
undang-undang
yang negatif (negatiefwettelijk). Hal ini dapat disimpulkan dari
Pasal-pasal yang
mengaturnya. Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyatakan
sebagai berikut :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya”.