SELAYANG PANDANG PANGERAN LANANG DANGIRAN / KI AGENG BRONDONG / SUNAN BOTOPUTIH
Ki Ageng Brondong / Pangeran Lanang Dangiran / Sunan Botoputih
Wafat tahun 1638 dalam usia 70 tahun, dimakamkan di makam Sentono Botoputih Kasepuan Surabaya.
Adapun 7 Putra Putrinya :
1. Nyai Setro / Astro (Ki Ageng Brondong)
2. Kyai Tumenggung Onggodjoyo I / Kyai Lanang Glangsing (Honggodjoyo / Gentono) (Ki Ageng Brondong) / 1690
3. Nyai Danoe Singopoero (Ki Ageng Brondong)
4. Kyai Tumenggung Djangrono I / Kyai Onggowongso (Honggowongso) (Ki Ageng Brondong) / Desember 1678
5. Nyai Wongsoito / Nyai Wongsosuto (Ki Ageng Brondong)
6. Nyai Udju / Nyai Lundu (Ki Ageng Brondong)
7. Surabaya, Menurunkan Trah Demang Sutoyudo Peneleh - Suroboyo, Nyai Lurah Dalem Wiroguno (Ki Ageng Brondong)
FOTONYA KETURUNANNYA
Raden Adipati Panji Tjondronegoro I
Kanjeng Raden Tumenggung Djimat Tjondronegoro I / Kyai Onggowidjoyo (Bupati Sidoarjo I)
Selayang Pandang Ki Ageng Brondong / Pangeran Lanang Dangiran, BotoPutih Surabaya
VERSI 1
Pangeran Lanang Dangiran Kiyahi Ageng Brondong. Kang Sumare Ing Pesarehan Sentono Boto Putih Surabaya
Bersumber dari Rodovid tentang Silsilah keluarga yang berkaitan dengan Trah Botoputih, dengan pancer leluhur Ki Ageng Brondong, untuk itu disini kami sajikan sedikit cerita Ki Ageng Brondong, nama gelar lainnya adalah Pangeran Lanang Dangiran di Ampel Surabaya. Konon dituturkan bahwasanya Pangeran Kedawung atau disebut juga Sunan Tawangalun adalah nama gelar saat menjadi Raja di Blambangan (sekarang wilayah Banyuwangi-Jawa Timur), berputra sebanyak 5 (lima) anak diantaranya Pangeran Lanang Dangiran atau dikenal dengan nama Kyai Brondong. Dalam usia 18 tahun beliau melakukan bertapa, dengan menghanyutkan diri diatas sebuah papan kayu dan sebuah bronjong (alat penangkap ikan terbuat dari anyaman bambu ) di sungai. Dalam bertapanya tersebut dihanyutkan sampai dipantai utara Jawa. Gelombang dan arus air laut mengehempaskannya, dan akhirnya terdampar ditepi pantai dekat Sedayu Lamongan dalam keadaan tidak sadar. Keadaan seluruh badannya dilekati oleh berbagai binatang laut seperti kerang, remis dlsb. Sehingga terlihat kulit tubuhnya seperti diselimuti butiran jagung bakar (bhs Jawa = brondong ). Pangeran Lanang Dangiran saat terdampar tersebut ditemukan oleh Kyai Kendil Wesi, dan dirawatnya dan dibawa pulang, sampai sehat seperti sedia kala. Selang beberapa waktu lamanya, Kyai Kendil Wesi mengetahui asal-usul Pangeran Lanang Dangiran, yang tidak lain masih satu keturunan dengan Kyai Kendil Wesi, yaitu keturnan dari raja-raja Blambangan, yang mana Kyai Kendil Wesi dari Trah Menak Soemende. Didalam asuhan Kyai kendil Wesi terhadap Pangeran Lanang Dangiran dianggap sebagai anak sendiri, dan ketika dewasa beliau memeluk/masuk agama Islam, dan sampai menjadi guru agama. Berselang dewasa Pangeran Lanang Dangiran menikah dengan puteri dari Ki Bimo Tjili, berasal dari Panembahan di Cirebon. Dan kemudian dikenal Kyai Brondong. Kyai Kendil Wesi mengetahui bahwa kelak kemudian hari puteranya akan hidupnya mulia, serta menjadi pemuka agama, maka disarankan agar Pangeran Lanang Dangiran untuk meluaskan ajaran Agama Islam, ke wilayah Ampel Dento di Surabaya. Akhirnya pada tahun 1595, Kyai Brondong dengan keluarga menetap di Surabaya, tepatnya diseberang Timur Sungai/kali Pegirikan, dekat Ampel disebut padukuhan Botoputih. Disinilah di awal penyembar Agama Islam tepatnya di Ampel Surabaya. Pada waktu itu Kadipaten Surabaya masih merdeka, tidak dibawah kekuasaan Mataram, dan saat itu yang memegang kekuasaan adalah Pangeran Pekik.
Dalam perjalanan sejaran Surabaya pada tahun 1625, akhirnya dikuasai / dalakekuasaan Mataram. Pangeran Pekik masih ditetapkan sebagai Adipati di Surabaya dibawah kekuasaan pemerintahan Amangkurat I. Kyai Brondong / Ki Ageng Brondong / Pangeran Lanang Dangiran wafat pada tahun 1638 dalam usia 70 tahun, dimakamkan di makam Sentono Botoputih Kasepuan Surabaya. Meninggalkan putera sebanyak 7(tujuh)orang, diantaranya putera laki-lakinya adalah : Onggodjoyo dan Honggowongso.
VERSI 2
Ki Ageng Brondong / Pangeran Lanang Dangiran lahir di desa Brondong, Sedayu Lawas, atau Paciran Lamongan tepi laut utara Jawa. Kiyahi Ageng Brondong memiliki keturunan Raden Tumenggung Panji Tjokronegoro I, Bupati Sidoarjo yang pertama, diambil dari silsilah pangeran Lanang Dangiran Kyai Ageng Brondong kang sumareh ing pesarehan sentono Botoputih Surabaya. Pangeran Lanang Dangiran Kiyahi Ageng Brondong. Kang Sumareh Ing Pesarehan Sentono Boto Putih Surabaya Riwayat Hidup Kiyahi Ageng Brondong Botoputih Suroboyo. Konon dituturkan Pangeran Kedawung, disebut juga Sunan Tawangalun adalah raja di Blambangan atau dikatakan juga Bilumbangan. Pangeran Kedawung, disebut juga Sunan Tawangalun adalah raja di Blambangan atau dikatakan juga Bilumbangan mempunyai 5 orang anak dan diantaranya ialah pangeran Lanang Dangiran. Sejarah diceritakan bahwa Lanang Dangiran pada usia 18 tahun bertapa dilaut dan menghanyutkan dirinya diatas sebuah papan kayu sebuah beronjong (alat penangkap ikan), tanpa makan atau minum, arus air laut dan gelombang membawa Lanang Dangiran hingga dilaut jawa dan akhirnya suatu taufan dan gelombang besar melemparkan Lanang Dangiran dengan beronjongnya dalam keadaan tidak sadar, disebabkan karena berbulan-bulan tidak makan dan minum, dipantai dekat Sedayu. Seluruh badannya telah dilekati oleh karang, keong serta karang-karang (remis) sehingga badan manusia itu seolah-olah ditempeli dengan bakaran jagung yang disebut dengan bahasa jawa Brondong Badan Pangeran Lanang Dangiran diketemukan oleh seorang kiyahi yang bernama Kiyahi Kendil Wesi. Pangeran Lanang Dangiran dirawat oleh Kiyahi Kendil Wesi serta istrinya dengan penuh kasih sehingga sadar kembali dan akhirnya menjadi sehat seperti sediakala. Pangeran Lanang Dangiran menceritakan asal-usulnya kepada Kiyahi Kendil Wesi. Setelah Kiyahi Kendil Wesi mendapat keterangan tentang asal usulnya Pangeran Lanang Dangiran, maka diceritakan oleh Kiyahi tadi bahwa ia juga asal keturunan dan raja-raja di Blambangan yang bernama Menak Soemandi dimana beliau masih satu keturunan dengan Lanang Dangiran. Lanang Dangiran tinggal dan kumpul dengan Kiyahi Kendil Wesi, dan dianggap sebagai anaknya kiyahi sendiri. Pangeran Lanang Dangiran memeluk agama Islam, karena rajin dan keteguhan imannya serta keluhuran budinya serta kesucian hatinya, maka tidak lama pula ia dapat tampil kemuka sebagai guru Agama Islam, Pangeran Lanang Dangiran berisitrikan putrid dan Ki Bimotjili dan Panembahan di Cirebon yang asal usulnya dituliskan sebagai berikut : Pangeran Kebumen Bupati Semarang, berisitrikan putrid dan Sultan Bojong, bernama Prabu Widjaja (Djoko Tingkir).
Ki Bomotjili adalah salah satu seorang putra dan Pangeran Kebumen tersebut diatas, seorang putri dan Ki Bimotjili bersuamikan Pangeran Lanang Dangiran alias Kiyahi Brondong (dimakamkan di Boto Putih). Nama Brondong diperoleh karena ia diketemukan oleh Kiyahi Kendil Wesi badannya dilekati dengan Brondong Kiyahi Kendil Wesi yang waspada dan mengetahui nasib seseorang, mengatakan kepada Lanang Dangiran yang sudah mendapat sebutan Kiyahi Brondong dan masyarakat sekitar tempat Kiyahi Kendil Wesi, supaya pergi ke Ampel Dento Suroboyo, dan meluaskan ajaran Agama Islam, karena di Surabaya Kiyahi Brondong kelak akan mendapat kebahagiaan serta turun temurunnya kelak akan timbul dan tambah menjadi orang-orang yang mulya. Kemudian Kiyahi Brondong dengan istrinya dan beberapa anaknya yang masih kecil pergi ke Surabaya dan pada Tahun 1595 menetap diseberang timur kali Pegiri’an, dekat Ampel ialah Dukuh Boto Putih (Batu Putih) ditempat baru inilah Kiyahi Brondong mendapatkan martabat yang tinggi dan masyarakat, karena keluhuran budinya Kiyahi Brondong (pangeran Lanang Dangiran) wafat pada tahun 1048H / 1638M dalam usia + 70 tahun dan meninggalkan 7 orang anak, diantaranya 2 orang laki-laki yaitu : Honggodjoyo dan Honggowongso. Bupati Sidoarjo yang pertama adalah keturunan dan Honggodjoyo, Kiyahi Ageng Brondong (Pangeran Lanang Dangiran) dikebumikan ditempat kediamannya sendiri di Botoputih Surabaya makamnya dimulyakan oleh putra-putranya dan selanjutnya dihormati oleh turun-turunnya hingga kini. Semoga arwah beliau diterima Allah Swt, dan Allah Swt juga memberikan kepada seluruh keturunannya Kiyahi Ageng Brondong kemulyaan, kesehatan dan kesejahteraan sebagaimana beliau senantiasa mendoakan cucu cicitnya selama hidupnya.
Adapun 7 Putra Putrinya :
1. Kelahiran anak: ♀ 4. Nyai Setro / Astro [Ki Ageng Brondong]
2. Kelahiran anak : ♂ 1. Kyai Tumenggung Onggodjoyo I / Kyai Lanang Glangsing (Honggodjoyo / Gentono) [Ki Ageng Brondong] d. 1690
3. Kelahiran anak : ♀ 3. Nyai Danoe Singopoero [Ki Ageng Brondong]
4. Kelahiran anak : ♂ Kyai Tumenggung Djangrono I / Kyai Onggowongso (Honggowongso) [Ki Ageng Brondong] d. Desember 1678
5. Kelahiran anak: ♀ 7. Nyai Wongsoito / Nyai Wongsosuto [Ki Ageng Brondong]
6. Kelahiran anak: ♀ 6. Nyai Udju / Nyai Lundu [Ki Ageng Brondong]
7. Kelahiran anak: Surabaya, Menurunkan Trah Demang Sutoyudo Peneleh - Suroboyo, ♀ 5. Nyai Lurah Dalem Wiroguno [Ki Ageng Brondong]
Gelar: Surabaya, Pangeran Lanang Dangiran / Kyai Ageng Brondong sebagai PANCER = yaitu Leluhur/nenek moyang Trah Kasepuhan & Kanoman Surabaya / sebagai cikal bakal / pakem Sejarah Kasepuan – Kanoman Surabaya, atau Level 1 = Putera ke 2 Pangeran Kedawung ; perkawinan: ♀ Nyai Ageng Brondong [Ki Bimotjili] Pangeran Lanang Dangiran/ Ki Ageng Brondong wafat : 1638M / 1048H Makam Ki Ageng Brondong / Pangeran Lanang Dangiran, Boto Putih Sruroboyo Dalam melestarikan warisan leluhur kami unggah ke website Rodovid tentang Silsilah keluarga yang berkaitan dengan Trah Botoputih, dengan pancer leluhur Ki Ageng Brondong, untuk itu disini kami sajikan sedikit cerita Ki Ageng Brondong, nama gelar lainnya adalah Pangeran Lanang Dangiran di Ampel Surabaya. Serta perkembangan Trah sebagai penerus generasi. Konon dituturkan bahwasanya Pangeran Kedawung atau disebut juga Sunan Tawangalun adalah nama gelar saat menjadi Raja di Blambangan (sekarang wilayah Banyuwangi-Jawa Timur), berputra sebanyak 5(lima) anak diantaranya Pangeran Lanang Dangiran atau dikenal dengan nama Kyai Brondong. Dalam usia 18 tahun beliau melakukan bertapa, dengan menghanyutkan diri diatas sebuah papan kayu dan sebuah bronjong (alat penangkap ikan terbuat dari anyaman bambu ) di sungai. Dalam bertapanya tersebut dihanyutkan sampai dipantai utara Jawa. Gelombang dan arus air laut mengehempaskannya, dan akhirnya terdampar ditepi pantai dekat Sedayu - Lamongan dalam keadaan tidak sadar. Keadaan seluruh badannya dilekati oleh berbagai binatang laut seperti kerang,remis dlsb. Sehingga terlihat kulit tubuhnya seperti diselimuti butiran jagung bakar (bhs jawa = brondong ). Pangeran Lanang Dangiran saat terdampar tersebut ditemukan oleh Kyai Kendil Wesi, dan dirawatnya dan dibawa pulang , sampai sehat seperti sedia kala. Selang beberapa waktu lamanya, Kyai Kendil Wesi mengetahui asal-usul Pangeran Lanang Dangiran, yang tidak lain masih satu keturunan dengan Kyai Kendil Wesi, yaitu keturnan dari raja-raja Blambangan, yang mana Kyai Kendil Wesi dari Trah Menak Soemende. Didalam asuhan Kyai kendil Wesi terhadap Pangeran Lanang Dangiran dianggap sebagai anak sendiri, dan ketika dewasa beliau memeluk/masuk agama Islam, dan sampai menjadi guru agama. Berselang dewasa Pangeran Lanang Dangiran menikah dengan puteri dari Ki Bimo Tjili, berasal dari Panembahan di Cirebon. Dan kemudian dikenal Kyai Brondong. Kyai Kendil Wesi mengetahui bahwa kelak kemudian hari puteranya akan hidupnya mulia, serta menjadi pemuka agama, maka disarankan agar Pangeran Lanang Dangiran untuk meluaskan ajaran Agama Islam, ke wilayah Ampel Dento di Surabaya. Akhirnya pada tahun 1595, Kyai Brondong dengan keluarga menetap di Surabaya, tepatnya diseberang Timur Sungai/kali Pegirikan, dekat Ampel disebut padukuhan Botoputih. Disinilah di awal penyembar Agama Islam tepatnya di Ampel Surabaya. Pada waktu itu Kadipaten Surabaya masih merdeka, tidak dibawah kekuasaan Mataram, dan saat itu yang memegang kekuasaan adalah Pangeran Pekik. Dalam perjalanan sejaran Surabaya pada tahun 1625, akhirnya dikuasai / dalam kekuasaan Mataram. Pangeran Pekik masih ditetapkan sebagai Adipati di Surabaya dibawah kekuasaan pemerintahan Amangkurat I. Kyai Brondong / Ki Ageng Brondong / Pangeran Lanang Dangiran wafat pada tahun 1638M / 1048H dalam usia 70 tahun, dimakamkan di makam Sentono Botoputih Kasepuan Surabaya. Meninggalkan putera sebanyak 7 (tujuh)orang, diantaranya putera laki-lakinya adalah : Onggodjoyo dan Honggowongso. Setelah Pangeran Pekik wafat karena dibunuh oleh Amangkurat I, Onggowongso ditetapkan menjadi Tumenggung di Surabaya, sedangkan Onggodjoyo sebagai Tumenggung di Pasuruan sebagai penghargaan jasa-jasanya dalam Peperangan Pemberontakan Trunodjoyo. Beliau adalah Nenek moyang (cikal bakal) pakem Sejarah seperti halnya: trah Boto Putih, trah Kasepuhan Surabaya, trah Kanoman Surabaya, trah Kasepuhan Sidoarjo, trah Sambongan,trah Nitidingrat_Pasuruan, trah Notodiningrat_Bangil Pasuruan, trah Bustaman_Semarang, trah Puspunegoro Gresik, Han Dinasti, trah Tjitrosoma Tuban, trah Batoro Katong_Ponorogo, trah Suryowinoto Gresik. Untuk melestarikan warisan leluhur beberapa pencinta Genealogy Family Tree sebagai pendahulu telah meninggalkan hasil karyanya, beliau sebagai pengamat, peneliti, serta penyusun Silsilah / Asal Silah adalah Raden Adipati Arya Nitidiningrat Bupati Suroboyo, Raden Ngabei Tjokro Hadiwikromo (Onder Colleteur Kendal), Raden Panji Makmoer (Ketua Paguyuban Sentono Botoputih Surabaya), Raden Tumenggung Arya Noto Adikusumo (Zainal Fattah = Bupati Pamekasan), Raden Bagus Yasin / Raden Ngabei Kromodjoyoadirono ( Asisten Wedana Ngebel Ponorogo ) dan masih banyak lagi. Catatan : Jenjang susunan pada Silsilah Keluarga atau Genealogy Diagram dibuat / dimulai dari atas yaitu yang tertua kebawah s/d. keturunan termuda, ini menganut pakem budaya Jawa Kasunanan Surakarta Hadiningrat khususnya dan pada umumnya, atau dikenal dengan nama Trah = Keturunan. Penulisan silsilah dibuat rentang jenjang setiap /sampai ke 10(sepuluh) level / graad). Dibuat berdasarkan petujuk membuat silsilah dalam buku "Serat Piagem Sentana “ (gebookteakte) ngrewat sala-silahing ing Kasunanan Surakarta Adiningrat (Paku Buwana)", yaitu dimulai dari: Pancer …………… = Trah adalah nama nenek moyang/leluhur yang dijadikan pedoman cikal bakal :
- Level/urutan 1 = Anak / putera
- Level/urutan 2 = Cucu
- Level/urutan 3 = Buyut
- Level/urutan 4 = Canggah
- Level/urutan 5 = Wareng
- Level/urutan 6 = Udeg-udeg
- Level/urutan 7 = Gantung Siwur
- Level/urutan 8 = Gropak senthe
- Level/urutan 9 = Debog bosok
- Level/urutan 10 = Galih Asem.
Urutan penulisan dimulai dari Pancer, misal yang dianut pancer laki-laki (patrinial), yang kemudian sampai rentang keturunan kesepuluh (Galih Asem), dan yang kemudian akan menjadi “Pancer” Trah/Keturunan berikutnya.
Maka 10 (sepuluh) level / graad oleh penulis diterapkan. Sedangkan dalam hardcopy penyusun gunakan dalam bentuk simbul-simbul yang nampak pada pembagian kelompok level (dapat dilihat samping kiri & di kiri bawah lembar silsilah). Dapatlah kami sampaikan bahwa silsilah ini (Family Tree) pancer Laki-laki terbentuk dan akan berakhir jika keturunan berstatus perempuan. Artinya dari keturunan seorang Ibu yang semula dari marga A, anak keturunannya akan ikut pada suaminya misal marga B. Hal ini tidak mengubah makna apapun, ini hanyalah ilustrasi susunan keluarga walaupun menganut garis perempuan (matrinial) kesemuanya dibuat menganut petunjuk cara menulis silsilah yang benar.
Add :
Ada hal penting yang diketahui bahwa bertepatan dengan hari jadi Kabupaten Sidoarjo, pejabat Pemerintah Kabupaten Sidoarjo beserta rombongan merupakan agenda rutin berkunjung ke : Pesarean Asri ing Pendem untuk nyekar ke makam Bupati pertama Sidoarjo Raden Tumenggung Panji Tjokronegoro I wafat tahun 1863 Ke Pesarehan keluarga Tjondronegoro (belakang masjid Djamik/ Agung Sidoarjo) nyekar Raden Adipati Aryo Panji Tjondronegoro I wafat tahun 1906 Langsung menuju Pesarehan Boto Putih Surabaya ke makam Raden Tumenggung Adipati Aryo Tjondronegoro II (Kanjeng Djimat Djokomono).
SEJARAH SINGKAT SIDOARJO
Pada tahun 1851 Sidoarjo masih bernama Sidokare yang merupakan bagian dari daerah Kabupaten Surabaya. Saat itu Sidokare dipimpin oleh seorang Patih yang bernama R.Ng.Djojohardjo dan dibantu oleh seorang wedono bernama Bagus Ranuwirjo. Baru pada tanggal 31 Januari 1859 berdasarkan keputusan Hindia Belanda No. 9 /1859 Staatsblat No. 6 Kabupaten Surabaya dipecah menjadi 2 , yaitu Kabupaten Surabaya dan Kabupaten Sidokare dipimpin oleh seorang Bupati.
Bupati pertama Sidokare adalah RT.NOTOPURO (RTP. TJOKRONEGORO I) yang merupakan putra Bupati Surabaya dan bertempat tinggal di Pandean (Sidoarjo Plasa Sekarang). Pada masa pemerintahan beliau inilah didirikan masjid di Pekauman ( Masjid ABROR).
Berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda No. 10 / 1859 tanggal 28 Mei 1859 Staatsblat No. 32 nama Kabupaten Sidokare diganti dengan Kabupaten Sidoarjo. Tahun 1862 Bupati Tjokronegoro I memindahkan rumah Kabupaten dari kampung Pandean ke kampung Pucang (Wates). Disini beliau mendirikan Masjid Jami’ (Masjid AGUNG) dan disebelah barat masjid dijadikan Pesarean Pendem (Asri). Ketika beliau wafat tahun 1863, jasad beliau disemayamkan dipesarean tersebut.
Sebagai penggantinya diangkatlah Kanjeng Djimad Djokomono kakak almarhum , sebagai Bupati Sidoarjo ke dua dengan gelar RTAA Tjokronegoro II. Pada masa ini pembangunan Masjid Jami’ dan perbaikan pesarean Pendem dilanjutkan, ditambah dengan pembangunan kampung Mager Sari.
Tahun 1883 Bupati RTAA Tjokronegoro II mendapat pensiun, kemudian wafat dimakamkan dipesarean Botoputih Surabaya. Penggantinya adalah RP Sumodirejo, pindahan dari Tulungagung yang hanya memerintah selama 3 bulan karena wafat dan dimakamkan dipesarean Pendem.
Selanjutnya pada tahun itu juga diangkatlah RAAT Tjokronegoro I sebagai Bupati Sidoarjo. Pada tahun 1895 beliau menyempurnakan pembangunan Mesjid Jami’ dengan pemasangan marmer untuk memperindah masjid dan menetapkan pesarean bagi para Bupati dan keluarga, Penghulu dan segenap ahlul masjid berada dipekarangan masjid Jami’
Pada waktu Kabupaten Sidoarjo terdiri dari 6 Kawedanan (distrik) :
1. Djenggolo I Kawedanan Gedangan;
2. Djenggolo II Kawedanan Sidoarjo;
3. Djenggolo III Kawedanan Krian;
4. Djenggolo IV Kawedanan Taman;
5. Rawa Pilo I Kawedanan Porong;
6. Rawa Pulo II Kawedanan Bulang.
Nama – nama ini mulai hilang kira-kira pada tahun 1902. Tentang sistim pemerintahan pada masa itu memakai sistim sentralisasi dan hirarkis, yaitu Wedono dibawah perintah Bupati dan Camat dibawah Perintah Wedono.
Bupati RAA Tjondronegoro I wafat tahun 1906 dan dimakamkan di Pesarean belakang masjid Jami’. Sebagai gantinya adalah RP Samiun, bergelar RAA Tjondronegoro II yang diangkat pada tahun itu juga. Setelah memerintah selama kurang lebih 18 tahun, beliau pensiun (1924). Setelah itu selama 2 tahun (1924-1926) Kabupaten Sidoarjo vakum (tidak ada Bupatinya).
Pada tahun 1926 RTA Sumodipuro diangkat menjadi Bupati. Setelah menderita sakit berkepanjangan pada tahun 1932 beliau pensiun. Selama satu tahun jabatan Bupati kosong lagi dan baru tahun 1933 RAA Suyadi yang semula Patih Madiun diangkat menjadi Bupati.
Sejak 8 Maret 1942 hingga 15 Agustus 1945 Daerah Delta Brantas berada dibawah Kekuasaan Militer Jepang, sebagaimana halnya daerah-daeah di Indonesia lainnya. Selama masa pendudukan Jepang ini Bupati Sidoarjo tetap dijabat oleh Bupati RAA Suyadi.
Pemerintah Republik Indonesia
Pada 15 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu, didaerah-daerah mulai dibentuk badan atau perkumpulan yang bersifat Nasional. Pada saat itu yang berkuasa didaerah Delta Berantas adalah Kaigun (tentara laut Jepang). Badan – badan atau perkumpulan yang bersifat Nasional mulai bibentuk dengan nama BKR dan PTKR. Pada permulaan Maret 1946 Belanda kembali ke daerah kita. Pada waktu menduduki Gedangan Pemerintah memandang perlu untuk memindahkan pusat pemerintahan Kabupaten Sidoarjo ke Porong.
Pemerintahan Recomba (1946-1949).
Tanggal 24 Desember 1946 Belnda menyerang Kota Sidoarjo. Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dipindahkan lagi yaitu kedaerah Jombang . Sesudah Negara Jawa Timur dibentuk daerah Delta Berantas ini masuk daerah Negara Boneka tersebut. Mulai saat itu Daerah Sidoarjo berada dibawah pemerintahan Recomba yang berjalan hingga tahun 1949. Pada waktu itu Bupati Sidoarjo adalah:
1. K. Ng. Soebakti Poespanoto;
2. R. Suharto.
Tanggal 27 Desember 1949 Belanda menyerahkan kembali Pemerintahan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Pada waktu itu juga daerah Delta Brantas menjadi daerah Republik Indonesia.
Sesudah penyerahan kembali kedaulatan.
Sesudah penyerahan kembali kedaulatan kepada Pemerintah RI berdasarkan Undang-Undang Nomor 22/1948. R Suryadi Kertosoeprojo diangkat menjadi Bupati/Kepala Daerah di Kabupaten Sidoarjo.