PAHAM RADIKALISME DAN SEJARAH RADIKALISME
Radikalisme adalah
- Paham atau aliran yang radikal dalam politik.
- Paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.
- Sikap ekstrem dalam aliran politik.
Apabila meruntut pada istilah, kemunculah radikalisme adalah hasil dari pengembangan suku kata radikal. Adapun kata radikal berasal dari bahasa Latin, radix atau radici. Radix dalam bahasa Latin berarti akar. Istilah radikal mengacu pada hal-hal mendasar, prinsip-prinsip fundamental, pokok soal, dan esensial atas bermacam gejala.
Konsep radikalisme juga berkembang dalam ranah sosial dan politik. Dalam ranah ini radikalisme adalah suatu paham yang menghendaki adanya perubahan, pergantian, dan penjebolan terhadap suatu sistem masyarakat sampai ke akarnya.
Dalam kamus Cambridge Dictionary, radikalisme adalah suatu kepercayaan atau bentuk ekspresi dari keyakinan bahwa harus ada perubahan sosial atau politik yang besar atau secara ekstrem. Oxford Dictionary juga memahami ‘radikal’ sebagai orang yang mendukung suatu perubahan politik atau perubahan sosial secara menyeluruh.
Kamus Merriam Webster memberikan pengertian lain, radikalisme adalah bentuk opini atau perilaku orang yang menyukai perubahan ekstrem, khususnya dalam pemerintahan atau politik.
Istilah radikalisme semakin memiliki cakupan yang luas saat masuk ke dalam Bahasa Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), radikalisme terbagi menjadi tiga makna yang berbeda. Makna yang pertama, radikalisme adalah paham atau aliran yang radikal dalam politik. Kedua, radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis, dan ketiga, radikalisme adalah sikap ekstrem dalam aliran politik.
Kemunculan radikalisme juga dipercaya akibat adanya doktrin politik yang dianut oleh gerakan sosial-politik yang mendukung kebebasan individu dan kolektif, dan emansipasi dari kekuasaan rezim otoriter dan masyarakat yang terstruktur secara hierarkis.
Radikalisme Menurut Ahli.
Turmudi (2005) Paham ini memperjuangkan berdirinya paham kekhalifahan yang salah arti dengan menggunakan pola organisasi beragam.
Hafid (2020) Gerakan radikalisme adalah sikap atau semangat yang membawa pada tindakan bertujuan melemahkan dan mengubah tatanan yang mapan dengan menggantinya dengan gagasan atau pemahaman baru. Gerakan perubahan kadang disertai dengan tindak kekerasan.
Kartodirdjo (1985) Dalam lingkup keagamaan, radikalisme merupakan gerakan keagamaan yang berusaha merombak secara total tatanan sosial dan politik yang ada dengan jalan menggunakan kekerasan.
Ariwidodo (2017) Radikalisme adalah suatu paham yang dibuat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan tatanan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara kekerasan.
Ciri-Ciri Radikalisme.
Menurut Masduki (2013), ciri-ciri radikalisme antara lain Mengklaim kebenaran tunggal dan menyesatkan kelompok lain yang tidak sependapat. Mempersulit tata cara Islam yang dianut, bahwa sejatinya ajaran Islam bersifat samhah atau toleran dengan menganggap perilaku, hukum dan ibadah. Bersikap berlebihan dalam menjalankan ritual agama yang tidak pada tempatnya. Mutlak dalam berinteraksi, keras dalam berbicara terutama terkait apa yang diyakininya dan emosional dalam berdakwah atau menyampaikan pendapat. Mudah berburuk sangka kepada orang lain di luar golongannya yang tidak sepaham. Mudah mengafirkan atau memberi label takfiri orang atau kelompok lain yang berbeda pendapat.
Menurut Undang-Undang No 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme Anti-Pancasila Antikebhinekaan Anti-NKRI Anti-Undang-Undang Dasar 45.
Solusi Mengatasi Masalah Radikalisme.
Berdasarkan Al-Qardhawi (1986), solusi untuk mengatasi masalah radikalisme adalah sebagai berikut :
1. Menghormati aspirasi kalangan Islamis radikalis melalui cara-cara yang dialogis dan demokratis
2. Memperlakukan mereka secara manusiawi dan penuh persaudaraan
3. Tidak melawan mereka dengan sikap yang sama ekstrem dan radikal, keduanya harus ditarik ke posisi moderat agar berbagai kepentingan dapat dikompromikan
4. Masyarakat diberikan kebebasan berpikir agar terwujud dialog sehat dan saling mengkritik yang konstruktif sehingga berdampak empatik antar aliran
5. Menjauhi sikap saling mengkafirkan dan tidak membalas pengkafiran dengan pengkafiran
6. Mempelajari agama secara benar sesuai dengan metode yang sudah ditentukan oleh para ulama Islam dan mendalami esensi agama agar menjadi 7. Muslim yang bijaksana tidak hanya literasi tanpa bimbingan.
8. Tidak menjadi seorang Islam secara parsial dan reduktif dengan mempelajari esensi tujuan syariat maq-a.sid syar-iah.
Sejarah Radikalisme.
Radikalisme (dari bahasa Latin radix yang berarti akar) adalah istilah yang digunakan pada akhir abad ke-18 untuk pendukung Gerakan Radikal. Dalam sejarah, gerakan yang dimulai di Britania Raya ini meminta reformasi sistem pemilihan secara radikal. Gerakan ini awalnya menyatakan dirinya sebagai partai kiri jauh yang menentang partai kanan jauh. Begitu "radikalisme" historis mulai terserap dalam perkembangan liberalisme politik, pada abad ke-19 makna istilah radikal di Britania Raya dan Eropa daratan berubah menjadi ideologi liberal yang progresif.
Menurut Encyclopædia Britannica, kata radikal dalam konteks politik pertama kali digunakan oleh Charles James Fox. Pada tahun 1797, ia mendeklarasikan reformasi radikal sistem pemilihan, sehingga istilah ini digunakan untuk mengidentifikasi pergerakan yang mendukung reformasi parlemen.
Pada awal penyebaran Islam di Nusantara oleh para wali songo, situasi damai dan kondisi toleran terjadi melalui interaksi keragaman budaya kehidupan lokal, bahkan pada masanya islam dapat hidup damai berdampingan dengan umat lain dan kepercayaan lain (Asrori 2015). Pada masa pasca kemerdekaan RI separatisme mengatasnamakan Islam mulai terlihat melalui gerakan pemberontakan yang terjadi seperti Kartosuwiryo tahun 1950 dengan nama DI/TII. Belakangan ini karena faktor kontigensi yang ada bermunculanlah sekte, aliran, dan mazhab baru yang mengatasnamakan Islam berkembang pesat sesuai dengan latar belakang kebudayaan dan kondisi lingkungan pendukung didaerah penganutnya (Asrori 2015). Pasca reformasi 98 yang ditandai dengan bebasnya filter demokrasi dan kebebasan berpendapat lebih didahulukan dibanding penegakan hukum, maka radikalisme telah menjadi lahan subur ditandai munculnya kelompok paham baru termasuk paham agama mengatasnamakan Islam radikal.
Paham radikalisme dikalangan umat beragama islam seringkali disamakan dengan paham keagamaan padahal berbeda konteks dan tujuan dari apa yang diajarkan islam, pencetus radikalisme lahir dari berbagai kontigensi, mulai dari permasalahan ekonomi, kondisi politik, ketidakadlian sosial dan hukum dan isu marjinal pada kehidupan masyarakat. Pola organisasi paham radikal bervariatif mulai dari gerakan moral ideologi hingga militan bergaya militer. Organisasi ini memiliki tujuannya, tetapi yang menjadi penyamaan tujuan adalah mengganti kekuasaan negara dengan cara menggulingkan pemerintahan dan politik yang sah.
Menurut Hanafi (2000) kegagalan Marxisme ketika berpartisipasi dalam perjuangan politik didunia Islam turut mendorong munculnya radikalisme dalam dunia Islam. Marxisme telah memberikan kontribusi dalam sektor industrialisasi dan gerakan pembebasan beberapa negara muslim dari kolonialisme (Hanafi 2000). Namun, marxisme memiliki keterbatasan tidak mampu menyentuh hati masyarakat dan terlanjur diaplikasikan tanpa proses adaptasi dengan lingkungan masyarakat Muslim. Model kolonialisme baru dan agresi negara barat disejumlah negara Muslim ikut menjadi faktor eksternal bagi kemunculan kembali radikalisme diera milenium (Masduki 2013). Kalangan Islam yang merasa terancam oleh ekspansi militer asing seperti zionisme dan kolonialisme gaya baru merasa perlu melakukan perlawanan dengan bermodalkan spirit perjuangan jihad yang diambil dari tradisi pemikiran Islam (Masduki 2013).
Pengertian Radikalisme.
Radikalisme adalah suatu paham yang dibuat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan tatanan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara kekerasan (Ariwidodo, 2017). Radikalisme menurut Kartodirdjo (1985) dimaknai berbeda diantara kelompok kepentingan. Dalam lingkup keagamaan, radikalisme merupakan gerakan keagamaan yang berusaha merombak secara total tatanan sosial dan politik yang ada dengan jalan menggunakan kekerasan. Studi ilmu sosial mengartikan radikalisme sebagai pandangan yang ingin melakukan perubahan yang mendasar sesuai dengan interpretasinya terhadap realitas sosial atau ideologi yang dianutnya (Rubaidi 2007) (Hasani & Napospos 2010). Hafid (2020) menjelaskan bahwa gerakan radikalisme adalah sikap atau semangat yang membawa pada tindakan bertujuan melemahkan dan mengubah tatanan yang mapan dengan menggantinya dengan gagasan atau pemahaman baru. Gerakan perubahan kadang disertai dengan tindak kekerasan (Hafid 2020). Bila dilihat dari pemahaman agama, gerakan radikalisme agama dapat dimaknai sebagai gerakan berpandangan kolot dan jumud serta kaku aturan, menggunakan kekerasan atau memaksakan pendapat tentang pandangan keagamaan, serta menganggap hanya pemahaman agamanya saja yang benar dan paling sesuai Al-Qur’an dan hadis (Hafid 2020).
Permasalahan radikalisme Islam di Indonesia makin mengakar menjadi besar karena pendukungnya makin meningkat (Asrori 2015), akibat konstelasi politik, lambat laun konsep radikalisme di Indonesia berbeda tujuan serta tidak mempunyai pola yang seragam. Paham radikalisme di Indonesia ada yang sekedar memperjuangkan implementasi syari’at Islam tanpa keharusan mendirikan negara Islam, namun ada pula paham yang memperjuangkan berdirinya negara Islam Indonesia. Selain itu paham ini memperjuangkan berdirinya paham kekhalifahan yang salah arti dengan menggunakan pola organisasi beragam (Turmudi 2005).
Ciri Radikalisme.
Kelompok radikal memiliki ciri yang hampir sama dalam berhubungan dengan lingkungannya maupun dengan diri sendiri, disebutkan oleh Masduki (2013) antara lain :
1. Mengklaim kebenaran tunggal dan menyesatkan kelompok lain yang tak sependapat. Klaim kebenaran selalu muncul seakan-akan kelompok ini adalah orang suci yang tak pernah melakukan kesalahan ma’sum padahal hanya manusia biasa, sementara kebenaran oleh manusia bersifat relatif dan hanya Allah yang tahu kebenaran absolut.
2. Radikalisme mempersulit tata cara Islam yang dianut, bahwa sejatinya ajaran islam bersifat samhah atau toleran dengan menganggap perilaku, hukum dan ibadah. Memahami hukum sunnah seakan-akan wajib dan yang makruh seakan-akan haram atau sebaliknya. Radikalisme dicirikan dengan perilaku beragama yang lebih memprioritaskan persoalan-persoalan sekunder dan mengesampingkan yang primer.
3. Kelompok radikal bersikap berlebihan dalam menjalankan ritual agama yang tidak pada tempatnya. Dalam berdakwah mereka mengesampingkan metode “Bi al-hikmah” seperti yang digunakan oleh Nabi SAW, sehingga dakwah yang dilakukan justru membuat umat Islam yang masih awam merasa ketakutan dan keberatan.
4. Mutlak dalam berinteraksi, keras dalam berbicara terutama terkait apa yang diyakininya dan emosional dalam berdakwah atau menyampaikan pendapat.
Karakteristik seperti ini sangat bertolak belakang dengan kesantunan dan kelembutan bagaimana Nabi ketika menyampaikan suatu wahyu.
5. Kelompok radikal mudah berburuk sangka kepada orang lain diluar golongannya yang tidak sepaham. Mereka senantiasa memandang orang lain hanya dari aspek negatif dan mengabaikan aspek positifnya walaupun berdampak baik.
6. Paham dari kelompok ini mudah mengkafirkan atau memberi label takfiri orang atau kelompok lain yang berbeda pendapat. Pada masa lampau sikap seperti ini identik dengan golongan Khawarij, kemudian pada masa kontemporer identik dengan istilah “Jamaah Takfir wa Bid’ah” dan kelompok puritan. Kelompok ini mengkafirkan orang lain yang berbuat maksiat, mengkafirkan pemerintah demokratis, mengkafirkan rakyat yang menjalankan penerapan demokrasi, mengkafirkan umat Islam di Indonesia yang menjunjung tradisi lokal, dan mengkafirkan semua orang bahkan kelompok yang berbeda pandangan dengan mereka, sebab mereka yakin bahwa pendapat mereka adalah pendapat yang paling benar yang sesuai dengan Allah dan Rasul-Nya.
Penyebab Kemunculan Radikalisme.
Paham radikalisme berkembang di Indonesia disebabkan tiga faktor utama (Khammami 2002). Faktor pertama adalah perkembangan global bahwa kelompok radikal menjadikan situasi di Timur Tengah sebagai inspirasi untuk mengangkat senjata dan aksi teror atas dasar penderitaan sesama muslim. Kondisi di Afghanistan, pencaplokan Palestina oleh Zionis, Irak, Yaman, Syiria, dan seterusnya dipandang sebagai campur tangan kerjasama Amerika Israel dengan bantuan blok pendukungnya (Khammami 2002). Adapun faktor kedua adalah terkait dengan kian tersebar luasnya paham Wahabisme yang mengagungkan budaya Islam ala Arab yang konservatif (Khammami 2002). Wahabisme dianggap bukan sekadar aliran, pemikiran, atau ideologi, melainkan mentalitas yang membuat batas kelompok yang sempit dari kaum muslimin sendiri, sehingga dengan mudah mereka mengatakan diluar kelompok mereka yang berbeda sikap, pandangan dan pemikiran adalah kafir, musuh, dan wajib diperangi. Faktor ketiga adalah karena kemiskinan atau keadilan sosial. Kondisi ini tidak berpengaruh langsung terhadap merebaknya aksi radikalisme, namun perasaan termarjinalkan adalah hal utama yang kemungkinan membuat keterkaitan kuat antara kemiskinan yang terjadi dan laten radikalisme. Situasi seperti itu menjadi persemaian subur bagi radikalisme dan terorisme (Khammami 2002).
Radikalisme di Indonesia.
Radikalisme muncul di Indonesia disebabkan perubahan tatanan sosial dan politik (Asrori 2015) yang tidak sepaham dengan kelompok radikalis. Ideologi baru yang dianut lebih keras dan tidak mengenal toleransi, sebab banyak dipengaruhi oleh mazhab pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab atau Wahabi yang saat ini menjadi ideologi resmi pemerintah Arab Saudi (Asrori 2015). Menurut Al-Qardawi (1986). Menjelaskan kemunculan radikalisme atau gerakan “al-tatharruf” disebabkan oleh
1. Pengetahuan agama yang parsial bahkan melalui proses belajar yang doktriner pada kalangan pelajar atau mahasiswa dari sekolah atau perguruan tinggi berlatar belakang umum
2. Literal dalam memahami konsep agama sehingga kalangan radikal hanya memahami Islam dari perspektif subjektif saja tetapi dan minim wawasan tentang esensi agama
3. Berlebihan dalam mengharamkan banyak hal yang memberatkan umat.
4. Lemah dalam wawasan sejarah dan sosiologi sehingga fatwa paham radikalis sering bertentangan dengan kemaslahatan umat, akal sehat,dan semangat zaman.
5. Radikalisme muncul sebagai reaksi terhadap bentuk yang dianggap radikalisme yang lain seperti sikap radikal kaum sekular yang menolak agama.
6. Perlawanan terhadap ketidakadilan perlakuan sosial, ekonomi, hukum dan politik ditengah masyarakat.
Radikalisme muncul dari respon rasa frustasi dan pemberontakan terhadap ketidakadilan sosial yang disebabkan oleh lemah dan mandulnya kinerja lembaga hukum (Al-Qardqwi 1986). Lembaga hukum di Indonesia yang masih carut marut, tebang pilih dalam penanganan kasus, putusan pengadilan dalam menjatuhkan vonis hukum yang tidak adil, serta keberpihakan hukum dapat menjadi stimulus penyebab paham radikalisme berkembang. Kegagalan pemerintah dalam menegakkan keadilan akhirnya direspon oleh kalangan radikal dengan tuntutan penerapan syari’at Islam Al-Qardqwi (1986). Dengan harapan, bila menerapkan aturan syari’at kelompok yang merasa terzalimi ini akan mampu menegakkan keadilan, namun tuntutan penerapan syariah pasti diabaikan oleh negara terutama Indonesia karena tidak sesuai dengan paham bernegara, sehingga mereka frustasi dan akhirnya memilih cara kekerasan dalam menyampaikan tujuannya (Al-Qardqwi 1986).
Menurut Khammami (2002), kemunculan radikalisme dari sisi agama disebabkan karena dua faktor yaitu faktor internal dari dalam umat Islam karena adanya penyimpangan norma agama dengan pemahaman agama yang totalistik sempit dan formalistik yang bersikap kaku dalam memahami konsep agama. Paham ini memandang agama dari satu arah yaitu tekstual, tanpa melihat dari sumber lain. Faktor kedua berasal dari kondisi eksternal diluar umat Islam yang menjadi pendukung untuk melakukan penerapan syari`at Islam dalam sendi-sendi kehidupan (Kammami 2002).
Usaha Deradikalisasi Radikalisme.
Paham radikal akan berkembang ditengah masyarakat ketika ketidakadilan sosial dan hukum, kondisi kemiskinan serta penyimpangan paham islam yang sempit, maka dibutuhkan keterlibatan semua pihak dari pemangku kepentingan masyarakat dan pemerintahan negara Indonesia. Negara diharapkan hadir secara cepat dan tanggap dalam meredam konflik atas nama agama dan SARA sekaligus memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat (Hafid 2020). Negara melalui perangkat aparaturnya wajib menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila sebenar-benarnya untuk mewujudkan masyarakat yang adil dari sisi perlakuan hukum, pelayanan fasilitas dan pemenuhan kebutuhan segenap warga negara. Pembinaan mental dan spiritual generasi muda di lembaga pendidikan formal maupun nonformal agar terhindar dari paham radikal (Hafid 2020).
Al-Qardhawi (1986) menjelaskan terdapat solusi untuk mengatasi masalah radikalisme :
1. Menghormati aspirasi kalangan Islamis radikalis melalui cara-cara yang dialogis dan demokratis.
2. Memperlakukan mereka secara manusiawi dan penuh persaudaraan.
3. Tidak melawan mereka dengan sikap yang sama ekstrem dan radikal, keduanya harus ditarik ke posisi moderat agar berbagai kepentingan dapat dikompromikan
4. Masyarakat diberikan kebebasan berpikir agar terwujud dialog sehat dan saling mengkritik yang konstruktif sehingga berdampak empatik antar aliran.
5. Menjauhi sikap saling mengkafirkan dan tidak membalas pengkafiran dengan pengkafiran
6. Mempelajari agama secara benar sesuai dengan metode yang sudah ditentukan oleh para ulama Islam dan mendalami esensi agama agar menjadi Muslim yang bijaksana tidak hanya literasi tanpa bimbingan.
7. Tidak menjadi seorang Islam secara parsial dan reduktif dengan mempelajari esensi tujuan syariat maq-a.sid syar-iah.
Masduqi (2013) menyarankan agar Pendidikan pengajaran agama Islam yang terinfiltrasi oleh paham radikal perlu dilakukan reorientasi ke arah yang sesuai dengan spirit Islam yang mengajarkan saling menghargai dan persaudaraan. Perencanaan tentang konsep pendidikan Islam yang seimbang dengan penerapan prisnsip “Hablum minallah-hablum minannas” toleran, inklusif, humanis dan multikulturalis yang mengajarkan kasih saying sesama makhluk ciptaan Tuhan, kesantunan, menghornati orang lain, dan kerukunan harus dimulai sejak pendidikan dasar, sehingga dimasa mendatang pastinya dapat mendorong terwujudnya keharmonisan dalam bernegara.
Sejarah Radikalisme di Indonesia.
Dilihat dari sejarahnya, radikalisme pertama kali menguat pada periode pasca kemerdekaan dan pasca reformasi. Sekitar tahun 1950-an, ada sebuah operasi yang mengatasnamakan agama di bawah bendera Darul Islam (DI) pimpinan Kartosuwiryo.
Operasi ini berhasil digagalkan, namun kembali muncul pada di awal-awal masa pemerintahan Soeharto melalui intelijen Ali Moertopo dengan operasi khususnya. Saat itu, Ali dibantu oleh Bakin untuk merekrut mantan anggota DI/TII dan mengajak mereka melakukan aksi-aksi Komando Jihad yang bertujuan memojokkan Islam.
Sekitar tahun 1976, kelompok Komando Jihad melakukan peledakan tempat ibadah. Setahun kemudian, Front Pembebasan Muslim Indonesia melakukan hal yang sama. Pada tahun 1978, kelompok Pola Perjuangan Revolusioner Islam semakin memperburuk keadaan dengan melakukan banyak tindakan teror.
Setelah Soeharto memundurkan diri, Indonesia mulai masuk pada era demokrasi dan kebebasan. Di masa ini, kelompok radikal menjadi lebih militan dan vokal. Apalagi kehadiran media elektronik secara tidak langsung membuat eksistensi mereka lebih terlihat.
Pasca reformasi, Dr. Azhari dan Noordin M. Top memimpin beberapa gerakan berbau radikal yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia, seperti Ambon, Poso, dan yang lainnya.
Lambat laun, gerakan-gerakan radikalisme mulai memiliki tujuan yang berbeda. Ada gerakan yang ingin mengimplementasikan syariat Islam di Negara Indonesia, ada yang ingin mendirikan negara Islam Indonesia, ada pula yang ingin mendirikan “kekhalifahan Islam”.
Disamping itu, pola organisasinya pun jadi lebih beragam. Mulai dari gerakan moral ideologi seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin Indonesia, hingga gerakan yang bergaya militer seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Laskar Jihad.
Ciri-Ciri Radikalisme
Untuk bisa memahami paham dan sikap radikal secara menyeluruh, kita harus mengenali ciri-cirinya terlebih dulu. Sebab, jika radikalisme sudah teraktualisasi dalam sikap, paham, dan tindakan akan selalu bisa ditandai dengan ciri-cirinya.
Syahrin Harahap dalam buku Upaya Kolektif Mencegah Radikalisme Dan Terorisme menjelaskan bahwa secara garis besar ada 10 ciri kaum radikalis, yaitu :
1. Kaku dan tekstualis dalam bersikap serta memahami teks-teks suci.
Kelompok radikalisme umumnya memahami teks dengan cara yang kaku dan tekstual, sehingga menghasilkan kesimpulan yang lompat. Contohnya seperti petunjuk kitab suci mengenai kaum kafir mereka jadikan sebagai dasar untuk mengkafirkan orang lain yang tidak seagama atau tidak sepaham.
2. Ekstrem, fundamentalis, dan eksklusif.
Ekstrem adalah sikap selalu berbeda dengan arus umum, yang mainstream, terutama pemerintah. Hal ini didasarkan pada sikapnya yang kaku. Sedangkan fundamentalis adalah orang yang berpegang teguh pada dasar-dasar sesuatu secara kaku dan tekstualis.
3. Eksklusif.
Kelompok radikalisme selalu menganggap bahwa paham dan cara yang mereka anut adalah yang paling benar. Sedangkan paham dan cara pandang orang lain selalu dianggap salah dan keliru.
4. Selalu bersemangat mengoreksi orang lain.
Karena sikap eksklusifnya, kelompok radikalisme mempunyai semangat yang sangat tinggi untuk mengoreksi, menolak, bahkan melawan yang lain.
5. Menggunakan kekerasan.
Kaum radikalisme membenarkan cara-cara kekerasan dan menakutkan dalam mengoreksi orang lain, serta dalam menegakkan dan mengembangkan paham maupun ideologinya.
6. Memiliki kesetiaan lintas negara.
Kesetiaan kelompok radikalisme tidak terhalang oleh jarak sama sekali. Oleh karena itu, tindakan kelompok ini bisa dikontrol dari jarak jauh. Di sisi lain, karena kesetiaan yang kuat, mereka rela mengorbankan diri sendiri untuk membalas apa yang dialami kelompoknya di negara lain. Misalnya seperti muslim di Indonesia yang ingin menuntut pembalasan atas pembantaian muslim di Rohingnya.
7. Musuh yang tidak jelas identitasnya.
Musuh kelompok radikalisme seringkali tidak jelas identitasnya karena mereka menganggap orang yang tidak sepaham sebagai musuh. Artinya, siapa saja yang memiliki keyakinan, prinsip, pendapat, dan latar belakang yang berbeda berpotensi menjadi musuh kelompok radikal.
8. All out war.
Sebagai imbas dari identitas musuh yang tidak jelas, mereka melakukan all out war atau perang mati-matian terhadap musuh agamanya serta yang melakukan kemungkaran. Bagi mereka, membunuh dan mengusir musuh menjadi syarat perang agama.
9. Concern pada isu-isu penegakan negara agama.
Kelompok radikal menganggap negara agama (seperti kekhilafahan dalam Islam) mampu mewujudkan tatanan dunia yang lebih adil dan sejahtera karena menjadikan agama sebagai dasar negara dan hukumnya secara eksplisit.
10. Mengafirkan orang lain.
Kaum radikal sangat menekankan tauhidiyyah hakimiyyah dan menghukum kafir orang-orang yang tidak menjadikan agama sebagai dasar hukum bernegara dan bermasyarakat.
Misalnya seperti kelompok radikalisme Islam yang menjadikan QS. Al-Maidah ayat 44, 45, dan 47 sebagai dasar dari tindakannya.
Temukan penjelasan lebih lengkap tentang ciri-ciri kelompok radikalisme, khususnya di Indonesia, dalam buku Upaya Kolektif Mencegah Radikalisme Dan Terorisme yang ditulis Prof. Dr. H. Syahrin Harahap, M.A. Buku ini menjadi salah satu referensi yang tepat untuk belajar bagaimana upaya yang dapat dilakukan secara komunal atau bersama sama dalam menghadapi hal tersebut.
Faktor yang Mempengaruhi Kemunculan Radikalisme.
Pada dasarnya, manusia memiliki kecenderungan destruktif yang dapat menjadi akar permasalahan utama dari kemunculan setiap jenis kejahatan di bumi ini. Akan tetapi, kecenderungan destruktif ini tidak akan terwujud menjadi tindakan nyata jika tidak diberi peluang oleh faktor lain.
Dengan kata lain, radikalisme muncul karena berbagai macam faktor eksternal yang terdiri dari :
1. Faktor Politik – Sosial.
Jika dilihat dari akar permasalahannya, radikalisme cenderung berhubungan dengan faktor politik dan sosial dalam kerangka historisitas manusia di masyarakat. Kelompok radikal memakai kekerasan untuk menentang dan membenturkan dirinya dengan kelompok lain dalam masalah politik sehingga menimbulkan banyak konflik.
Mereka juga kerap membawa bahasa, simbol, dan slogan agama untuk menyentuh sisi keagamaan seseorang ketika menggalang kekuatan untuk mencapai tujuan politiknya.
2. Faktor Emosi Keagamaan.
Penyebab lain yang memicu munculnya gerakan radikalisme adalah faktor sentimen keagamaan yang berhubungan dengan solidaritas saat ada yang merasa tertindas oleh kekuatan tertentu.
Rasa solidaritas ini cenderung didasari oleh emosi keagamaan daripada ajaran agamanya. Emosi keagamaan di sini adalah suatu pemahaman realitas yang sifatnya interpretatif.
3. Faktor Kultural.
Faktor kultural mempunyai peranan yang cukup besar dalam kemunculan radikalisme. Faktor ini adalah antitesa terhadap budaya sekularisme yang dianggap musuh oleh budaya barat. Faktor kultural juga menunjukkan dominasi Barat dalam aspek negara dan budaya.
4. Faktor Ideologis Anti Westernisme.
Gerakan anti westernisme tidak bisa dipandang sebagai suatu kesalahan jika dilihat dari perspektif keagamaan. Namun, kaum radikalisme justru menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memposisikan diri sebagai pesaing budaya dan peradaban dengan menggunakan jalan kekerasan.
5. Faktor Kebijakan Pemerintah.
Ketidaksanggupan pemerintah berbagai negara Islam dalam merespon dominasi ideologi, ekonomi, serta militer dari negara-negara besar juga menjadi faktor kemunculan radikalisme. Hal ini membuat umat Islam merasa marah dan frustasi.
Pemerintah elit di berbagai negara belum dapat mencari akar yang menjadi penyebab munculnya radikalisme sehingga tidak dapat mengatasi problematika sosial yang dihadapi umat.
Para pembaca artikel yang budiman, bisa menemukan faktor-faktor lain yang menyebabkan kemunculan radikalisme di Indonesia dalam buku Radikalisme & Terorisme: Akar Ideologi & Tuntutan Aksi yang ditulis oleh Achmad Jainuri. Buku ini cocok bagi siapa pun yang memiliki niat untuk menemukan pemahaman yang komprehensif, bukan parsial terkait fenomena radikalisme dan terorisme.
Contoh Radikalisme di Indonesia.
Di Indonesia ada beberapa contoh radikalisme yang bisa kamu pelajari dari sejarah, di antaranya:
Gerakan Reformasi 1998 yang menentang dan menggulingkan rezim Orde Baru
Kelompok Kristen Anabaptis yang pro perdamaian serta menolak segala bentuk tindakan kekerasan
Pasangan LGBT.
Menurut seorang pegiat anti radikalisme, Haidar Alwi, di Indonesia ini terdapat 3 macam radikalisme yaitu keyakinan, tindakan dan politik. Menurutnya, radikalisme keyakinan muncul karena banyak orang yang senang mengkafirkan orang lain dan menilai orang lain di luar kelompoknya akan masuk neraka.
Sementara itu, radikalisme tindakan cenderung menghalalkan segala cara bahkan pembunuhan atas nama agama untuk mendukung pemikirannya. Seperti yang dilakukan oleh Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Kemudian, radikalisme politik merupakan kelompok yang ingin menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi khilafah.
Beberapa tahun belakangan ini, kasus radikalisme di Indonesia semakin marak terjadi dan memakan banyak korban. Seperti kasus bom bali yang menggemparkan di seluruh dunia. Lalu, ada kasus teror bom bunuh diri yang menyasar 3 gereja besar di Surabaya, yaitu Gereja Pentakosta, GKI Diponegoro dan Gereja Santa Maria Tak Bercela.
Semua peristiwa ini memakan korban dalam jumlah yang cukup banyak. Berdasarkan penyelidikan kepolisian, pelaku bom bunuh diri di Surabaya adalah satu keluarga yang baru datang dari Suriah.
Mereka juga menjadi simpatisan Negara Islam, Irak, dan Syam (ISIS). Tak hanya itu, keluarga tersebut juga menjadi bagian dari jaringan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) dan jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Cara Menangkal Radikalisme.
1. Memperkenalkan ilmu pengetahuan dengan baik dan benar.
Pengenalan tentang ilmu pengetahuan sudah seharusnya ditekankan kepada siapapun termasuk pada generasi muda. Pasalnya, pemikiran generasi muda masih mengembara karena didorong oleh rasa keingintahuannya.
Memperkenalkan ilmu pengetahuan bukan hanya sebatas ilmu umum, tetapi juga ilmu agama. Karena ilmu agama dapat membangun pondasi yang kuat terhadap sikap, perilaku dan keyakinan pada Tuhan.
Dengan catatan, ilmu umum dan ilmu agama ini harus seimbang agar bisa menciptakan pemikiran yang seimbang.
2. Pemahaman ilmu pengetahuan yang baik dan benar.
Setelah memperkenalkan ilmu pengetahuan, langkah berikutnya adalah memaksimalkan pemahaman yang baik dan benar. Dengan begitu, pemikiran masyarakat Indonesia akan semakin kokoh, kuat, dan tidak mudah dipengaruhi oleh paham-paham radikalisme.
3. Meminimalisir kesenjangan sosial.
Kesenjangan sosial dapat memicu kemunculan paham radikalisme dan tindakan terorisme. Dengan demikian kesenjangan sosial harus diminimalisir, terutama kesenjangan antara pemerintah dan rakyat.
Pemerintah harus merangkul pihak media yang menjadi perantara mereka dengan rakyat, selain itu pemerintah juga harus melakukan aksi nyata secara langsung kepada rakyat. Sementara itu, rakyat harus selalu mendukung dan memberikan kepercayaan kepada pemerintah agar mereka dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
4. Menjaga persatuan dan kesatuan.
Menjaga persatuan dan kesatuan bisa dilakukan untuk menangkal radikalisme dan terorisme di masyarakat. Salah satu contohnya adalah dengan memahami dan menjalankan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
5. Mendukung aksi perdamaian.
Aksi perdamaian dari negara, individu, maupun organisasi dapat mencegah munculnya tindakan terorisme. Umumnya tindakan terorisme ini berawal dari pemikiran radikalisme yang menyimpang dan menimbulkan konflik.
Maka dari itu, kita harus mendukung setiap aksi perdamaian untuk meredam setiap tindakan terorisme.
6. Berperan aktif dalam melaporkan radikalisme dan terorisme.
Kita juga harus berperan aktif untuk melaporkan kemunculan pemahaman radikalisme dan tindak terorisme di sekitar kita kepada pihak berwajib.
Misalnya, jika di dekat rumahmu muncul pemahaman baru tentang keagamaan yang menimbulkan keresahan di masyarakat, langkah pertama yang harus kamu lakukan adalah melaporkannya kepada tokoh masyarakat atau polisi.
Dengan begitu, nantinya para tokoh masyarakat atau polisi dapat mengambil tindakan pencegahan awal seperti berdiskusi tentang pemahaman baru tersebut atau yang lainnya.
7. Meningkatkan pemahaman hidup kebersamaan.
Dengan meningkatkan pemahaman hidup kebersamaan kita dapat terus mempelajari dan memahami cara bermasyarakat di tengah banyaknya perbedaan. Hal ini dapat memicu tumbuhnya sikap solidaritas dan toleransi tanpa harus mengesampingkan peraturan yang berlaku di masyarakat.
8. Menyaring setiap informasi.
Cara lain yang bisa kita lakukan untuk mencegah radikalisme dan tindakan terorisme yaitu dengan selalu menyaring informasi yang ada di internet. Informasi-informasi yang tersebar di berbagai media sosial sering kali mengundang kebingungan dan keanehan karena kebenarannya tidak pasti.
Oleh karena itu, kita harus menyaring informasi dengan baik agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
9. Ikut aktif mengedukasi masyarakat tentang radikalisme dan terorisme.
Selanjutnya, kita dapat ikut aktif mengedukasi masyarakat tentang radikalisme dan terorisme. Dengan begitu, kita membantu masyarakat memahami apa yang dimaksud dengan paham radikal dan terorisme.
Selain itu, kita juga bisa menjelaskan tentang budaya radikal, dampak negatif yang ditimbulkan, dan cara-cara untuk menghindari pengaruh radikalisme ataupun terorisme.
Radikalisme bertujuan untuk membuat perubahan drastis dengan menggunakan kekerasan. Perbuatan ini bertentangan dengan agama karena pada dasarnya semua agama mengajarkan perdamaian dan kasih sayang kepada umatnya.
Dari pembahasan di atas dapat dikatakan bahwa radikalisme adalah paham yang menginginkan perubahan, pergantian, dan juga perombakan suatu sistem masyarakat hingga ke akarnya. Demikian pembahasan tentang radikalisme. Setelah membaca artikel ini sampai selesai, semoga saja kita semua bisa terhindar dari kegiatan yang mengarah kepada radikalisme.